~••°••~Malam itu, tangisku agak lama di atas sajadah. Tangan tertengadah lebih tinggi. Tidak rumit permintaan yang kuajukan pada Allah. Berikan aku kesehatan, umur panjang yang berkah, kesabaran yang berlimpah, itu saja. Pada-Nya ... kuadukan luka-luka yang dijejalkan oleh Etek Yarni. Tidak akan membalaskan dendam apa pun, kelak nanti yang kulakukan hanyalah pembuktian.Pembuktian kalau aku bisa, akan kubangkit batang terendam. Akan kunaikkan harkat dan martabat keluarga. Akan kubayar kontan semua cemoohan.Iya, aku ... Harmoni Rindu Umayyah. Anak bungsu kesayangan Bapak. Anak kampung yang lugu dan dibilang kampungan. Itu aku ... aku yang akan membungkam mulut-mulut jahil mereka, selama ini mereka begitu lancang meremehkan kemampuan kami.Tak terukur banyaknya air mata yang berhamburan di atas sajadah lusuh ini. Muhasabah sedalam-dalamnya aku munajatkan pada Sang Maha Adil. Aku percaya, Allah maha pengasih, maha penyayang ... tidak akan mungkin Dia menyia-nyiakan hamba-Nya yang bersa
~••°••~Sekuat tenaga aku tahan air mata. Apa yang ditanyakan oleh Bang Heru sepanjang jalan, kujawab sekenanya. Tak sabar untuk sampai di rumah, tak tahan ingin mengadu pada Emak. Kata-kata Uda Revan keterlaluan. Apa yang dia maksud? Aku menjajakan diri di tenda ceper, begitu? Sepupu macam apa itu? Ingin kumaki rasanya ....Sampai di pinggir jalan tepat di depan rumah, kuminta Bang Heru stop. Bergegas aku turun dan setengah berlari ke rumah. Tak terbendung lagi tangisku, menghambur ke dalam pelukan Emak yang sedang mengaji."Mak ...." Aku meratap, sakit di hati tak terungkap lagi lewat kata-kata.Berkali-kali kudengar Emak istighfar. Tak bisa kutahan, aku menangis terus. Emak memukul-mukul punggungku agar berhenti. Pastilah beliau sangat bingung melihat aku datang tiba-tiba menangis sekeras-kerasnya.Barangkali setengah jam aku menangkup pada lutut Emak. Sampai terasa lelah, tidak lagi ada air mata yang keluar. Perlahan kutata emosi, menenangkan diri. Mulai bercerita pada Emak.Gilir
~••°••~Sudah kucukupkan tekad, merangkai asa yang sempat terserak. Siapa lagi yang akan mengubah nasib, jika bukan diri sendiri. Aku anggap semua yang telah terlewati itu sebuah pecutan untuk melangkah lebih mantap.Tahap demi tahap menuju perkuliahan sudah aku ikuti alurnya. Bergandengan tangan bersama Fuji, saling melengkapi. Aku dan Fuji memang sangat berbeda. Dia dibesarkan dalam segala kemewahan dan kemudahan, aku ditempa dalam himpitan hidup yang beragam. Tak pula akan kumanfaatkan keadaan itu untuk menumpang di biduk yang tenang. Tetap saja mendayung sampan sendiri-sendiri. Sesekali aku minta papah, pada Fuji yang riak samudera-nya tidak terlalu bergelombang.Sekali dalam sebulan aku pulang, terkadang lebih dari itu. Tergantung uang saku yang aku punya. Sabtu sore pulang ke Madila, sore Minggu-nya kembali ke Padang. Jika beruntung, bisa menumpang gratis pada bapak-bapak atau ibu-ibu yang hendak ke sana. Sering menumpang pada Pak Rinto yang mengunjungi Bang Fikri anaknya.Emak
~••°••~"Eh, Dokter Rindu pulang nih." Ceu Nova tentu sedang mengolok-olok, pagi Minggu menjadi saksi orang-orang menertawai aku lagi.Aku diminta Emak membeli kebutuhan dapur ke kedai Koh Agung. Ternyata sedang ramai ibu-ibu berkumpul. Nahasnya, yang sedang hadir adalah sekumpulan orang yang hoby ledek-ledekan."Mau belanja, Ceu." Aku berusaha tidak menanggapi perkataan Ceu Nova."Kapan ke Padang, Rin?" tanya seorang yang lain."Sore ini, Tek.""Dibekali apa tuh, ubi kayu goreng pakai teri ya, Rin?" Giliran Mintuo Yeni yang bersuara, disambut riuh tawa yang lainnya."Makan ubi terus, besar lutut nanti, Rin.""Ubi kayu itu sehat, Tek, Mintuo. Kaya karbohidrat, bagus kok untuk kesehatan asal diolah dengan benar.""Cieee lagunya Dokter Rindu," sahut Mintuo Yeni. Lagi-lagi semua orang tertawa.Seperti kata Emak, aminkan saja omongan orang-orang seperti itu. Mereka memanggil dengan sebutan Dokter Rindu, anggap saja ia sedang mendoakan yang baik. Tinggal bilang aamiin dalam hati. Tidak per
~••°••~"Maaf ya, Kak. Senin saya sudah kembali ke Padang. Selasa siang sudah bisa kak ambil resumenya. Ada acara keluarga, disuruh pulang banget. Semoga Kakak tidak marah," jelasku pada kakak tingkat melalui sambungan telepon. Jasa Malindo yang aku tumpangi, baru saja melewati kampus UMMY di Koto Baru.Lima menit lalu, Bang Heru tukang ojek langganan juga mengabarkan bahwa ia sudah di simpang Koto Baru. Bersamaan dengan Magrib masuk, aku turun dari bus. Dari seberang jalan, Bang Heru melambaikan tangan."Maaf lama menunggu ya, Bang," kataku menghampirinya."Santai aja, Rindu. Kamu kenapa pilih bus terakhir?""Tadi ada keperluan dulu, Bang. Ini kebetulan Magrib, apa nggak sebaiknya salat dulu kali?""Iya juga. Di dekat sana ada musala, kita salat di sana, Rin."Tanpa berlama-lama, aku naik membonceng. Menuju musala yang dimaksud Bang Heru. Tidak ramai jamaah salat, syukur masih terkejar sebelum rakaat pertama.Pukul tujuh tepat, aku dan Bang Heru mulai bergerak. Laju sepeda motor bias
~••°••~"Maaf ya, Kak. Senin saya sudah kembali ke Padang. Selasa siang sudah bisa kak ambil resumenya. Ada acara keluarga, disuruh pulang banget. Semoga Kakak tidak marah," jelasku pada kakak tingkat melalui sambungan telepon. Jasa Malindo yang aku tumpangi, baru saja melewati kampus UMMY di Koto Baru.Lima menit lalu, Bang Heru tukang ojek langganan juga mengabarkan bahwa ia sudah di simpang Koto Baru. Bersamaan dengan Magrib masuk, aku turun dari bus. Dari seberang jalan, Bang Heru melambaikan tangan."Maaf lama menunggu ya, Bang," kataku menghampirinya."Santai aja, Rindu. Kamu kenapa pilih bus terakhir?""Tadi ada keperluan dulu, Bang. Ini kebetulan Magrib, apa nggak sebaiknya salat dulu kali?""Iya juga. Di dekat sana ada musala, kita salat di sana, Rin."Tanpa berlama-lama, aku naik membonceng. Menuju musala yang dimaksud Bang Heru. Tidak ramai jamaah salat, syukur masih terkejar sebelum rakaat pertama.Pukul tujuh tepat, aku dan Bang Heru mulai bergerak. Laju sepeda motor bias
~••°••~Febi bukanlah aku, dia punya privilege sejak lahir. Nikah bawah tangan, pesta perhelatan besar, tentang sebab akibat ia mendadak nikah, bak tenggelam begitu saja di kampung Madila. Tidak ada sama sekali kumpulan ibu-ibu menggunjingkan Febi. Tidak pula ada bapak-bapak yang mengolok kalau lewat di kedai kopi tempat mereka duduk-duduk menjelang senja.Hanya yang berubah, Mintuo Yeni. Bukan lagi beliau yang dulu, yang menjalani hidup penuh suka cita. Dulu, tiada hari tanpa tawa yang membahana. Kini ... malang nasibnya kini. Mintuo Yeni mengalami depresi yang berat. Semua barang-barang Febi dibakar. Foto-foto Febi dirobek. Boneka, sepatu, benda-benda yang ada hubungannya dengan Febi dijual ke tukang loak. Seakan-akan, beliau tidak ingin ada lagi benda yang tersisa jika masih berhubungan dengan Febi.Mak Rustam tidak dapat berbuat banyak. Pikirannya tentu tidak kalah semrawut. Belum lagi menanggung malu dalam hidup bermasyarakat. Selama ini, dikenal sebagai tetua, disegani, yang bij
~••°••~Selama 10 hari di Myanmar, tidak sempat untuk sekadar menelepon Emak. Dikatakan tidak, ketika pertama kali menginjakkan kaki di bandara, sempat aku video call dengan Kak Kasih. Kebetulan ia sedang bersama Emak. Di hari ke-10, sebelum meninggalkan bandara Yangon seluruh peserta seminar diberi waktu 4 jam untuk memburu buah tangan. Tepat pukul 11 malam waktu setempat, pesawat yang akan membawa kami kembali ke Indonesia dijadwalkan take off.Rasanya waktu sepuluh hari terlalu singkat. Seminar gizi skala internasional itu benar-benar daging isinya. Berbagai materi pergizian dan challenge yang menantang membuat waktu tanpa terasa sudah berlalu. Berkenalan dengan para kandidat terbaik universitas kenamaan dari berbagai negara dunia, menjadi sebuah berkah tak terhingga untukku. Orang-orang hebat, calon-calon dokter masa depan. Semuanya ramah-ramah, semaksimal mungkin membaur lebur jadi satu. Meski ada benturan sesekali dalam komunikasi karena bahasa. Setidaknya, hal lain yang harus a