"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Inggit! Inggit! Mana makanan buat aku dan Mama makan?" Suara itu tidak lain teriakan Mas Dimas.Setengah berlari, aku menghampiri suamiku yang tengah berteriak tersebut. Mataku melebar ketika menatap wajah Mas Dimas yang tampak marah. Suamiku itu pulang lebih cepat dari biasanya."Maaf, Mas, tadi ketiduran, lagian ini baru jam empat kok tumben udah pulang? Biasanya kalau—" Baru sepotong aku bicara, tapi Mas Dimas sudah menyuruhku berhenti dengan menggunakan tangannya. Iya menekan tangan ke bawah dan aku tahu itu sebuah perintah."Lihat sendiri, kan? Dari tadi istrimu itu main handphone terus. Makanya belum masak sudah jam empat sore," ucap Mama mertuaku, dia tinggal bersama kami, sebab suaminya alias ayah mertuaku sudah lama meninggal dunia. Lagi pula Mas Dimas adalah anak tunggal."Mah, tadi kan aku bilang ketiduran," sanggahku tak terima.Tiba-tiba Mas Dimas maju ke arahku. Kini posisi kami saling berhadapan. Jarak kami sekitar satu jengkal saja.Jari telunjuk Mas Dimas berada di
"Heh, kamu telepon siapa itu?" Seketika mataku membuka lebar saat Mas Dimas memergoki.Aku sontak meletakkan ponsel, lalu bicara sebentar dengan Mas Dimas. Telepon genggam sengaja tidak aku matikan supaya ibu mendengar bahwa ada Mas Dimas di sini."Siapa yang telepon?" Mas Dimas mendongakkan dagunya seraya orang curiga."Bukan siapa-siapa," jawabku bohong.Mata Mas Dimas menyipit, ia melirik ke arah ponsel yang aku letakkan di atas ranjang. Sungguh dadaku bergetar hebat ketika matanya menyorot penuh.Kakinya mulai melangkah, aku benar-benar tak tenang sekarang, ia meraih ponsel itu dan mengambilnya."Siapa ini? Kok belum dimatikan?" tanya Mas Dimas.Aku terdiam, masih takut ingin bicara jujur padanya."Halo, Dimas, jangan marahi Inggit!" Ibu, suara itu suara ibu dari ujung telepon membujuk Mas Dimas, itu artinya aku tidak bisa berbohong lagi padanya.Kemudian, Mas Dimas mengaktifkan speakernya di hadapanku. Tatapannya itu sangat sinis, aku tahu bahwa Mas Dimas tengah marah karena tadi
"Kamu Inggit?"Aku menatap sesosok pria di hadapanku dengan curiga.“Saya yang dimintai tolong oleh Bu Anis untuk menjemput kamu.”Baru setelah mendengar itu, aku mengangguk dan tersenyum. Pria itu langsung membuka pintu mobil dengan cepat, tapi aku masih terdiam melihat sosok laki-laki tampan bertubuh tinggi, hidungnya yang bangir dan rambut hitam legam membuatku seketika tak berkedip."Masuk kamu, jangan berdiri di situ!" perintah laki-laki itu.Aku terkesiap dan mengedarkan pandangan ke sembarang tempat."Ya, saya masuk."Buru-buru aku menyudahi panggilan dengan ibuku dan masuk ke dalam mobil."Tante," sapa suara anak kecil. Aku terkejut, ternyata ada seorang gadis mungil yang tengah duduk di belakang bersamaku.Ini efek dari memandang laki-laki lain selain suami sendiri, jadi gagal fokus pada apa pun yang ada di sekitar."Eh, kamu lucu dan cantik, kok ada di sini?" "Iya, Tante, aku ikut Papa," jawabnya membuatku menelan ludah. Ternyata laki-laki itu sudah berkeluarga, bahkan memi
"Are you oke, Inggit? Kenapa jadi melamun?" tanya Pak Pram membuyarkan lamunanku yang mengingat Mas Dimas.Aku memilih diam, tidak menjawab pertanyaan darinya, sebab memang saat ini aku teringat suami yang telah melarang untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Kini, semua itu menjadi penyesalan tersendiri. Andai saja Mas Dimas tidak melakukan hal itu lima tahun lalu, mungkin bapak masih bersama ibu, dan aku bisa memeluk raganya. Sekarang? Aku hanya bisa menyaksikan jasadnya di pembaringan."Kamu kan punya suami, apa aku hubungi suamimu untuk menenangkan istrinya di sini?" Pak Pram menawarkan hal yang menurutku sangat rawan."Ja-jangan, Pak. Nggak usah, terima kasih, aku ingin fokus menenangkan Ibu, justru beliau yang lebih kehilangan," ucapku.Kalau Mas Dimas sampai tahu keberadaanku di Kalimantan, ia pasti ngamuk besar, karena sepengetahuannya aku itu ke Karawang."Oh begitu, ya sudah, kalau begitu, aku keluar dulu, jika butuh sesuatu, panggil aja," pesan Pak Pram, aku pun mengangguk
Aku dikejutkan dengan lambaian tangan Pak Pram, ia membuyarkan lamunanku yang seketika membayangkan wajah sangar suamiku ketika ia marah. Gigi gingsul dari senyum Pak Pram terlihat ketika menatapku yang gelagapan saat ia mengejutkanku."Maaf, kalau bikin kaget, abis wajahmu kelihatan kaku gitu," celetuk Pak Pram.Bagaimana tidak kaku, setelah membaca ancaman Mas Dimas, dapat dipastikan aku pulang takkan selamat dari cengkraman laki-laki yang hanya memanfaatkan ragaku ini."Masih bengong juga?" tanya Pak Pram memastikan sekali lagi."Hm, maaf, Pak. Saya hanya kepikiran---" Aku tak melanjutkan ucapanku."Kepikiran apa? Dimas kah yang kau maksud?" cecarnya membuatku tambah gugup."I-iya, Pak. Suami saya galak," jawabku.Aku menghela napas sambil memejamkan mata. Entah ini pilihan baik atau buruk menceritakan aib rumah tangga terhadap orang lain. Terlebih lagi yang aku dengar dari ibu, kalau Pak Pram ini adalah pemilik perusahaan di mana tempat Mas Dimas bekerja."Nanti kita bicarakan lag
Pak Satria turun dari mobilnya, ia melangkah ke arah kami, lalu setelah sudah di depanku persis ia mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan."Boleh kami masuk dulu? Ada yang ingin kami bicarakan," ucap Pak Satria.Dikarenakan terkejut melihat kedatangannya, aku pun sampai lupa mempersilakannya masuk. Kemudian, kami bicara di ruangan tamu. Mata mereka menyorot ke arah tas yang ada di lantai."Kalian mau pulang ke Jakarta sekarang?" tanya Pak Pram."Niatnya iya," jawabku singkat."Bu Anis juga ikut?" susul Pak Satria."Iya, Pak. Saya sudah tidak ada tempat lagi untuk tinggal, jadi mau tidak mau ikut bersama Inggit dan juga keluarga suaminya." Ibuku menjelaskan alasan ikut ke Jakarta."Apa tidak ada pilihan lain? Pram sudah ceritakan semua yang dia dengar kemarin," sambung Pak Satria membuatku dan ibu saling bertumbuk pandangan."Maaf, kalau saya menceritakan pada Papa, soalnya ada yang harus diluruskan," ungkap Pak Pram."Iya, kami dengar kamu itu hanya dijadikan pembantu oleh suami,