“Maafin aku, Re,” ucap Arkavi di bawah bunyi rintik hujan.Jeruji besi membingkai senyuman samar Arkavi dan punggungnya yang membungkuk di lantai keramik. Alas duduknya hanya selembar tikar tipis dan sebuah bantal lusuh yang sudah mengeras. Hanya dia satu-satunya orang yang ditahan dalam ruangan ini, sementara dua ruangan lainnya dalam keadaan kosong.Dia kini tidak memiliki apa dan siapa pun, kecuali dirinya sendiri yang dibalut baju tahanan. Tidak ada keluarga dan teman yang menjenguknya. Arkavi tidak lagi terlihat seperti sedia kala yang tampan dan gagah. Dan, caranya memandang sepintas seperti pandangan suaminya Prisha—penyesalan, kesedihan, dan pengharapan berkumpul menjadi satu di sana. “Kamu enggak seharusnya meminta maaf padaku,” tanggap Raesaka. “Kamu semestinya minta maaf pada Akarsana dan juga yang lainnya. Dan aku,” Raesaka mengusap mulutnya, “sudah dengar kabarnya.”Arkavi melipat bibirnya, mengangguk samar dan katanya, “Aku tahu ayahku bebas dari segala tuduhan, padaha
Dari balik kegelapan yang terhiasi kepulan asap rokok, Raesaka memperhatikan Asuji yang wajahnya meringis, tergeletak sekitar lima meter dari tempatnya duduk di lantai sepuluh gedung yang mangkrak dibangun. Angin malam yang berhembus melewati pilar-pilar besar, membawa suara gemuruh keramaian kota, mengisi setiap sudut gedung yang sepi.Dua hari yang lalu, Prisha diserang tiga orang tidak dikenal usai mengurus keperluannya di kantor LBH. Tiga orang itu juga melukai Aditya dan Nayyala yang menemaninya. Di antara yang lainnya, Prisha mengalami luka yang paling parah; perutnya ditusuk, menyebabkan bayi dalam kandungannya meninggal, sementara Aditya dan Nayyala hanya mengalami luka gores di bahu dan tangan.Setelah mendengar kabar itu dari Nayyala, Raesaka bergegas pergi ke rumah sakit. Ia berlari melalui lorong-lorong panjang beraroma obat-obatan, melewatkan Nayyala yang duduk bersandar pada bahu Aditya (dan keduanya sudah mendapatkan perawatan), agak jauh dari kamar tempat Prisha dira
“Tante pertama kali kenalan sama Ibu kamu di kelas Estetika,” kisah Arabela kala Raesaka masih di Sadajiwa. “Kita satu kelompok bikin proyek film pendek yang temanya enggak jauh dari persoalan hukum. Film itu dibuat dalam rangka ujian semester. Tante ingat, bagaimana ibu kamu selalu bersemangat mengikuti kelas Estetika, sampai akrab sama dosennya. Dia ceria dan mudah tertawa pada hal-hal sepele sekali pun, dan enggak ada yang tahu bahwa sebenarnya waktu itu dia sedang menyembunyikan depresinya.”Arabela bercerita, di masa mereka kuliah, korupsi telah mengakar di setiap lini kehidupan dan pemerintahan, dan selalu menduduki topik utama di media. Banyak pejabat koruptif yang membuat skenario palsu untuk menjebak beberapa petinggi dari kepolisian dan kejaksaan yang hendak menyeret koruptor ke pengadilan, bahkan sampai ada pejabat kejaksaan yang dituntut hukuman mati atas kejahatan yang tidak pernah dilakukannya.Itu menarik, pikir Raesaka.Raesaka menyeberangi lantai ruang tengah yang d
Raesaka membuka mata, mengakhiri mimpi tentang masa kecilnya.Sayup-sayup terdengar musik dari arah dapur. Atmosfer di dalam dan di luar rumahnya menjadi lebih familiar dan hangat semenjak ibunya di sini, seakan-akan situasinya sangat normal; tidak ada masa lalu mau pun masa depan, dan tidak ada yang perlu dicemaskan, apalagi ditakutkan. Pula, tidak ada lagi seliweran bayangan-bayangan, sosok aneh, dan juga Tia di sekitar rumahnya.Raesaka merosot dari ranjangnya, berjalan menghampiri jendela dan menyingkap tirainya sedikit. Di balik kaca yang berembun, ia melihat ibunya duduk bersimpuh di samping makam Sindukala, yang dinaungi langit kelabu kebiru-biruan. Asap-asap dupa yang dibakar, beterbangan mengelilingi tubuhnya yang terbalut baju dan kerudung panjang berwarna merah. Cukup lama ibunya berdiam diri di sana, lalu menumpahkan air dan menaburi bunga-bungaan. Hampir setiap pagi ibunya melakukan itu, sesekali di tengah malam hari. Hari-hari berikutnya, Raesaka membantu ibunya men
“Nay pikir si Rae bohong, ternyata benar, Ibu pulang,” seru Nayyala di teras depan, tertawa di antara air matanya. “Gimana kabarnya, Bu? Kita semua kangen sama Ibu.”Raesaka menengok dari balik dinding, melihat Nayyala berjalan masuk ke ruangan sambil menjinjing dua tote bag. Ia tidak datang bersama Aditya, melainkan Prisha. Mata Raesaka melebar dan jantungnya berdebar, memperhatikan Prisha yang sedang memeluk ibunya, dalam keadaan baik-baik saja. Setelah mematikan musik, Raesaka berjalan melewati ruangan televisi, menyambut kedua perempuan itu.“Kamu mau langsung berangkat?” tanya Marsala kepada Raesaka.“Oh, enggak, Bu. Masih ada waktu kok,” jawab Raesaka, mengusap matanya yang terasa kering usai tadi menangis, dan ia menjadi salah tingkah.“Kalau gitu, bisa kamu bikinin minuman buat mereka?”“Jangan, Bu,” sahut Nayyala langsung beranjak dari kursi. “Biar aku aja yang bikin. Kebetulan kita bawa banyak teh kesukaan Ibu. Ada jasmine, kembang sepatu, kembang telang, chamomile, green t
“Mars benci Mamah, dan keluarga Mamah. Sampai Tuhan pun enggak sabar ingin segera menjebloskanku ke neraka, saking bencinya aku sama Mamah,” tutur Marsala. Tatapannya lebih rileks selama memandangi ibunya; suaranya rendah dan pelan, hampir tanpa emosi, seakan-akan dirinya semacam benda kosong yang tidak berjiwa. “Perasaan ini sudah mengerak sangat lama di hati Marsala, dan inilah saatnya Mamah mendengar semuanya.”Abhinanda menelan ludah, menahan godaan menghindari tatapan Marsala, dan keinginan untuk membantah, tapi mimik wajah putri sulungnya mengintimidasinya, menuntutnya supaya menuruti keinginannya.“Sadar enggak sadar, Mamah mengecewakan Mars berkali-kali. Mamah mengambil lagi kehidupan Mars yang telah Mamah berikan dengan cara Mamah sendiri. Betapa lembutnya tutur kata Mamah setiap kali memaksakan segala kehendak Mamah, membuatku enggak berani melawan. Mamah enggak pernah bersyukur punya anak seperti aku, dan oleh sebab itu, Mamah dan Papah menaruh harapan di luar kapasitas Mar
Kicauan burung membangunkan Marsala di sore hari, dan ia membaca pesan dari Raesaka yang isinya, “Bu, malam ini Rae sedang tidak ada dinas, dan Rae mau pergi ke restoran sama Kak Prisha, jadi jaga diri Ibu baik-baik, ya. Rae tidak akan lama.”Matahari yang hampir mendekati cakrawala terbingkai oleh jendela kamarnya. Warna ungu dan kemerah-merahan merambat mewarnai langit. Marsala bangun dan duduk di sisi ranjangnya, memandangi jendela, menikmati hembusan angin yang menyentuh kulitnya. Pemandangan seperti ini selalu mengingatkannya pada suaminya dan segala hal tentang dirinya, bertumpuk bersama kenangan-kenangan. Kemudian, Marsala berdiri, menghampiri meja kerjanya.Marsala menunduk, mengamati potret-potret kecil wajah Sindukala yang ia lukis selama beberapa minggu terakhir. Tidak semua lukisannya selesai, ada yang setengah jadi, dan ada pula yang hanya berupa lukisan lingkaran mata Sindukala. Hanya ditemani bunyi nafasnya sendiri, jemari Marsala menelusuri permukaan dan sisi lukisan
Musik yang diputar Marsala memenuhi ruangan dapur, menciptakan nuansa ceria dan hangat di pagi hari.Raesaka menyendok nasi goreng kencur dan telur mata sapi di piring, memperhatikan ibunya yang mondar-mandir, menaruh beberapa makanan ringan di atas meja, dan menyeduh secangkir teh kembang sepatu untuk dirinya sendiri. Sinar matahari menembus dari jendela, menyorot sosok mungilnya. Rambut ibunya diikat sedemikian rupa, dan beberapa helai rambut turun ke bahu dan punggungnya, membuatnya terlihat lebih anggun dari biasanya, walaupun dia hanya memakai daster pendek bercorak bunga-bunga.“Hari ini kamu ada dinas, Sayang?” tanya ibunya sembari menarik kursi dan duduk di seberang Raesaka.Raesaka menelan suapan nasi gorengnya sebelum ia menggeleng dan menjawab, “Oh, Rae dinas setelah maghrib, Bu. Sayang sekali, sebenarnya Rae ingin pergi ke Niskala, mau ikut doa tujuh hari kepergian Nenek. Ibu juga akan berangkat, bukan?”Marsala menyesap teh kembang sepatunya dan menggeleng. “Ibu batal be