Tong... Tong... Tong...
Suara yang berasal dari kentongan bambu para warga yang berpatroli, mengejutkan Tari. Dan seketika itu juga, para dedemit yang tadinya memenuhi area pemakaman itu lenyap tanpa jejak, entah ke mana perginya mereka.
"Woii, Berhenti!!"
Detak jantungnya bergetar hebat, tubuhnya pun basah karena keringat dingin. "Apa aku ketahuan?" Pikirnya. Teriakan warga itu benar-benar membuat tubuhnya seperti terkena serangan jantung mendadak.
Tanpa pikir panjang, Tari lansung menyambar ranselnya yang tergeletak di tanah. Dengan langkah seribu, dia berlari untuk mencari tempat persembunyian yang aman. Kedua kakinya terus menerobos masuk tanpa memperdulikan cabang berkayu yang mungkin saja bisa melukai kulitnya, dedaunan serta ranting kering yang berserak di tanah pun ikut berbunyi karena terinjak mengikuti langkahnya. Hingga akhirnya dia bisa bernafas lega setelah dia sampai di ujung semak belukar, pinggiran jalan setapak.
"H
Seorang pria muda yang mengenakan jaket hijau, memberikan sebuah buket mawar merah yang berukuran cukup besar pada bagas. "Ini ada paket untuk Ibu Andira." Ucapnya."Buket. Dari siapa?" Tanya Bagas dingin. Padahal seingatnya, dirinya tidak memesan sebuah buket untuk istrinya, apa lagi buket itu buket mawar merah."Maaf Mas, saya hanya bertugas untuk mengantar pesanan saja. Kalau untuk siapa yang mengirim, mungkin Mas bisa menghubungi pihak dari toko bunganya langsung." Ucap pria itu dengan senyum ramahnya. "Maaf, ini dengan Mas siapa yang menerima?" Tanyanya kemudian."Saya SUAMINYA!" Ucapnya dengan menekan kata suami secara jelas.Blamm.Setelah menerima buket bunga itu, Bagas langsung menutup pintu rumahnya dengan keras. Dia menatap sinis bunga yang berada di genggamannya, tanpa sengaja ekor matanya menemukan sesuatu yang terselip di antara bunga-bunga itu dan ternyata itu adalah selembar kertas memo."Indahnya bunga, tak
Selama di perjalan, Andira menatap Bagas dari balik punggungnya. Dia merasa ada sesuatu yang sedang menggangu pikiran suaminya hingga membuatnya diam selama perjalanan ke kantor seperti ini. Saat sarapan pun dia tidak banyak bicara, terlebih saat tadi ia menanyakan perihal buket mawar yang tergeletak di tong sampah, sikap Bagas menunjukkan kekesalan. Dia sangat ingat betul bagaimana sikap Bagas waktu itu. *** "Eh sayang lihatlah, siapa yang tega membuang buket seindah itu?" Tunjuk Andira pada buket mawar yang tergeletak di tong sampah. "Padahal, bunganya masih terlihat segar kan sayang?" Serunya lagi. "Bunga itu jelek! Nanti akan aku belikan bunga yang sangat indah untukmu." Hardik Bagas dingin. Andira mengernyit bingung, padahal dia hanya ingin menunjukkan bunga yang terbuang sia-sia di tempat sampah, bukan ingin dibelikan bunga. "Aku tidak minta dibel..." "Jangan pernah menerima apa pun selain pemberian dari suam
Brakk. Suara pintu yang menghantam dinding membuat mbah Kaji tersentak. Meski pria tua itu tahu siapa yang akan datang, tapi dia tetap tidak menyukai cara bertamunya. "Apa kamu sudah lupa cara mengetuk puntu, heh?" Ucapnya kesal. "Ini! Gara-gara tali ini, aku tidak bisa tidur semalaman dan aku hampir saja kehilangan nyawaku!" Ucap seorang wanita yang tak lain adalah Tari. Dia melempar selembar kain kotor berdiameter kecil namun berukuran lebih panjang, tepat di hadapan mbah Kaji. "Ck, memangnya kamu pikir pekerjaan ini adalah pekerjaan gampang." Decih pria tua itu sembari menyesap dalam sebatang rokok yang ia sematkan di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. "Aku bahkan tidak bisa melakukan apa pun kerena para mahluk itu terus saja mengikutiku!" Keluhnya lagi. Dia teringat tentang kejadian beberapa waktu yang lalu saat para mahluk tak kasat mata itu mengganggunya. *** Ciitt. Dengan kasar, Tari
Di dalam sebuah rumah bambu yang masih terlihat cukup kokoh. Tari melangkahkan kakinya mengikuti sang dukun kepercayaan, ke dalam sebuah ruangan yang selalu bernuansa temaram. Sebuah ruangan yang selalu terlihat menyeramkan yang di penuhi dengan aroma dupa. Keduanya terlihat tengah serius membicarakan perihal serangan yang akan mereka lakukan. "Kita mulai malam ini." Ucapan mbah Kaji membuat salah satu sudut bibir Tari terangkat. "Benarkah?" Tanyanya dengan sangat antusias. "Hmmm." Seru mbah Kaji singkat. "Siapkan sajen untuk memulai ritualnya." Titahnya yang kemudian diangguki oleh Tari. ***Di saat senja mulai menampakkan parasnya, menghujani sepasang suami istri dengan sinar jingga yang terlihat begitu indahnya. Keduanya pun terlihat tersenyum dan memangut tangan satu sama lain. "Apa kamu menyukainya sayang?" Tanya Bagas yang setengah berteriak dengan ekor matanya yang melirik ke arah belakang pungg
Di tengah-tengah sebuah hutan yang terlarang, asap pengepul menyusup melewati celah-celah dedaunan rindang yang meneduhi hutan tersebut. Hutan yang jarang terjamah oleh manusia karena terkenal dengan keangkerannya itu menjadi tempat yang mbah Kaji pilih untuk memulai rintual hitamnya. Udara sejuk di kawasan hutan, perlahan mulai tercemari dengan baunya wewangian yang berasal dari dupa yang mbah Kaji bakar.Beberapa suara hewan-hewan nokturnal yang pada dasarnya memang lebih banyak beraktivitas pada malam hari, membuat suasana malam ini kian mencekam. Sesekali bunyi ranting-ranting pepohonan yang bergesekan karena hembusan angin malam, membuat jantung siapa pun yang mendengarnya menjadi bergidik ngeri. "Apa semuanya sudah siap?" Tanya seorang pria yang sudah cukup berumur dengan jenggot putih yang menjuntai panjang di dagunya. Pria tua itu tidak lain adalah mbah Kaji. Seorang dukun yang dikenal bisa melalukan apa saja hanya demi uang. Dengan perlaha
Seketika arus di danau semanggi itu kian ganas dan mulai tak terkontrol, membentuk sebuah pusaran gelombang air yang mampu menyeret serta menelan siapa saja yang ada di sana. Tanaman eceng gondok yang memenuhi hampir seluruh permukaan air danau itu pun, ikut terhisap masuk ke dalam puasaran air tersebut. Di saat Tari sedang berusaha untuk mempertahankan tubuhnya agar tidak tertelan pusaran air tersebut, tiba-tiba terdengar suara berat seseorang yang menggema memenuhi seluruh kawasan hutan. "Apa yang kalian inginkan?" Serunya. Tari yang masih fokus membacakan mantranya pun, terhenti seketika. "Suara siapa itu?" Batinnya. "Kami ke sini ingin memberikan persembahan untuk anda, Pangeran Joko Boyo." Seru mbah Kaji. Tari mengerutkan keningnya, dia berusaha untuk menimang-nimang ucapan mbah Kaji. "Pangeran? Apa dia adalah tujuanku datang ke sini?" Batinnya. Arus danau yang mengganas itu pun perlahan mulai menyurut lalu menghilang hingga air dan
Tinggal sedikit lagi, Tari bisa menggapai tangan sang pangeran. Namun di sisa oksigennya yang sudah terbatas, salah satu kakinya malah tergelincir batu dan membuat tubuhnya tenggelam ke dalam danau. Dengan sekuat tenaga, Tari berusaha untuk menyeimbangkan tubuhnya. Kedua kakinya menerjang, kedua tangannya pun mengayun cepat berusaha naik ke permukaan. Namun sia-sia, salah satu kakinya terasa sangat berat seolah ada yang menahannya agar tetap berada di dalam air. Tari berusaha untuk menggerakkan kakinya dengan sekuat tenaga, namun nyatanya itu tidak berhasil dan dia masih berada di tempatnya. Tari mencoba untuk berputar arah dan berenang ke bawah untuk memeriksa kakinya. Semakin Tari berenang ke bawah danau, pencahayaan pun semakin minim hingga membuatnya susah untuk memastikan apa yang telah menahan kakinya. Apa lagi tekanan udara yang kuat di dalam air itu malah membuatnya semakin cepat lelah dan kehabisan oksigen. Tak bisa menemukan apa pun dengan ked
Matahari sudah mulai meninggi, sinarnya pun mulai menyengat menyelimuti permukaan bumi. Meski begitu, kesibukan di salah satu kantor nampak masih tak menyurut, meski pun jam sudah menunjukkan pukul dua siang tetapi mereka masih berkutat dengan pekerjaan mereka di meja masing-masing, berharap bisa menyelesaikan semua pekerjaan mereka sebelum jam pulang datang. Bagas yang tengah fokus dengan komputer di hadapannya, menoleh saat ada seseorang yang tiba-tiba merangkul pundaknya dari belakang. "Gas, nanti kamu ikut kan?" Tanya Dion tiba-tiba. "Hmm, gimana ya?" Ucap Bagas yang nampak sedang berfikir. "Aku gak mungkin ngebiarin Andira pulang sendiri." Serunya kemudian. "Gimana kalau kamu bawa Andira saja." Usul Dion, namun Bagas tak langsung mengiyakan. "Ayo lah, kita kan sudah lama gak ngumpul bareng." Rayunya. "Kalau begitu, aku tanya Andira dulu deh." Jawab Bagas, berinisiatif. "Deal, kita ketemu di temp