Juli, 2011
~•°•~"Rindu, Ibu minta maaf tidak bisa memberimu izin membawa ijazah ini pulang. Silakan kamu sidik jari dan catat nilainya, ya. Supaya bisa diperlihatkan pada ibunda di rumah."Aku mengulum senyum mendengar penjelasan Ibu Marni, Kepala Bagian Kurikulum. Di atas meja tepat di hadapanku, terhampar ijazah sebagai tanda selesainya pendidikan di sekolah ini. SMAN 01 Gunung Sandi.Harmoni Rindu Umayyah, tertulis dengan huruf besar dan sedikit timbul. Sebelum menempelkan sidik tiga jari di dekat pas foto, aku raba sedikit kertasnya. Ada harapan yang mengalir melalui pori-pori kulitku rasanya."Sabar ya, Nak. Pasti akan ada jalan untuk membawanya pulang." Bu Marni terdengar menguatkan.Aku menatap sebentar ke arah Bu Marni. Manik-manik kaca terbentuk di sana. Bukan tanpa alasan ijazahku sampai tertahan. Tunggakan uang sekolah, tidak bisa ditolerir lagi."Masih untung ananda diizinkan ikut ujian. Namanya sekolah memang butuh biaya, tidak ada yang gratis." Kalimat itu kuterima saat mengambil nomor ujian. Aku tahu maksud petugas TU bagian keuangan itu baik. Sepertinya aku saja yang baper. Terlalu mengambil hati. Hingga sampai detik ini, jika teringat beliau berkata begitu ... ada desir yang entah apa namanya.Tak patut aku marah pada beliau. Semuanya murni kesalahan diriku. Aku yang tidak sanggup mencicil tunggakan uang sekolah selama setahun berakhir. Maka tak lantas harus jengkel dengan cara petugas TU memberikan pelayanan.Bapak sudah pergi setahun lamanya. Sejak saat itu, kami tertatih-tatih untuk bertahan. Pernah aku ingin berhenti sekolah, tapi Emak memukuliku dengan ikat pinggang milik Bapak. Rasanya sakit dan perih. Setelah itu tidak berani lagi aku mengungkit soal berhenti sekolah."Kasihan sekali Rindu ya, Bu Marni. Padahal nilainya paling tinggi loh di jurusan IPA. Nomor 2 terbaik di sekolah kita. Nomor 6 terbaik setingkat kabupaten. Masya Allah. Andailah aku ada rezeki lebih, mau aku menguliahkan anak itu." Samar-samar kudengar pembicaraan Pak Huspri kepada Bu Marni."Betul, Pak. Saya juga prihatin sekali. Rindu itu anak baik. Selama tiga tahun sekolah di sini, tidak pernah ada rekam jejak jeleknya. Nantilah kasus berat, datang terlambat saja dia tidak pernah. Semangat untuk bersekolah itu tinggi. Nasibnya saja kurang beruntung."Bukan maksudku menguping pembicaraan guru. Tidak sengaja terdengar ketika hendak meninggalkan ruangan tersebut. Diam-diam ada yang nyeri di dadaku. Barangkali betul apa yang dikatakan oleh Bu Marni. Nasibku saja yang kurang beruntung.Secarik surat berisi keputusan beasiswa ada dalam genggaman. Tinggal memilih YA atau TIDAK untuk melanjutkan ke perguruan tinggi ternama di kota Padang. Di saat orang-orang berjuang dengan persaingan yang ketat untuk bisa kuliah di sana, aku justru diundang agar berkuliah tanpa tes. Tidak hanya itu, pilihan jurusannya juga favorit semua orang.Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas. Menjadi mahasiswa undangan, diberikan beasiswa penuh. Akan tetapi, apakah jalan itu bisa aku lalui?Ingin rasanya memberitahu Emak kabar bahagia ini. Hanya saja aku khawatir, kabar ini justru akan menjadi pemberat pikiran beliau. Emak pasti akan memaksa agar mengambil kesempatan itu.Sebelum pulang, sengaja aku mampir ke pusara Bapak. Sudah sebulan lebih aku tidak berkunjung ke rumah peristirahatan beliau. Ada rindu di hati, seperti nama yang beliau sematkan untukku.Rumput mulai meninggi di tanah makam bapak. Daun-daun kering menumpuk cukup banyak. Sudah lama aku tidak datang. Semoga bapak tidak marah."Pak, apa kabar?"Daun-daun kering yang menutupi nisan, aku singkirkan. Rumput-rumput liar aku cabut satu persatu. Aku merapikan kembali batu-batu yang bergeser letaknya."Rindu bawa kabar baik, Pak. Pertama, alhamdulilah akhirnya sekarang Rindu sudah tamat SMA. Kedua, alhamdulilah lagi karena nilai Rindu bagus semua, tertinggi nomor 2 di sekolah. Tetapi, maafkan Rindu belum bisa membawa pulang ijazahnya.Perlahan tapi pasti, mataku memanas. Beginilah rasanya teringat akan bapak, tapi hanya bisa bicara sendiri sambil menatap nisan yang bisu. Ada yang meremas hati ini, pedih."Oh ya, Pak. Rindu dapat undangan ke UNAND. Kata guru di sekolah ini seperti tiket untuk ujian masuk ke sana. Tinggal ikut ujian saja, Pak. Peluang kelulusan juga 70% kurang lebih."Tidak, aku tidak boleh menangis. Kata Emak, menangis bisa memberatkan bapak di sana."Dulu bapak pernah bilang, Rindu harus jadi dokter. Biar kalau bapak sakit, ada yang obatin. Sekarang langkah menuju harapan bapak itu terpampang di depan Rindu. Entahlah, rasanya bingung, Pak. Rindu takut menjadi beban untuk Emak."Tanpa terasa sudah rapi lagi makam bapak. Tidak ada rumput liar dan dedaunan kering. Batu nisan bapak sudah aku lap bersih dengan tisu. Cantik lagi rumah bapakku."Rindu pamit dulu, Pak. Lusa insya Allah mampir lagi."Aku munajatkan alfatihah, sebelum beranjak meninggalkan pusara. Meski begitu saja yang aku bisa, bicara sendiri pada batu-batu, sudah membuat sedikit rasa lega. Hasrat yang tadi memenuhi rongga dada, terlepaskan barang seadanya.Dari pusara, aku tak langsung pulang. Sengaja aku mampir dulu ke rumah kakakku satu-satunya, Kak Kasih. Kami hanya dua bersaudara. Jarak usia kami terpaut jauh. Kak Kasih sudah 27 tahun, aku baru 18 tahun.Dia tinggal tidak jauh dari rumah Emak. Sengaja mengontrak, ikut suaminya. Katanya supaya tidak ada kesan-kesan tidak mengenakkan. Setiap hari ia biasanya datang mengunjungi Emak.Sehari-hari Kak Kasih bekerja sebagai buruh harian. Membersihkan bawang merah punya juragannya. Diupah berdasarkan banyak kilo yang terselesaikan. Sambil menjaga anak-anak, Kak Kasih setiap hari bergelimang dengan daun-daun bawang yang sudah kering."Assalamualaikum, Kak.""Walaikumsalam. Dari sekolah, Rin?""Iya, Kak. Banyak kerjaan ya, Kak. Boleh Rindu ikut?""Janganlah, ini sedikit namanya, Dek. Besok kalau masuk bawang baru, bolehlah ikut, ya. Ini nanggung juga.""Bener ya, Kak.""Iya, Insya Allah. Kamu habis menangis, Rin? Sudah makan, kalau belum makanlah dulu. Kakak ada masak orek tempe tadi.""Nanti Rindu makan."Kak Kasih menghentikan kegiatan. Kini dia menatap padaku lekat. Rasanya sekali lagi ingin menangis keras, membagi rasa kerinduan pada bapak padanya. Aku tahan, aku tahan, Kak Kasih jangan sampai ikut sedih."Kenapa, Rin?" lirihnya."Nggak ada apa-apa." Suaraku mulai bergetar dan tenggelam."Apa, Rin?""Nggak ada, Kak." Kuhela napas sedalam-dalamnya."Ceritakan, Dek!""Rindu dapat undangan, Kak. Un--undangan kuliah ke-dok-te-ran di UNAND." Aku takut-takut menyelesaikan kalimatnya."Masya Allah, Rindu!" pekik Kak Kasih menghambur memelukku. "Masya Allah.""Alhamdulilah, Kak." Aku telah menangis juga."Emak sudah tahu? Masya Allah, betapa bangganya bapak kita melihatmu, Dek. Kakak sampai bingung mau bilang apa. Dek, ayo kita ke Emak. Secepatnya Emak harus tahu kabar bahagia ini."Kak Kasih segera berdiri. Merapikan roknya sebentar. Menutup pintu dan menggendong anaknya yang bungsu. Satu tangan lagi menggandeng tanganku. Kak Kasih tidak peduli dengan aku yang keberatan dengan rencananya."Kak, tunggu.""Tunggu apalagi, Rin. Buruan."Jangan kasih tahu emak dulu, Kak. Rindu belum siap. Hanya bisa menolak dalam hati. Aku kalah melihat antusias Kak Kasih.~•°•~To be continue!~••°••~Sepanjang perjalanan menuju rumah, air mataku menghujan deras. Kak Kasih juga sama. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku."Semoga kamu menjadi jalan menaikkan derajat keluarga kita, Rin. Kamu satu-satunya harapan, kalau aku sudah tamat jalan itu."Di depan rumah, Emak sedang membersihkan bawang merah juga seperti Kak Kasih. Semenjak bapak tiada, Emak harus bekerja lebih keras. Tidak jarang sampai tengah malam, aku dan Emak masih memotong akar bawang. Kejar target agar bisa ambil upah agak banyak."Mak!" seru Kak Kasih, menyeretku. "Emak!""Astaghfirullah ... Kasih, kenapa? Ada apa ini?" Emak terperanjat melihat kami datang dalam keadaan menangis."Rindu, kenapa, Nak? Apa yang terjadi?"Aku ambruk memeluk lutut Emak. Segala sesak yang tertahan tumpah di sana. Kak Kasih juga sesenggukan melihatku sudah bersimpuh di kaki Emak."Rindu dapat undangan, Mak. Kuliah kedokteran. Seperti cita-cita bapak," ucap Kak Kasih di sela tangisnya."Jangan bercanda, Sih. Bangun, Nak." Emak
~••°••~Malam ini, kami berkumpul semua. Aku, Emak, Kak Kasih dan suaminya, Aldo dan Rafif—anak Kak Kasih. Suka cita lebur, menyantap goreng ayam balado ditambah nasi hangat. Tidak lupa sayur pucuk daun singkong.Masakan Emak tidak pernah mengecewakan. Selalu menjadi masakan terenak dalam versi apa pun itu. Apalagi menikmatinya dengan hati gembira begini.Secercah kenangan masa lalu, melintas dalam kepala. Ingatan tentang Bapak berpendar di sana. Berduyun-duyun menjadi genangan air mata yang siap terserak.Dahulu, jika Emak masak ayam begini, bapak selalu berpesan agar disisakan hatinya untuk beliau. Lauknya tidak begitu disukai. Bapak lebih memilih ceker, ujung sayap, leher, kepala, dan hatinya."Rin?" tegur Emak. Sepertinya beliau menyadari aku yang mendadak sedih.Tidak kujawab, karena jika satu kata lepas keluar, air mataku juga akan berhamburan bersamanya. Sebaris senyum aku berikan pada Emak. Kak Kasih juga menatap lama ke arahku."Bawang punya Pak RT banyak busuknya, Mak. Agak
~••°••~"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi."Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar."Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?""Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.Tidak lama,
~••°••~Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura."Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku."Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever."Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya."Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas da
~••°••~Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami."Rindu?"Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor."Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah."Dari mana, kenapa sendiri?""Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah.""Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu."Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, mele
~••°••~"Sudah, ya. Jangan dijadikan beban pikiran juga omongan Emak."Kak Kasih pamit pulang. Aku bantu Emak merapikan sisa pekerjaannya. Melipat terpal dan menyapu bekas urat bawang.Emak duduk meluruskan kaki di bangku rotan tua. Kursi yang dibeli saat Emak kembali dari Bengkulu. Tentunya banyak kenangan di benda mati nan usang itu. Dia adalah saksi bisu keluarga ini melewati badai kehidupan.Kulihat Emak duduk diam, memandang jauh ke depan. Nelangsa menghampiri hatiku. Pasti Emak sangat lelah. Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak sendirian? Sedangkan Kak Kasih sudah hidup terpisah dengan Emak."Ateu!" seru Aldo, putra sulung kakakku."Loh, Aldo dari mana? Sendirian?" Emak yang menjawab."Dari rumah, Nek. Kata Mama, Ateu sama Nenek nanti tidur di rumah. Papa nggak pulang, pulangnya besok. Dedek Rafif agak demam," jelas Aldo."Biar Ateu Rindu nanti, ya. Nenek nggak ikut.""Emak sendirian di rumah, gimana?" selaku."Mau lipat kain yang kering, Rin. Sudah setinggi gunung tumpukannya.
~••°••~"Sudah, Rin. Sudah, hentikan tangisanmu!" Kak Kasih melonggarkan pelukannya."Rindu ingin Bapak," kataku tersedu-sedu."Astaghfirullah, mengucap, Rindu! Bapak akan sedih melihatmu begini. Munculkan semangat itu, Rin. Tunjukkan pada dunia, kita bisa. Kaki kita kuat menopang semuanya. Bersama Kakak, bersama Emak. Demi Allah, tidak akan Kakak biarkan kamu sendirian, Rin."Sekali lagi aku terisak. Menutup wajah dengan dua telapak tangan. Senyum Bapak menari-nari di pelupuk mataku. Sosok pria yang selalu kutunggu kepulangannya setiap senja."Kamu istirahat dulu, ya. Kalau mau makan, itu tadi kakak masak ikan asin.""Kakak nggak tidur?""Ada sedikit jahitan, orang permak celana. Katanya dijemput besok pagi. Mau dipakai mungkin. Kasihan kalau iya, makanya mau diselesaikan malam ini."Kakak persis seperti Emak. Apa yang bisa ia kerjakan sekarang, akan ia lakukan segera. Tidak pakai entar, tidak pakai nanti. Kehidupan benar-benar membentuk Kak Kasih menjadi pribadi yang kuat dan tanggu
~••°••~"Rindu, langsung ke ruangan kepala sekolah. Silakan, Bu." Pak Huspri mempersilakan kami berjalan lebih dulu.Pak Arzen tersenyum sangat lebar menyambut aku dan Emak. Tidak pernah aku lihat beliau se-semringah itu selama tiga tahun sekolah di SMAN 1 Gunung Sandi. Meski beliau memang selalu tersenyum pada siapa pun, tetapi senyuman kali terasa berbeda."Ibundanya Rindu siapa namanya?" ucap Pak Arzen."Rosmayah," jawab Emak malu-malu."Sebentar, Harmoni Rindu Umayyah. Maaf kalau boleh tahu lagi, ayahandanya Rindu namanya siapa?""Umar Basdi," balas Emak masih bersikap kaku."Umar, Rosmayah. Aah, apakah Umayyah itu gabungan keduanya?"Emak mengangguk dengan senyum terukir indah. Ada binar keceriaan yang tergambar di wajah Emak. Ketakutan dan gugup yang awalnya menahan langkah, sepertinya sudah menguap bersama sambutan dan candaan dari Pak Arzen.Bapak memberi kami nama memang cukup unik. Kak Kasih bernama lengkap Senandung Kasih Umayyah. Sementara aku disematkan nama Harmoni Rindu