Bagian 7
Suasana pagi begitu mempesona, embun basah menetes perlahan dari dedaunan, kilaunya bagai permata, indah dan menyejukkan mata. Hamparan alam tercipta begitu sempurna. Membuat Shinta enggan beranjak dari tempatnya. Dia kini berada di ujung halaman rumah. Sudah lima bulan lamanya setiap pagi, Shinta akan mematung di tempat itu untuk beberapa lama.
Membiarkan tubuhnya tertimpa sorot mentari pagi yang menghangatkan. Shinta memejamkan mata, merasakan sejuknya udara pagi dan belaian cahaya yang berwarna kekuningan merambat melalui pori-pori kulit.
"Seperti mentari yang selalu menyinari bumi meski tidak dinanti, aku akan selalu hadir di hati ini." Shinta tersentak. Dia langsung membelalakkan matanya. Sadar, jika itu hanya sebuah serpihan kecil kenangannya bersama Arya. Kenangan yang sulit sekali bagi Shinta untuk melupakan.
Bukannya Shinta tidak pernah mencoba, dia sudah mencobanya dengan cara menyibukkan diri mengembangkan usaha Fatma, tapi apa daya, setiap dia mengusap perutnya, otomatis kenangan indah itu muncul di ingatan.
"Sudah sekian lama aku berada di sini, tapi mengapa bayang wajahmu tetap menghampiri? Bagaimana kabar kamu, Mas? Kamu pasti baik-baik saja, dan bahagia bersama Amara," lirih Shinta. Tanpa dia sadari ada butiran bening di ujung mata. Suasana hatinya pasti akan berubah jika mengingat kejadian itu. "Lupakan Dia Shin, Dia bukan untukmu, Dia sudah bahagia bersama pilihannya."
Satu sisi, Shinta ingin membuang segala kenangan masa lalu, agar bisa membuat hatinya lebih kuat. Tak sedikit orang terjebak dalam kenangan pahit masa lalu yang membuat mereka terpuruk.
Kerap kali orang yang gagal move on dari kenangan buruk mengalami penyesalan yang mendalam dan sedikit trauma. Menghapus kenangan buruk di masa lalu memang bukan perkara mudah. Butuh perjuangan ekstra dan bantuan semangat dan dorongan agar mampu kembali bangkit."Apakah kau juga merindukan aku, seperti diriku yang selalu merindukanmu. Bahkan kau sudah menyakiti diriku, tetap saja, aku tidak membencimu, Mas!" Shinta mengusap lembut perutnya yang membuncit.
Dan di belahan dunia yang berbeda, Ari tetap terbaring dengan banyak alat bantu medis. Dari sudut matanya juga menetes air mata. Dia seolah merasakan apa yang diucapkan oleh Shinta. Dia ingin hidup, tapi tubuhnya tidak bisa dia gerakkan. Dari lubuk hatinya ada segumpal penyesalan yang dalam. Penyesalan akan keterlambatan dirinya dalam memahami arti cinta sebenarnya.
"Kak Shinta ... ! Kak." Shinta segera menyapu ujung matanya yang basah dengan tangan.
"Iya, Azam kenapa?" Pandai sekali Shinta memainkan peran. Semenit yang lalu, dia nampak sedih, dan sekarang bibirnya tersenyum secerah mentari yang menyinari bumi.
"Nenek menyuruh kita bersiap. Bukankah hari ini ada jadwal periksa kandungan untuk kakak?" Azam terlihat meneteskan banyak peluh, nampaknya dia habis olahraga. Penggemar Jackie Chan ini memang sudah mahir bela diri. Dia belajar sejak menginjakkan kaki kembali di rumah neneknya. Tujuannya adalah, agar bisa melindungi orang-orang yang dia sayangi.
"Baiklah, aku akan bersiap setelah memeriksa pembukuan toko dan gudang. Kita akan ke pusat kota, bukan? Jadi sekalian kita belanja buat persediaan para petani," ucap Shinta dengan semangat.
Selama Shinta berada di rumah nenek Fatma, toko nenek Fatma jadi semakin lebih berkembang. Banyak para petani yang membeli kebutuhan pokok untuk bercocok tanam. Mulai dari bibit, pupuk, obat-obatan dan lain sebagainya. Selain itu, Shinta juga mengembangkan usahanya menjadi distributor bagi petani yang ingin menjual hasil panen mereka. Shinta bahkan menggunakan media online sebagai pendukung usaha yang dia jalani.
"Terserah Kakak, lah!""Kamu, tidak ikut?"
"Mau-nya, sih! Tapi ..., aku harus ikut latihan turnamen untuk bola voli minggu depan," Azam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia juga ingin menemani Shinta periksa kandungan, namun dia juga tidak mau membuat kecewa teman-teman dan guru pembimbing-nya.
"Tidak apa-apa, Zam, aku hanya becanda, kok! Kakak tahu, ini adalah cita-cita Kamu sejak kecil. Jadi, Kamu semangat, ya! Soal menang ataupun kalah, urusan belakangan. Yang terpenting adalah usaha Kamu." Shinta tersenyum menepuk bahu Azam dengan lembut. Dan tahukah kamu? Inilah hal yang paling disukai oleh Azam yaitu dipegang oleh Shinta. Bahkan Azam begitu memuji kecantikan dan kedewasaan Shinta, sampai bercita-cita untuk memperistri Shinya suatu saat nanti.
"Azam! Lagi mikir apa seh? Senyum-senyum sendiri tidak jelas." Azam sejenak tersentak dari lamunan. Namun, sedetik kemudian dia bisa menguasai keadaan.
"Nggak ada, aku cuma pengen cepet-cepet lihat Adek Bayi, pasti dia akan tampan sepertiku." Dengan pedenya Azam menyombongkan diri. Padahal tidak ikut andil dalam membuatnya.
"Terserah kamu, deh!"
"Iyalah, terserah aku, kalau terserah orang banyak itu namanya rapat," celetuk Azam sambil nyengir kuda.
"Repot memang bicara sama orang pintar." Shinta menghembuskan nafasnya. Bingung mau jawab apa dia pun memilih pergi dari hadapan Azam.
"Jangan ngambek nanti cantiknya hilang, lho ... !" teriak Azam. Shinta hanya mengangkat tangannya melambai.
Waktu telah berlalu, kini Shinta sudah berada di ruang kerja. Dia memeriksa beberapa pembukuan dan agenda. Dia menulis beberapa nama barang yang akan dia beli."Mbak, ini kopinya." Ujang datang dengan secangkir kopi di tangannya.
"Terima kasih, Kang." Menghentikan aktivitasnya sejenak, sebagai bentuk apresiasi penghormatan untuk Ujang.
"Mbak Shinta, adakah sesuatu yang Mbak inginkan lagi? Camilan misalnya?" tanya Ujang dengan sopan. Shinta tersenyum manis.
"Tidak ada, Kang! Kalaupun ingin, aku akan memanggil Kang Ujang nanti," kata Shinta tanpa melepas senyuman dari wajah cantiknya.
"Silahkan diminum, Mbak." Shinta mengambil kopi di atas meja, lalu menyesapnya perlahan. Dia mengecap beberapa kali, matanya melirik Ujang yang menatapnya.
"Seperti biasa, rasanya pas dan emmh nikmat." Ujang mengembangkan bibirnya setelah mendapat pujian dari sang majikan. Dia belum puas jika majikannya diam saja tanpa memberikan komentar akan hasil kerja kerasnya. Ujang juga tipe orang yang memiliki sifat lapang dada, mau menerima masukan atau komplain dari orang lain.
"Saya pamit ke belakang, ya, Mbak." Diangguki oleh Shinta.
Waktu semakin berlalu, Shinta bersiap pergi ke rumah sakit. Beberapa kali dia memegang perutnya yang kadang terasa mulas dan kadang juga hilang.
"Nak, apakah sudah siap?" Fatma masuk ke dalam kamar Shinta.
"Apakah kau merasakan adanya kontraksi?" Heran Fatma melirik koper kecil yang dipersiapkan oleh Shinta.
"Iya, Nek! Tapi belum terlalu sering. Kadang datang, dan kadang hilang. Ini rasanya datang lagi Nek." Shinta duduk di tepi ranjang sambil memegangi perutnya yang kembali mengalami kontraksi.
"Aku akan menyuruh Ujang menyiapkan mobil. Kita harus segera pergi." Fatma segera melesat dari sana dan menemui Ujang.
Shinta merasa perutnya tidak sakit lagi, segera dia gunakan untuk menyeret kopernya keluar. Dan ketika sampai di depan pintu, rasa sakit itu datang lagi. Dia menyandarkan tubuhnya pada daun pintu di sampingnya.
"Nenek ... !"
"Kamu ... ! Kamu ... ! Ujang, lebih cepat sudah waktunya," teriak Fatma membuat Ujang kalang kabut.
"Mbak, ayo! Aku bantu," ucap Ujang dia segera menarik lengan Shinta dan memapahnya.
"Auwwhh ... !"
"Ujaaaang!"
To be continue ...Bagian 8"Ya, saya, Mbak!" jawab Ujang, yang langsung paham apa maksud Shinta menunjuk koper masih berada di dalam rumah Dengan sigap Ujang berbalik arah menyambar koper itu segera. Lalu dia masukkan koper itu ke bagasi mobil.Shinta semakin meringis sambil mengatur pernafasan, dengan susah payah dia masuk ke dalam mobil. Dadanya mendadak sesak, deru nafasnya mulai memburu, dia berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya melalui hidung lalu menghembuskan lewat mulut. Begitu berulang kali sesuai dengan apa yang dia pelajari saat mengikuti kelas ibu hamil. Sedangkan Fatma duduk di sampingnya disertai rasa panik dan cemas juga tidak tega. Wajah Shinta yang bersih kini berubah merah dengan peluh keringat bercucuran di seluruh wajah, atau mungkin juga di seluruh tubuhnya."Tahan, ya, Sayang! Sebentar lagi kita akan sampai." Sebisa mungkin Fatma menenangkan Shinta. Semua orang di mobil terlihat cemas bahkan Ujang tidak henti-hentinya menoleh ke belakang. Udin s
Bagian 9Shinta meneteskan air mata kebahagiaan. Rasa sakit dan juga penderitaan yang dialaminya hilang sudah bersama tangisan kedua bayi mungil itu. Perutnya masih terasa nyeri akibat operasi yang dia jalani beberapa jam yang lalu, tidak menyurutkan niatnya untuk memberikan asi eksklusif kepada si buah hati. Meski yang keluar hanyalah cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan."Sayang, kamu tampan sekali." Shinta membelai lembut wajah anak laki-laki-nya yang terlihat rakus menyedot ASI. Sedangkan anak perempuannya anteng saja di dalam gendongan Fatma."Apakah ASI-nya sudah keluar?" Fatma masih menimang cicit perempuan-nya."Sudah keluar tapi sedikit sekali, Nek." Shinta masih setia menatap wajah tampan anaknya. Wajah mungil yang terlihat mirip dengan wajah kekasihnya."Ndak apa-apa nanti juga keluar banyak kalau dirangsang terus," nasihat Fatma yang tidak ditanggapi oleh Shinta. Fatma sering melihat Shinta seperti ini. Melamu
Bagian 10."Hai, malaikat kecil yang tampan yang manis. Lihatlah, papa bawa apa untuk kalian." Azam datang dengan menenteng kresek berisi buah-buahan di tangan kiri. Dan finger puppet yang memenuhi jari di tangan kanannya. Diletakkan kresek itu di meja dekat Shinta berbaring. Setelah itu, Azam langsung menggoda bayi kecil di pangkuan neneknya."Hai, Sayang! Pasti Kau sangat merindukan papa, ya!," ucap Azam lebih semangat dari sebelumnya. Dia menggerakkan jarinya yang dipenuhi oleh finger puppet."Belajar yang giat, Papa! Papa! Ndasmu gundul kui. Kalau mau jadi papa harus lulus ujian nilai paling unggul setelah itu kuliah dan kerja keras, agar jadi orang yang sukses, baru jadi papa." Azam seketika nyengir kuda sambil mengusap kepalanya yang kena tampol dari sang nenek."Ini kan sudah giat belajar, Nek. Belajar jadi orang tua. Jadi, kalau nanti ada yang butuh seorang suami yang tampan dan menawan seperti Azam, Azam siap sepenuh jiwa dan raga." Sombong
Bagian 11Seperti kata pepatah "Anak adalah pembawa rezeki" dan kita juga tidak akan pernah menyangka datangnya darimana. Hari ini terbukti saat rumah tiba-tiba ramai dengan puluhan warga membuat Nenek Fatma melongo sendiri. Bagaimana tidak coba? Segala jenis buah-buahan segar, kue, dan beberapa camilan kering. Tersedia dengan sendirinya tanpa Nenek Fatma perintah apalagi minta. Pantang, ya, bagi orang kaya minta-minta. Semua terjajar rapi di atas karpet tebal juga ucapan "SELAMAT DATANG SI KEMBAR" menggantung sempurna di dinding."Nek, siapa yang membuat ini semua?" Shinta masih tidak percaya jika akan mendapatkan sambutan semeriah ini."Para warga tadi yang bawa, mereka sengaja mengadakan syukuran untuk kelahiran si kembar," terang Mirna sambil tersenyum tulus. Mirna pun meletakkan bayi Shinta ke dalam box."Box, ini bukannya belum ada, ya? Kenapa sekarang sudah ada di sini? Dan kenapa warnanya berubah?" Shinta menunjuk dua box bayi ya
Bagian 12"Hai, perempuan tidak tahu diri," bariton suara itu membuat Jamilah menjatuhkan gorengan yang hampir saja mendarat di mulutnya."Kalau Kau hanya ingin membuat masalah dan menggosip lebih baik cepat pergi dari sini! atau, aku akan berbuat hal yang kurang baik terhadap dirimu." Mata elang Udin memindai tubuh Jamilah. Mata itu bagaikan busur beracun yang siap membidikkan anak panahnya kapan saja."Maaf! Maaf saya tidak ber_." Mendadak Jamilah yang super jago bersilat lidah itu kehabisan stok kata-kata. Dia mundur ke belakang hingga mencapai motor yang tadi sempat dia tinggalkan. Sedangkan mata elang Udin semakin melebar. Membuat Jamilah gugup dan gemetar, bahkan dia kesulitan mencari kunci motornya. Dengan gugup dia meraba saku tapi tidak ada. Ternyata masih menempel di tempatnya."Cepat pergi atau_." Belum selesai Udin berucap, Jamilah segera kabur bersama motornya. Para ibu-ibu yang tadi melihat menahan tawa yang hampir saja meledak, untung mer
Bagian 13Delapan bulan telah berlalu.Saat itu, setelah luka bekas jahitannya mengering, Shinta mulai beraktivitas kembali membantu pembukuan toko. Shinta menemukan banyak kejanggalan tentang pendapatan dan pengeluaran. Sebab memang Nenek Fatma kurang memperhatikan hal yang seperti itu. Nenek Fatma hanya tahunya berjualan hingga barang habis, baru dia akan membeli lagi. Sehingga para pelanggan yang tidak mendapatkan barang dari toko Nenek Fatma, mereka langsung pindah ke toko lainnya untuk mendapatkan barang yang mereka perlukan. Alhasil, banyak pelanggan yang pindah sebab kecewa.Meski Shinta sudah membenahinya sewaktu hamil, tapi sepertinya tidak ada yang meneruskannya lagi di saat Shinta libur dua bulan untuk pemulihan tubuhnya. Sehingga toko terbengkalai lagi.Shinta lalu membuat pembukuan toko, mencatat semua pengeluaran juga pemasukan, sehingga barang-barang persediaan di dalam toko tetap stabil. Shinta gigih berjuang agar
Bagian 14"Bagaimana dengan stok bahan baku kita? Apakah masih bisa mencapai target?" Seorang pria mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari-jarinya. Ada tiga orang tengah duduk di hadapannya. Dua jam yang lalu dia mendapat laporan dari kepala bagian produksi bahwa beberapa hari terakhir bahan baku tersendat sebab pengiriman bahan baku terkendala cuaca selain itu, hasil panen di beberapa tempat yang mengalami kegagalan karna faktor alam."Persediaan barang di gudang sudah menipis Pak. Dan supplier kita bilang jika pengiriman bahan masih membutuhkan waktu lima sampai satu minggu lagi." Seorang pria berkemeja putih itu menyampaikan informasi."Harga barang lagi bagus-bagusnya, dan permintaan konsumen meningkat Pak! Tapi kita kekurangan stok bahan baku.""Saya meminta kalian berkumpul di sini untuk mencari solusi, bukan hanya untuk membuat kepalaku semakin pusing." Gertak Adi selaku pemimpin utama di pabrik. Dia tidak menyangka akan mengalami kendal
Bagian 15Senyum terpancar jelas dari bibir Shinta. Dengan diantar oleh Udin, dia datang ke tempat yang telah diberitahukan oleh Budi. Sebuah kantor yang tidak terlalu besar, namun begitu bersih dan rapi. Halamannya di hiasi oleh taman yang begitu sedap dipandang."Masih seperti 10 tahun yang lalu," ucap Shinta tanpa sadar. Dia ingat jika dia dan teman-temannya pernah mengunjungi pabrik ini bersama guru saat masih sekolah. Industri makanan ringan ini terkenal akan cita rasa yang enak dan nikmat selain itu, pabrik ini juga lebih mengutamakan kebersihannya."Apa kau pernah kemari?""Iya, aku dan teman-teman satu kelas. Kami di beri peci bergambar logo pabrik itu," Shinta menunjuk logo yang terpampang begitu jelas di sana. "Tapi sepertinya logo itu telah berubah," ucap Shinta kemudian. Dia menunjuk sebuah bangunan yang berada di dalam pagar, yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berdiri. Seorang satpam tampak duduk santai di dalam gerbang.&nb