Share

Episode 2

~••°••~

Sepanjang perjalanan menuju rumah, air mataku menghujan deras. Kak Kasih juga sama. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku.

"Semoga kamu menjadi jalan menaikkan derajat keluarga kita, Rin. Kamu satu-satunya harapan, kalau aku sudah tamat jalan itu."

Di depan rumah, Emak sedang membersihkan bawang merah juga seperti Kak Kasih. Semenjak bapak tiada, Emak harus bekerja lebih keras. Tidak jarang sampai tengah malam, aku dan Emak masih memotong akar bawang. Kejar target agar bisa ambil upah agak banyak.

"Mak!" seru Kak Kasih, menyeretku. "Emak!"

"Astaghfirullah ... Kasih, kenapa? Ada apa ini?" Emak terperanjat melihat kami datang dalam keadaan menangis.

"Rindu, kenapa, Nak? Apa yang terjadi?"

Aku ambruk memeluk lutut Emak. Segala sesak yang tertahan tumpah di sana. Kak Kasih juga sesenggukan melihatku sudah bersimpuh di kaki Emak.

"Rindu dapat undangan, Mak. Kuliah kedokteran. Seperti cita-cita bapak," ucap Kak Kasih di sela tangisnya.

"Jangan bercanda, Sih. Bangun, Nak." Emak memegang bahuku, menuntun untuk berdiri.

"Cepat berikan suratnya, Rin!" Kak Kasih memerintah, aku semakin takut.

Bagaimana kalau Emak memaksa untuk mengambilnya. Uang dari mana? Setelah itu pastinya Emak yang akan bekerja sendirian, lebih berat lagi. Tidak mungkin rasanya aku membiarkan itu terjadi.

"Rindu tidak ambil, Mak. Tahun depan atau kapan-kapan saja kuliahnya."

"Bicara apa kamu Rindu?" bentak Emak. "Kemarikan suratnya!"

Berkali-kali Emak berucap hamdalah. Demi melihat lembaran surat di tangannya. Ditambah dengan deretan nilai yang tadi aku catat, seperti pesan Ibu Marni.

"Masya Allah, Rindu. Jadi maksudnya surat ini kamu hanya perlu datang ujian saja, peluang diterimanya melebihi 70%. Allahu Akbar, bapak pasti bangga sekali, Nak."

"Ta--tapi, Mak. Ini fakultas kedokteran. Sekalipun ditanggung oleh beasiswa, tetap saja biaya untuk masuk ke sana besar. Belum lagi nanti kalau sudah mulai praktik."

"Yang harus kamu lakukan hanyalah fokus untuk ujian dan kuliah. Selain dari itu adalah bagian tanggung jawab Emak!" tegas Emak menatapku tajam.

"Mak ...."

"Kamu tidak ingin mengecewakan bapak, kan?"

Aku menggeleng lemah. Kekhawatiran itu terbukti pada akhirnya. Emak akan bersikukuh.

Melihat binar harapan di mata Emak dan Kak Kasih ada rasa tidak tega untuk mengabaikan undangan tersebut. Mengingat jalan setelah ini akan berliku, muncul juga rasa tidak tega karena pastilah Emak harus berjuang lebih keras lagi. Inilah pertarungan logika dan nurani, aku terjebak dalam dilema.

Selesai berganti baju, aku bantu Emak membersihkan bawang di depan. Senyum itu terlukis terus menerus, diselingi air mata yang meleleh di pipi tua Emak. Harapan dan asa itu bisa aku lihat dengan jelas di netra renta milik Emak.

"Kamu ke warung ya, Rind. Beli ayam setengah ekor, minta tolong dipotongkan sekalian. Emak mau masak enak malam ini. Nanti Kasih dan suaminya, serta dua ponakanmu itu diajak ke sini."

"Untuk apa, Mak?"

"Mak mau makan enak aja, Rin. Merayakan kebahagiaan ini. Ya Allah, coba bapak masih ada ya, bisa dibayangkan bahagianya beliau. Bisa jingkrak-jingkrak kayak kamu dulu menang olimpiade itu loh."

"Oh yang waktu aku masuk koran itu ya, Mak?"

"Lah itu masih ingat. Korannya sampai di-pres dan dikasih bingkai sama bapak."

Ketika itu, olimpiade Biologi tingkat kabupaten. Diikuti oleh 300 lebih peserta. Selama tiga hari berturut-turut berjuang, menghasilkan aku sebagai juara pertama. Acara itu diliput oleh wartawan koran lokal.

Seminggu kemudian, wajahku terpampang di halaman depan surat kabar tersebut. Bapak langsung memotong artikelnya, di-kliping pada kertas HVS. Tidak hanya itu, beliau pres dan diberi figura. Kini menjadi salah satu pajangan di dinding. Hampir tiap hari bapak memandangi benda itu semasa hidupnya.

"Bapak bangga sekali, Nak." Beliau berkata dengan mata berkaca-kaca. Terkadang sampai 2-3 kali hal itu dilakukan Bapak.

"Oh ya, kamu berbenah sana, Rin. Pergi ke rumah Etek¹. Kabarkan kalau kamu lulus dan dapat undangan ini."

"Nggak perlu, Rind!" cegat Kak Kasih.

"Bagaimana juga, Etek Yarni itu adik kandung bapak kalian. Dia seperti ibu juga kedudukannya. Sudahlah lupakan semuanya, bila ada kata-kata Etek kalian yang agak kelepasan, anggap saja itu bentuk rasa sayangnya."

"Mak, Etek itu tidak pernah suka dengan kita. Sedangkan bapak masih ada saja dia sudah malas. Apalagi sekarang." Kak Kasih tetap mempertahankan pendapat.

"Rindu, kamu lupa apa kata Etek ketika terakhir ke sana?"

Aku hanya bisa menunduk dengan pertanyaan Kak Kasih. Sampai kapan pun aku tidak akan lupa. Justru, kata-kata Eteklah yang selama ini mengantarkan aku menjadi siswi berprestasi.

Kata pepatah, "Ada satu dalam keluarga itu yang akan membawa perubahan." Itulah aku. Aku yang akan menaikkan derajat keluarga ini. Supaya orang tidak lantas memandang remeh terus menerus. Tekad itu sudah tertancap kuat dalam hati.

"Kakak nggak izinkan kamu ke sana, dengar itu, Rindu!"

"Kasih, jangan menghasut adikmu."

"Kasih tidak menghasut, Mak. Rindu tidak perlu ke sana. Untuk apa? Untuk bersedih, pulangnya menangis lagi?"

"Kasih!"

"Mak, sudah." Aku menengahi keduanya.

Aku beranjak dari selisih yang terjadi, bersiap ke warung membeli ayam.

Di sepanjang jalan, setiap kali berpas-pasan dengan warga, aku menyapa dan diberi ucapan selamat. Kampung ini kecil, jika ada berita akan sangat cepat tersiar ke seluruh penjuru. Termasuk berita kelulusan ini, pastinya sudah menyebar ke seluruh sudut.

Di kedai serba ada milik Koh Agung aku belanja. Beliau dulunya berteman baik dengan Bapak. Namun, aku jujur tidak suka dengan istri Kong Agung. Ceceu Nova, mulutnya kadang lepas tanpa rem. Sialnya, siang ini malah Ceu Nova yang menjaga kedai.

"Beli apa, Rindu?"

"Beli ayam setengah ekor, Ceu. Minta tolong dipotongkan sekalian."

"Oh iya, ayam agak mahal sekarang. 30 untuk setengah ekornya." Ceu Nova menjelaskan.

"Iya, Ceu. Nggak apa-apa."

"Dengar-dengar kamu sudah lulus ya, Rindu. Dapat nilai terbaik, dapat beasiswa kedokteran juga, apa iya?"

"Alhamdulillah, Ceu."

"Diambil?" tanya Ceu Nova sambil memotong ayam.

"Belum tahu, Ceu. Tergantung Emak gimananya nanti."

Ceu Nova mendengkus, "Pikir dulu baik-baik sebelum kuliah. Apalagi fakultas kedokteran. Biayanya jutaan, puluhan juta malah. Yakin Emakmu sanggup? Kata Ceceu mah mending kamu kerja setahun atau dua tahun gitu. Mana tahu nanti ketemu jodohnya yang mapan, nikah, baru kuliah."

Aku mengulum senyum saja.

"Dari pada kamu kuliah sekarang, terus patah di tengah, sayang duit kebuang, Rindu. Jadi apa juga enggak."

"Iya, Ceu." Suaraku seperti tercekat di kerongkongan.

"Rindu, jadi mahasiswa kedokteran itu nggak soal otak doang. Penampilan juga diutamakan. Yakin kamu bisa mengikuti gaya dan pergaulan mahasiswa kedokteran? Maaf-maaf ya, Rindu. Ada bobot, bibit, dan bebetnya. Lah tampang saja tidak meyakinkan, gimana mau jadi dokter?"

Lagi, aku hanya bisa terdiam.

"Ini, buat kamu bayar 25 aja. Hitung-hitung ucapan selamat dari Ceceu. Jangan sedih kalau dikasih tahu, maksud Ceceu baik loh, Rindu."

"Iya, Ceu. Saya permisi dulu. Terima kasih banyak."

Setelah menerima uang kembalian, aku pergegas langkah menuju rumah. Ceu Nova tidak salah bicara demikian. Soal mahasiswa kedokteran memang bukan tentang otak doang, tampang juga.

Lagian apakah tampangku pantas untuk masuk ke dalam lingkaran itu?

Note:

¹Etek = Adik perempuan ibu/bapak.

~•°•~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status