"Mbah, saya ingin mengirim teluh pada seseorang." Jawab seorang wanita muda berambut ikal sebahu dengan kulit sawo matangnya, wanita itu tak lain adalah Tari. Meski awalnya dia enggan untuk memasuki rumah bambu sederhana ini, namun karena rasa benci dan sakit hati terhadap seorang pria, membuat dia lupa akan konsekuensi yang akan dia hadapi nanti. Hatinya seolah terdorong untuk menemui pemilik dari rumah bambu ini, hingga akhirnya di sinilah dia berada. Sebuah ruangan beralaskan kain berwarna merah tanpa perabot apapun, hanya sebuah meja persegi dengan kaki meja yang dipangkas hingga berukuran jauh lebih kecil dari biasanya. Berbagai benda-benda pusaka seperti keris, tombak, panah serta berbagai patung-patung berwajah menyeramkan menambah kesan angker di ruangan ini.
"Aku tahu. Semua orang yang datang menemuiku, pasti memiliki tujuan yang sama. Yang aku maksud, mau kamu apakan orang itu?"
Tari tampak ragu-ragu untuk mengutarakan niatnya. Namun samar-samar, telinganya mendengar bisikan-bisikan yang entah dari mana datangnya. "Buat dia sakit! Buat dia tersiksa! Buat dia menyesal karena sudah mencampakkanmu dan lebih memilih wanita lain dari pada dirimu!" Hal-hal seperti itulah yang wanita muda itu dengar. Maski suara itu tarasa seperti sebuah angin yang lewat di depan telinganya, tapi pikiran Tari seolah mengerti dengan hal itu. "Aku ingin buat dia tersiksa dengan pasangannya. Buat dia sakit, agar dia mengira pasangannya saat ini adalah penyebabnya." Tukasnya kemudian
"Apa kamu sudah tau dan siap dengan konsekuensinya?"
Dengan segenap hati, Tari mengangguk untuk mengiyakan. Tampaknya, rasa sakit hati yang ia rasakan sudah membutakan akal sehatnya saat ini, hingga akhirnya dia memilih jalan yang salah untuk membalas rasa sakit hatinya.
Mbah Kiji kembali menaburkan dupa ke dalam bara arangnya. Bibirnya terlihat berkomat-kamit seperti tengah membacakan sesuatu. "Apa kamu membawa sesuatu yang berhubungan dengan dia?" Tanyanya kemudian.
Tari segera mengeluarkan selembar foto berukuran 4x6 dari dalam tas selempangnya. Foto yang tercetak jelas wajah dirinya dengan seorang pria yang akan menjadi targetnya saat ini. Dia meletakkan foto tersebut di atas tampah bambu yang berisi berbagai jenis bunga di dalamnya.
Mbah Kaji mengamit foto tersebut, lalu merobeknya hingga menyisakan foto pria itu saja. "Apa hanya ini yang kamu punya?" Tanya mbah Kaji kemudian.
Tari menggeleng, tangannya kembali merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah kantong kain berwarna putih ia keluarkan, lalu ia berikan pada mbah Kaji kembali. "Apa ini sudah cukup?" Serunya.
Mbah Kaji menerima kantong berwarna putih itu, lalu kemudian ia membukanya. Jari-jarinya terjulur untuk mengambil sesuatu dari dalam kantong tersebut." Apa kamu yakin ini milik pria itu?" Mbah Kaji memastikan kembali kebenaran barang yang ia pegang, ia tidak akan mengambil resiko jika dia salah sasaran.
"Tentu. Aku sangat yakin itu adalah rambutnya." Ya, isi dari kantong kain yang
berwarna putih itu adalah helaian rambut. Entah bagaimana cara Tari mendapatkannya, yang pasti rambut itu terlihat seperti milik seorang pria karena ukurannya yang terbilang sangat pendek.Satelah memastikan kepemilikan rambut tersebut, mbah Kaji mengambil sebuah buntalan kain berwarna putih yang ia ikat menjadi 4 bagian. Dari kejauhan buntalan kain itu terlihat lebih mirip dengan sebuah pocong yang berukuran mini.
Tari merinding tatkala melihat mbah Kaji mengeluarkan miniatur pocong tersebut. Semilir anginpun tiba-tiba menyapu di tenguk dan lengannya, membuat jantungnya kembali berdegup lebih kencang dari biasanya.
Tari menyapu pandangannya untuk mengamati sekitar, bagaimana angin bisa masuk? pikirnya. Padahal, sekang dia berada di sebuah ruangan tertutup tanpa fentilasi apapun. Tari kembali memperhatikan Mbah Kaji yang mengikat foto serta rambut itu menjadi satu dengan tubuh pocong mini tersebut menggunakan tali berwarna putih yang berukuran cukup tebal. Bibir yang bergerak seolah tengah membacakan suatu mantra, tak mengganggu aktifitas tangannya yang bergerak menempatkan si pocong mini tersebut di atas kain putih yang sudah terlihat lusuh dan usang.
"M-maaf Mbah, apa kainnya memang kotor seperti itu?" Satu pertanyaan tiba-tiba terlontar dari bibir wanita muda itu.
"Tentu. Kain ini adalah kain pocong asli yang aku ambil dari mayat gadis perawan yang meninggal bunuh diri minggu lalu. Dialah yang akan membantu untuk melancarkan aksimu."
Deg. Seketika, sekujur tubuh Tari merinding mendengar nama hantu yang sangat fonomenal itu di sebutkan. Asli? Apa dia mencuri kain itu dari dalam kuburan? Batinnya.
"Tentu saja. Tidak akan ada seorang pun yang mengijinkan seseorang untuk mengambil kain kafan seorang gadis perawan." Seru mbah Kaji tiba-tiba.
Tari membulatkan kedua matanya, dia terkejut saat mbah Kaji tiba-tiba saja menjawab isi hatinya. "M-mbah Kaji tau dari mana?" Tanyanya.
"Tentu saja dari mereka." Jawab mbah Kaji cepat.
Mereka? Siapa yang dimaksud dengan mereka?Pikir wanita muda itu. Tari mengedarkan pandangannya lagi, menyapu ke setiap sudut ruangan. Tapi dia sama sekali tidak menemukan siapa pun selain dirinya dan mbah Kaji.
"Apa kamu ingin bertemu dengan mereka?"
Seketika ucapan mbah Kaji membuat hatinya kembali bergemuruh. Bulu kuduknya yang berdiri pun masih menegak, kini mbah Kaji malah menambah keterkejutan lagi baginya. Tiba-tiba bau bunga melati menyeruak menusuk indra penciumannya, membuat tubuhnya bergetar karena menambah ketakutan. Dengan ekor matanya, Tari melirik ke samping tubuhnya, ia merasa ada sesuatu yang tengah mengamatinya saat ini. Namun ketika ia berbalik, ia tak menemukan siapapun di sana.
Bulu kuduk yang sedari tadi masih menegak, membuat tubuhnya tertusuk rasa dingin yang teramat. Tari menggosok-gosokkan telapak tangannya, mencari rasa hangat yang dihasilkan oleh gesekan kulit tangannya. Kedua matanya kini tertuju pada mbah Kaji yang masih melakukan ritual gaibnya. Tujuh macam bunga itu pun kini sudah berhambur di atas pocong mini itu. Kemudian mbah Kaji kembali mengambil kantong plastik berwarna hitam, lalu ia membukanya dan mengambil isinya. "Tanah?" Ucap Tari, terkejut.
"Ini tanah kuburan keramat." Mbah Kaji kembali menjawab rasa kebingungan di dalam benak Tari. Tanah itu ia taburkan ke atas pocong mini tersebut seraya membaca sesuatu yang entah apa itu.
Kenapa semuanya berhunbungan dengan kuburan? Pikir Tari mengerutkan keninggnya.
"Kerena di sana adalah sarang segala mistis."
Lagi-lagi mbah Kaji menjawab isi hati Tari tanpa perlu mengutarakannya. Tari mengangguk untuk mengiyakan. Pandangannya kembali memperhatikan mbah Kaji yang mencabut foto yang terikat di tubuh pocong mini itu tanpa melepas ikatan talinya.
"Tusuklah bagian mana yang ingin kamu kirimkan sakit." Titahnya sembari memberiakan pocong mini beserta paku yang terbuat dari kayu ke tangan Tari. "Dan ini, ambil sedikit tanahnya dan taburkan di tempat kerjamu lalu kuburlah sisanya sekaligus di Pulau Tresno, di tanah kuburan keramat tepat jam 12 malam nanti." Mbah kaji mengikat kain berwarna putih nan lusuh yang ia gunakan sebagai alas pocong mini tadi beserta foto dan bunganya sekaligus. Sebelum mbah Kaji memberkan ikatan kain itu, ia mengasap ikatan kain itu dulu di tas arang yang sudah ia taburi dupa lagi.
Cahaya merah mendadak muncul di atas mobil Bagas, sesosok ular besar yang berkepala manusia pun mendadak muncul dan membelit mobil mereka.Kretek, kretek.Mobil pun terdengar mulai meretak saat sosok ular besar itu melilitnya dengan sangat kuat. Andira pun semakin ketakutan sambil meremas jok mobilnya."Ashadualla ilahailallah, wa ashadu anna muhammadarrasulullah."Andira langsung menoleh saat mendengar suaminya mengucapkan syahadat. Namun tiba-tiba ia langsung terbelalak, ketika cahaya putih yang memancar dari tubuh Bagas perlahan semakin menebal dan semakin melebar."Aaaargh!" erangan mahluk-mahluk itu tiba-tiba menggema di telinga keduanya. Tubuh mahluk-mahluk itu seketika hancur menjadi asap, saat cahaya putih itu mulai menyentuh mereka.***Klotak,klotak.Mbah Kaji pun langsung menghentikan ritualnya saat suara lemparan batu, terdengar di atap rumahnya."Pak Kaji, keluar! Kami tidak ingin punya warga seorang dukun! Keluar! Kalau tidak, k
Perlahan Andira mulai membuka kedua matanya ketika Ia baru saja sadar dari pingsannya. ia pun langsung meringis ketika pusing tersa di kepalanya. Beberapa saat kemudian kedua matanya pun langung terbelalak, saat mendapati dirinya dalam keadaan terikat di atas meja dan di kelilingi taburan bunga."Mmm... Mmm..."Andira pun berusaha meronta dan melepas ikatannya. Namun ikatannya sangat kuat, dia juga tidak bisa berteriak karena mulutnya tersumpal. Seketika Andira langsung menangis ketakutan, ketika puluhan mahluk menyeramkan tiba-tiba mengelilingi dirinya. Meski sebelumnya dia sudah terbiasa dengan mereka, entah kenapa kali ini dia merasa berbeda.Tubuhnya pun langsng gemetar ketika salah satu makluk meyeramkan itu tiba-tiba menjilati bagian perutya, seolah tak sabar akan menikmati makanan yang sangat lezat.Brak!Pintu ruangan tiba-tiba terbuka paksa, bersamaan dengan pintu yang terbuka, semua mahluk menyeramkan itu juga mendadak menghilang seketika. Bagas pu
"Mereka lagi bahas apa sih! lama amat." keluh Dion kesal. Ya, setelah ia memberikn alamat Andira pada Tari, entah kenapa perasaannya mendadak tidak tenang. Dan seharian ini pun, dia terus mengikuti kemana Tari pergi kalau-kalau dia sampai berbuat sesuatu yang nekat pada Andira.Hingga malam hari tiba, Tari pun akhirnya benar-benar menemui Andira. Namun ketika Dion menunggunya di sudut jalan tak jauh dari rumah Andira, Tari malah tak kunjung keluar dari rumah Andira. Dion pun semakin merasa gelisah, ingin rasanya ia langsung masuk ke sana dan langsung membawa Tari pergi dari sana. Namun semua itu tidak mungkin, karena Andira akan merasa curiga padanya.Hingga sekian lama Dion menunggu, mobil Tari tiba-tiba terlihat keluar dari rumah Andira. Ketika mobil itu melaju dan melewati dirinya, seketika itu juga Dion pun langsung tersentak, saat tanpa sengaja kedua matanya melihat Andira tak sadarkan diri di jok belakang mobil Tari.Dion pun langsung bergegas mengikuti mobil
Pagi harinya, Tari tiba-tiba memanggil Dion ke ruangannya dan Dion pun dengan sangat terpaksa menurutinya. Dengan langkah kaki yang berat, ia mengikuti langkah kaki Tari yang sedang menuju ruang kerja pribadinya."Duduklah." titah Tari."Tidak perlu basa-basi, cepat katakan apa maumu?" Ketus Dion dengan nada kesalnya.Tari langsung menghentikan langkahnya. "Tolong jaga sikapmu! Ini kantor, jadi hargai aku sebagai atasanmu." ucap Tari yang langsung menatap tajam ke arah Dion.Seketika, Dion pun langsung terbungkam. Meski sebenarnya di dalam hatinya ia masih menggerutu kesal pada wanita yang sedang berada di hadapannya saat ini.Tari mengambil nafas dalam, lalu kemudian ia mendudukkan bokongnya di atas kursi kebesaranya. "Aku ingin tahu tempat tingga Andira yang baru." ucapnya kemudian.Seketika, Diaon langsung mendongak lalu ia menatap tajam ke arah Tari. "Aku tidak tahu!" ketusnya seketika."Hahaha..." Tari pun langsung tergelak, lalu kemudian wajahn
Seketika, penglihatan itu langsung menghilang dan membawa Bagas kembali ke tempat semula."Yang lalu, biarlah berlalu Nak. Sekarang, waktunya untuk kamu memperbaiki segalanya." Bagas langsung menoleh, dan menatap kakek buyutnya. Ia pun bertanya-tanya, apa maksud dari memperbaiki segalanya. "Maksudnya apa Kek? tanyanya kemudian."Kemarilah Nak." sang kakek melambaikan tangan, menandakan agar Bagas semakin mendekat padanya.Bagas pun menurut dan perlahan mulai mendekati kakeknya. Tiba-tiba, tangan kanan sang kakek terangat dan langsung menyentuh pucuk kepalanya. Dan seketika, pucuk kepalanya pun langsung terasa sejuk, di mana semakin lama rasa sejuk itu semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. "Aku titipkan ilmuku padamu, jaga baik-baik dan gunakanlah untuk membatu sesama." titah sang kakek yang kemudian melepaskan tangannya dari pucuk kepala bagas. "Sekarang, bersiaplah. Sesuatu yang besar akan segera terjadi. Segera bersihkan tubuhmu dan langsung ambil w
Malam harinya, Bagas pun bisa bernafas lega saat ia bisa melaksanakan kembali, ibadah yang selama ini dia tinggalkan. Meski di bagian dadanya masih terasa sedikit nyeri dan punggungnya pun juga masih terasa sangat berat, tapi setidaknya ia masih bisa menahannya dan melakukan ibadahnya sampai selesai.Tinggal seorang diri seperti ini, membuat Bagas merasa kesepian. Ia rindu gelak tawa wanita yang selama ini sabar mengahadapinya. Ia rindu semua ocehan yang keluar dari bibir manisnya. Rindu saat dia berteriak kesal, saat ia terus saja mengusili dirinya. Bagas pun tersenyum saat mengingat semua itu.Setelah melaksanakan sholat isya', Bagas hanya menghabiskan waktunya dengan berdzikir dan mengaji. Semenjak ia membuang barang-barang pemberian dari pak Soleh, tidak ada lagi mahluk gaib yang menggangu atau pun menampakkan dirinyanya.Bagas kini bisa melakukan aktifitasnya seperti sedia kala. Hingga jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam, Bagas pun mulai m