"Halo sayang, apa kamu sudah siap?" Tanya Bagas di seberang telepon sana. Seperti biasa sejak Andira diterima bekerja di sebuah perusahaan swasta 1 bulan yang lalu, Bagas selalu mengantar jemput Andira seperti halnya hari ini.
"Sudah sayang."
"Kalau begitu, buka pintunya. Aku sudah di depan."
Andira segera mematikan panggilannya dan bergegas membuka pintu rumahnya. Benar saja, Bagas sudah berdiri dengan gagahnya di depan gerbang rumahnya. Kemeja putih yang Bagas kenakan, begitu pas melekat di tubuh kekarnya hingga membuat Andira terpana akan ketampanan dan kegagahan prianya itu. Andira segera mengunci pintu rumahnya terlebih dahulu, sebelum akhirnya dia berlari menemui Bagas.
"Hei, kamu kenapa sayang?" Bagas mencubit gemas hidung Andira, saat kekasihnya itu menatap dirinya tanpa berkedip sedikitpun. "Apa kamu baru sadar kalau kekasihmu ini sangat tampan?" Godanya.
Andira mengerjapkan kedua matanya, ia baru tersadar saat Bagas menggodanya. "Ck." Andira berdecak tanpa mampu menjawabnya. Tapi tidak bisa di pungkiri, kalau kekasihnya itu memang selalu bisa membuatnya terpesona.
Bagas selalu saja gemas saat kekasihnya salah tingkah seperti ini, dia kembali mecubit kedua pipi chuby Andira yang sangat menggemaskan.
"Iih, sakit tau." Andira mengerucutkan bibirnya sembari memegangi kedua pipinya yang memerah karena cubitan sang kekasih, sedangkan Bagas hanya terkekeh melihatnya. "Kenapa kamu selalu datang terlebih dahulu lalu baru menelponku? Bagaimana kalau aku belum siap?" Tanyanya.
"Karena aku tidak ingin ratuku menunggu." Ucapnya sembari membelai rambut panjang Andira yang selalu tergerai indah.
Andira tersipu. Perkataan kecil yang terlontar dari mulut Bagas, selalu saja membuat hatinya berbunga. Hal-hal sekecil apapun yang Bagas lakukan, pasti akan selalu saja membuatnya senang.
"Ayo berangkat, aku tidak ingin Bosmu nanti malah menghukummu karena kamu telat." Ucapnya yang kemudian diangguki oleh Andira. Bagas kembali menunjukkan perhatian kecilnya pada Andira, dengan telaten ia memakaikan helm di kepala Andira. Andira tersenyum senang saat mendapat perhatian kecil itu, namun tanpa mereka sadari ada sepasang mata yang tengah memandang sinis ke arah mereka.
"Ck, tunggu saja. Kebahagiaan kalian tidak akan berlangsung lama." Sarkasnya.
Sepeda motor sport model Honda All New CBR 150R warna merah itu, melaju membelah jalanan ibu kota yang pasti akan macet jika waktu mendekati jam kerja. Namun karena mereka memang selalu berangkat lebih awal, jadi kemacetan tidak akan terlalu parah. Setelah 30 menit perjalanan, kini motor mereka berhenti tepat di depan sebuah bangunan yang terbilang cukup besar dan dipenuhi dengan banyak pintu kaca.
"Selamat pagi Andira."
Suara bariton seseorang mengalihkan perhatian Andira yang baru saja turun dari motor. "Eh.Selamat pagi Pak Kevin." Ya, dia adalah Kevin, atasan Andira saat ini. Andira membungkukkan tubuhnya, memberi hormat.
"Apa kamu berangkat dengan motor ini? Kamu tidak sayang dengan kulit putihmu? Kulitmu bisa gosong loh karena sengatan sinar matahari." Ucapnya, dia melirik ke arah Bagas dengan ekor matanya.
"Bapak bisa saja. Lagi pula saya suka naik motor, apalagi dengan kekasih saya." Jawab Andira dengan senyum manisnya, dia tidak ingin jika Bagas salah paham dengan ucapan atasannya nanti.
Kevin tak menjawab, dia pergi begitu saja saat tahu pria yang sedang mengantarkan sekretarisnya saat ini adalah kekasihnya sendiri.
"Apa dia bosmu sayang?" Tanya bagas dengan tangan melepas pengait helm yg dikenakan Andira.
Andira mengangguk, dia tersenyum saat melihat wajah masam Bagas. Meski kekasihnya tengah kesal, tapi Bagas tidak pernah sekalipun lupa untuk memberikan perhatian kecilnya untuk Andira.
"Hati-hati sayang, aku tidak ingin kamu tebar pesona pada bosmu." Titahnya posesif.
"Kalau aku tebar pesona padamu, boleh tidak?" Tanyanya dengan menaik turunkan kedua alisnya dan tentu saja hal itu sukses membuat Bagas tertawa karena gemas.
"Kalau itu harus sayang." Bagas kembali mencubit gemas kedua pipi Andira yang sangat ia sukai. "Ingat, balas pesanku dan angkat teleponku segera." Titahnya lagi sebelum akhirnya Bagas pergi meninggalkan bangunan besar itu.
Andira tersenyum, entah kenapa dia sangat menyukai sikap posesif kekasihnya itu.
***
Matahari mulai meninggi, menyapukan sinarnya untuk menghangatkan bumi. "Kemana sih! Kenapa teleponku tidak di angakat." Keluh Bagas mondar mandir dengan ponselnya, padahal baru saja 2 jam lalu Andira memberinya kabar jika akan mengikuti rapat, tapi sekarang dia sudah seperti kebakaran jenggot."Sudahlah Bagas, pasti rapatnya belum selesai. Nanti kalau sudah beres, pasti dia akan menghubungi kamu." Timpal Dion salah satu temannya. Dia sudah jengah melihat Bagas yang sedari tadi mondar-mandir layaknya sebuah setrikaan.
"Bener tuh, kamu baru di tinggal beberapa jam saja sudak kayak anak ayam kehilangan induknya." Timpal Angga temannya yang lain.
"Lagian juga 2 munggu lagi kalian akan sah, jadi puas-puasin dah dekep tuh bini. hahaha." Imbuh Reno, yang justru malah meledeknya.
"Sialan!" Umpatnya kesal. Ia melempar pulpen ia pegang ke arah Reno, namun Reno berhasil menghindar dengan gelak tawanya yang masih menggema. Drrtt, getar ponsel mengalihkan perhatian Bagas. " Halo, sayang." Ucapnya setelah mengangkat panggilan yang ternyata dari Andira.
"....."
"Baiklah, jangan matikan teleponnya! Aku tidak ingin bos mesummu itu macam-macam denganmu." Suara menggelegar Bagas menarik perhatian teman-temannya.
"Ada apa?" Tanya Dion.
"Bosnya ngajak sekalian makan siang bareng." Keluhnya dengan wajah yang cemberut.
"Tenang saja Bro, aku percaya kalau Andira setia sama kamu." Memang, di antara teman-teman Bagas yang lain hanya Dion-lah yang selalu bisa bersikap dewasa.
Bagas mengangguk, meski begitu dia masih enggan untuk mengakhiri panggilan teleponnya. Dia malah memasang hedset dan mendengarkan percakapan mereka sampai mereka selesai makan siang.
***
Tit, tit. Bagas membunyikan klaksonnya saat melihat Andira masih bersama dengan Kevin, atasannya.Andira membungkuk memberi hormat kepada Kevin lalu berlari menghampiri Bagas. Andira membulatkan kedua matanya saat tanpa aba-aba, Bagas malah menyambutnya dengan sebuah pelukan erat.
"Apa kamu merindukanku sayang." Tangan Bagas membelai lembut rambut panjang yang selalu Andira gerai.
Andira baru tersadar kalau Kevin masih memperhatikan mereka dari pantulan kaca helm yang terletak di salah satu stir motor Bagas. Dia membalas pelukan Bagas lalu kemudian mengangguk untuk mengiyakan. Dia tahu kalau kekasihnya melakukan hal itu kerena Kevin.
Perlahan Bagas melepas pelukannya, tangannya membelai wajah cantik Andira, menyelipkan helaian rambutnya yang tercecer karena angin. "Apa kamu menunggu lama?" Tanyanya kemudian.
Andira menggeleng. "Tidak, aku yang terlalu awal pulang."
Bagas tersenyum, perlahan dia mendekatkan wajahnya ke arah Andira. Merengkuh pinggang Andira dan semakin mengikis jarak di antara keduanya.
Jantung Andira seakan berpacu liar, saat menatap kedua manik mata milik Bagas. Tubuhnya memanas dan ototnya melemas saat jarak di antara keduanya hanya tinggal sejengkal.
"Praangg."
"Praangg." Sebuah suara menggangu momen intim antara Andira dan Bagas. Keduanya menoleh ke arah sumber suara dan ternyata itu ulah Kevin sang atasan yang sengaja melempar botol bekas soda. "Ingat, di jalan tidak boleh mesum!" Ucapnya, lalu dia masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Bagas tergelak saat melihat tingkah aneh atasan kekasihnya itu. "Hei, kenapa tertawa?" Tanya Andira menautkan kedua alisnya. "Tidak, tidak apa-apa. Aku heran kenapa dia kepo sekali dengan kita." Ucapnya yang masih di selingi dengan tawa. "Apa jangan-jangan, tadi kamu sengaja untuk mengerjai Pak Kevin ya?" Tanya Andira yang kemudian di angguki oleh Bagas. "Kenapa? Apa kamu ingin, sayang? Boleh aku melakukannya sekarang?" Tanyanya dengan nada menggoda. "Cih, kamu itu bicara apa. Ayo cepat pulang." Tangan Andira meraih helmnya namun Bagas menahannya. "Aku pakaikan." Dengan telaten Bagas kembali
Sinar rembulan mulai menyapu seluruh belahan bumi, menyinari rasa dingin karena angin malam yang menerjang bumi. Malam ini adalah malam pertama Andira memulai hidupnya sebagai seorang istri dari pria yang sudah 3 bulan berstatus sebagai kekasihnya. Maski hubungan mereka terbilang sebentar, tapi Bagas berhasil meyakinkan Andira dan mempersunting dirinya menjadi seorang istri. Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Namun Bagas dan Andira masih enggan untuk terlelap, meski tubuh mereka benar-benar terasa lelah karena acara pernikahan tadi. Andira yang bisanya tidur seorang diri di kamarnya mendadak gugup dan gelisah, saat untuk pertama kalinya dia harus berbagi kamar dengan seorang pria. Detak jantungnya semakin berpacu seolah tengah lari maraton, tubuhnya pun kini berkeringat dingin. Sama halnya dengan Bagas. Tubuhnya juga berkeringat dingin, tapi bukan karena dia tidak terbiasa jika harus berbagi ranjang. Melainkan karena dia harus berperang dengan hasrat
Cahaya terang yang menyelinap di sela-sela jendela kamar, tidak dihiraukan oleh sepasang insan yang sedang malakukan pemanasan pagi hari. Meski tidak dengan penyatuan tubuh, tapi mereka mampu menghasilkan desahan serta erangan kenikmatan di atas ranjang mereka yang masih berhiaskan bunga. Ya, karena melihat penderitaan sang suami yang terjaga semalaman karena hasrat yang tak bisa tersalurkan, akhirnya Andira membiarkan Bagas untuk mencumbu dan menikmati tubuhnya dan mau tidak mau Bagas juga harus menuntaskan hasratnya secara soloist. Setelah Bagas berhasil menuntaskan hasratnya, dia tertidur dengan sangat pulas. Sedangkan Andira, karena kini dia hanya tinggal berdua saja di rumah baru pemberian sang mertua, jadi dia harus menyelesaikan tugasnya di dapur untuk menyiapkan sarapan paginya bersama sang suami. Setelah semua selesai, Andira memutuskan untuk membersihkan diri terlebih dahulu lalu kemudian bersolek sebelum akhirnya ia membangunkan sang suami untuk sarapan be
"S-siapa?" Tanya Andira dengan suara yang gemetar karena ketakutan. "Dira, ini kakak." Seketika, ada perasaan lega yang menyelimuti hati Andira saat mendengar suara yang sangat ia kenali. Dia bergegas melangkah ke arah pintu, lalu kamudian memutar gagang kunci untuk membuka pintu rumahya. Wuussh... Angin berhembus kencang bersamaan dengan terbukanya pintu rumah, menerjang tubuh Andira yang berdiri di ambang pintu. Dedaunan yang mengeringpun ikut terbawa angin, masuk hingga ke teras rumah. Andira mengedarkan pandangannya, mencari pemilik suara yang ia kira kenali namun hasilnya nihil. "Kak? Kak Ema di mana? Ini tidak lucu loh Kak." Hawa dingin mulai menerpa kulit Andira, menusuk hingga ke tulang dan membuat bulu kuduknya merinding.Tiba-tiba, sekelebat bayangan hitam melesat cepat di taman samping rumahnya. "S-siapa itu? K-kak Ema, apa itu dirimu?" Andira memberanikan diri untuk memeriksanya, pelan-pelan ia melangkah
Entah kemana perginya jiwa Bagas yang sesungguhnya dan siapa yang tengah bersemayam dalam jasadnya saat ini. Yang pasti, malam ini tubuh Bagas benar-benar brutal dan tidak bisa di kendalikan. Wanita yang sangat berarti dalam hidupnyapun kini terisak di bawah kungkungannya karena perlakuan buruknya. "Tidak sayang, jangan lakukan itu." Seru Andira di tengah-tengah isak tangisnya. Tubuhnya yang lemah tidak bisa menandingi kekuatan tubuh Bagas. Dia hanya bisa menangis dan mencoba untuk menyadarkan sang suami. "Aaaargh..." Andira berteriak saat tubuh Bagas kembali mengambil ancang-ancang untuk melukai dirinya. Bruugh. Tubuh Bagas terjungkal saat mendapat tendangan dari seseorang. Plakk, satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi kiri Bagas. "Bagas! Apa yang kamu lakukakan? Dia itu istri kamu!" Hardik Deni, sang kakar ipar. "Kakak?" Ya, Ema serta Deni sang suami yang baru saja datang, langsung berlari saat mendengar teriakan Andira dari dalam. Berunt
Andira berlari dengan tangisnya yang sudah kembali pecah. Sesekali tangannya mengusap bulir-bulir bening yang mengalir membasahi kedua pipinya. Entah apa yang ada di dalam pikiran suaminya kali ini, Andira sama sekali tidak bisa memahaminya. "Dira sayang, kamu kenapa?" Leni yang baru saja turun dari mushollah bersama Deni dan juga Ema, terkejut saat berpapasan dengan Andira yang tengah berlari sambil menangis. "Aaaaarrrrgghh.." Tiba-tiba erangan panjang seseorang mengalihkan perhatian mereka. "Bagas." Leni memekik dan berlari ke arah sumber suara yang diikuti oleh Ema, Deni dan Andira di belakangnya. "Bagas, buka pintunya. Kamu kenapa?" Teriak Leni saat mendapati pintu kamarnya terkunci dari dalam. "Tidak, bawa Andira pergi dari sini Bu. Aku tidak ingin menyakitinya lagi. Aaarrrgh." Seru Bagas dari dalam kamar. "Apa maksudmu? Cepat buka pintunya." Leni yang tak mengerti, tetap berusaha membuka pintu kamar itu. "Mereka datang Bu, mereka
Suara berat itu terdengar menggema di dalam kamar Bagas dan membuat Leni, sang ibu terkejut. "Hah? K-kenapa suara Bagas terdengar berbeda?" "Itu bukan Nak Bagas Bu, itu suara mereka yang bersembunyi di dalam tubuhnya." Imbuh Ustadz Syafi. Deg, seketika rasa tak tenang menghantui hati Leni. "M-mereka? A-apa firasatku itu benar?" Leni berharap jika apa yang ada di pikirannya tidak benar-benar terjadi, namun harapannya sirna begitu saja kala sang Ustadz mengangukkan kepala tanda mengiyakan. "KALIAN PARA MANUSIA, SERAKAH! TIDAK PERNAH BERSYUKUR DENGAN APA YANG KALIAN MILIKI. ANAK INI MEMILIKI SUATU KEISTIMEWAAN. TAPI SAYANG, KARENA SIKAPNYA YANG SALAH, DIA BAHKAN MENANAMKAN KEDENGKIAN DI HATI SESEORANG, DAN ITU AKAN MENJADI CAMBUK DALAM BIDUK RUMAH TANGGANYA. HAHAHA.." "Tidak. Kami tidak percaya dengan kalian para jin! Terutama kau yang Siluman!" Tunjuk Ustadz Syafi ke arah Bagas. "A-apa, S-siluman?" Terkejut. Ya, tentu saja Andira s
Pyaarrr.Semua kaca jendela hancur berkeping-keping bersamaan dengan suara teriakan Bagas, bahkan semua orang histeris saat melihat tubuh bagas yang melayang ke atas. "AAAAAAARRRRRRRRGGGGHHH..." Bagas mengerang panjang, tubuhnya bahkan terlihat mengejang hingga kepalanya tertarik ke belakang. Kedua matanya yang memerah, melotot serta mulutnya pun menganga sangat lebar. Dia berteriak sangat keras, seolah mendorong sesuatu yang sangat besar yang akan keluar dari sana. Buugh, tubuh Bagas terhempas dengan sangat keras ke atas lantai, bersamaan dengan darah segar yang menyembur keluar dari mulutnya. "Sayang, kamu tidak apa-apa?" Andira berhambur memeluk tubuh Bagas yang terkulai lemas. Bahkan rasa paniknya tak terbendung kala melihat darah yang bercucuran dari mulut suaminya. "Buka matamu sayang." *** "Sepertinya ini akan sagat sulit." Seru seorang pria tua yang sedang duduk di sebuah kursi rotan di ruang tamunya. Kepalanya mang