Share

Kontraksi

Penulis: Nafi Thook
last update Terakhir Diperbarui: 2021-05-03 09:16:11

Bagian 7

Suasana pagi begitu mempesona, embun basah menetes perlahan dari dedaunan, kilaunya bagai permata, indah dan menyejukkan mata. Hamparan alam tercipta begitu sempurna. Membuat Shinta enggan beranjak dari tempatnya. Dia kini berada di ujung halaman rumah. Sudah lima bulan lamanya setiap pagi, Shinta akan mematung di tempat itu untuk beberapa lama.

 Membiarkan tubuhnya tertimpa sorot mentari pagi yang menghangatkan. Shinta memejamkan mata, merasakan sejuknya udara pagi dan belaian cahaya yang berwarna kekuningan merambat melalui pori-pori kulit.

"Seperti mentari yang selalu menyinari bumi meski tidak dinanti, aku akan selalu hadir di hati ini." Shinta tersentak. Dia langsung membelalakkan matanya. Sadar, jika itu hanya sebuah serpihan kecil kenangannya bersama Arya. Kenangan yang sulit sekali bagi Shinta untuk melupakan.

Bukannya Shinta tidak pernah mencoba, dia sudah mencobanya dengan cara menyibukkan diri mengembangkan usaha Fatma, tapi apa daya, setiap dia mengusap perutnya, otomatis kenangan indah itu muncul di ingatan.

"Sudah sekian lama aku berada di sini, tapi mengapa bayang wajahmu tetap menghampiri? Bagaimana kabar kamu, Mas? Kamu pasti baik-baik saja, dan bahagia bersama Amara," lirih Shinta. Tanpa dia sadari ada butiran bening di ujung mata. Suasana hatinya pasti akan berubah jika mengingat kejadian itu. "Lupakan Dia Shin, Dia bukan untukmu, Dia sudah bahagia bersama pilihannya."

Satu sisi, Shinta ingin membuang segala kenangan masa lalu, agar bisa membuat hatinya lebih kuat. Tak sedikit orang terjebak dalam kenangan pahit masa lalu yang membuat mereka terpuruk. 

Kerap kali orang yang gagal move on dari kenangan buruk mengalami penyesalan yang mendalam dan sedikit trauma. Menghapus kenangan buruk di masa lalu memang bukan perkara mudah. Butuh perjuangan ekstra dan bantuan semangat dan dorongan agar mampu kembali bangkit.

"Apakah kau juga merindukan aku, seperti diriku yang selalu merindukanmu. Bahkan kau sudah menyakiti diriku, tetap saja, aku tidak membencimu, Mas!" Shinta mengusap lembut perutnya yang membuncit. 

Dan di belahan dunia yang berbeda, Ari tetap terbaring dengan banyak alat bantu medis. Dari sudut matanya juga menetes air mata. Dia seolah merasakan apa yang diucapkan oleh Shinta. Dia ingin hidup, tapi tubuhnya tidak bisa dia gerakkan. Dari lubuk hatinya ada segumpal penyesalan yang dalam. Penyesalan akan keterlambatan dirinya dalam memahami arti cinta sebenarnya. 

"Kak Shinta ... ! Kak." Shinta segera menyapu ujung matanya yang basah dengan tangan. 

"Iya, Azam kenapa?" Pandai sekali Shinta memainkan peran. Semenit yang lalu, dia nampak sedih, dan sekarang bibirnya tersenyum secerah mentari yang menyinari bumi. 

"Nenek menyuruh kita bersiap. Bukankah hari ini ada jadwal periksa kandungan untuk kakak?" Azam terlihat meneteskan banyak peluh, nampaknya dia habis olahraga. Penggemar Jackie Chan ini memang sudah mahir bela diri. Dia belajar sejak menginjakkan kaki kembali di rumah neneknya. Tujuannya adalah, agar bisa melindungi orang-orang yang dia sayangi. 

"Baiklah, aku akan bersiap setelah memeriksa pembukuan toko dan gudang. Kita akan ke pusat kota, bukan? Jadi sekalian kita belanja buat persediaan para petani," ucap Shinta dengan semangat. 

Selama Shinta berada di rumah nenek Fatma, toko nenek Fatma jadi semakin lebih berkembang. Banyak para petani yang membeli kebutuhan pokok untuk bercocok tanam. Mulai dari bibit, pupuk, obat-obatan dan lain sebagainya. Selain itu, Shinta juga mengembangkan usahanya menjadi distributor bagi petani yang ingin menjual hasil panen mereka. Shinta bahkan menggunakan media online sebagai pendukung usaha yang dia jalani. 

"Terserah Kakak, lah!" 

"Kamu, tidak ikut?" 

"Mau-nya, sih! Tapi ..., aku harus ikut latihan turnamen untuk bola voli minggu depan," Azam menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia juga ingin menemani Shinta periksa kandungan, namun dia juga tidak mau membuat kecewa teman-teman dan guru pembimbing-nya.

"Tidak apa-apa, Zam, aku hanya becanda, kok! Kakak tahu, ini adalah cita-cita Kamu sejak kecil. Jadi, Kamu semangat, ya! Soal menang ataupun kalah, urusan belakangan. Yang terpenting adalah usaha Kamu." Shinta tersenyum menepuk bahu Azam dengan lembut. Dan tahukah kamu? Inilah hal yang paling disukai oleh Azam yaitu dipegang oleh Shinta.  Bahkan Azam begitu memuji kecantikan dan kedewasaan Shinta, sampai bercita-cita untuk memperistri Shinya suatu saat nanti. 

"Azam! Lagi mikir apa seh? Senyum-senyum sendiri tidak jelas." Azam sejenak tersentak dari lamunan. Namun, sedetik kemudian dia bisa menguasai keadaan.

"Nggak ada, aku cuma pengen cepet-cepet lihat Adek Bayi, pasti dia akan tampan sepertiku." Dengan pedenya Azam menyombongkan diri. Padahal tidak ikut andil dalam membuatnya.

"Terserah kamu, deh!" 

"Iyalah, terserah aku, kalau terserah orang banyak itu namanya rapat," celetuk Azam sambil nyengir kuda.

"Repot memang bicara sama orang pintar." Shinta menghembuskan nafasnya. Bingung mau jawab apa dia pun memilih pergi dari hadapan Azam. 

"Jangan ngambek nanti cantiknya hilang, lho ... !" teriak Azam. Shinta hanya mengangkat tangannya melambai. 

Waktu telah berlalu, kini Shinta sudah berada di ruang kerja. Dia memeriksa beberapa pembukuan dan agenda. Dia menulis beberapa nama barang yang akan dia beli. 

"Mbak, ini kopinya." Ujang datang dengan secangkir kopi di tangannya.

"Terima kasih, Kang." Menghentikan aktivitasnya sejenak, sebagai bentuk apresiasi penghormatan untuk Ujang. 

"Mbak Shinta, adakah sesuatu yang Mbak inginkan lagi? Camilan misalnya?" tanya Ujang dengan sopan. Shinta tersenyum manis.

"Tidak ada, Kang! Kalaupun ingin, aku akan memanggil Kang Ujang nanti," kata Shinta tanpa melepas senyuman dari wajah cantiknya. 

"Silahkan diminum, Mbak." Shinta mengambil kopi di atas meja, lalu menyesapnya perlahan. Dia mengecap beberapa kali, matanya melirik Ujang yang menatapnya. 

"Seperti biasa, rasanya pas dan emmh nikmat." Ujang mengembangkan bibirnya setelah mendapat pujian dari sang majikan. Dia belum puas jika majikannya diam saja tanpa memberikan komentar akan hasil kerja kerasnya. Ujang juga tipe orang yang memiliki sifat lapang dada, mau menerima masukan atau komplain dari orang lain. 

"Saya pamit ke belakang, ya, Mbak." Diangguki oleh Shinta. 

Waktu semakin berlalu, Shinta bersiap pergi ke rumah sakit. Beberapa kali dia memegang perutnya yang kadang terasa mulas dan kadang juga hilang. 

"Nak, apakah sudah siap?" Fatma masuk ke dalam kamar Shinta. 

"Apakah kau merasakan adanya kontraksi?"  Heran Fatma melirik koper kecil yang dipersiapkan oleh Shinta. 

"Iya, Nek! Tapi belum terlalu sering. Kadang datang, dan kadang hilang. Ini rasanya datang lagi Nek." Shinta duduk di tepi ranjang sambil memegangi perutnya yang kembali mengalami kontraksi.

"Aku akan menyuruh Ujang menyiapkan mobil. Kita harus segera pergi." Fatma segera melesat dari sana dan menemui Ujang.

Shinta merasa perutnya tidak sakit lagi, segera dia gunakan untuk menyeret kopernya keluar. Dan ketika sampai di depan pintu, rasa sakit itu datang lagi. Dia menyandarkan tubuhnya pada daun pintu di sampingnya. 

"Nenek ... !" 

"Kamu ... ! Kamu ... ! Ujang, lebih cepat sudah waktunya," teriak Fatma membuat Ujang kalang kabut.

"Mbak, ayo! Aku bantu," ucap Ujang dia segera menarik lengan Shinta dan memapahnya. 

"Auwwhh ... !" 

"Ujaaaang!"

To be continue ...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Serpihan Hati   Berdebat

    Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle

  • Serpihan Hati   Rumah baru

    "Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi

  • Serpihan Hati   Berani kau

    Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa

  • Serpihan Hati   Aku bisa benci

    Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy

  • Serpihan Hati   Siapa kau

    Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka

  • Serpihan Hati   Bukti

    Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i

  • Serpihan Hati   Apa maumu

    Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.

  • Serpihan Hati   Bagian 52

    Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku

  • Serpihan Hati   Kenapa?

    Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status