POV Adit Katakan saja aku tolol. Ketidak berdayaan Yumi menolak tawaranku begitu membuat hatiku bahagia. Wanita yang muncul dengan dress biru muda di bawah lutut itu, tengah berjalan menuju mobilku, setelah kulihat dia pamit pada Ibunya.Dia cantik, amat cantik, walaupun langkahnya belum cepat, kakinya sudah hampir sempurna. Dia semakin mempesona dengan sikapnya yang terlihat percaya diri.Kubuka pintu mobil untuknya, bahkan semasa kami menikah, sama sekali tak pernah kulakukan itu. Kami terbiasa mengurus diri masing-masing tanpa melibatkan pasangan. Lagi pula, Yumi bikan tipe wanita manja yang butuh bantuan. Dia bisa segalanya, dan jarang meminta tolong."Maaf, aku agak terlambat," katanya mencari posisi duduk yang pas. Sama sekali tak menatapku, khas Yumi yang cuek. Kuhirup aroma wangi lembut yang memenuhi Indra penciumanku. Wangi yang sama, yang kuhapal selama dua tahun terakhir."Mungkin aku yang datang terlalu cepat."Aku berusaha menyenangkan hatinya, seolah-olah ini adalah kes
POV AditAku berulangkali ke kamar mandi menyelesaikan segala hajat yang menganggu itu. Perutku sangat mulas, sudah dari dua jam yang lalu, bolak-balik ke kamar mandi."Apa yang aku makan?"Aku bergumam sendiri, mengingat apa saja yang telah masuk ke dalam perutku.Ya, nasi bakar acar. Aku sempat memakannya. Apakah karena irisan cabe rawit dan nenas muda itu?"Sial!"Aku kembali kabur ke toilet. Beberapa menit lalu keluar lagi. Rasanya sangat menyebalkan.Aku butuh teh pahit, teh yang amat pekat untuk meredakan semua gangguan perutku. Hanya Yumi yang bisa membuatnya, karena dia sendiri yang menunjukkan resep obat itu padaku.Mencoba mengabaikan rasa mulas yang kembali mendera, kubuka pintu hotel. Mengetuk pintu kamar Yumi. Tak lama setelah itu, Yumi muncul. Rambut pendeknya diikat satu, sebagian lepas dari ikatannya dan membingkai cantik wajahnya."Yumi ... Toilet ...."Aku menorobos masuk ke dalam kamar Yumi, membuka pintu yang kuyakin adalah toilet. Setelah semua isi perut itu kelu
Rujuk, dengan cara nikah kembali karena Yumi telah melewati masa Iddah. Rasanya seperti penganten baru lagi, sayangnya Yumi masih sama, tak menampakkan ekspresi berlebihan. Dia terlihat lebih tenang, dibanding aku yang gelisah.Para tetangga dan keluarga sudah kembali ke rumah mereka masing-masing. Tinggal aku dan Yumi yang sibuk membereskan sisa makan malam yang dihadiri oleh beberapa orang itu. Makan malam sekaligus doa selamatan atas rujuknya kami.Setelah pekerjaan selesai, Yumi duduk di sofa di sampingku, bersandar ke sisi sofa. Keringat mengalir di lehernya, sedangkan tanganku gatal ingin mengusapnya. Tanpa bisa kutahan, jemariku mendarat di sana, sementara Yumi terkesiap dan menjauh, pipinya merona."Maaf, aku hanya mengusap keringatmu," kataku, kurasakan tenggorokanku kering. Adegan ini, serasa menegangkan bagi kami.Yumi buru-buru mengambil tisu di depannya, lalu mengusap leher jenjangnya. Semua itu tak lepas dari pengamatanku. Wanita ini sungguh cantik."Melelahkan juga."Y
"Aku lagi datang bulan," tolaknya lagi. Kulepaskan nafas berat. Setahun menikah, dia selalu punya tiga alasan untuk menolak. Sakit perut, datang bulan atau capek.Malangnya, punya istri cantik seperti artis tak bisa untuk disentuh. Sebentar lagi aku pasti lupa fungsiku sebagai laki-laki.Aku adalah laki-laki yang menjaga diri dengan baik. Orangtuaku selalu mengajarkan norma dalam pergaulan. Tak pernah pacaran apalagi berkencan.Sebelum menikah, aku hanya menghabiskan waktu untuk menuntut ilmu.Kutatap lagi punggung yang membelakangiku itu."Malam ini, genap setahun kita menikah."Wanita itu berbalik, menatapku datar."Aku tau.""Dan sekali pun, kau tak pernah melayaniku.""Aku sudah kemukakan alasannya, Mas." Dia duduk, aku juga duduk."Haid sepanjang waktu, sakit perut terus menerus, bahkan mengeluh capek padahal kamu tak mengerjakan apa pun.""Jangan mulai lagi, aku tak mau bertengkar."Kucek
"Kenapa bibirmu bengkak?"Wajah Yumi menegang, dia berusaha untuk menguasai dirinya agar terlihat tenang. Matanya menatapku tanpa kedip."Bukan apa-apa," sahutnya. Dia mengalihkan perhatian pada dinding di sampingnya.Aku menatapnya, tak ada kurangnya wanita ini, wajah cantik luar biasa. Wajah oval dengan hidung yang mancung, alisnya terbentuk rapi secara alami. Bibirnya kecil tapi padat, kulitnya halus dan memiliki tinggi ideal serta lekukan yang sempurna. Sayang, tak sedikit pun aku tahu, sehalus apa kulit putih itu."Yumi, kau ingat bagaimana kita menikah? Kita dijodohkan, karena orangtua kita merasa kita cocok. Aku yakin kau wanita yang baik, dan aku menjamin bahwa diriku adalah suami yang bertanggung jawab. Akan tetapi, sudah setahun lamanya, kau tetap menjaga jarak dan batas padaku, kau hanya melakukan tugas rumah layaknya wanita pada umumnya. Akan tetapi, suami tak hanya butuh itu, Yumi."Yumi tak berkutik, dia bahkan tampak tak terpengaruh
Aku tersenyum menang, saat Laura menatapku tanpa kedip tapi mengisyaratkan rasa terluka. Ya, tak enak memang, dikhianati kekasih sendiri. Kekasih yang membuatku geli dan perutku mendadak mual. Bagiamana dua wanita yang memiliki kecantikan di atas rata-rata itu saling tertarik? Pantas saja Yumi kebal dengan pesonaku. Walaupun aku tak seganteng artis Korea, di kantor aku cukup populer."Apa ... Apa yang kalian lakukan?" Suara Laura bergetar."Kira-kira apa yang dilakukan orang yang telah menikah? Aku rasa kau cukup cerdas, dan tak perlu kuberi tahu."Laura terlihat meremas tali tas kecilnya, seiring dengan Yumi yang muncul di hadapan kami.Aku bangkit, membantu Yumi meletakkan gelas. Bahkan dengan sengaja merangkul pinggangnya di depan mata Laura. Tak kupedulikan tatapan protes Yumi, menjadi pihak ke-tiga dari pasangan aneh, ternyata seru juga."Tak usah, aku mendadak kenyang." Laura berkata dingin, mendorong kembali piring yang diberikan Yumi.
POV AyumiLima belas tahun yang lalu"Wah, inikah cewek yang dibilang sama Tiger, masih ingusan ternyata, gue pikir udah SMA, ternyata roknya masih dongker."Salah seorang dari mereka yang mengeroyokku, menilaiku dengan tatapan kurang ajar. Aku tahu, sebentar lagi akan menemukan bahaya. Akan tetapi aku tetap mencoba tegar berdiri di atas kakiku sendiri dan tak menampakkan rasa takut."Menjauhlah! Aku mau lewat." Kukayuh sepedaku kembali menyusuri jalan sepi yang di kiri dan kanannya adalah lahan kosong. Jarak rumah dan sekolah lebih dekat jika ditempuh dengan jalur ini.Mereka anak SMA sebelah, biasa mangkal di sini. Akan tetapi, selama mereka tidak menganggu. Namun, saat pria beringas yang baru saja datang itu, mereka malah ikut-ikutan jahat."Tak semudah itu Nona Manis," sahut pria asing yang masih memakai seragam SMA itu, dia tak pernah kulihat, akan tetapi melihat gelagatnya, kuyakin dia anak yang bandel."Tak apa, rok masih
Aku tak mampu meraba ke mana arah kalimat Yumi barusan, dia melepaskan cekalan tangannya. Menatapku dengan pandangan tak bisa kujelaskan, ada rasa putus asa di sana.Andaikan Ayumi adalah wanita yang terbuka, akan tetapi dia bagaikan teka teki yang rumit. Aku bahkan hanya menemukan kebingungan setiap mencerna setiap sikapnya."Aku harus pergi, aku bisa terlambat," kataku pada Yumi. Yumi bahkan tak mengedipkan matanya, akan tetapi mata indah itu terlihat mengembun. Sejak malam pertama kami, Yumi berubah menjadi sosok yang amat rapuh."Aku pergi, jika Laura datang, usir dia! Aku mengharamkan rumahku diinjak olehnya. Kau mengerti?"Yumi tak menjawab, tangannya menghapus air mata yang mulai menetes."Kenapa kau menangis?" Kuhela napasku, segala tingkah Yumi tak pernah kumengerti."Aku tak memiliki alasan untuk tertawa, Mas. Pergilah! Hati-hati di jalan."Dia berbalik. Berjalan lurus menuju kamar kami."Apa kau ingin dib