Aku bangun lebih semangat dari pada biasanya. Seperti menemukan hidup baru, ada harapan yang tak bisa diungkapkan dengan lisan.Pagi ini, akan dimulai masuk kelas kulinerku. Sebuah kegiatan yang pasti amat menyenangkan. Selama ini, yang membuatku merasa hidup adalah wajan dan peralatan dapur lainnya.Pertama dalam hidupku, aku kembali memiliki semangat. Semangat untuk hidup lebih lama, harapan untuk mewujudkan mimpiku menjadi seorang koki, sekaligus sebagai istri satu-satunya Adit.Seperti biasa, Adit akan memaksakan memakai dasinya yang tak pernah rapi. Dia pun tak meminta tolong padaku. Berulang kali dia mencoba, hasilnya tetap sama, dasi itu terlihat tidak pas. Aku menghalau perasaan gugup, kudekati dia yang berada persis di depan cermin besar di kamar kami. Tak mungkin aku membiarkannya dengan dasi yang berantakan."Perlu bantuan?" tanyaku kemudian.Adit mengangguk dan aku mendekat. Dia mendongak agar tanganku bisa leluasa, bisa kulihat jakunnya yang menonjol begitu jelas, mengha
"Seseorang mencarimu, Dit." Nandita, teman sekantor datang ke kubikel-ku. Nandita yang memang memiliki pembawaan agak ketus. Kami tak begitu dekat, namun kami juga tak pernah berselisih. Aku tipe orang yang menghindari permusuhan. "Siapa?""Aku tidak tahu, saat ditanya, dia hanya diam tak menjawab siapa namanya. Dia hanya mengatakan, bahwa dia mencari Adit. Lebih baik kau temui saja, dia berada di luar ruangan ini. Tepatnya, di tangga manual. Dia sudah lama berada di sana, sudah menjadi perhatian orang yang lewat, makanya aku tanya, karena dia terlihat aneh sekali. "Nandita pergi, meninggalkanku yang dilanda keheranan. Orang aneh mencariku? Mungkin salah orang, atau Adit yang lain, bukan aku.Tanpa pikir panjang, kulangkahkan kakiku ke luar ruangan. Ruangan kantorku berada di lantai dua, setelah lorong yang tak begitu panjang, kita akan menemukan tangga penghubung lantai satu dan dua.Tak biasa-biasanya seseorang mencariku dan menunggu di luar. Biasanya yang berkepentingan, pasti t
Aku menilai pria yang lebih dulu sampai di tempat kami janjian bertemu. Dia selalu tampil sempurna, sangat pintar memadu padankan warna busananya. Wajahnya yang bersih, dengan kacamata berbingkai itu, membuat dia terlihat amat terpelajar dan berkelas."Maaf, saya terlambat," ucapku sambil menarik kursi di depan chef Budi. Dia tersenyum sekilas, menilai diriku dari atas sampai bawah. Aku bukan orang yang perfeksionis dalam berbusana, akan tetapi tetap mengedepankan kerapian, kalau berlomba dengan Chef Budi, tentu saja aku akan kalah. Pria itu, dari atas sampai ke bawah memakai pakaian bermerek, tentu saja sesuai dengan isi kantongnya, karena yang kutahu, gaji seorang chef cukup besar, apalagi jika bekerja di hotel bintang lima dan ditambah dengan punya usaha sendiri. Sedangkan aku hanya pegawai biasa yang bekerja di bagian keuangan dengan gaji di bawah sepuluh juta. Membeli baju kaos dengan harga satu juta, jelas saja buang-buang duit. Belum lagi rumah yang harus dicicil setiap bulan.
Mata tegas itu, menatap langit-langit kamar di atas kami. Bulu matanya bergerak, bulu mata lebat dan agak lentik itu, sungguh menarik perhatianku dan membuatku enggan untuk mengalihkan pandangan darinya. Ah, aku memang telah menyadari, bahwa Adit punya ketampanan yang tak diragukan. Dia pria matang yang amat mempesona, bahkan tanpa berniat banyak, dia mampu menarik perhatianku.Adit menjadikan lengannya sebagai bantal. Lengan berotot tapi tak berlebihan, lengan yang menjanjikan kekuatan untuk bersandar. Juga, seakan memanggilku untuk meringkuk memeluknya, aku tahu betul, betapa hangat dan nyamannya dekapan Adit, menghirup aroma maskulin dari tubuhnya sambil memejamkan mata pasti amat menyenangkan. Ah, sayangnya, tak ada keberanian sebesar itu padaku. Aku hanya bisa berkhayal dan membayangkan saja, tanpa berani bergerak lebih dulu. Aku tipe pasif, yang hanya bersifat menunggu. Menunggu keberuntungan, mana tahu dia berinisiatif memelukku lebih dulu. Ah, hayalanku."Dia pria yang tampan
Aku memandang punggung Adit yang menjauh. Pria yang semalam telah merayuku hingga kami hampir melakukan ritual suami istri itu, berangkat bekerja pagi-pagi sekali.Aku ingat, kami hampir saja melakukannya. Sayangnya, kenangan buruk menyadarkanku, aku menolaknya dengan keras, sehingga Adit cuma bisa pasrah menahan semua gejolak birahinya yang telah memuncak. Tidak, bukan aku tak mencintainya, akan tetapi bagiku, cinta tak harus melakukan hubungan suami istri, bukan? Jika Adit mencintaiku, pasti dia takkan memaksakan kehendaknya padaku. Seperti kata Pujangga November, cinta itu untuk memberikan kebahagiaan sebanyak-banyaknya. Hubungan badan hanya akan membuatku semakin mengingat kenangan buruk dan seharusnya Adit tak perlu meminta itu.Tunggu! Cinta, tak pernah Adit mengatakan padaku bagaimana perasaannya. Sangat dangkal pikiranku, mengartikan semua perlakuan manisnya sebagai cinta. Adit perhatian, benar. Tapi dia sama sekali tidak mengatakan cinta atau perasaannya padaku. Aku tersenyu
"Apa ini?" tanyaku mengangkat benda yang baru saja kutemukan. Entah dorongan dari mana, aku membuka laci meletakkan jam tanganku, malah menemukan benda tak biasa di sana. Wajah Yumi pucat pasi, dia mendekat dan berusaha merebut benda itu dari tanganku. Semakin dia ingin merebut, semakin tinggi rasa penasaranku. Sejujurnya benda itu belum kubuka untuk mengetahui apa isinya. Namun, wajah pucat Yumi seakan mengatakan sesuatu. Yumi terlihat cemas dan panik. Gelagatnya semakin membuatku penasaran."Berikan itu padaku, Adit!" serunya marah. Dia terlihat emosi karena aku terus saja mengelak sehingga benda itu tak berhasil didapatkannya. Setiap Yumi berjinjit, aku menghindar dan mengangkat benda itu lebih tinggi."Aku ingin tahu apa isinya." "Berikan benda itu padaku!" Dia membentak."Kenapa kau begitu takut? Apa ini amat berbahaya jika aku mengetahui isinya?" Kulihat amplop berbunga itu. Darahku langsung mendidih saat siapa pengirimnya. Ya Tuhan, inikah yang membuat Yumi panik? Selingkuha
Aku mengutuk diriku sendiri, yang tak mampu mencegah gerakan tangan Adit yang tengah mengemasi pakaiannya. Ingin rasanya berteriak untuk mencegahnya, namun suara seakan tersangkut di tenggorokan. Tidak, Adit tidak boleh pergi. Hatiku menjerit, namun mulut sialan ini malah tak mampu kugerakkan. Kami baru saja memiliki kemajuan, jika dia pergi, akan jadi apa diriku tanpa dia."Jaga dirimu!"Jantungku seakan terlepas dari rongga dada. Ucapan terakhir yang berhasil membuat duniaku runtuh seketika. Aku bahkan tak memiliki kekuatan mengejarnya dan menghalangi semua langkahnya. Tidak, bukan begini seharusnya. Kami hidup di masa sekarang, Adit tak perlu tahu perihal masa lalu, aku hanya tak ingin Adit mengetahui masa laluku terlalu banyak.Baru, setelah deru mobilnya terdengar, kurasakan tubuhku lunglai, merasa tak memiliki tulang. Aku memang pengecut dan bodoh, menyia-nyiakan beberapa detik kesempatan untuk mencegahnya.Tubuhku merosot ke lantai. Sedetik, dua detik ... Hanya sepi dan senyap.
Sebenarnya, aku mendengar suara percakapan di lantai bawah, yang awalnya didahului dengan suara deru mobil. Akan tetapi, sama sekali kutak tertarik untuk melihat tamu itu. Setelah aksi penamparan yang dilakukan Yumi, aku tak ingin berjumpa dengan semua orang. Suasana hatiku amat buruk.Aku merasa kegerahan, beberapa saat setelah minum obat demam. Walaupun malam terasa dingin, tak menyurutkan niatku untuk mandi. Bagaimanapun, tidur dalam keadaan berkeringat sangat tidak nyaman.Alangkah terkejutnya aku, saat melihat siapa yang tengah berdiri terpaku di depan sana. Wanita yang menatap dengan tatapan yang sulit kupahami. Dia bahkan kesusahan menelan air ludahnya sendiri. Kueratkan simpul handuk, saat kutangkap matanya mengarah ke sana. Oh, Yumi. Hatiku tak sedang dalam suasana ingin bermesraan.Sadar dengan situasi asing di antara kami. Aku mengendurkan wajah yang tegang. Masih terasa sakit di hati, saat mengingat bagaimana Yumi melayangkan tamparan padaku, hanya demi merebut sebuah sura