Share

7. Mencarimu

last update Last Updated: 2025-10-08 14:26:41

SETELAH AKU KAU MILIKI

- Mencarimu

"Memang keputusannya harus pindah ya, Bu?" tanya kepala sekolah yang didampingi oleh Bu Umi, wali kelasnya Zahra. Mereka tampaknya menyayangkan keputusan Naima yang menemui mereka di kantor.

"Ya, Bu." Naima mengusap rambut Zahra yang duduk mepet di sebelahnya.

Ibu kepala sekolah berkaca-kaca memandang Zahra. Bu Umi menghampiri lalu merangkulnya. Sebagai pihak sekolah, jelas mereka tahu data anak didiknya.

"Saya paham perasaan, Bu Naima. Bagi seorang ibu, anak adalah segala-galanya. Seorang ibu rela mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi anak."

Naima mengangguk sambil tersenyum getir. Hatinya perih, tapi air matanya dah habis karena menangis semalam.

"Tadi papanya anak-anak juga baru saja dari sini. Beliau menanyakan tentang Zahra dan Ibu. Beliau berpesan, kalau Ibu datang, saya suruh nelepon ke nomornya." Bu Umi memberitahu. Seharusnya dia diam-diam menghubungi Emir. Namun melihat permasalahan ini, dia tahu apa yang harus dilakukan. Memberitahu bisa jadi akan menambah masalah bagi Zahra dan ibunya.

"Tidak usah, Bu. Ini masalah pribadi saya. Saya ke sini, hanya bilang kalau untuk sementara Zahra nggak masuk sekolah. Sekalian izin untuk pindah setelah saya mendapatkan sekolah baru untuknya."

Ibu kepala sekolah mengangguk. Bahkan dia meneteskan air mata. Ikut merasakan betapa perihnya beban Naima, walaupun tidak menceritakan secara gamblang permasalahannya.

Setelah beberapa saat berbincang, Naima pamitan. Agar tidak bertemu Aurel saat anak itu istirahat nanti. Juga untuk menyudahi pembicaraan yang terasa berat ini.

Zahra mencium tangan kedua gurunya. Ibu kepala sekolah memberikan sejumlah uang yang nominalnya tidak sedikit. "Untuk kamu ya, Zahra."

Meski Naima menolak, tapi Ibu Kepala Sekolah memaksa. Begitu juga dengan Bu Umi. Guru itu juga memberikan uang untuk Zahra. "Nggak apa-apa, Bu. Biar untuk jajan Zahra," jawab guru itu saat Naima menolak dengan sopan. Sebab dia jadi tidak enak hati.

Ibu kepala sekolah mengantarkan mereka sampai pintu gerbang hingga pergi naik taksi yang masih menunggu.

"Ma, apa Zahra harus pindah sekolah?" pertanyaan sederhana saat mereka dalam perjalanan.

"Iya. Nanti Zahra tinggal bersama Mama saja. Berdua."

"Papa?" Satu kata yang membuat perasaan Naima terasa sangat sakit. Begitu sayangnya Zahra pada Emir.

"Papa nggak ikut, Sayang."

"Zahra tadi dengar Ibu Guru bilang kalau Papa nyari kita di sekolah, Ma."

"Ya. Nggak apa-apa, Zahra."

Bagaimana Naima harus menjelaskan. Zahra pasti akan merasakan sangat kecewa sekali jika tahu kebenarannya. Nanti anaknya akan semakin sedih. Bukan sekarang, suatu hari nanti ia pasti memberitahu. Setelah Zahra cukup mengerti.

"Kita nggak tinggal lagi di rumah Papa?"

Naima menatap putrinya. "Apa Zahra mau kembali ke sana dan selalu dimarahi Nenek?"

Dengan spontan Zahra menggeleng.

"Nah, makanya itu kita pergi. Mama nggak ingin Zahra disakiti dan dibentak-bentak lagi."

"Iya, Ma," jawab Zahra lirih.

Naima merangkul erat putrinya.

🖤LS🖤

Emir yang baru selesai meeting dengan pihak instansi dan retail, tergesa melangkah ke ruangannya. Pikirannya tak tenang. Sampai tengah hari ini, dia belum mendapatkan kabar dari gurunya anak-anak. Apa Naima tidak datang ke sekolahan hari ini?

Akhirnya ia menelepon wali kelasnya Zahra.

"Assalamu'alaikum, Pak Emir," suara Bu Umi di seberang.

"Wa'alaikumsalam, Bu. Maaf kalau saya mengganggu. Apa istri dan anak saya tidak ke sekolah hari ini?"

"Maaf, Pak Emir. Belum ada kabar apapun."

"Baik, Bu. Saya tetap menunggu kabarnya. Oh ya, kelas satu sudah pulang kan, Bu?"

"Sudah, Pak. Aurel tadi dijemput sama sopir. Katanya suruhan Pak Emir."

"Iya, Bu. Kalau gitu terima kasih banyak. Maaf, merepotkan."

"Nggak apa-apa, Pak."

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Emir menghela napas panjang sambil bersandar di kursinya. Kalau satu jam lagi tidak ada janji dengan pihak produsen, ia akan keluar mencari Naima dan Zahra. Namun pertemuan itu sudah dijadwalkan beberapa hari yang lalu.

Mata pria itu memejam, tapi dadanya berdenyut perih seakan ada duri yang menancap di dalamnya. Ke mana mereka pergi? Pertanyaan berputar di kepalanya tanpa henti. Apa di kesempatan kedua ini, ia harus kehilangan Naima lagi?

Ia kira semua perselisihan antara mertua dan menantu hanyalah fase biasa. Sedikit benturan, sedikit adaptasi, lalu berakhir dengan saling memahami dan akan membaik seiring berjalannya waktu. Ternyata ia keliru. Itu bukan percikan kecil. Itu bara yang selama ini ia biarkan, hingga kini meledak menjadi bom waktu.

Dan bom itu merenggut Naima.

Emir mengusap wajahnya saat teringat cerita gurunya tentang Zahra. Ternyata Aurel yang nakal selama ini. Padahal di hadapannya, dia anak yang penurut.

Kenapa ia tidak peka. Bukankah di rumah pun Zahra selalu berlindung dibalik tubuh mamanya tiap kali ada sang nenek.

Gadis kecil itu sering memeluknya dengan manja, karena Zahra menganggap dirinya adalah ayah kandungnya. Namun gadis kecil bermata bening itu sekarang pun ikut pergi mamanya. Dia anak yatim yang seharusnya dilindungi. Zahra. Perasaan Emir semakin semrawut.

🖤LS🖤

Keluar kantor, Emir tidak langsung pulang ke rumah. Dia kembali ke rumah peninggalan orang tua Naima. Namun rumah itu tetap sepi.

Emir duduk dibalik kemudi sambil memandang halaman yang kotor oleh dedaunan kering.

"Bapak titip Naima dan Zahra, Nak Emir. Tolong jaga mereka baik-baik. Setelah saya nggak ada, Nak Emir satu-satunya yang mereka punya." Emir ingat pesan bapaknya Naima saat lelaki itu sakit parah tiga bulan setelah ia menikahi Naima. Dan meninggal setelah seminggu dirawat di rumah sakit.

Mata Emir terasa memanas. Ia menunduk dalam-dalam. Sejenak kemudian memandang langit sore yang kekuningan. Ia teringat teman dekatnya Naima. Apa kira-kira Surti tau ke mana Naima pergi? Tapi Surti sudah tidak tinggal di sini lagi. Nomer ponselnya pun Emir tidak tahu.

Menjelang senja Emir sampai di rumah. Di sana sudah ada Yesi yang bercanda dengan Aurel dan Bu Anjar di ruang keluarga.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Baru pulang, Mas?" tanya Yesi sambil tersenyum.

Emir hanya memandang sekilas, lalu menyambut pelukan Aurel. Setelah mencium anaknya, ia masuk ke kamar dan langsung membuka lemari. Laci rahasia paling bawah ditariknya hingga terbuka lebar. Buku nikah milik Naima tidak ada. Jantung pria itu berdegup kencang. Di sana yang tersisa hanya buku nikah miliknya, kartu ATM yang biasa dipegang Naima, cincin pernikahan milik istrinya itu, dan kotak perhiasan yang lengkap isinya. Satu set perhiasan yang biasa dipakai Naima, dikembalikan di sana.

Ponsel di sakunya yang bergetar, membuatnya berdiri dan menerima panggilan. "Halo, Pak. Apa ada kabar tentang istri saya?"

Siang tadi Emir memang membayar seseorang untuk mencari keberadaan Naima dan Zahra. Tentu dia adalah orang kepercayaannya.

"Kata anak buah saya, mereka melihat Mbak Naima dan Mbak Zahra di kosan Gang Batur. Sekarang saya menuju ke sana untuk memastikan, Mas."

"Baik, Pak. Kita ketemu di sana."

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
malah bikin sedih ya setiap baca Zahra ..mereka berdua dah gak ada keluarga ya..Naima yatim piatu Zahra jg yatim..
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
kira² Emir masih bisa ketemu Naima GK sih..
goodnovel comment avatar
Yanyan
aslinya sedih..mau nagis kejer malu ada bapake
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Aku Kau Miliki    62. Jangan Khawatir 3

    "Aku juga bingung, gimana nolaknya tanpa bikin dia tersinggung, Mas. Gimana kalau maksudnya hanya ngasih saja. Tanpa pamrih apapun. Mungkin Zahra mengingatkannya pada seseorang atau gimana aku nggak tahu. Aku ingat Dewa pernah cerita tentang anak kecil yang ternyata bukan anaknya. Entah bagaimana kisahnya aku nggak tahu. Dia hanya cerita sepenggal saja.""Kapan dia cerita?""Hari itu, Mas. Aku lupa.""Dia tahu Zahra anak yatim?" "Nggak, Mas."Emir memijat pelipisnya. "Kalau begitu dia memang ada rasa sama kamu, Nai. Dikiranya kamu janda mungkin. Mas tahu gimana cara laki-laki memperhatikan seseorang. Apalagi kalau yang diperhatikan itu perempuan yang cantik, lembut, dan terlihat sendiri seperti kamu. Mas jadi nggak tenang, Nai. Pengen bawa kalian pergi dari sana."Terdengar Naima menghela napas berat. "Jangan terlalu curiga, Mas. Apa aku harus menolak niat baiknya? Maaf, jangan kasih apapun lagi ke anak saya, karena suami saya bisa cemburu, Mas Dewa? Begitukah, Mas? Nggak etis, kan?

  • Setelah Aku Kau Miliki    61. Jangan Khawatir 2

    Selesai salat, ia ingin menelepon Naima lagi. Tapi Aurel keburu masuk kamarnya dan mengajak makan malam. Akhirnya mereka makan malam bertiga.Meski Aurel mengisi ruangan itu dengan cerita-ceritanya, tapi Emir masih tetap merasakan kesepian. Ada yang hilang dalam beberapa bulan ini. Semenjak Naima pergi, semuanya terasa kaku dan hampa."Maaf, Pak. Guru lesnya Mbak Aurel sudah datang." Dengan sopan Mak Tam bicara pada Emir."Iya, Mak. Suruh nunggu sebentar."Mak Tam kembali ke depan, sedangkan Emir memandang putrinya. "Aurel, segera habiskan nasinya. Mbak sudah menunggu di depan.""Iya, Pa."Guru les privatnya Aurel datang setiap hari sehabis salat maghrib. Kecuali hari Minggu. Semenjak Naima pergi, Emir memang mencari guru les yang bisa datang ke rumah. Kalau dulu semuanya di handle Naima sendiri. Anak-anak diajak belajar bersama kalau habis makan malam.Setelah mengantar Aurel ke depan. Emir kembali duduk bersama mamanya. Ia sudah tidak tahan dan ingin bicara. "Kenapa Mama melibatkan

  • Setelah Aku Kau Miliki    60. Jangan Khawatir 1

    SETELAH AKU KAU MILIKI- 27 Jangan Khawatir "Coba Mama lihat!" Naima membuka isinya. Sebuah gamis anak-anak terlipat rapi di dalam kotak warna biru muda dengan renda putih di bagian kerah dan ujung lengan. Bahan satin lembutnya langsung terasa mewah di jari Naima. Ia tahu merek itu, tahu harganya. Bukan sembarang gamis, melainkan yang biasa dijual di butik anak-anak ternama di kota besar."Bagus nggak, Ma?" Zahra menatapnya dengan mata berbinar."Bagus," jawab Naima pelan. "Om Dewa baik ya, Ma." Begitu polosnya Zahra. Naima terdiam. Ia tidak tahu harus merasa apa. Haru karena anaknya diperhatikan, atau justru canggung. Sampai sekarang ia belum tahu tentang Dewa. Sepertinya dia memang punya kenangan tentang anak yang pernah disebut beberapa waktu lalu. Mungkin karena itu, dia terlihat begitu perhatian pada anak-anak, terutama Zahra.Namun tetap saja ada perasaan tak enak yang menggantung di dadanya.Naima menatap anaknya lembut. "Zahra, jangan sering main di halaman rumah Om Dewa. A

  • Setelah Aku Kau Miliki    59. Kecewa 3

    "Papa dan Mama Yesi sudah berpisah. Jadi kami nggak boleh lagi tinggal sama-sama. Sekarang Mama Naima yang menjadi istri papa. Makanya Mama Naima boleh tinggal bersama papa."Suatu hari nanti kamu akan mengerti, Sayang. Tapi kami semua menyayangimu. Mama Naima juga sayang sama kamu. Pernah nggak, Mama Naima marah pada Aurel?"Bocah itu menggeleng sambil terus makan es krimnya. Dan Emir merasa kalau sudah cukup penjelasannya. Lain hari kalau ada kesempatan, ia akan kembali bicara pada anaknya. Entah beberapa kali ia menekankan dengan kalimat bahwa ia dan Yesi tidak boleh tinggal bersama lagi. Semoga ini akan diingat oleh Aurel."Pa, Nenek bilang Zahra bukan anaknya Papa."Emir terkejut. Ini kali kedua dia mendengar Aurel bilang demikian. Memang itu benar, tapi tidak untuk diungkap sekarang. Kasihan Zahra. Kali ini Emir memang harus menegur mamanya."Aurel, sayang sama papa, nggak?""Sayang, Pa.""Kalau sayang, Aurel harus lebih percaya sama papa."Gadis kecil itu mengangguk."Aurel dan

  • Setelah Aku Kau Miliki    58. Kecewa 2

    Minggu pagi ....Jam delapan Aurel sudah berdandan cantik dan duduk menunggu di sofa depan televisi. Emir keluar kamar dengan kaos polo hitam dan celana warna senada. "Let's go, Sayang. Kita berangkat," ajak Emir sambil tersenyum pada putrinya.Aurel mengangguk sangat bersemangat. "Sama Mama juga, ya?""Nggak, Sayang. Kita hanya berdua saja.""Oh, Mama nggak boleh ikut, Pa?"Emir menatap wajah putrinya. "Hanya papa dan Aurel. Oke."Dengan wajah kecewa, Aurel akhirnya mengangguk. Pada saat yang bersamaan muncul Bu Anjar dari dalam kamar. "Kalian berangkat sekarang?""Ya, Ma. Aurel, pamit dulu sama Nenek."Aurel turun, lalu menghampiri Bu Anjar. Wanita itu menciumi pipi cucunya. "Jangan capek-capek. Kamu baru sembuh," pesannnya. Dijawab anggukan kepala oleh Aurel."Kamu pulang jam berapa nanti? Adikmu sama April mau ke sini." Bu Anjar memandang putranya."Belum tahu, Ma. Lagian Ezar sudah tahu kalau aku mau ngajak Aurel jalan-jalan. Kami pergi dulu!" pamit Emir pada sang mama. Dia kelu

  • Setelah Aku Kau Miliki    57. Kecewa 1

    SETELAH AKU KAU MILIKI- 26 Kecewa Naima tersenyum samar melihat postingan itu. Kemudian memblokir akun Yesinta dari pertemanannya. Ia menghela napas panjang, lantas memeluk Zahra. Melihat anaknya yang tidur nyenyak, air matanya menetes. Betapa anak itu mencintai Emir. Padahal bukan ayah kandungnya. Untuk itu Naima selalu mengajari anaknya mengalah ketika masih tinggal serumah dengan Aurel. Biar suatu hari nanti kalau Zahra tahu kebenarannya, ia tidak akan terlalu terluka."Zahra, mamalah yang paling mencintaimu, Nak." Naima mengecup kening putrinya. "Mama juga yang akan selalu ada untukmu."Ia menarik napas panjang, lalu memejamkan mata. Tapi semakin dipaksa untuk tidur, rasa kantuk semakin menjauh. Bayangan tentang sang suami berkeliaran di kepala."Bagaimana rasanya kalau pria yang menjadi suamimu masih dicintai mantannya?"Naima tahu Emir tidak mungkin sepenuhnya terlepas dari masa lalu. Bagaimanapun di antara mereka ada Aurel. Kenapa hubungan ini tidak bisa seperti orang-orang d

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status