Share

6. Sesal

Penulis: Lis Susanawati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-06 21:25:32

SETELAH AKU KAU MILIKI

- Sesal

"Bu Nai pergi jam dua belas tadi, Pak," jawab Mak Tam dengan tubuh gemetar saat menerima bosnya duduk di ruang tamu, di rumahnya yang sangat sederhana.

Saat melihat Emir berbelok menuju rumahnya tadi, Mak Tam sudah panas dingin.

"Apa yang terjadi, Mak?"

Wanita usia lima puluh tahun itu terlihat kebingungan sekaligus takut. Dia harus jujur atau menutupi karena sudah diancam oleh Bu Anjar. "Kalau sampai kamu buka mulut, jangan harap bisa bekerja di sini lagi." Wanita itu takut karena pekerjaan itu penting baginya.

"Mak, kenapa diam?" tanya Emir semakin gusar.

"Maaf, Pak. Saya sebenarnya kurang tahu apa yang terjadi tadi."

"Apa benar, Naima memang sengaja pergi meninggalkan rumah? Atau ada sesuatu yang membuatnya pergi?" Emir terus mendesak. Menyebabkan Mak Tam kian terpojok. Wajah wanita itu pias dan pucat. Membuat Emir semakin yakin kalau telah terjadi sesuatu. Jika memang tak ada apapun, Mak Tam pasti sudah bicara.

"Jujur saja, Mak."

"Nanti Pak Emir memecat saya?"

"Kenapa saya harus memecat Mak Tam. Mak, sudah lama ikut saya. Tolong ceritakan apa yang terjadi." Emir menatap serius.

Mak Tam diam sejenak, kemudian menarik napas panjang. Dia tetap saja tak berani bicara.

"Begini, Pak Emir." Tiba-tiba anak sulung Mak Tam berada di antara mereka. Wanita berhijab lebar itu tak peduli dengan tatapan emaknya yang memberi isyarat untuk diam.

"Gimana, Mbak?"

"Emak saya diancam oleh Bu Anjar kalau berani menceritakan yang sebenarnya pada, Bapak." Tidak peduli emaknya khawatir, wanita gemuk itu tetap memberitahu pada Emir.

"Saya nggak akan memecat. Tolong jujur saja, ada apa ini?"

Bukan Mak Tam yang cerita, tapi anaknya yang bernama Sri itu. Sebab sepulang dari rumah majikannya, Mak Tam cerita pada sang anak. Waktu itu Sri melihat emaknya membawa barang-barang milik Naima dan Zahra pulang ke rumah. "Sri, ini punya Bu Naima dan anaknya. Jangan disentuh loh ya. Biar Emak simpen. Kalau sewaktu-waktu bertemu beliau, kita kasihkan," pesan Mak Tam pada Sri. "Sebenarnya disuruh buang, tapi Emak nggak sampe hati," lanjutnya.

Mendengar hal itu, tubuh Emir lemas. Dia baru menyadari kalau selama ini tak begitu mendengar apa kata Naima. Dia terlalu percaya pada mamanya dan Aurel.

"Sebenarnya saya dititipi surat sama Ibu, Pak. Suruh ngasihkan ke Bapak. Tapi waktu saya mau pulang, surat yang saya simpan di bupet hilang."

Emir menegakkan duduknya dan semakin tegang. "Isinya apa, Mak?"

"Saya nggak baca, Pak. Sebab saya nggak berani buka. Ibu cuman bilang kalau mau pergi." Mak Tam menyeka air mata. Ia teringat bagaimana kejamnya Bu Anjar pada Naima dan Zahra. Namun Mak Tam tidak berani menceritakan keseharian mereka yang dimusuhi Bu Anjar. Takut kalau nanti terjadi keributan.

"Nai bilang hendak pergi ke mana?"

"Bu Naima nggak bilang apa-apa, Pak."

Akhirnya Emir pamitan. Dia harus ke rumah mertuanya yang berada di pinggiran kota. Siapa tahu Naima pulang ke sana. Istrinya tidak punya tempat untuk pergi selain rumah lama bapaknya.

Dengan kecepatan tinggi Emir melajukan mobilnya ke arah barat. Dia mengabaikan ponselnya yang terus berpendar. Ada panggilan masuk dari mamanya. Ada juga dari adiknya. Yang ada di kepalanya hanya bertemu Naima dan Zahra.

Masuk desa itu tepat bersamaan dengan azan maghrib berkumandang. Emir mampir salat sebentar di masjid. Setelah itu langsung ke alamat mertuanya. Dan di sana sangat sepi. Rumah itu kosong dan gelap. Ia yakin Naima tidak ada di sana. Sebab Zahra takut dengan gelap, tidak mungkin Naima tak menyalakan lampu.

Dengan frustasi, Emir pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan, ia memperhatikan trotoar atau halte bis. Siapa tahu bisa bertemu sosok Naima dan Zahra di sana. Namun nihil.

Masuk ke rumah, Emir bersikap biasa saja. Dia tidak akan menegur sang mama. Tapi diam-diam akan mencari keberadaan istrinya. Kalau sampai dia ribut, keadaan akan semakin rumit.

Dan ketika Emir dalam keadaan lesu saat makan malam pun, mamanya tidak menanyakan apapun. Ini semakin membuatnya percaya dengan apa yang dikatakan Mak Tam.

Anehnya juga, Aurel tidak menanyakan ke mana mama tirinya dan Zahra pergi. Anak itu asyik bermain di kamar setelah belajar. Habis itu minta ditemani tidur. Emir juga tidak mengorek keterangan apapun dari putrinya. Nanti saja. Hatinya sedang kebingungan dan dilanda amarah. Khawatir nanti justru tidak bisa mengendalikan emosinya. Aurel baru berumur tujuh tahun. Dia tidak akan mengerti kalau tak dipengaruhi.

Setelah anaknya tidur, Emir kembali ke kamarnya sendiri. Kesunyian sangat terasa. Ada sesal, kenapa ia meragukan perkataan Naima. Kenapa ia membiarkan mamanya ikut campur dalam rumah tangganya.

"Mama akan tinggal sementara di rumahmu, Mir. Bisa sambil ngawasi Aurel. Dia kan belum terbiasa sama ibu tiri dan saudara tiri. Kasihan dia nanti." Emir ingat ucapan mamanya, beberapa bulan setelah Aurel tinggal bersamanya.

Emir setuju, karena dipikir bisa membantu Naima mengawasi dua bocah yang sedang aktif-aktifnya. Tapi ternyata, inilah awal yang menghancurkan hubungannya dengan Naima.

Diraihnya kembali ponsel di nakas. Tapi nomer Naima tetap tidak aktif. Dikirimi pesan juga centang satu.

Malam itu Emir tidak bisa tidur.

🖤LS🖤

"Sekolah yang pintar, ya. Aurel nggak boleh nakal," pesan Emir pada Aurel di pintu gerbang sekolah. Anak itu mengangguk lantas berlari menuju kelasnya.

Terasa ada yang kosong. Biasanya ia mengantarkan dua anak setiap pagi. Nanti pulang sekolah, Naima yang menjemput mereka.

Emir tidak segera pergi. Dia menunggu dalam mobil. Siapa tahu Zahra di antar Naima masuk sekolah. Namun sampai siang dan anak-anak masuk kelas semua, Zahra tidak terlihat.

Akhirnya Emir turun dan melangkah ke kantor untuk bertemu wali kelas satu.

Setelah beberapa menit menunggu. Bu Umi yang merupakan guru wali kelas satu datang menemui.

"Iya, Pak. Zahra nggak masuk sekolah. Aurel saya tanya, katanya Zahra pergi. Sebenarnya ada apa, Pak?"

Emir terdiam sejenak. Bukannya menjawab, ia malah bertanya tentang sikap anak-anaknya di sekolah.

"Zahra itu sangat mengalah sama Aurel. Disuruh apapun sama Aurel selalu nurut. Zahra nggak nakal, Pak. Dia anak yang sangat cerdas sebenarnya. Tapi akhir-akhir ini sering murung.

"Saya nggak memihak pada siapapun. Tapi saya melihat sendiri bagaimana Zahra sering disuruh Aurel menuliskan tugasnya. Pernah juga saya melihat Aurel mendorong Zahra hingga terjatuh di depan kelas."

Mendengar itu Emir benar-benar lemas. Dadanya bergemuruh hebat. Zahra memang bukan anak kandungnya, tapi yang diketahui anak itu, dirinyalah ayahnya.

"Bu, saya berpesan. Kalau hari ini, esok, atau lusa, Zahra dan mamanya ke sekolah. Tolong hubungi saya secara diam-diam. Saya akan ke sini."

Bu Umi yang tahu tentang bagaimana hubungan mereka, akhirnya mengangguk. "Ya, Pak. Nanti saya telepon Pak Emir."

"Kalau gitu saya pamit, Bu. Saya tunggu kabarnya. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Emir meninggalkan sekolahan. Beberapa menit setelah mobil Emir pergi, taksi yang membawa Naima dan Zahra berhenti tepat di depan gerbang sekolah.

Next ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (14)
goodnovel comment avatar
PiMary
Ini yg ku suka dr karya2 mu mba,sat set gak banyak cingcong.....ga ada yg terus ngalah walau ditindas,semuanya normal spt sifat manusia sesungguhnya....spt Naima yg sabar tp pandai mengambil sikap.
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
eee malah gak papasan ya.naina km mau pergi kmn Lo mau mindahin sekolah Zahra ya..
goodnovel comment avatar
au nom de lalun
catatan penting untuk kita, mental anak lebih prioritas daripada cinta ke pasangan. selamatkan mental anak Indonesia!!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Setelah Aku Kau Miliki   143. Tamu Dari Jauh 3

    Ketegangan mulai melunak. Aprilia mengeluarkan dua kotak kecil, kado untuk Aurel dan Zahra. "Ini kado dari Nenek, ya. Ayo kalian terima.""Tante, Nenek sudah ngasih sepatu sama Aurel kemarin," ujar Aurel."Nggak apa-apa. Ini hadiah kembaran untuk kalian," jawab Aprilia. Dua hari yang lalu mama mertuanya minta tolong padanya untuk memberikan dua kalung emas yang liontinnya merupakan inisial nama Aurel dan Zahra."Terima kasih, Nek." Zahra bicara sambil menyentuh tangan Bu Anjar. Aurel juga melakukan hal yang sama."Dipakai selama liburan, ya. Kalau sekolah nggak boleh pakai perhiasan kecuali anting-anting." Naima memberitahu dua anaknya.Dua gadis kecil itu mengangguk.Kemudian mereka duduk berbincang-bincang. Emir menceritakan kedatangan pamannya Zahra dari Kalimantan. Cerita maksud kedatangannya mencari Zahra. Intinya untuk tanggung jawab. Ia juga menjelaskan kenapa mereka diam untuk beberapa tahun ini, karena kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. Emir sengaja membahasnya di de

  • Setelah Aku Kau Miliki   142. Tamu Dari Jauh 2

    "Sewaktu Kak Ridho baru meninggal, kondisi kami nggak baik-baik saja karena Papa sakit, Mbak. Beliau shock juga mendengar Kakak nggak ada. Saya sendiri juga masih tahap nyari pekerjaan waktu itu. Sedangkan kakak satunya juga baru menikah." Cerita Rony. Dia adiknya Ridho yang nomer dua. Mereka tiga bersaudara."Nggak apa-apa, Ron. Mbak juga ngerti. Alhamdulillah, kami baik-baik saja di sini bersama Mas Emir." Naima memandang pada suaminya. Tentu saja Naima tidak menceritakan kisah pahit yang dijalani selama ini.Rony manggut-manggut sambil menatap Emir. Melihat keadaan mereka, Rony yakin kalau kakak ipar dan keponakannya bersama orang yang tepat. Rumahnya besar dan mewah. Naima juga sudah berhijab. Zahra sangat terawat. Emir kelihatan sosok yang sangat bertanggung jawab dan melindungi."Ketika Papa sudah mulai pulih, kami menghubungi Mbak Naima. Tapi sudah nggak bisa. Papa sempat kepikiran, karena Zahra sebenarnya tanggung jawab kami."Emir yang duduk dengan tenang merasa kagum dengan

  • Setelah Aku Kau Miliki   141. Tamu Dari Jauh 1

    SETELAH AKU KAU MILIKI - 54 Tamu Dari JauhEmir melangkah ke arah pintu pagar. Dadanya sedikit berdebar saat memandang wajah pria itu. Dia seperti teringat seseorang yang tidak seberapa dikenalnya."Assalamu'alaikum," ucap lelaki yang berdiri di luar pagar, saat Emir membuka pintu."Wa'alaikumsalam. Maaf, Mas mencari siapa, ya?"Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Saya Rony. Benarkah ini rumah Mas Emir suaminya Mbak Naima Fahira?""Ya, saya sendiri. Emir.""Saya adiknya Kak Ridho. Almarhum suaminya Mbak Naima. Maaf, kalau kedatangan saya mengganggu. Tadi saya ke alamatnya Mbak Naima, lalu di kasih tahu sama tetangga di sana, tentang Mas Emir dan alamat rumah ini. Saya datang dari Samarinda, Mas. Ingin bertemu ponakan saya. Maulida. Baru kali ini saya bisa berkunjung setelah kepergian kakak saya."Emir sekarang ingat dengan wajah itu. Mirip sekali dengan Ridho. Dia tidak pernah bertemu Ridho. Hanya melihat dari foto yang ada di rumah Naima waktu itu. Tapi masih lumayan ingat bagaimana

  • Setelah Aku Kau Miliki   140. Ingin Bertemu 3

    "Nggak pakai kausnya Mas malam ini?" tanya Emir sambil memandang istrinya.Spontan Naima memandang sang suami. "Zahra yang ngasih tahu," lanjut Emir. Membuat wajah Naima bersemu merah karena malu. Bisa-bisanya Zahra bocor pada papanya. Lalu apalagi yang diceritakan anak itu.Tapi kalau malam ini tidak memakai baju Emir, karena suaminya sedang bersamanya. Bukankah aroma tubuhnya yang digandrungi selama hamil ini. Duh, Naima mendadak melankolis. Dadanya sesak ingin menangis di pelukan suaminya. 'Sungguh kamu bikin malu ibu, Nak.'"Sini!" Emir menarik pelan lengan istrinya. Dan Naima tidak bisa menahan diri dan benar-benar menangis di dada sang suami. Emir mendekapnya erat. Semenjak kehamilan ini, ia menjadi berbeda. Apa ini bawaan bayi?Hari-hari yang dilalui tanpa Emir, dia menjadi sosok ibu yang kuat. Bahkan sanggup merahasiakan segala keluhan agar suaminya tidak khawatir. Tapi malam ini, Naima menyerah dan ingin dimanja. Untung anak-anak tidur lebih cepat.Malam beranjak larut dan

  • Setelah Aku Kau Miliki   139. Ingin Bertemu 2

    Emir membantu menata makanan di atas meja. Ada ayam goreng, ikan bakar, sup hangat, sambal matah, lalapan, dan buah-buahan yang kini memenuhi meja makan. Ia memanggil anak-anak, sedangkan Naima mencuci anggur dan memotong apel.Malam itu suasana ruang makan begitu hangat. 🖤Di Tulungagung, mobil Yesi melaju pelan menembus jalanan yang mulai sepi. Dia sedang perjalanan pulang dari rumah mamanya.Masih terngiang bagaimana percakapannya dengan mantan suaminya tadi. Lelaki yang seharusnya memaki-maki karena sudah dijebak, tapi Emir hanya memberikan ultimatum bahwa dirinya tidak bisa menemui Aurel dalam waktu dekat. Dan itu memang hukuman yang paling berat bagi seorang ibu."Aurel sudah liburan, Mbak nggak mau mengajaknya ke sini. Bisa dikenalin sama Mas Doni sebagai ayah sambungnya. Toh Mas Doni juga kelihatan welcome banget menerima kenyataan tentang kalian." Weni berkata demikian saat mereka ngobrol berdua di rumah mamanya.Mendengar itu Yesi masih diam."Nggak usah kelamaan mikir. Se

  • Setelah Aku Kau Miliki   138. Ingin Bertemu 1

    SETELAH AKU KAU MILIKI - 53 Ingin Bertemu "Halo," sapa Emir dengan dingin setelah menjauh dari anak-anak."Aku ingin bertemu Aurel. Dia sudah liburan sekolah, kan? Biarlah beberapa hari bersamaku." Suara Yesi di seberang. Kali ini nada suaranya merendah."Kamu ingin mengenalkan Aurel pada Papa barunya?" todong Emir. Hening. Saat itu Emir benar-benar mengendalikan emosinya biar tidak meledak. Kalau ikutkan kata hati, ingin rasanya memaki Yesi karena telah merencanakan jebakan untuknya malam itu. Namun ia menahan diri. Ingat kalau sekarang Naima sedang hamil dan dia sedang berada di hadapan anak-anak."Aku kangen sama dia. Paling nggak biarkan dua atau tiga hari bersamaku. Liburannya panjang, kan?""Aku nggak tega dia bersamamu untuk saat-saat sekarang ini.""Maaf. Aku benar-benar minta maaf atas kejadian beberapa hari yang lalu. Mungkin kamu nggak akan memaafkanku. Tapi tolong izinkan aku bertemu Aurel." "Kamu masih punya muka juga bertemu dengan anakmu. Jujur saja, aku nggak ingi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status