~••°••~
Sepanjang perjalanan menuju rumah, air mataku menghujan deras. Kak Kasih juga sama. Tangannya semakin erat menggenggam tanganku."Semoga kamu menjadi jalan menaikkan derajat keluarga kita, Rin. Kamu satu-satunya harapan, kalau aku sudah tamat jalan itu."Di depan rumah, Emak sedang membersihkan bawang merah juga seperti Kak Kasih. Semenjak bapak tiada, Emak harus bekerja lebih keras. Tidak jarang sampai tengah malam, aku dan Emak masih memotong akar bawang. Kejar target agar bisa ambil upah agak banyak."Mak!" seru Kak Kasih, menyeretku. "Emak!""Astaghfirullah ... Kasih, kenapa? Ada apa ini?" Emak terperanjat melihat kami datang dalam keadaan menangis."Rindu, kenapa, Nak? Apa yang terjadi?"Aku ambruk memeluk lutut Emak. Segala sesak yang tertahan tumpah di sana. Kak Kasih juga sesenggukan melihatku sudah bersimpuh di kaki Emak."Rindu dapat undangan, Mak. Kuliah kedokteran. Seperti cita-cita bapak," ucap Kak Kasih di sela tangisnya."Jangan bercanda, Sih. Bangun, Nak." Emak memegang bahuku, menuntun untuk berdiri."Cepat berikan suratnya, Rin!" Kak Kasih memerintah, aku semakin takut.Bagaimana kalau Emak memaksa untuk mengambilnya. Uang dari mana? Setelah itu pastinya Emak yang akan bekerja sendirian, lebih berat lagi. Tidak mungkin rasanya aku membiarkan itu terjadi."Rindu tidak ambil, Mak. Tahun depan atau kapan-kapan saja kuliahnya.""Bicara apa kamu Rindu?" bentak Emak. "Kemarikan suratnya!"Berkali-kali Emak berucap hamdalah. Demi melihat lembaran surat di tangannya. Ditambah dengan deretan nilai yang tadi aku catat, seperti pesan Ibu Marni."Masya Allah, Rindu. Jadi maksudnya surat ini kamu hanya perlu datang ujian saja, peluang diterimanya melebihi 70%. Allahu Akbar, bapak pasti bangga sekali, Nak.""Ta--tapi, Mak. Ini fakultas kedokteran. Sekalipun ditanggung oleh beasiswa, tetap saja biaya untuk masuk ke sana besar. Belum lagi nanti kalau sudah mulai praktik.""Yang harus kamu lakukan hanyalah fokus untuk ujian dan kuliah. Selain dari itu adalah bagian tanggung jawab Emak!" tegas Emak menatapku tajam."Mak ....""Kamu tidak ingin mengecewakan bapak, kan?"Aku menggeleng lemah. Kekhawatiran itu terbukti pada akhirnya. Emak akan bersikukuh.Melihat binar harapan di mata Emak dan Kak Kasih ada rasa tidak tega untuk mengabaikan undangan tersebut. Mengingat jalan setelah ini akan berliku, muncul juga rasa tidak tega karena pastilah Emak harus berjuang lebih keras lagi. Inilah pertarungan logika dan nurani, aku terjebak dalam dilema.Selesai berganti baju, aku bantu Emak membersihkan bawang di depan. Senyum itu terlukis terus menerus, diselingi air mata yang meleleh di pipi tua Emak. Harapan dan asa itu bisa aku lihat dengan jelas di netra renta milik Emak."Kamu ke warung ya, Rind. Beli ayam setengah ekor, minta tolong dipotongkan sekalian. Emak mau masak enak malam ini. Nanti Kasih dan suaminya, serta dua ponakanmu itu diajak ke sini.""Untuk apa, Mak?""Mak mau makan enak aja, Rin. Merayakan kebahagiaan ini. Ya Allah, coba bapak masih ada ya, bisa dibayangkan bahagianya beliau. Bisa jingkrak-jingkrak kayak kamu dulu menang olimpiade itu loh.""Oh yang waktu aku masuk koran itu ya, Mak?""Lah itu masih ingat. Korannya sampai di-pres dan dikasih bingkai sama bapak."Ketika itu, olimpiade Biologi tingkat kabupaten. Diikuti oleh 300 lebih peserta. Selama tiga hari berturut-turut berjuang, menghasilkan aku sebagai juara pertama. Acara itu diliput oleh wartawan koran lokal.Seminggu kemudian, wajahku terpampang di halaman depan surat kabar tersebut. Bapak langsung memotong artikelnya, di-kliping pada kertas HVS. Tidak hanya itu, beliau pres dan diberi figura. Kini menjadi salah satu pajangan di dinding. Hampir tiap hari bapak memandangi benda itu semasa hidupnya."Bapak bangga sekali, Nak." Beliau berkata dengan mata berkaca-kaca. Terkadang sampai 2-3 kali hal itu dilakukan Bapak."Oh ya, kamu berbenah sana, Rin. Pergi ke rumah Etek¹. Kabarkan kalau kamu lulus dan dapat undangan ini.""Nggak perlu, Rind!" cegat Kak Kasih."Bagaimana juga, Etek Yarni itu adik kandung bapak kalian. Dia seperti ibu juga kedudukannya. Sudahlah lupakan semuanya, bila ada kata-kata Etek kalian yang agak kelepasan, anggap saja itu bentuk rasa sayangnya.""Mak, Etek itu tidak pernah suka dengan kita. Sedangkan bapak masih ada saja dia sudah malas. Apalagi sekarang." Kak Kasih tetap mempertahankan pendapat."Rindu, kamu lupa apa kata Etek ketika terakhir ke sana?"Aku hanya bisa menunduk dengan pertanyaan Kak Kasih. Sampai kapan pun aku tidak akan lupa. Justru, kata-kata Eteklah yang selama ini mengantarkan aku menjadi siswi berprestasi.Kata pepatah, "Ada satu dalam keluarga itu yang akan membawa perubahan." Itulah aku. Aku yang akan menaikkan derajat keluarga ini. Supaya orang tidak lantas memandang remeh terus menerus. Tekad itu sudah tertancap kuat dalam hati."Kakak nggak izinkan kamu ke sana, dengar itu, Rindu!""Kasih, jangan menghasut adikmu.""Kasih tidak menghasut, Mak. Rindu tidak perlu ke sana. Untuk apa? Untuk bersedih, pulangnya menangis lagi?""Kasih!""Mak, sudah." Aku menengahi keduanya.Aku beranjak dari selisih yang terjadi, bersiap ke warung membeli ayam.Di sepanjang jalan, setiap kali berpas-pasan dengan warga, aku menyapa dan diberi ucapan selamat. Kampung ini kecil, jika ada berita akan sangat cepat tersiar ke seluruh penjuru. Termasuk berita kelulusan ini, pastinya sudah menyebar ke seluruh sudut.Di kedai serba ada milik Koh Agung aku belanja. Beliau dulunya berteman baik dengan Bapak. Namun, aku jujur tidak suka dengan istri Kong Agung. Ceceu Nova, mulutnya kadang lepas tanpa rem. Sialnya, siang ini malah Ceu Nova yang menjaga kedai."Beli apa, Rindu?""Beli ayam setengah ekor, Ceu. Minta tolong dipotongkan sekalian.""Oh iya, ayam agak mahal sekarang. 30 untuk setengah ekornya." Ceu Nova menjelaskan."Iya, Ceu. Nggak apa-apa.""Dengar-dengar kamu sudah lulus ya, Rindu. Dapat nilai terbaik, dapat beasiswa kedokteran juga, apa iya?""Alhamdulillah, Ceu.""Diambil?" tanya Ceu Nova sambil memotong ayam."Belum tahu, Ceu. Tergantung Emak gimananya nanti."Ceu Nova mendengkus, "Pikir dulu baik-baik sebelum kuliah. Apalagi fakultas kedokteran. Biayanya jutaan, puluhan juta malah. Yakin Emakmu sanggup? Kata Ceceu mah mending kamu kerja setahun atau dua tahun gitu. Mana tahu nanti ketemu jodohnya yang mapan, nikah, baru kuliah."Aku mengulum senyum saja."Dari pada kamu kuliah sekarang, terus patah di tengah, sayang duit kebuang, Rindu. Jadi apa juga enggak.""Iya, Ceu." Suaraku seperti tercekat di kerongkongan."Rindu, jadi mahasiswa kedokteran itu nggak soal otak doang. Penampilan juga diutamakan. Yakin kamu bisa mengikuti gaya dan pergaulan mahasiswa kedokteran? Maaf-maaf ya, Rindu. Ada bobot, bibit, dan bebetnya. Lah tampang saja tidak meyakinkan, gimana mau jadi dokter?"Lagi, aku hanya bisa terdiam."Ini, buat kamu bayar 25 aja. Hitung-hitung ucapan selamat dari Ceceu. Jangan sedih kalau dikasih tahu, maksud Ceceu baik loh, Rindu.""Iya, Ceu. Saya permisi dulu. Terima kasih banyak."Setelah menerima uang kembalian, aku pergegas langkah menuju rumah. Ceu Nova tidak salah bicara demikian. Soal mahasiswa kedokteran memang bukan tentang otak doang, tampang juga.Lagian apakah tampangku pantas untuk masuk ke dalam lingkaran itu?Note:¹Etek = Adik perempuan ibu/bapak.~•°•~~••°••~Malam ini, kami berkumpul semua. Aku, Emak, Kak Kasih dan suaminya, Aldo dan Rafif—anak Kak Kasih. Suka cita lebur, menyantap goreng ayam balado ditambah nasi hangat. Tidak lupa sayur pucuk daun singkong.Masakan Emak tidak pernah mengecewakan. Selalu menjadi masakan terenak dalam versi apa pun itu. Apalagi menikmatinya dengan hati gembira begini.Secercah kenangan masa lalu, melintas dalam kepala. Ingatan tentang Bapak berpendar di sana. Berduyun-duyun menjadi genangan air mata yang siap terserak.Dahulu, jika Emak masak ayam begini, bapak selalu berpesan agar disisakan hatinya untuk beliau. Lauknya tidak begitu disukai. Bapak lebih memilih ceker, ujung sayap, leher, kepala, dan hatinya."Rin?" tegur Emak. Sepertinya beliau menyadari aku yang mendadak sedih.Tidak kujawab, karena jika satu kata lepas keluar, air mataku juga akan berhamburan bersamanya. Sebaris senyum aku berikan pada Emak. Kak Kasih juga menatap lama ke arahku."Bawang punya Pak RT banyak busuknya, Mak. Agak
~••°••~"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi."Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar."Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?""Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.Tidak lama,
~••°••~Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura."Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku."Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever."Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya."Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas da
~••°••~Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami."Rindu?"Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor."Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah."Dari mana, kenapa sendiri?""Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah.""Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu."Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, mele
~••°••~"Sudah, ya. Jangan dijadikan beban pikiran juga omongan Emak."Kak Kasih pamit pulang. Aku bantu Emak merapikan sisa pekerjaannya. Melipat terpal dan menyapu bekas urat bawang.Emak duduk meluruskan kaki di bangku rotan tua. Kursi yang dibeli saat Emak kembali dari Bengkulu. Tentunya banyak kenangan di benda mati nan usang itu. Dia adalah saksi bisu keluarga ini melewati badai kehidupan.Kulihat Emak duduk diam, memandang jauh ke depan. Nelangsa menghampiri hatiku. Pasti Emak sangat lelah. Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak sendirian? Sedangkan Kak Kasih sudah hidup terpisah dengan Emak."Ateu!" seru Aldo, putra sulung kakakku."Loh, Aldo dari mana? Sendirian?" Emak yang menjawab."Dari rumah, Nek. Kata Mama, Ateu sama Nenek nanti tidur di rumah. Papa nggak pulang, pulangnya besok. Dedek Rafif agak demam," jelas Aldo."Biar Ateu Rindu nanti, ya. Nenek nggak ikut.""Emak sendirian di rumah, gimana?" selaku."Mau lipat kain yang kering, Rin. Sudah setinggi gunung tumpukannya.
~••°••~"Sudah, Rin. Sudah, hentikan tangisanmu!" Kak Kasih melonggarkan pelukannya."Rindu ingin Bapak," kataku tersedu-sedu."Astaghfirullah, mengucap, Rindu! Bapak akan sedih melihatmu begini. Munculkan semangat itu, Rin. Tunjukkan pada dunia, kita bisa. Kaki kita kuat menopang semuanya. Bersama Kakak, bersama Emak. Demi Allah, tidak akan Kakak biarkan kamu sendirian, Rin."Sekali lagi aku terisak. Menutup wajah dengan dua telapak tangan. Senyum Bapak menari-nari di pelupuk mataku. Sosok pria yang selalu kutunggu kepulangannya setiap senja."Kamu istirahat dulu, ya. Kalau mau makan, itu tadi kakak masak ikan asin.""Kakak nggak tidur?""Ada sedikit jahitan, orang permak celana. Katanya dijemput besok pagi. Mau dipakai mungkin. Kasihan kalau iya, makanya mau diselesaikan malam ini."Kakak persis seperti Emak. Apa yang bisa ia kerjakan sekarang, akan ia lakukan segera. Tidak pakai entar, tidak pakai nanti. Kehidupan benar-benar membentuk Kak Kasih menjadi pribadi yang kuat dan tanggu
~••°••~"Rindu, langsung ke ruangan kepala sekolah. Silakan, Bu." Pak Huspri mempersilakan kami berjalan lebih dulu.Pak Arzen tersenyum sangat lebar menyambut aku dan Emak. Tidak pernah aku lihat beliau se-semringah itu selama tiga tahun sekolah di SMAN 1 Gunung Sandi. Meski beliau memang selalu tersenyum pada siapa pun, tetapi senyuman kali terasa berbeda."Ibundanya Rindu siapa namanya?" ucap Pak Arzen."Rosmayah," jawab Emak malu-malu."Sebentar, Harmoni Rindu Umayyah. Maaf kalau boleh tahu lagi, ayahandanya Rindu namanya siapa?""Umar Basdi," balas Emak masih bersikap kaku."Umar, Rosmayah. Aah, apakah Umayyah itu gabungan keduanya?"Emak mengangguk dengan senyum terukir indah. Ada binar keceriaan yang tergambar di wajah Emak. Ketakutan dan gugup yang awalnya menahan langkah, sepertinya sudah menguap bersama sambutan dan candaan dari Pak Arzen.Bapak memberi kami nama memang cukup unik. Kak Kasih bernama lengkap Senandung Kasih Umayyah. Sementara aku disematkan nama Harmoni Rindu
~••°••~"Guru kamu baik-baik semua, Rin. Emak keburu keder, kirain pada galak.""Namanya guru ya baik, Mak. Kan untuk digugu dan ditiru. Rindu nggak menyangka sama sekali, sampai begininya penghargaan dari sekolah. Kok Rindu jadi merasa terlalu besar ya, Mak."🌻🌻🌻Sesampainya di rumah, sudah dekat ke waktu Dzuhur. Emak mulai mengeluarkan terpal dan karung bawang. Aku bersalin pakaian, sebelum membantu pekerjaan Emak.Sebelum memulai mengurati bawang, Emak menyeduh kopi dulu, sambil menunggu waktu salat masuk. Aku duduk dekat Emak, memperhatikan gurat bahagia yang tersirat begitu jelas di wajah beliau."Emak kok senyum-senyum terus?""Kamu ini, Rin, Rin. Emak bahagia sekali rasanya. Selama ini, orang sekampung memandang keluarga kita ini begitu lemah. Apalagi semenjak Bapak tidak ada, semakin remeh pandangan orang terhadap kita.Emak merasa, Allah maha baik sedang menunjukkan bagaimana membalas dengan cara terbaik. Melalui nasibmu, Rin. Allah memilih si bungsu Emak untuk menaikkan d