Share

Setelah Bapak Tiada
Setelah Bapak Tiada
Penulis: Pistachio

Episode 1

Juli, 2011

~•°•~

"Rindu, Ibu minta maaf tidak bisa memberimu izin membawa ijazah ini pulang. Silakan kamu sidik jari dan catat nilainya, ya. Supaya bisa diperlihatkan pada ibunda di rumah."

Aku mengulum senyum mendengar penjelasan Ibu Marni, Kepala Bagian Kurikulum. Di atas meja tepat di hadapanku, terhampar ijazah sebagai tanda selesainya pendidikan di sekolah ini. SMAN 01 Gunung Sandi.

Harmoni Rindu Umayyah, tertulis dengan huruf besar dan sedikit timbul. Sebelum menempelkan sidik tiga jari di dekat pas foto, aku raba sedikit kertasnya. Ada harapan yang mengalir melalui pori-pori kulitku rasanya.

"Sabar ya, Nak. Pasti akan ada jalan untuk membawanya pulang." Bu Marni terdengar menguatkan.

Aku menatap sebentar ke arah Bu Marni. Manik-manik kaca terbentuk di sana. Bukan tanpa alasan ijazahku sampai tertahan. Tunggakan uang sekolah, tidak bisa ditolerir lagi.

"Masih untung ananda diizinkan ikut ujian. Namanya sekolah memang butuh biaya, tidak ada yang gratis." Kalimat itu kuterima saat mengambil nomor ujian. Aku tahu maksud petugas TU bagian keuangan itu baik. Sepertinya aku saja yang baper. Terlalu mengambil hati. Hingga sampai detik ini, jika teringat beliau berkata begitu ... ada desir yang entah apa namanya.

Tak patut aku marah pada beliau. Semuanya murni kesalahan diriku. Aku yang tidak sanggup mencicil tunggakan uang sekolah selama setahun berakhir. Maka tak lantas harus jengkel dengan cara petugas TU memberikan pelayanan.

Bapak sudah pergi setahun lamanya. Sejak saat itu, kami tertatih-tatih untuk bertahan. Pernah aku ingin berhenti sekolah, tapi Emak memukuliku dengan ikat pinggang milik Bapak. Rasanya sakit dan perih. Setelah itu tidak berani lagi aku mengungkit soal berhenti sekolah.

"Kasihan sekali Rindu ya, Bu Marni. Padahal nilainya paling tinggi loh di jurusan IPA. Nomor 2 terbaik di sekolah kita. Nomor 6 terbaik setingkat kabupaten. Masya Allah. Andailah aku ada rezeki lebih, mau aku menguliahkan anak itu." Samar-samar kudengar pembicaraan Pak Huspri kepada Bu Marni.

"Betul, Pak. Saya juga prihatin sekali. Rindu itu anak baik. Selama tiga tahun sekolah di sini, tidak pernah ada rekam jejak jeleknya. Nantilah kasus berat, datang terlambat saja dia tidak pernah. Semangat untuk bersekolah itu tinggi. Nasibnya saja kurang beruntung."

Bukan maksudku menguping pembicaraan guru. Tidak sengaja terdengar ketika hendak meninggalkan ruangan tersebut. Diam-diam ada yang nyeri di dadaku. Barangkali betul apa yang dikatakan oleh Bu Marni. Nasibku saja yang kurang beruntung.

Secarik surat berisi keputusan beasiswa ada dalam genggaman. Tinggal memilih YA atau TIDAK untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ternama di kota Padang. Di saat orang-orang berjuang dengan persaingan yang ketat untuk bisa kuliah di sana, aku justru diundang agar berkuliah tanpa tes. Tidak hanya itu, pilihan jurusannya juga favorit semua orang.

Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas. Menjadi mahasiswa undangan, diberikan beasiswa penuh. Akan tetapi, apakah jalan itu bisa aku lalui?

Ingin rasanya memberitahu Emak kabar bahagia ini. Hanya saja aku khawatir, kabar ini justru akan menjadi pemberat pikiran beliau. Emak pasti akan memaksa agar mengambil kesempatan itu.

Sebelum pulang, sengaja aku mampir ke pusara Bapak. Sudah sebulan lebih aku tidak berkunjung ke rumah peristirahatan beliau. Ada rindu di hati, seperti nama yang beliau sematkan untukku.

Rumput mulai meninggi di tanah makam bapak. Daun-daun kering menumpuk cukup banyak. Sudah lama aku tidak datang. Semoga bapak tidak marah.

"Pak, apa kabar?"

Daun-daun kering yang menutupi nisan, aku singkirkan. Rumput-rumput liar aku cabut satu persatu. Aku merapikan kembali batu-batu yang bergeser letaknya.

"Rindu bawa kabar baik, Pak. Pertama, alhamdulilah akhirnya sekarang Rindu sudah tamat SMA. Kedua, alhamdulilah lagi karena nilai Rindu bagus semua, tertinggi nomor 2 di sekolah. Tetapi, maafkan Rindu belum bisa membawa pulang ijazahnya.

Perlahan tapi pasti, mataku memanas. Beginilah rasanya teringat akan bapak, tapi hanya bisa bicara sendiri sambil menatap nisan yang bisu. Ada yang meremas hati ini, pedih.

"Oh ya, Pak. Rindu dapat undangan ke UNAND. Kata guru di sekolah ini seperti tiket untuk ujian masuk ke sana. Tinggal ikut ujian saja, Pak. Peluang kelulusan juga 70% kurang lebih."

Tidak, aku tidak boleh menangis. Kata Emak, menangis bisa memberatkan bapak di sana.

"Dulu bapak pernah bilang, Rindu harus jadi dokter. Biar kalau bapak sakit, ada yang obatin. Sekarang langkah menuju harapan bapak itu terpampang di depan Rindu. Entahlah, rasanya bingung, Pak. Rindu takut menjadi beban untuk Emak."

Tanpa terasa sudah rapi lagi makam bapak. Tidak ada rumput liar dan dedaunan kering. Batu nisan bapak sudah aku lap bersih dengan tisu. Cantik lagi rumah bapakku.

"Rindu pamit dulu, Pak. Lusa insya Allah mampir lagi."

Aku munajatkan alfatihah, sebelum beranjak meninggalkan pusara. Meski begitu saja yang aku bisa, bicara sendiri pada batu-batu, sudah membuat sedikit rasa lega. Hasrat yang tadi memenuhi rongga dada, terlepaskan barang seadanya.

Dari pusara, aku tak langsung pulang. Sengaja aku mampir dulu ke rumah kakakku satu-satunya, Kak Kasih. Kami hanya dua bersaudara. Jarak usia kami terpaut jauh. Kak Kasih sudah 27 tahun, aku baru 18 tahun.

Dia tinggal tidak jauh dari rumah Emak. Sengaja mengontrak, ikut suaminya. Katanya supaya tidak ada kesan-kesan tidak mengenakkan. Setiap hari ia biasanya datang mengunjungi Emak.

Sehari-hari Kak Kasih bekerja sebagai buruh harian. Membersihkan bawang merah punya juragannya. Diupah berdasarkan banyak kilo yang terselesaikan. Sambil menjaga anak-anak, Kak Kasih setiap hari bergelimang dengan daun-daun bawang yang sudah kering.

"Assalamualaikum, Kak."

"Walaikumsalam. Dari sekolah, Rin?"

"Iya, Kak. Banyak kerjaan ya, Kak. Boleh Rindu ikut?"

"Janganlah, ini sedikit namanya, Dek. Besok kalau masuk bawang baru, bolehlah ikut, ya. Ini nanggung juga."

"Bener ya, Kak."

"Iya, Insya Allah. Kamu habis menangis, Rin? Sudah makan, kalau belum makanlah dulu. Kakak ada masak orek tempe tadi."

"Nanti Rindu makan."

Kak Kasih menghentikan kegiatan. Kini dia menatap padaku lekat. Rasanya sekali lagi ingin menangis keras, membagi rasa kerinduan pada bapak padanya. Aku tahan, aku tahan, Kak Kasih jangan sampai ikut sedih.

"Kenapa, Rin?" lirihnya.

"Nggak ada apa-apa." Suaraku mulai bergetar dan tenggelam.

"Apa, Rin?"

"Nggak ada, Kak." Kuhela napas sedalam-dalamnya.

"Ceritakan, Dek!"

"Rindu dapat undangan, Kak. Un--undangan kuliah ke-dok-te-ran di UNAND." Aku takut-takut menyelesaikan kalimatnya.

"Masya Allah, Rindu!" pekik Kak Kasih menghambur memelukku. "Masya Allah."

"Alhamdulilah, Kak." Aku telah menangis juga.

"Emak sudah tahu? Masya Allah, betapa bangganya bapak kita melihatmu, Dek. Kakak sampai bingung mau bilang apa. Dek, ayo kita ke Emak. Secepatnya Emak harus tahu kabar bahagia ini."

Kak Kasih segera berdiri. Merapikan roknya sebentar. Menutup pintu dan menggendong anaknya yang bungsu. Satu tangan lagi menggandeng tanganku. Kak Kasih tidak peduli dengan aku yang keberatan dengan rencananya.

"Kak, tunggu."

"Tunggu apalagi, Rin. Buruan."

Jangan kasih tahu emak dulu, Kak. Rindu belum siap. Hanya bisa menolak dalam hati. Aku kalah melihat antusias Kak Kasih.

~•°•~

To be continue!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status