Share

Setelah Bapak Tiada
Setelah Bapak Tiada
Author: Pistachio

Episode 1

Author: Pistachio
last update Last Updated: 2022-06-12 12:41:31

Juli, 2011

~•°•~

"Rindu, Ibu minta maaf tidak bisa memberimu izin membawa ijazah ini pulang. Silakan kamu sidik jari dan catat nilainya, ya. Supaya bisa diperlihatkan pada ibunda di rumah."

Aku mengulum senyum mendengar penjelasan Ibu Marni, Kepala Bagian Kurikulum. Di atas meja tepat di hadapanku, terhampar ijazah sebagai tanda selesainya pendidikan di sekolah ini. SMAN 01 Gunung Sandi.

Harmoni Rindu Umayyah, tertulis dengan huruf besar dan sedikit timbul. Sebelum menempelkan sidik tiga jari di dekat pas foto, aku raba sedikit kertasnya. Ada harapan yang mengalir melalui pori-pori kulitku rasanya.

"Sabar ya, Nak. Pasti akan ada jalan untuk membawanya pulang." Bu Marni terdengar menguatkan.

Aku menatap sebentar ke arah Bu Marni. Manik-manik kaca terbentuk di sana. Bukan tanpa alasan ijazahku sampai tertahan. Tunggakan uang sekolah, tidak bisa ditolerir lagi.

"Masih untung ananda diizinkan ikut ujian. Namanya sekolah memang butuh biaya, tidak ada yang gratis." Kalimat itu kuterima saat mengambil nomor ujian. Aku tahu maksud petugas TU bagian keuangan itu baik. Sepertinya aku saja yang baper. Terlalu mengambil hati. Hingga sampai detik ini, jika teringat beliau berkata begitu ... ada desir yang entah apa namanya.

Tak patut aku marah pada beliau. Semuanya murni kesalahan diriku. Aku yang tidak sanggup mencicil tunggakan uang sekolah selama setahun berakhir. Maka tak lantas harus jengkel dengan cara petugas TU memberikan pelayanan.

Bapak sudah pergi setahun lamanya. Sejak saat itu, kami tertatih-tatih untuk bertahan. Pernah aku ingin berhenti sekolah, tapi Emak memukuliku dengan ikat pinggang milik Bapak. Rasanya sakit dan perih. Setelah itu tidak berani lagi aku mengungkit soal berhenti sekolah.

"Kasihan sekali Rindu ya, Bu Marni. Padahal nilainya paling tinggi loh di jurusan IPA. Nomor 2 terbaik di sekolah kita. Nomor 6 terbaik setingkat kabupaten. Masya Allah. Andailah aku ada rezeki lebih, mau aku menguliahkan anak itu." Samar-samar kudengar pembicaraan Pak Huspri kepada Bu Marni.

"Betul, Pak. Saya juga prihatin sekali. Rindu itu anak baik. Selama tiga tahun sekolah di sini, tidak pernah ada rekam jejak jeleknya. Nantilah kasus berat, datang terlambat saja dia tidak pernah. Semangat untuk bersekolah itu tinggi. Nasibnya saja kurang beruntung."

Bukan maksudku menguping pembicaraan guru. Tidak sengaja terdengar ketika hendak meninggalkan ruangan tersebut. Diam-diam ada yang nyeri di dadaku. Barangkali betul apa yang dikatakan oleh Bu Marni. Nasibku saja yang kurang beruntung.

Secarik surat berisi keputusan beasiswa ada dalam genggaman. Tinggal memilih YA atau TIDAK untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ternama di kota Padang. Di saat orang-orang berjuang dengan persaingan yang ketat untuk bisa kuliah di sana, aku justru diundang agar berkuliah tanpa tes. Tidak hanya itu, pilihan jurusannya juga favorit semua orang.

Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas. Menjadi mahasiswa undangan, diberikan beasiswa penuh. Akan tetapi, apakah jalan itu bisa aku lalui?

Ingin rasanya memberitahu Emak kabar bahagia ini. Hanya saja aku khawatir, kabar ini justru akan menjadi pemberat pikiran beliau. Emak pasti akan memaksa agar mengambil kesempatan itu.

Sebelum pulang, sengaja aku mampir ke pusara Bapak. Sudah sebulan lebih aku tidak berkunjung ke rumah peristirahatan beliau. Ada rindu di hati, seperti nama yang beliau sematkan untukku.

Rumput mulai meninggi di tanah makam bapak. Daun-daun kering menumpuk cukup banyak. Sudah lama aku tidak datang. Semoga bapak tidak marah.

"Pak, apa kabar?"

Daun-daun kering yang menutupi nisan, aku singkirkan. Rumput-rumput liar aku cabut satu persatu. Aku merapikan kembali batu-batu yang bergeser letaknya.

"Rindu bawa kabar baik, Pak. Pertama, alhamdulilah akhirnya sekarang Rindu sudah tamat SMA. Kedua, alhamdulilah lagi karena nilai Rindu bagus semua, tertinggi nomor 2 di sekolah. Tetapi, maafkan Rindu belum bisa membawa pulang ijazahnya.

Perlahan tapi pasti, mataku memanas. Beginilah rasanya teringat akan bapak, tapi hanya bisa bicara sendiri sambil menatap nisan yang bisu. Ada yang meremas hati ini, pedih.

"Oh ya, Pak. Rindu dapat undangan ke UNAND. Kata guru di sekolah ini seperti tiket untuk ujian masuk ke sana. Tinggal ikut ujian saja, Pak. Peluang kelulusan juga 70% kurang lebih."

Tidak, aku tidak boleh menangis. Kata Emak, menangis bisa memberatkan bapak di sana.

"Dulu bapak pernah bilang, Rindu harus jadi dokter. Biar kalau bapak sakit, ada yang obatin. Sekarang langkah menuju harapan bapak itu terpampang di depan Rindu. Entahlah, rasanya bingung, Pak. Rindu takut menjadi beban untuk Emak."

Tanpa terasa sudah rapi lagi makam bapak. Tidak ada rumput liar dan dedaunan kering. Batu nisan bapak sudah aku lap bersih dengan tisu. Cantik lagi rumah bapakku.

"Rindu pamit dulu, Pak. Lusa insya Allah mampir lagi."

Aku munajatkan alfatihah, sebelum beranjak meninggalkan pusara. Meski begitu saja yang aku bisa, bicara sendiri pada batu-batu, sudah membuat sedikit rasa lega. Hasrat yang tadi memenuhi rongga dada, terlepaskan barang seadanya.

Dari pusara, aku tak langsung pulang. Sengaja aku mampir dulu ke rumah kakakku satu-satunya, Kak Kasih. Kami hanya dua bersaudara. Jarak usia kami terpaut jauh. Kak Kasih sudah 27 tahun, aku baru 18 tahun.

Dia tinggal tidak jauh dari rumah Emak. Sengaja mengontrak, ikut suaminya. Katanya supaya tidak ada kesan-kesan tidak mengenakkan. Setiap hari ia biasanya datang mengunjungi Emak.

Sehari-hari Kak Kasih bekerja sebagai buruh harian. Membersihkan bawang merah punya juragannya. Diupah berdasarkan banyak kilo yang terselesaikan. Sambil menjaga anak-anak, Kak Kasih setiap hari bergelimang dengan daun-daun bawang yang sudah kering.

"Assalamualaikum, Kak."

"Walaikumsalam. Dari sekolah, Rin?"

"Iya, Kak. Banyak kerjaan ya, Kak. Boleh Rindu ikut?"

"Janganlah, ini sedikit namanya, Dek. Besok kalau masuk bawang baru, bolehlah ikut, ya. Ini nanggung juga."

"Bener ya, Kak."

"Iya, Insya Allah. Kamu habis menangis, Rin? Sudah makan, kalau belum makanlah dulu. Kakak ada masak orek tempe tadi."

"Nanti Rindu makan."

Kak Kasih menghentikan kegiatan. Kini dia menatap padaku lekat. Rasanya sekali lagi ingin menangis keras, membagi rasa kerinduan pada bapak padanya. Aku tahan, aku tahan, Kak Kasih jangan sampai ikut sedih.

"Kenapa, Rin?" lirihnya.

"Nggak ada apa-apa." Suaraku mulai bergetar dan tenggelam.

"Apa, Rin?"

"Nggak ada, Kak." Kuhela napas sedalam-dalamnya.

"Ceritakan, Dek!"

"Rindu dapat undangan, Kak. Un--undangan kuliah ke-dok-te-ran di UNAND." Aku takut-takut menyelesaikan kalimatnya.

"Masya Allah, Rindu!" pekik Kak Kasih menghambur memelukku. "Masya Allah."

"Alhamdulilah, Kak." Aku telah menangis juga.

"Emak sudah tahu? Masya Allah, betapa bangganya bapak kita melihatmu, Dek. Kakak sampai bingung mau bilang apa. Dek, ayo kita ke Emak. Secepatnya Emak harus tahu kabar bahagia ini."

Kak Kasih segera berdiri. Merapikan roknya sebentar. Menutup pintu dan menggendong anaknya yang bungsu. Satu tangan lagi menggandeng tanganku. Kak Kasih tidak peduli dengan aku yang keberatan dengan rencananya.

"Kak, tunggu."

"Tunggu apalagi, Rin. Buruan."

Jangan kasih tahu emak dulu, Kak. Rindu belum siap. Hanya bisa menolak dalam hati. Aku kalah melihat antusias Kak Kasih.

~•°•~

To be continue!

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
kembang sepasang
apakah ini kisah nyata ????...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 100

    Berdesakan dengan masuknya waktu Magrib, kami mendarat selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Dari sini, masing-masing melanjutkan perjalanan ke daerah asal masing-masing. Ketika menuju terminal untuk tujuan ke Padang, darahku berdesir mengingat seseorang."Kita datang bertiga, kini pulang berdua," bisik Fuji menahan langkah. Dia seakan satu rasa denganku."Sudah setahun lebih berlalu, tapi Roby serasa masih bersama kita ya, Ji." Untuk sesaat kami saling berpelukan. Kemudian melanjutkan perjalanan menuju terminal untuk tujuan Bandara Internasional Minangkabau.Tiba di Padang, langsung ke kantor Gubernur untuk ramah tamah, padahal sudah larut malam. Aku ingin segera bertolak ke Solok, menziarahi makam ibu. Tetapi tidak bisa ... hingga tengah malam lewat, baru acaranya usai.Tidak mungkin menempuh perjalanan pulang selarut ini. Bang Farid mencari hotel untuk menginap, juga untuk Fuji. Papi akan menjemputnya keesokan hari. Sedangkan kami—aku dan Bang Farid—akan pulang ke Solok dengan travel.

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 99

    Menghitung beberapa bulan ke depan lagi aku di Jepang. Belakangan ini, selain kesibukan dinas, juga ditambah dengan pertemuan demi pertemuan di kantor KBRI. Kami—delegasi dari Indonesia—sering dibekali sebelum pulang ke tanah air.Beberapa rumah sakit pemerintah juga sudah melayangkan surat, siap menerima nantinya ketika sudah tiba di Nusantara. Benar-benar padat, tanpa jeda. Untuk tidur empat jam sehari saja rasanya sulit. Aku demam, flu, batuk, pilek, dehidrasi, anemia, sudah semuanya dilakoni. Berulang kali diinjeksi vitamin, infus glukosa, minum suplemen pendongkrak stamina. Allahu akbar, sungguh melelahkan jasmani dan rohani.Pertengahan Januari, berita duka itu datang menghantam. Ibu jatuh sakit dan dirawat di rumah sakit Padang. Aku tidak mendapatkan izin cuti, berbagai upaya aku lakukan. Bahkan jika harus resiko mengurangi nilai, aku tidak masalah. Saat itu rasanya depresi, tidak satu pun orang dapat membantuku agar bisa pulang ke Indonesia.Jalan itu berakhir buntu. Dengan te

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 98

    ♡♡♡♡♡Perlahan tapi pasti, kehidupan kami di Jepang mulai membaik. Bang Farid sudah tumbuh lagi optimis dalam dirinya. Omset penjualan berlian merangkak naik. Utang kepada Bang Wahyu mulai bisa dilunasi. Sedikit demi sedikit bisa menambah isi tabungan lagi.Di rumah sakit, aku juga mulai fokus penuh. Perlakuan rasis, masih sering terjadi. Apalagi dengan outfit berkerudung ini, mudah sekali mendapatkan perlakuan berbeda dari pasien yang datang. Tidak sekali dua kali aku mendapatkan penolakan dari keluarga pasien. Begitu pula dengan Dinar, sering menangis karena dibentak dan dihujat oleh keluarga pasien.Aku jarang menangis, bukan karena tak sedih, atau terlalu kuat dan tegar. Bukan karena aku terlalu tangguh. Siapa yang akan menguatkan Dinar jika aku berlaku lemah juga? Penolakan dari orang-orang bukan hanya sekarang aku rasakan. Sudah sejak kecil aku tahu rasanya ditolak itu bagaimana.Ketika ada waktu, kami para delegasi dari Indonesia akan berkumpul di city park. Melepaskan kerindua

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 97

    Aku Harmoni Rindu Umayyah, hanyalah manusia biasa. Aku bukan malaikat berhati putih, tanpa syak wasangka kepada orang lain. Di saat kondisi tertentu, jelas saja aku memikirkan banyak hal dalam kepala. Maaf, itulah aku ... Rindu si manusia biasa yang jauh dari kata sempurna.Keuangan kami benar-benar tertatih. Sedikit tabungan harus ditarik ulur untuk mencukupi kebutuhan hidup. Aku tahu Bang Farid frustasi, berkali-kali dia minta tolong kirimkan uang pada Bang Wahyu, tanpa boleh diketahui Ibu. Ini tidak boleh terjadi terus menerus. Kami tidak boleh memberatkan orang-orang di Indonesia.Hari itu, kami benar-benar kehabisan uang. Termasuk bahan-bahan untuk dimasak. Menyoal makan, tidak terlalu kami pusingkan. Tinggal bawa mangkok ke rumah tetangga, pasti langsung diberikan makanan lezat. Hans dan Ken beberapa kali juga membawakan makanan siap saji halal dari tempat mereka bekerja. Lain dengan Bong-san dan Takiya-san yang sering memberi bahan mentah. Mereka khawatir dengan kehalalan makan

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 96

    Ibu Palet bernama Mucikiha Hana, dirawat di sebuah rumah sakit swasta di pinggir kota Tokyo. Temanku, Sebastian dari Indonesia dapat penempatan di rumah sakit tersebut. Aku sangat meminta pertolongannya untuk merawat penyakit lambung kronis yang diderita oleh ibu Palet.Jika ada kesempatan libur, Palet yang berjaga di sana. Haruka ikut denganku, kadang-kadang tinggal di rumah dengan Bang Farid. Gadis kecil itu tidak banyak tingkah. Dia nurut saja apa pun yang diminta lakukan. Haruka kecil tidak banyak bicara, dia menderita masalah dalam komunikasi. Penyebabnya adalah selama ini tidak ada teman untuk simulasinya bertindak tutur.Biaya rumah sakit sungguh gila. Bukan maksudku keberatan dengan kemurahan hati Bang Farid. Tapi ...."Bisa kok, Bang. Kata Kak Meswa tinggal urus surat keterangan ke dinas terkait. Nanti dibuatkan asuransi kesehatannya Ibu Hana.""Menolong orang nggak boleh tanggung-tanggung, Rindu!" tegas Bang Farid.Malam semakin larut, tapi perdebatan antara kami tak menemuk

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 95

    Hari kelima~~Karls datang sendiri, tidak ada James dan Palet. Aku biarkan dia duduk, tanpa bertanya apa-apa. Juga membiarkan dia memesan sarapan dan segelas kopi. Aku sendiri membawa bekal dari rumah. Tidak lama, Dinar dan Sean juga bergabung. Keduanya pun membawa bekal sendiri."James hari ini libur," ujar Karls tanpa menatapku. "Palet juga izin libur, katanya tidak enak badan. Mungkin kebanyakan minum sake.""Palet sakit? Bukannya semalam dia hanya minum sedikit," selidikku menilik wajah Karls."Ya mungkin di rumahnya dia minum lagi, bisa jadi." James menjawab asal-asalan."Kamu mengetahui sesuatu tentang Palet? Kalian berteman sudah sangat lama, bukan?"Karls bergegas menghabiskan sarapannya. Menyeruput kopi. Dia menyandarkan punggungnya. Dia melirik arloji, lalu menoleh kepada Dinar dan Sean."Permasalahan hidup Palet itu sangat rumit, Rindu. Dia tampak kuat dan ugal-ugalan hanya untuk menutupi ketidakberdayaannya. Kebencian Palet kepada Islam juga bukan tanpa dasar. Dia punya tr

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 94

    Hari pertama~~Lima menit menunggu di kantin, Palet datang dengan James kawannya. Dia juga sama, seorang yang benci kepada Islam. Tentu, ini sangat bagus. Palet dan James, terangkul dalam sakali rengkuh.Aku mempersilakan mereka memesan sarapan. Selama seminggu ke depan, mereka dan kawan-kawannya yang juga islamophobia bebas makan apa pun dan akan kubayarkan. Terserah mau sebanyak apa, aku tidak peduli.Palet tersenyum meremehkan. Dia mungkin berpikiran aku sedang mengejeknya. Atau justru dia sedang mengira aku tengah menyogoknya.Sengaja aku berdoa keras sebelum menyantap bubur hangat di depan. Sementara Palet dan James langsung hap-hup tanpa aba-aba. Mereka makan dengan rakus, tergesa-gesa, dan berantakan. Sejujurnya itu memualkan, melihat orang dewasa makannya belepotan seperti anak balita.Mereka berdua sudah menghabiskan isi mangkok dalam hitungan menit. James kemudian memesan kopi, lain dengan Palet yang meminta sake."Kamu serius minum sake sepagi ini, Palet?" tanyaku dalam bah

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 93

    Pada sebuah rumah sakit swasta, aku mulai menjalani bakti sebagai dokter muda alias ko as. Betapa banyak hal yang harus disyukuri. Para tenaga medis, entah itu magang, ko as, atau sekedar praktikum singkat ... semuanya digaji sesuai jam terbang. Eh, maksudku jam dinas.Jika dalam sebulan tidak pernah absen, maka gaji yang akan aku terima kurang lebih sembilan juta rupiah. Namun, jika alpa maka akan dipotong sesuai persen yang ditetapkan. Apabila adanya tambahab jam lembur, maka tidak ada penambahan bonus. Direktur utama rumah sakit tersebut menyebutnya bukan gaji, tapi uang lelah.Namun, nominal sebesar itu kalau untuk kebutuhan di negara empat musim ini masih masuk kategori kecil. Pemerintah Jepang memang meringankan bea fasilitas publik. Rumah sakit, medical check up, biaya transfortasi dan lain-lain, banyak sekali subsidi yang diberikan. Namun, untuk kebutuhan pangan, sandang, dan papan ... di sini harganya sungguh fantastis.Berbeda dengan negara kita Indonesia, termasuk masih kat

  • Setelah Bapak Tiada   Episode 92

    ♡♡♡♡♡Minggu di musim semi yang semringah. City park, sudut-sudut kota, dipenuhi oleh bunga sakura yang bermekaran. Wajah-wajah ceria menghiasi seluruh negeri. Penuh dengan suka cita. Berbagai etnis bisa aku temukan. Warga asli, pelancong dari berbagai negara, ada semua. Kelopak sakura mulai gugur, berganti tunas daun yang baru.Masya Allah, sungguh ini tidak terkatakan indahnya ciptaan-Mu. Hati begitu berseri, bak bunga sakura yang mekar dengan indahnya.Sebelum berangkat dari rumah, Ken sudah mewanti-wanti agar memakai baju tebal dan kaos tangan, lampirkan pula syal di leher bila diperlukan. Kemudian siapkan makanan dan minuman apa yang hendak dinikmati atau jika malas membawanya, bisa membelinya langsung di tempat festival itu diadakan sebab di sana banyak penjual yang menjajakan kebutuhan. Apalagi sekarang ini sudah banyak gerai makanan halal bertebaran di setiap titik.Jangan lupa untuk memperhatikan beberapa hal penting ini, yaitu harus tetap tertib, tidak mengganggu orang lain,

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status