Bagian 8
Tas ransel telah diisi dengan perbekalan yang cukup. Ana sudah tidak sabar untuk segera keluar dari hutan. Ia melangkah dengan penuh senyuman pada Bagus yang telah menuggunya di tepi telaga. Lelaki itu tidak mengenakan baju, ia menjemur tubuhnya di bawah sinar matahari hingga sedikit terlihat berwarna kuning berkilau. Di lehernya terdapat kalung yang berhiaskan dua buah taring harimau. Pemandangan yang mampu membuat Ana sejenak lupa untuk mengedipkan mata.
“Kita jadi berangkat, kan?”
“Itu tergantung kau saja, mau tinggal di sini selamanya pun tidak masalah.”
“Is, gak mau, pokoknya antar aku pulang, aku pasti bayar kamu.”
“Bukan masalah itu. Hanya saja jika kau ragu, hutan ini tidak akan menunjukkan jalan pulang, malah akan semakin menyesatkanmu.”
“Aku mau pulang titik. Atau kalau kamu mau, kamu bisa ikut aku tinggal di kota. Aku cariin, deh, kerjaan yang cocok untuk
Bagian 9Memasuki hari ke dua perjalanan keluar hutan, Ana mulai dilanda rasa lelah yang teramat sangat. Wanita itu lebih sering digendong di punggung tegap Bagus daripada berjalan. Wajar saja, ketiadaan pengalaman memasuki hutan belantara sama sekali menjadi penyebabnya. Hingga tanpa ia sadari dirinya semakin memiliki keterikatan emosional pada lelaki yang menolongnya tanpa lelah.Menjelang malam, mereka melewati sebuah wilayah dengan suhu udara yang lebih hangat dibandingkan biasanya. Bahkan di tempat itu mereka menjumpai sisa-sisa kembang aneka warna serta kumpulan asap yang dibakar dari benda berwarna hitam. Beberapa lembar foto-foto orang yang tidak dikenal juga diletakkan secara acak di sana. Langkah Bagus terhenti ketika menyaksikan beberapa orang menyembah seorang wanita muda dengan baju berwarna merah duduk di atas batu hitam.Manusia bermata kuning dengan tatapan tajam itu, membawa Ana bersembunyi di balik batu besar. Dari balik batu itu
Bagian 10Lilitan akar pohon mulai membelit tubuh Ana. Ia tidak beranjak selama beberapa jam di dalam labirin tulang manusia dan memilih pasrah sampai Bagus datang menolong. Ia meraih pisau di kantong celananya, wanita itu berusaha memotong akar pohon yang mulai menjerat lehernya. Namun, semakin dipotong semakin erat pula akar itu mencengkeram tubuhnya.Ketika tubuhnya hampir terbenam di dalam tanah seluruhnya. Seseorang datang menolong dan menariknya dengan kuat hingga berhasil keluar dari jerat akar pohon. Bergegas wanita itu membersihkan sisa-sisa tanah yang mengotori tubuhnya. Ia sempat merasa heran dengan kedatangan seseorang yang sama sekali tidak diduganya.“Raka.” Ana memeluk tubuh itu seketika, “Akhirnya kamu datang juga.”Tanpa menjawab sama sekali, suami Ana itu memegang tubuh Ana yang masih gemetar dengan peristiwa tadi. Ia meraih leher istrinya dengan kedua tangannya. Semula Ana tidak bereaksi sama sekali
BAGIAN 11“Gus, sungai sebesar itu kita mau nyebrang pakai apa? Nggak ada perahu atau jembatan, gitu?”Langkah keduanya terhenti ketika sampai di depan sungai yang terlihat tenang.“Ini terusan sungai waktu kau hanyut dulu. Tampak tenang tapi menghanyutkan.”“Terus, kita putar arah, cari jalan lain?” sahut Ana.“Jauh. Aku tak tahu akan memakan waktu berapa lama. Kecuali kalau kau memang ingin berlama-lama denganku, di sini.”“Ya, cari cara, donk.”“Iya sedang kupikirkan.”“Cepet, jangan lama-lama. Entar lagi malam.”Sejenak Bagus berpikir untuk menggunakan akar pohon besar yang bergantungan agar bisa melompat jauh. Akan tetapi, wanita itu pasti tidak bisa melakukannya. Jarak lompatan dari daratan tempatnya berpijak dengan daratan seberang cukup luas. Jika dipaksa melompat khawatir terjatuh dan entah mahluk apa lagi yan
Bagian 12Semilir angin membuat Bagus tersadar dari tidurnya sepanjang malam. Ia menoleh ke sebelahnya. Wanita itu tidur tidak kalah lelap darinya. Jika dirinya tidak terluka parah semalam, bisa jadi hal-hal yang tak seharusnya terjadi akhirnya terjadi. Lelaki itu memperhatikan sekujur tubuhnya, bekas cakaran dan gigitan mahluk menyeramkan kemaren sudah hilang semuanya.Ia berdiri mencari pakaian yang dibuka Ana semalam, sayangnya tidak bisa lagi digunakan karena sudah robek di sana sini. Cepat Bagus mengeluarkan ujung kuku telunjuknya yang tajam. Menyayat kulit pohon tempatnya bersandar. Sayatan itu ia raut sedemikian rupa oleh jemari runcingnya, hingga akhirnya menjadi sebuah baju yang layak pakai. Pakaian yang kerap digunakannya dahulu ketika zaman belum maju seperti sekarang.Ana menggeliat bangun, dan memperhatikan gerakan lelaki di hadapannya. Wanita itu merasa takjub dengan penampilan lelaki yang baru saja ia dekati semalam. Wajahnya bersemu
Bagian 13“Mereka semakin menunjukkan ketamakannya. Apa di tanah mereka sana tidak ada hasil bumi sampai harus menjarah milik kita?” Bagus membaringkan tubuhnya yang lelah di atas ranjang sembari memijit kepalanya.“Kau pasti paham, kan? Manusia itu semakin lama semakin tidak puas dengan apa yang dimiliki, selalu merasa kekurangan,” jawab Rayau, istrinya yang ikut berbaring di sebelahnya.“Kau tahu, tadi ada seorang gadis—”“Kau ingin menikahinya?”“Aku belum selesai bicara.” Bagus menahan tubuh istrinya yang hendak meninggalkan peraduan, “Gadis itu hancur, menjadi santapan serdadu keparat itu.”“Lalu bagaimana keadaannya sekarang?”“Sudah diobati. Nyai tabib mengatakan lukanya sudah sangat parah, bisa diselamatkan atau tidak, bukan lagi kuasanya.”“Kau harus segera bertindak, jika tidak mereka akan semakin
Bagian 14Tubuh yang dahulu kekar dan gagah kini terbaring lemah tak berdaya di dalam gua yang gelap. Di dalam sebuah kolam dengan air terjun kecil yang tidak berhenti mengalir. Hampir tiga purnama terlewati tetapi jiwanya seakan terombang ambing antara ingin kembali hidup atau menyusul kepergiaan orang-orang yang dicintainya.Sang guru pun telah memasrahkan semuanya pada takdir. Bukan tidak pernah dia datang mengingatkan, tetapi sekali lagi semua sudah kehendak Yang Maha Kuasa. Hingga kedua bola mata biru itu membesar ketika melihat pergerakan air yang telah merendam tubuh polos itu selama beberapa waktu.Lelaki dengan rambut putih semua itu pergi ke luar gua. Ia melihat bulan purnama tengah berada di puncaknya. Bergegas ia kembali ke dalam, sang murid yang telah tertidur akhirnya bangun kembali. Lama lelaki yang rambutnya bertambah panjang selama masa tidurnya itu memindai keadaan di sekelilingnya.Seseorang datang memasuki gua itu dan ter
Bagian 15“Nggak mau. Aku nggak bisa. Kamu udah berjasa antar aku pulang.”“Bukan jasa besar.”“Loh, gimana nggak. Kalau nggak ada kamu udah lama aku mati di tengah hutan.”“Terserah kau saja, aku bisa melakukannya sendiri, nanti.”Keduanya melanjutkan perjalan dengan penuh kebekuan, salah satunya bahkan enggan untuk mencairkan suasana yang dingin. Di ujung jalan sana sudah mulai terasa hangatnya sinar mentari. Artinya tidak lama lagi mereka akan berpisah.“Aku punya galeri lukisan sendiri. Aku suka menggambar, nanti aku tunjukin koleksi karyaku sama kamu. Kalau kamu nggak keberatan,” ujar Ana memulai pembicaraan.“Aku tidak tertarik.”“Aku paksa!”“Caranya?”“Sekarang masih pertengahan tahun. Akhir tahun nanti aku lewat sini lagi. Aku tunggu kamu di tempat kita berpisah, atau aku susul ke dalam huta
Bagian 16Di sebuah ruangan khusus terdapat banyak kanvas kosong yang masih bersih. Tangan wanita bermata cokelat itu, begitu cekatan memoleskan round brush di salah satu kanvas yang telah diberikan sketsa. Sesekali Ana menyeka wajahnya, hingga tertinggal beberapa noda cat minyak yang menempel di kulitnya.Menjelang pembukaan pameran galeri lukisannya, ia semakin giat menggambar lukisan yang benar-benar nampak hidup di tangan dinginnya. Kali ke dua Ana membuka pameran sendiri, dan harus dibantu beberapa asisten agar semuanya tampak sempurna. Tema lukisan yang ia angkat, berasal dari legenda-legenda yang sampai di telinganya.“Hai. Aku masuk, ya.”Ketukan pintu dari seseorang membuatnya mencoret garis yang tidak perlu pada kanvas karena terkejut.“Ya masuk aja, sejak kapan juga minta izin