"Hei, ada apa denganmu? Aku tak akan berbuat jahat padamu! Sadarlah!"Kurasakan goncangan hebat di bahuku, membuat kepalaku pusing. Bahkan punggungku membentur pintu kayu di belakangku. Aku tengah berusaha menyelamatkan diri di tengah gelagat mengancam chef Budi."Jangan sentuh!" Aku mendesis. Kusentak kasar tangan Chef Budi, sehingga pegangannya terlepas. Perasaan ini, pernah kurasakan dulu. Aku rindu dekapan Adit yang selalu ada untuk menenangkanku, rindu akan kalimat penghibur, yang mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. "Kenapa ada di sini?" tanyaku lagi. "Kenapa ada di sini? Ini rumahku, Putri. Aku bebas keluar masuk ke mana pun aku suka." Budi tersenyum namun keningnya berkerut, sebuah ekspresi yang sangat tak kusukai. Dia terkesan berbeda dari awal kami berjumpa.Aku melihat kilatan aneh di mata Chef Budi. Dengan perlahan, aku mundur kembali, meraih gagang pintu yang sialnya masih dikunci."Kau mau ke mana, Putri? Ini sudah malam.""Jangan mendekat!""Oke, aku takkan ber
Tenang, berulang kali aku menghipnotis diriku sendiri. Agar bisa tenang. Tak ada penyelamat saat ini, selain Tuhan dan perlawananku sendiri. Selama ini aku bertingkah tak berdaya, sehingga semua orang bisa menindasku dengan seenaknya. Aku bahkan terlalu cepat percaya pada orang lain, termasuk pada chef Budi yang kukira memiliki sifat seperti malaikat.Aku menyembunyikan pisau kecil itu di balik karet rokku. Bahkan ketika langkah kaki makin mendekat, jantungku semakin berdetak tak karuan. Bertahan atau mati menggemaskan. Aku memilih bertahan dan melawan. Jika salah satu di antara mereka menyentuhku, aku akan menikam dadanya. "Tenang!" Aku kembali mengatakan itu pada diriku sendiri. Membangun rasa berani yang selama ini tak pernah muncul di jiwaku.Bunyi pintu yang dibuka kuncinya, serta wajah ramah chef Budi, muncul di ambang pintu. Kali ini dia berpenampilan amat rapi, toxedo hitam dan rambut yang mengkilat oleh gel."Hai, Putri. Selamat pagi, sudah menghabiskan sarapanmu?" Matanya m
Setelah berperang dengan diri sendiri selama beberapa hari, aku kalah. Sekuat hati aku meyakinkan diri, bahwa Yumi bukan urusanku lagi. Akan tetapi, sejak kepergiannya, aku merasakan kehampaan yang luar biasa. Tidur tak nyenyak, makan tak enak.Akhirnya kuputuskan untuk menuntaskan rasa penasaranku.Di sini aku sekarang, mengabaikan harga diri dengan mendatangi resto milik chef Budi. Hanya dia satu-satunya kenalan Yumi, selain anggota keluarga. Firasatku mengatakan, bahwa Yumi tengah bersamanya.Setelah memesan makanan, yang sesungguhnya membuatku tak berselera, aku belum juga melihat pria itu, yang biasanya akan berlalu lalang menyapa tamu dengan ramah. "Permisi, maaf? Chef Budi ada? Saya ingin bertemu." Tak tahan menunggu ketidak pastian, aku bangkit menuju meja kasir, sekalian membayar tagihan makanan yang baru saja aku makan. Pria itu tampak agak bersantai, karena sebenarnya, jam makan siang telah lewat beberapa jam yang lalu."Maaf, Anda siapa, Pak?""Saya temannya. Nomornya tak
POV Adit ***"Mas, saus-nya aku pisah agar ayam krispi-nya tidak lembek.""Bagus, kuharap dia tahan sampai jam makan siang.""Semoga, sebelum memasukkan ke dalam kotak bekal, aku sudah memastikan bahwa ayam krispi-nya tidak dalam keadaan panas.""Dit? Kau melamun?"Aku tersentak, saat Mutia menyapaku. Ya, ingatan akan Yumi berputar begitu saja, saat aku memandang ayam krispi buatan Mutia."Aku teringat Yumi, ayam krispi-mu membuatku teringat pada Yumi." Aku tersenyum. Senyum pahit, sudah tiga bulan berlalu, sampai saat ini tak ada jejak sama sekali. Dan perkiraan Yumi sudah meninggal, berputar begitu saja di kepalaku."Sabar, Dit. Sabar," ucap Mutia memegang tanganku, menatapku prihatin."Menurutmu, apa dia masih hidup?" tanyaku pada Mutia. Hanya Mutia satu-satunya yang kuberi tahu. Karena, hanya dia yang kuyakini bisa dipercaya."Selagi tak menemukan jasadnya, besar kemungkinan dia masih hidup.""Tapi di mana dia?" tanyaku putus asa. Padahal, Mutia takkan pernah tahu di mana Yumi be
POV Yumi"Rambutmu, dipotong, Yumi?" tanya Mamak dengan dahi berkerut. Iya, aku memotong rambutku sendiri. Menghilangkan identitas semula. Rambut yang sering dipuji oleh Adit, hanya tinggal sebahu saja. Apa gunanya mempertahankan kelebihan yang kumiliki di masa lalu, semua kenangan yang tertinggal di sana, sudah tak berguna."Sayang sekali, padahal rambutmu indah.""Tidak apa-apa, Mamak. Dia akan tumbuh kembali. Lagi pula, sudah lama saya tak merasakan rambut pendek begini."Mamak menatapku, dengan pandangan penuh kasih. Aku bisa melihat perhatian yang begitu besar terpancar di matanya. Dia mengaduk kembali makanan yang tengah di masak di atas tungku itu."Tukang pijat akan ke sini hari ini." Mamak meniup api yang mulai meredup di tungku. Asap yang keluar dari kayu bakar, sempat membuatnya terbatuk beberapa kali."Buat apa, Mamak?""Memijit kakimu, tulang yang tidak lurus bekas patah itu, masih bisa diobati. Mamak rasa, jangan sampai kau cacat, kau masih muda, Nak."Aku melirik kakiku
POV Adit "Turun dulu! Mobil musti didorong," kataku pada empat orang penumpang yang berada di mobilku. Pantas saja menejer bersikeras menyuruhku mengantar mereka, setelah melewati jalan tol, kami bertemu dengan jalan aspal kasar yang memiliki panjang kira-kira tiga kilo. Setelah itu, jalan tanah yang cukup lebar, bisa dilalui kendaraan roda empat, tapi banyak lubang."Turun? Yaaaah, masa kami dandan cantik-cantik musti turun?"protes Jesika, anggota marketing yang hanya kukenal sekilas. Aku tak suka dengan wanita centil."Mobil masuk lubang.""Yusman, ayo dorong! Kamu kan laki," kata Jesika."Masa aku dorong sendiri?""Masa kami para cewek yang bantu dorong?" Jesika tak mau kalah.Aku gerah dengan perdebatan itu. Sedangkan, Mutia dan Yusuf telah pergi dengan motor lebih dulu. Kupastikan mereka pasti sudah sampai. Motor besar Yusuf sangat cocok untuk Medan seperti ini.Alangkah bahagianya Mutia. Senyumnya sangat lebar saat ditawari Yusuf. Sedangkan aku hanya geleng-geleng kepala."Jes,
POV Adit Apakah ini termasuk tidak sopan? Ketika sang penghuni rumah pergi, aku malah berkeliaran di rumah mereka, naik ke lantai dua tanpa izin terlebih dulu. Ini bukan diriku, aku orang yang beretika dan penuh sopan santun, akan tetapi kali ini aku ingin melanggarnya. Melawan akal sehat karena hatiku sangat penasaran, siapa yang dipanggil dengan nama yang sama dengan nama mantan istriku itu.Hanya aku yang tinggal di sini. Semuanya mungkin tengah asik berpesta memanen buah durian, apalagi Mutia yang sangat menyukai buah itu. Wanita itu, jika sudah dihadapkan dengan makanan, maka akan lupa segala-galanya.Berhasil, kakiku menjejak ke lantai papan di lantai dua itu. Hanya ruangan sederhana yang memiliki satu kamar, dengan pintu kamar tertutup rapat. Ada jendela kecil yang menghadap ke matahari sore. Angin sore bertiup ke dalam, menghadirkan sensasi menyenangkan.Dinding rumah ini sama-sama terbuat dari papan, cukup bersih dan rapi. Ada kasur tipis dan bantal kecil di atas lantai, ser
POV Adit Wanita itu enggan melihatku. Tongkatnya telah disandarkan ke dinding, sedangkan dia duduk dengan posisi satu kaki ditekuk. Aku kembali melihat salah satu kakinya yang cacat. Kaki jenjang dulu, tak ada lagi.Yumi menariknya, seakan ingin menyembunyikannya dari pandanganku. Entah mengapa, aku belum terbiasa dengan wajah Yumi yang baru. Ada perasaan asing menelusup di hatiku, setiap menatap wajahnya. Dia bukan Yumi yang dulu. Dia tak lagi ... Cantik.Aku berusaha mengenyahkan perasaan tak nyaman itu. Tapi, tetap saja tak bisa kuhindari.Kami hampir dua tahun hidup bersama. Berbagi banyak hal. Namun, saat ini kami seperti kehabisan kata-kata. Aku sendiri merasakan amat canggung di depan Yumi."Ayo pulang!" Entah ajakan keberapa, yang jelas sejak beberapa menit yang lalu, Yumi masih berkelit dan menolak."Aku tidak mau."Aku menghela napas kasar. Dari dulu, Yumi memang keras kepala."Apa kau tak pernah berpikir dari sisi orang lain, Yumi? Bagaimana perasaan orang lain padamu?"