Share

Kelahiran

Bagian 8

"Ya, saya, Mbak!" jawab Ujang, yang langsung paham apa maksud Shinta menunjuk koper masih berada di dalam rumah Dengan sigap Ujang berbalik arah  menyambar koper itu segera. Lalu dia masukkan koper itu ke bagasi mobil. 

Shinta semakin meringis sambil mengatur pernafasan, dengan susah payah dia masuk ke dalam mobil. Dadanya mendadak sesak, deru nafasnya mulai memburu, dia berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya melalui hidung lalu menghembuskan lewat mulut. Begitu berulang kali sesuai dengan apa yang dia pelajari saat mengikuti kelas ibu hamil. Sedangkan Fatma duduk di sampingnya disertai rasa panik dan cemas juga tidak tega. Wajah Shinta yang bersih kini berubah merah dengan peluh keringat bercucuran di seluruh wajah, atau mungkin juga di seluruh tubuhnya.

"Tahan, ya, Sayang! Sebentar lagi kita akan sampai." Sebisa mungkin Fatma menenangkan Shinta. Semua orang di mobil terlihat cemas bahkan Ujang tidak henti-hentinya menoleh ke belakang. Udin si sopir berusaha tenang demi keselamatan semua orang, padahal di hatinya juga tidak tenang, beberapa kali dia mengintai keadaan Shinta melalui kaca spion.

"Ujang, kenapa Azam tidak ikut?" Disaat tegang begini Fatma masih ingat akan cucu nakalnya itu.

"Dia sudah pergi latihan, Nyonya."  Ujang ingat jika pagi tadi Azam pamit kepadanya.

"Bocah itu memang tidak bisa diandalkan," gerutu Fatma sambil mengelus perut Shinta. Dia komat kamit sibuk melafalkan sholawat dan doa-doa. Sedangkan Shinta sibuk menata hati dan pikirannya mengingat segala apa yang diucapkan oleh bidan saat menjelang kontraksi. 

"Ayo ngebut, Din! Diklakson gitu lho biar pada minggir tuh, Mereka! Kalau tetep ngeyel nggak mau menepi, tabrak saja. Nanti kita ganti rugi kalau ada kerusakan." Fatma kenapa kalau ngomong nggak difilter dulu seh? Bukannya kalau ngebut di jalan itu sangat berbahaya bagi keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan lainnya.

"Tapi ini urusannya sama nyawa orang, Nyonya," kata Ujang dengan maksud agar majikannya itu mau sedikit bersabar. Ujang juga menebak kemungkinan majikannya sedang panik jadi bicaranya ngawur.

Fatma menghembuskan nafasnya kasar. Sebenarnya dia juga ingin bersabar, tapi keadaan membuatnya tidak tenang, melunturkan rasa sabarnya.

Shinta sudah tidak mampu menyimak apalagi menimpali obrolan mereka. Yang dia rasakan hanyalah sakit luar biasa yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Punggung, pinggang, perut dan semua anggota tubuhnya terasa sakit. Bahkan dia kesulitan untuk hanya mengatur pernafasan. Sepertinya perjuangannya baru akan dimulai. 

"Ayo, Din, ngebut! Apa perlu besok ganti mobil, ya. Kayaknya mobil yang ini sudah bobrok deh, lelet banget jalannya." Udin si supir hanya geleng-geleng kepala mendengar titah majikannya yang tidak bermanfaat itu. 

"Sakiiit, Nek ... !" Shinta tanpa sadar meremas kuat tangan Fatma.

"Auwwhh ... !" Shinta yang sadar jika terlalu kuat menekan tangan nenek renta itu segera melepaskan-nya. 

"Maaf, Nek!" ucapnya disela-sela rasa sakitnya. 

"Tidak apa." Fatma kembali mengusap perut buncit Shinta yang buncit. Benar saja, sebab ada dua bayi di sana yang tengah berebut untuk keluar, agar bisa melihat gemerlapnya dunia.

"Nek, apakah nanti Shinta harus menjalani operasi seperti apa yang dianjurkan oleh dokter beberapa hari yang lalu?" Mata Shinta nampak berkaca-kaca wajahnya juga nampak menahan rasa sakit. 

"Apapun keputusan dokter nanti, kita harus menurut. Yang terpenting adalah, Kamu harus kuat berjuang demi mereka agar terlahir dengan selamat, jadi jangan terlalu dipikirkan, ya." Shinta mengangguk lemah, kontraksi di perutnya semakin sering dan dalam jangka waktu yang lebih lama dari sebelumnya.

"Akhirnya kita sampai juga di sini," kini mereka berada di rumah sakit. Fatma langsung berteriak meminta bantuan. Dengan cekatan para perawat jaga menolong mereka.  

"Maaf Nyonya, anda hanya diperbolehkan mengantar sampai di sini saja." Seorang perawat menghentikan langkah Fatma. Mau tidak mau akhirnya Fatma berhenti. Ujang tidak kalah sibuknya, meski panik dia tetap membawa koper yang berisi baju-baju bayi dan pakaian ganti untuk Shinta. 

"Tolong selamatkan cucu saya! Dokter tolong selamatkan cucu saya." Fatma mencekal seorang dokter yang hendak masuk ke dalam ruang operasi. 

"Tenanglah, Nyonya, kami akan berusaha semampu yang kami bisa," ucap dokter itu, kemudian masuk ke dalam. 

"Dokter, air ketubannya tinggal sedikit,Dok! tapi posisi bayi sungsang."

"Kita lakukan tindakan operasi," ucap dokter setelah mengecek kondisi pasien, sehingga menurutnya caesar adalah jalan terbaik. Apalagi Shinta tengah hamil anak kembar. 

Setelah segala sesuatunya siap, operasi pun dimulai. 

Dirumah sakit lain kini juga ada seorang pasien bernama Ari tengah berjuang melawan maut. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba denyut jantung pasien itu melemah dan merasakan sakit yang luar biasa. 

Ari yang tengah mengalami koma, mengalami penurunan denyut jantung. Jauh di alam bawah sadarnya, dia melihat dua anak kecil berbeda genre berlari-lari di taman ditemani oleh seorang bidadari cantik. Dengan riangnya kedua anak itu berlarian ke sana dan kemari. Ari diam di tempat menatap keceriaan yang mereka ciptakan.  Bibirnya mengembang sempurna ikut merasakan betapa bahagianya anak-anak itu bermain. Hingga dia memutuskan untuk beranjak dari tempat itu, takut kehadirannya mengganggu kebahagiaan mereka.

 "Kenapa pergi, ayo kita bermain bersama. Jangan pergi! Temani kami bermain. Kami janji, akan menjadi anak yang baik dan penurut." Kedua anak itu memegang tangan Ari, yang anak lelaki di tangan kanan dan anak perempuan di tangan kiri.  Ari menatap wajah mereka bergantian keduanya memiliki wajah yang sama. 

"Jangan pergi, ya!" Keduanya mengatakan itu berulang kali sambil menggoyangkan lengan kokoh Ari. Mimik muka sendu keduanya membuat Ari tanpa sadar mengangguk. Ari kemudian memposisikan tubuhnya sejajar dengan mereka berdua. Anak kembar itupun menghambur ke dalam pelukan Ari. 

Setelah itu, semuanya terlihat gelap kembali. Kemudian sayup-sayup dia mendengar suara. "Detak jantungnya normal kembali, Dok. Denyut nadinya juga normal kembali." 

Ari perlahan membuka matanya bersamaan dengan lahirnya kedua buah hati Shinta. Ruangan operasi itupun dipenuhi oleh tangisan kedua bayi yang baru saja lahir kedunia. 

"Hubungi keluarga Satya, dan katakan kepada mereka bahwa tuan Ari sudah bangun dari koma-nya," titah dokter yang menangani Ari. 

"Baik, Dok!" 

Fatma begitu bahagia mendengar suara tangisan bayi. Hingga tanpa sadar memeluk Ujang. "Akhirnya cucuku sudah melahirkan, Jang." Fatma berjingkrak seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah. 

"Selamat, ya, Nyonya. Anda sekarang menjadi Nenek Buyut," Ujang tidak kalah girangnya. Dia membayangkan hari-harinya akan diramaikan oleh kehadiran dua malaikat kecil. Dia harus bersiap mengeluarkan banyak tenaga ke depannya.

Di ruang kantor seseorang tengah mendapat panggilan lewat sambungan telepon bahwa saudaranya sudah sadarkan diri. Wajah tampan pemuda itu mendadak bersinar terang. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doanya. 

"Ari, kau sudah kembali. Ya, Kau memang harus kembali. Tugasmu belum selesai, tanggung jawabmu menanti kedatangan dirimu. Kau harus menebus segala dosa yang pernah Kau lakukan terhadap gadis malang itu," ucap Arya sambil memegang sebuah foto.

To be continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status