Bagian 9
Shinta meneteskan air mata kebahagiaan. Rasa sakit dan juga penderitaan yang dialaminya hilang sudah bersama tangisan kedua bayi mungil itu. Perutnya masih terasa nyeri akibat operasi yang dia jalani beberapa jam yang lalu, tidak menyurutkan niatnya untuk memberikan asi eksklusif kepada si buah hati. Meski yang keluar hanyalah cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan.
"Sayang, kamu tampan sekali." Shinta membelai lembut wajah anak laki-laki-nya yang terlihat rakus menyedot ASI. Sedangkan anak perempuannya anteng saja di dalam gendongan Fatma.
"Apakah ASI-nya sudah keluar?" Fatma masih menimang cicit perempuan-nya.
"Sudah keluar tapi sedikit sekali, Nek." Shinta masih setia menatap wajah tampan anaknya. Wajah mungil yang terlihat mirip dengan wajah kekasihnya.
"Ndak apa-apa nanti juga keluar banyak kalau dirangsang terus," nasihat Fatma yang tidak ditanggapi oleh Shinta. Fatma sering melihat Shinta seperti ini. Melamun sendiri dalam keterpurukan.
*Mas, apakah kau juga akan bahagia seperti-ku, saat melihat buah cinta kita? Atau malah sebaliknya? Bukankah kau sudah memiliki pengganti diriku? Tentu saja kau akan memiliki anak darinya. Pasti kau tidak akan tahu bahwa aku juga memiliki anak darimu. Aku hanya pemilik serpihan hati yang tidak pernah kau inginkan. Anakku, kasihan sekali dirimu kau sudah terpisah dari ayahmu sebelum dilahirkan bahkan sebelum dirinya tahu bahwa kau ada di rahim mama.*
"Apakah kau masih memikirkan pria itu," ucap Fatma mampu membuat Shinta tersentak dari lamunan.
"Iya, Nek. Ada apa?" Fatma hanya tersenyum manis melihat gelagat Shinta tersentak dari lamunan.
"Dari awal kau datang ke rumahku aku sudah katakan kepadamu. Kau boleh tinggal di rumahku asal kau bangkit dari keterpurukan dan melupakan pria itu. Dia tidak pantas mendapatkan hatimu. Masih banyak hal yang harus Kau perjuangkan. Jadi, lupakanlah dia." Fatma memang memberikan syarat itu kepada Shinta. Tepatnya, setelah Angga dan Lani pamit, Fatma mengintrogasi Shinta tentang apa yang terjadi kepada Shinta.
Setelah mendengar semua cerita Shinta, Fatma merasa kasihan. Dia pun memutuskan untuk menampung Shinta dan menganggapnya sebagai cucu. Dengan satu syarat, Shinta mau menjadi bagian dari keluarga Azhari dan mengikuti semua yang Fatma ucapkan, serta melupakan mereka yang tidak menginginkan kehadiran Shinta. Selain itu, Fatma juga merasa kesepian, sebab anak satu-satunya yaitu ibu Azam telah meninggal dunia. Sedangkan menantunya kembali ke kota bersama istri barunya.Selama lima bulan bersama, Fatma semakin terkesima akan kepribadian Shinta yang baik dan santun. Shinta juga ulet dalam bekerja, tangkas, calm dan memiliki potensi bisnis yang mumpuni. Fatma berencana untuk membantu Shinta agar menjadi wanita yang kuat dan mandiri.
"Maaf, ya, Nek!" ucap Shinta dengan mata berembun. Entah kenapa rasanya sulit sekali melupakan orang yang telah singgah di hati. Apalagi Shinta termasuk orang yang sulit jatuh cinta. Ketika sekali jatuh cinta, dirinya malah patah hati sebab penghianatan teman dan juga kekasihnya.
"Jangan meminta maaf. Nenek tahu, keadaan ini pasti sangat berat bagimu. Tapi, nenek yakin, pasti Kamu bisa. Kamu hanya butuh waktu untuk melewati ini semua. Nenek akan membantumu," kata Fatma. Dia sungguh tidak tega saat melihat Shinta terpuruk, hatinya selalu tergerak untuk membuat gadis itu bahagia.
"Terima kasih, Nek. Nenek sudah begitu banyak membantuku. Aku tidak tahu, harus membalas dengan apa." Nampak raut wajah terharu dari mimik muka Shinta.
"Kau harus membalasnya dengan kesuksesan. Setelah Kau sehat nantinya, aku akan mengubah penampilanmu yang ketinggalan zaman itu. Kau harus berubah dan menjadi wanita yang cantik dan elegan, agar tidak dipandang sebelah mata oleh pria. Buktikan jika Kau bisa membuat orang yang telah melukaimu bertekuk lutut di hadapanmu," ucap Fatma berapi-api. Telah banyak rencana yang dia susun untuk membuat Shinta berubah menjadi wanita karir.
Sedangkan di tempat lain, Arya berlari-lari di koridor rumah sakit dengan semangat untuk menengok Ari. Dia dengan tidak sabarnya ingin bertemu dengan saudara yang telah berbulan-bulan tidak sadarkan diri. Di sana juga ada papa dan mamanya, menunggu di luar ruangan.
"Bagaimana keadaannya Pa, Ma?" tanya Arya.
"Syukurlah, Dia sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat inap," ucap Abelia mamanya Arya. Anton hanya diam saja menunjukkan wajah datarnya duduk di kursi tunggu.
"Maaf, Ma! Aku tidak bisa langsung kemari tadi. Sebab ada klien penting yang sudah menungguku," terang Arya merasa tidak enak hati. Sebab Dia yang dihubungi oleh pihak rumah sakit, tapi tidak bisa langsung datang. Akhirnya dia pun menghubungi mamanya agar segera datang ke rumah sakit guna mengetahui keadaan Ari.
"Tidak apa-apa, Sayang. Mama tahu Kamu pasti sangat sibuk mengurus semuanya sendiri, maafkan kami, ya, Nak. Karna kejadian ini, kamu harus berhenti menjadi Dosen." Abel begitu menyanyangi Arya. Apapun yang diminta oleh Arya selalu dia penuhi.Sewaktu kecil, Arya selalu sakit-sakitan sehingga kedua orang tuanya begitu memanjakan Arya. Apapun yang dia minta pasti dituruti. Berbeda sekali dengan Ari yang tumbuh sehat dan kuat. Dia sering dituntut untuk sempurna, mulai dari pendidikan, prestasi, cita-cita bahkan jodohnya. Semuanya ditentukan oleh orang tua mereka.
Dari sanalah timbul ide gila Ari untuk bertukar tempat. Ari ingin menjalani hidup tanpa tekanan dari orang tua mereka. Ketika pertukaran itu terjadi, Ari dipertemukan dengan sosok Shinta. Gadis manis nan polos tapi memiliki sejuta pesona menurutnya. Berbeda dengan calon pilihan orang tuanya yang lebih mementingkan diri sendiri dan sombong.Ari memang terkesan lebih dingin daripada Arya. Tapi, entah mengapa saat bersama Shinta, dia menjadi sosok yang berbeda. Dia berubah menjadi orang yang ramah dan mudah tertawa. Bahkan keinginan untuk memiliki Shinta begitu kuat sampai dia memperdaya gadis itu agar mengandung anaknya. Ari berharap, dengan jalan seperti itu, orang tuanya akan membatalkan perjodohannya dengan Sasha, gadis yang dipilih oleh kedua orang tuanya.
Ibarat kata, manusia hanya bisa berencana dan Tuhanlah yang menentukan. Anton yang mengetahui pertukaran itu marah besar. Meski begitu, Ari tetap teguh pada pendiriannya. Ari memilih rela keluar dari rumah agar bisa tetap mempertahankan hubungannya dengan Shinta. Anton yang keras kepala juga sama, tidak mau mengalah. Anton menculik Shinta dan membuat drama seolah-olah Shinta tengah dia siksa. Ari yang begitu mencintai Shinta, tentu akan rela berbuat apapun demi menjaga keselamatan orang yang dicintainya. Dia menyanggupi permintaan orang tuanya untuk bertunangan dengan Sasha. Ari pun menemui Shinta dan mengucapkan kata putus. Tentu saja Shinta tidak terima, terlebih Shinta telah menyerahkan mahkota yang selama ini dia jaga hanya untuk membuktikan cintanya kepada Ari yang disangka sebagai Arya.Terkadang cinta memang harus berlebihan karena tidak ada logika di dalamnya. Mencintai dengan sewajarnya merupakan perkara yang sulit. Itulah yang terjadi pada Shinta saat itu, Shinta bahkan berlutut dihadapan Ari agar dia tidak diputuskan.
"Baiklah, kita tidak akan putus. Tapi, selama beberapa hari ini, jangan menghubungi diriku, sebab aku akan banyak urusan. Aku berharap kau mengerti keadaanku dan tidak manja." Ari tetap membujuk Shinta agar menjauhi dirinya. Setidaknya Ari bisa melindungi Shinta dengan perbuatannya itu.
"Tapi, aku bisa menemanimu jika rindu, kan?" tawar Shinta yang begitu merasa keberatan dengan keputusan sepihak dari Ari. Ari hanya mengangguk tanda setuju. Mereka tidak akan pernah tahu jika cerita cinta mereka baru saja dimulai.
Ari benar-benar melakukan hal tersulit dalam hidupnya. Berpisah dengan Shinta selama empat bulan. Membuat jiwa dan raganya tersiksa. Dia lebih banyak menghabiskan malam di bar dengan botol dan minuman. Meski begitu, sulit bagi dirinya untuk melupakan kenangan bersama gadis itu. Hingga suatu saat dia berinisiatif untuk datang ke apartemen Arya untuk sekedar melepas kerinduannya pada Shinta. Saat sampai di depan pintu, dia terkejut mendengar kebenaran yang dia cerna dari pertengkaran Amara dan Arya.To be continue
Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle
"Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi
Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa
Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy
Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka
Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i
Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.
Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku
Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal