Punya istri cantik dan seksi tapi tak bisa disentuh? Itulah yang dialami Adit. Tak bisa diukisakan bagaimana cantiknya sang istri. Dia handal dalam mengerjakan semua pekerjaan rumah, memasak, bersih-bersih dan mengurus keuangan keluarga. Apakah Adit bisa bertahan saat sang istri tak ubahnya seperti pajangan?
View More"Aku lagi datang bulan," tolaknya lagi. Kulepaskan nafas berat. Setahun menikah, dia selalu punya tiga alasan untuk menolak. Sakit perut, datang bulan atau capek.
Malangnya, punya istri cantik seperti artis tak bisa untuk disentuh. Sebentar lagi aku pasti lupa fungsiku sebagai laki-laki.
Aku adalah laki-laki yang menjaga diri dengan baik. Orangtuaku selalu mengajarkan norma dalam pergaulan. Tak pernah pacaran apalagi berkencan.
Sebelum menikah, aku hanya menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu.
Kutatap lagi punggung yang membelakangiku itu.
"Malam ini, genap setahun kita menikah."
Wanita itu berbalik, menatapku datar.
"Aku tau."
"Dan sekali pun, kau tak pernah melayaniku."
"Aku sudah kemukakan alasannya, Mas." Dia duduk, aku juga duduk.
"Haid sepanjang waktu, sakit perut terus menerus, bahkan mengeluh capek padahal kamu tak mengerjakan apa pun."
"Jangan mulai lagi, aku tak mau bertengkar."
Kucekal lengannya. Menatapnya tajam.
"Apa yang sebenarnya terjadi, aku butuh kau berterus terang."
"Sudah kukatakan aku datang bulan."
"Aku ingin melihat sendiri, apa benar kau datang bulan atau tidak."
"Jangan macam-macam, Mas."
Dia mulai melawan.
"Apa kurangku, Ayumi?"
Wanita itu tak menjawab, dia masih menatapku datar. Bibirnya terkatup rapat. Selama ini aku cukup sabar menghadapinya.
"Jawab aku!"
"Aku ingin pindah kamar saja!" ketusnya. Dia bangkit dan meninggalkanku tanpa peduli.
Dia tak pernah memberi alasan pasti. Dia melakukan pekerjaan rumah layaknya istri lainnya. Memasak, mencuci, bersih-bersih dan bersolek. Kecuali satu, menunaikan kewajiban sebagai istri.
Haruskah aku menceraikannya?
***
"Aku pulang agak terlambat hari ini," kataku sambil menyelesaikan sarapan pagi.
"Kenapa?" tanya Ayumi, yang biasa kupanggil Yumi itu.
"Berhubung akhir bulan, ada rapat penting setelah bekerja."
"Oh," sahutnya. Dia meminum tehnya dengan dagu yang mendongak. Lehernya yang putih terpampang jelas menggoda iman, sayang seribu kali sayang. Aku hanya mampu menghela nafas kasar.
"Mas!"
"Ya?"
"Ada temanku datang dari Jakarta, boleh dia menginap di sini?"
"Laki-laki apa perempuan?"
"Ya perempuan, masa laki-laki."
"Berapa malam?"
"Setidaknya sampai dia mendapatkan tempat kos."
Aku berfikir sejenak, Yumi memang sering mengeluhkan bosan ketika berada di rumah. Dia tak begitu suka bergaul dengan tetangga. Dari pada bergaul dengan tetangga, dia memilih menghabiskan waktunya untuk nonton drakor.
Aku berangkat bekerja setelah Yumi mencium tanganku. Hanya tangan, tak ada yang lain, kalau dapat yang lain alangkah bahagianya aku. Entahlah, entah sampai kapan aku memiliki kesabaran akan tingkah polah Yumi. Dia patuh, tak banyak bicara, tak ada cacatnya kecuali selalu menolakku saat mengajaknya bermesraan.
Memang, belum ada cinta di antara kami. Kami bagaikan orang asing yang tinggal seatap. Hanya bertegur sapa seperlunya saja. Tapi sejauh ini kami baik-baik saja, dia menantu yang baik, kami tak pernah bertengkar kecuali setalah menjurus ke tempat tidur.
Aku bekerja di sebuah perusahaan keuangan milik swasta. Gajiku cukup untuk mencukupi hidup kami. Rumah yang kami tempati pun, statusnya sudah milik sendiri. Sayangnya, penghuninya belum menjadi milikku.
"Menikah saja, tambah istri satu lagi!" Begitu saran Yudi setiap aku bercerita, dia teman dekat yang masih ada hubungan saudara. Bersama dia, rahasia dijamin aman.
"Tak semudah itu, Yud"
"Lah? Kita ini laki-laki, pemilik keputusan."
"Aku ingin tau alasannya yang sebenarnya dulu."
"Kalau dia tak mau memberi tahu, bagaimana?"
Aku terdiam. Tak tau apa jawabannya.
***
Aku pulang jam delapan malam. Mendapati sepasang sepatu di depan pintu rumah. Aku tau betul itu bukan milik Yumi. Pasti temannya telah datang.Pintu tak dikunci, malah agak renggang sedikit. Yumi memang ceroboh.
Akan tetapi, baru saja aku melangkahkan kaki dengan pelan, suara aneh dari kamar tamu membuat langkahku terhenti.
***
Suara itu, berhenti tepat saat aku berada di depan kamar tamu. Mungkinkah mereka mendengar langkah kakiku?
Klik! Pintu terbuka, menampakkan wajah Yumi yang terkejut. Buru-buru dia menormalkan raut wajahnya. Di balik bahunya, muncul seorang gadis muda yang ukuran tubuhnya lebih pendek dan lebih kecil dari Yumi.
"Kapan Mas datang?" tanya dia sambil merapikan rambutnya. Aku juga melihat bibirnya yang bengkak. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Baru saja, kau tak mengunci pintu, jadi aku langsung masuk." Kutatap gadis yang berada di belakang Yumi, dia tersenyum ramah sambil mengangguk. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya.
"Oh, ya. Ini temanku, Laura." Yumi menyingkir, Laura keluar sambil menyodorkan tangannya padaku, kutatap gadis itu, wajahnya imut dan cantik. Yumi cantik juga tapi agak tegas.
"Saya Laura."
Aku hanya menjabat tangannya sekilas. Lalu berjalan ke ruang tamu, aku tau pasti, Yumi dan Laura mengikutiku ke ruang tamu. Tak ada percakapan berarti, aku tak tertarik mengenal Laura. Pikiranku masih menebak-nebak apa yang baru saja terjadi di antara mereka.
***
"Sejak kapan kalian bersahabat?" tanyaku pada Yumi, kami sudah berada di tempat tidur. Sedangkan Laura telah masuk kembali ke kamar tamu. Malam ini Yumi memakai gaun tanpa lengan yang membuat pikiranku kacau, bagaimana bisa ada kulit semulus dan seputih itu? Dia harus bersyukur terlahir cantik.
"Sudah lama, sejak SMA."
"Aku tak melihat dia hadir saat pesta pernikahan kita."
"Saat itu dia kuliah di luar negri."
Yumi menatap lurus ke arah cermin yang berada di dinding kamar. Selalu seperti ini, dia tak pernah menatapku lama saat kami berbicara, seolah begitu enggan dan malas.
"Saat baru masuk tadi, aku mendengar suara aneh dari kamar tamu, ada apa?" Kutatap tajam Yumi yang langsung menatap cepat padaku. Raut terkejut, akan tetapi dia merubah kembali raut wajahnya menjadi datar.
"Suara?"
"Ya," sahutku, aku tak bisa mencerna jenis suara itu, walaupun aku sudah berumur tiga puluh tahun, aku masih suci dan polos, belum terjamah wanita mana pun. Bagiku, itu adalah suara yang tak biasa.
"Laura mengeluh tubuhnya capek, aku hanya membantu memijitnya." Yumi mengalihkan padangan lagi.
"Kalau aku yang mengeluh capek, apa kau akan memijitku juga?"
"Apa?" Yumi menatapku tak percaya.
"Kau mau memijit Laura."
"Dia temanku," balasnya sengit.
"Aku suamimu. Ayo pijit!" Aku langsung menelungkupkan tubuhku. Mengerjai Yumi sesekali tak ada salahnya, bukan?
"Jangan konyol, Mas!" Suaranya mulai meninggi.
"Atau aku saja yang memijitmu."
"Aku tidak mau!" Dia bangkit kembali, selalu begitu, jika berdebat dia selalu kabur dan pindah kamar. Malam ini kamar tamu sudah terisi dan aku takkan membiarkan mereka berdua. Firasatku mengatakan, ada hal ganjil yang terjadi.
"Eits! Mau ke mana? Ke kamar Laura?" Kucekal tangannya. Menariknya agak keras, Yumi terpaksa duduk kembali di atas ranjang. Wajahnya kesal, aku tak peduli.
"Yumi, kita mungkin selalu memberi jarak sehingga kita tak pernah dekat. Hanya satu penghancur jarak di antara kita ...." Kudekati dia, dia menghindar.
"Tapi sebelum itu, aku mau bertanya, kenapa bibir kalian sama-sama bengkak?"
Rujuk, dengan cara nikah kembali karena Yumi telah melewati masa Iddah. Rasanya seperti penganten baru lagi, sayangnya Yumi masih sama, tak menampakkan ekspresi berlebihan. Dia terlihat lebih tenang, dibanding aku yang gelisah.Para tetangga dan keluarga sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal aku dan Yumi yang sibuk membereskan sisa makan malam yang dihadiri oleh beberapa orang itu. Makan malam sekaligus doa selamatan atas rujuknya kami.Setelah pekerjaan selesai, Yumi duduk di sofa di sampingku, bersandar ke sisi sofa. Keringat mengalir di lehernya, sedangkan tanganku gatal ingin mengusapnya. Tanpa bisa kutahan, jemariku mendarat di sana, sementara Yumi terkesiap dan menjauh, pipinya merona."Maaf, aku hanya mengusap keringatmu," kataku, kurasakan tenggorokanku kering. Adegan ini, serasa menegangkan bagi kami.Yumi buru-buru mengambil tisu di depannya, lalu mengusap leher jenjangnya. Semua itu tak lepas dari pengamatanku. Wanita ini sungguh cantik."Melelahkan juga."Y
POV AditAku berulangkali ke kamar mandi menyelesaikan segala hajat yang menganggu itu. Perutku sangat mulas, sudah dari dua jam yang lalu, bolak-balik ke kamar mandi."Apa yang aku makan?"Aku bergumam sendiri, mengingat apa saja yang telah masuk ke dalam perutku.Ya, nasi bakar acar. Aku sempat memakannya. Apakah karena irisan cabe rawit dan nenas muda itu?"Sial!"Aku kembali kabur ke toilet. Beberapa menit lalu keluar lagi. Rasanya sangat menyebalkan.Aku butuh teh pahit, teh yang amat pekat untuk meredakan semua gangguan perutku. Hanya Yumi yang bisa membuatnya, karena dia sendiri yang menunjukkan resep obat itu padaku.Mencoba mengabaikan rasa mulas yang kembali mendera, kubuka pintu hotel. Mengetuk pintu kamar Yumi. Tak lama setelah itu, Yumi muncul. Rambut pendeknya diikat satu, sebagian lepas dari ikatannya dan membingkai cantik wajahnya."Yumi ... Toilet ...."Aku menorobos masuk ke dalam kamar Yumi, membuka pintu yang kuyakin adalah toilet. Setelah semua isi perut itu kelu
POV Adit Katakan saja aku tolol. Ketidak berdayaan Yumi menolak tawaranku begitu membuat hatiku bahagia. Wanita yang muncul dengan dress biru muda di bawah lutut itu, tengah berjalan menuju mobilku, setelah kulihat dia pamit pada Ibunya.Dia cantik, amat cantik, walaupun langkahnya belum cepat, kakinya sudah hampir sempurna. Dia semakin mempesona dengan sikapnya yang terlihat percaya diri.Kubuka pintu mobil untuknya, bahkan semasa kami menikah, sama sekali tak pernah kulakukan itu. Kami terbiasa mengurus diri masing-masing tanpa melibatkan pasangan. Lagi pula, Yumi bikan tipe wanita manja yang butuh bantuan. Dia bisa segalanya, dan jarang meminta tolong."Maaf, aku agak terlambat," katanya mencari posisi duduk yang pas. Sama sekali tak menatapku, khas Yumi yang cuek. Kuhirup aroma wangi lembut yang memenuhi Indra penciumanku. Wangi yang sama, yang kuhapal selama dua tahun terakhir."Mungkin aku yang datang terlalu cepat."Aku berusaha menyenangkan hatinya, seolah-olah ini adalah kes
POV YumiBulan ke tiga, semua terasa begitu menakjubkan. Kakiku sudah bisa dipijakkan pasca pembukaan pen satu bulan yang lalu. Walaupun belum bisa digunakan secara utuh, namun dia sudah mulai tampak normal layaknya sebelum kecelakaan itu terjadi. Banyak hal yang kusyukuri, setelah sempat putus asa dan ingin mati, lalu diberi kesempatan mati, malah aku berpikir ingin hidup. Tuhan akhirnya memberi kesempatan untuk hidup, bahkan untuk sembuh dan kembali seperti sedia kala.Selama di sini, banyak hal yang kupelajari. Aku belajar dari apa yang kulihat, yang kudengar dan yang kurasakan.Aku lebih mencintai diri sendiri dari pada sebelumnya. Seperti kata Mamak, aku harus mengizinkan diriku untuk bahagia."Selamat sore, Yumi."Aku menoleh, Dokter Frans, yang selama ini menanganiku di rumah sakit, datang ke apartemen yang kami sewa. Begitu mendadak, bahkan tanpa memberi kabar terlebih dulu.Kata Ibu, kami berasal dari kampung yang sama. Ibunya Frans dan Ibuku adalah teman saat SMA dulu. Fran
POV Adit "Bagaimana keadaannya?" tanya Mutia padaku, kami tengah makan siang bersama di kantin kantor. Mutia tahu persis masalahku dengan Yumi. Dia juga selalu memberiku semangat dan nasehat."Dia baik, sudah kembali ke rumah. Aku yang menemani orang tuanya menjemputnya ke sana. Walaupun sempat terjadi drama dan perdebatan, akhirnya Yumi menurut juga.""Kau sendiri?""Maksudmu?""Ya, kau sendiri bagaimana? Apa kau baik? Bukankah bertemu dengan Yumi adalah impianmu, sekarang dia sudah ditemukan. Lalu apa langkah selanjutnya?"Aku terpaku, apa langkah selanjutnya, aku pun tak tahu. Aku senang Yumi kembali, tapi aku tak bisa memastikan perasaanku padanya, setelah kulihat dia berubah ... Secara fisik."Masih mau rujuk?"Mutia tetap saja menyodorkan pertanyaan padaku, aku malah kehilangan selera makan."Artinya kau tak serius mencintainya." Mutia meletakkan sendoknya. Nasi yang dimakannya sudah tandas dalam waktu cepat. Aku tahu, Mutia memang belum menikah, tapi dia memiliki pemikiran yan
POV Yumi"Makanlah!" Aku mengangguk. Ya, sehari berselang, Adit membawa ke dua orangtuaku ke tempat Mamak. Tak berdaya, aku terpaksa ikut dengan kedua orang tuaku, saat melihat Ibu pingsan ketika aku menolak keras. Jangan lupakan, ayah yang menatapku dengan penuh permohonan.Akhirnya, Mamak dan Pak Mukhsin, membujukku untuk lebih mematuhi orangtua. Aku tak berdaya, bahkan untuk melarikan diri dan menjauh dari semua orang.Di sinilah aku sekarang, di rumah yang selalu sepi. Entah kapan canda tawa terdengar di sini, aku tidak ingat. Banyak hal yang tidak kuingat. Ya, atau mungkin aku terlalu sibuk dengan diriku yang berlubang sengsara."Jangan terus menatapku, Bu. Aku merasa rendah diri, karena tak lagi memiliki wajah cantik." Aku menatap mangkuk yang berisi bubur jagung. Makanan kesukaanku, yang tak kuingat, kapan terakhir kali dia membuatkan untukku. Kenapa dengan keadaan begini, Ibu malah bersikap perhatian."Kenapa? Kau anakku, apa pun keadaanmu, kau tetap anakku. Menemukanmu dalam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments