~••°••~"Prof!" Aku berusaha mensejajari langkah beliau yang bergegas."Ya?""Mengenai yang Prof sampaikan di kelas tadi, saya masih ngambang."Profesor Imran lantas berhenti dan memutar arah berdirinya, menghadap sempurna kepadaku."Ya, Anda ditunjuk sebagai perwakilan mengikuti studi banding di Kuala Lumpur. Bagaimana mekanismenya, silakan langsung ke bagian rektorat. Akomodasi ditanggung penuh, diberikan juga uang saku. Enak, bukan?""Saya senang dengan kabar ini. Tetapi, seperti Prof lihat tadi di kelas, tanggapan dari beberapa teman terlihat tidak begitu.""Kenapa harus memikirkan orang lain? Anda ditunjuk, diberikan amanah oleh universitas bukan asal dapuk. Tandanya Anda memenuhi kriteria. As simple as that!""Saya takut dikira dan dibilang anak emas, Prof," keluhku menahan suara."Ada masalah kalau Anda diemaskan? Orang lain berusaha menjadi terdepan agar bisa punya posisi 'anak emas' ... sementara Anda, diberikan kemudahan oleh Tuhan untuk meraihnya. Bukan, bukan meraihnya ...
~••°••~[Hai, Bitch!]Pesan itu masuk berkali-kali, berhari-hari. Awalnya aku abaikan, lama-lama risih juga. Setiap kali coba menelpon, tidak pernah tersambung."Siapa ya, Ji? Aku mulai nggak nyaman.""Kamu tahu 'kan arti bitch itu?" Fuji mencodongkan badannya ke arahku, mengintip deretan pesan yang masuk dari nomor misterius tersebut."Pelacur, 'kan. Perasaan enggak pernah ada masalah sama orang. Baik di dunia nyata, entah di dunia maya. Kamu tahu sendirilah gimana aku, waktu untuk bikin masalah itu yang enggak ada.""Jangan-jangan itu Michelle atau Rosemary!" serunya."Husst, jangan sembarangan! Tanpa bukti, kita nggak bisa asal tuduh orang. Nanti malah kena balik, pencemaran nama baik."Siang itu, setelah kuis dadakan di salah satu mata kuliah, aku menuju ke perpustakaan. Ada waktu yang lumayan panjang untuk mengumpulkan referensi sebanyak-banyaknya. Satu jam bagiku sangat berarti, setelah ini lanjut ke mata kuliah berikutnya. Di sela-sela membaca buku, bisa diselingi mengisi perut
~••°••~Sepanjang malam aku merintih menahan perih di bekas jahitan dagu dan rusuk kanan. Emak dan Bang Doni bergantian berjaga. Pukul 2 dini hari, Bang Farid datang setelah mengantar pulang Bu Nani ke rumah kakaknya. Aku tidak tahu sedang dirawat di rumah sakit apa."Mak, makan dulu!" lirih Bang Farid menegur Emak yang baru selesai tahajud.Mataku tak mau lelap sepicing pun. Pikiranku ngelantur ke mana-mana. Melihat diriku terbujur tak berdaya, aku stress. Aku kasihan pada Emak yang terlihat lelah. Astaghfirullah, kenapa musibah datang begitu sekejapan penglihatan."Kamu belum tidur dari mulai siuman tadi, Rindu. Harus banyak istirahat biar segera pulih. Mau makan?" Bang Farid duduk di kursi kanan, sejajar dengan kepalaku. Aku menoleh sedikit saja."Ini mimpi 'kan, Bang. Rindu baik-baik aja 'kan? Bangunin segera, biar belajar untuk persiapan ke Malaka. Ayok, Bang!""Rindu, istighfar," lirihnya berusaha menenangkan.Bulir demi bulir berkejaran lagi keluar dari netraku. Ternyata ini ke
~••°••~"Coba diingat-ingat lagi, Rin. Barangkali tidak disengaja pernah melukai perasaan orang."Emak baru selesai Duha, mengelap tangan dan kakiku dengan tisu basah. Seperti yang diminta Emak, aku coba mengingat-ingat dengan siapa pernah bermasalah. Buntu, tidak ada sama sekali. Terakhir aku heboh dengan orang cuma dengan Febi, itu pun sudah tahun kapan. Kalau dengan Michelle dan Rosemary, tak pernah kami ribut berat meski persaingan antara kami memang ketat.Aku mengakui kalau Michelle dan Rosemary memang unggul di beberapa mata kuliah. Seperti yang diceritakan Fuji, ia gagap saat diwawancarai oleh profesor di kantor rektorat. Sangat kuyakini bukan karena mereka bodoh atau kepala kosong. Boleh jadi karena gugup, sehingga blank begitu saja."Rindu memang punya hubungan yang tidak baik dengan teman sekelas, Mak. Cuma ... rasanya mustahil merekalah dalang semua ini. Enggak mungkin aja gitu loh, Mak.""Setelah pulih nanti dan berkuliah kembali, perbaiki hubungan tersebut. Jangan merasa
~••°••~Setelah salat Subuh, Emak sudah berkemas-kemas. Pagi ini aku dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Solok. Seluruh administrasi sudah diurus kemarin sore oleh pihak kampus. Fuji juga menginap semalam, seperti Emak ... dia juga terlihat sibuk beres-beres."Aku enggak ikut ke Solok, Rindu. Ada tugas yang harus aku kejar. Maaf ya," katanya tanpa menoleh. Aku tahu ia menahan air mata. "Lusa aku ke sana sama teman-teman kelas," ulasnya masih memalingkan wajah."Kamu kenapa sih, Ji?""Enggak!" tukasnya."Ji, lihat aku!"Tangannya yang sedang melipat kain, berhenti bergerak. Ia menoleh dan aku menemukan sepasang mata yang merah. Fuji terlihat tidak baik-baik saja."Nggak tahu, sedih aja kamu pindah ke Solok. Entah kapan balik ke Padang.""Doain aku pulih cepat, biar bisa kuliah cepat.""Ya tapi treatment tulang itu lama, Rindu. Solok itu jauh banget, gimana aku bisa ke sana sering-sering. Ya Allah, Fuji sedih banget loh, Mak!" adunya beralih pada Emak.Jika Fuji sedih karena
~••°••~"Kenapa dia dibawa ke sini? Adik saya punya hak untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan, Pak. Lihat, apa hasilnya!" Aku mendengar suara Kak Kasih di luar."Dan, tolong dengan sangat, Etek jangan pernah menampakkan muka lagi di depan Rindu. Belum cukupkah penderitaan yang Etek hadirkan untuk dia?" Semakin menggelegar suaranya."Mak, Kak Kasih!" lirihku, Emak bergegas keluar.Pintu yang tersibak lebar menampakkan pemandangan mereka yang sedang berseteru. Etek Yarni sedang berlutut pada Kak Kasih. Tetapi, kakakku itu seperti tidak peduli bahkan ia terlihat jijik untuk menyentuh Etek Yarni.Sebetulnya kami tidak pernah diajarkan untuk dendam dan menanam kebencian kepada siapa pun. Sekali ini rasanya dadaku sudah penuh. Karena perbuatan Etek Yarni menyangkut nyawa, dia tidak lagi manusia. Dia iblis, maaf."Saya nggak peduli mau menangis darah sekali pun, bapak kami dulu menyekolahkan Etek supaya jadi orang, bukan jadi maling!" Kak Kasih melangkah, dan mencegah tangan Emak yang
~••°••~Hari kedua menginap di kamar VIP Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Solok, penyangga punggungku dilepas. Dokter memeriksa bekas jahitan operasi dibagikan rusuk. Setelah itu aku menjalani Rontgen untuk mengecek struktur tulang yang retak. Selesai semua prosedur tersebut, dibantu oleh suster mulai belajar duduk tegak dan menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan."Lukanya sudah kering dengan baik, semoga tidak muncul keloid dibekas sayatannya ya, Bu." Dokter berkata pada Emak. "Lalu, untuk kondisi keretakan juga sudah mulai rekat lagi. Nanti, setelah Rindu pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa ... tidak dibenarkan untuk olahraga berat, mengangkat beban berat, pokoknya benar-benar harus dimanja lagi tubuhnya, ya."Emak hanya mengangguk memahami penjelasan sang dokter."Semoga bisa pulih secepatnya ya, Rindu. Semangat jangan kendor. Rajin-rajin terapi bersama suster. Pokoknya mulai dari pikiran positif, karena kesembuhan itu berawal dari sugesti. Kamu kuat, hebat! Kan mau jadi dokt
Berkali-kali kutekan bel, suster datang dengan langkah tergesa. Wajahnya terlihat cemas ketika melangkah masuk. Astaga, aku jadi merasa bersalah padanya."Kenapa, Dek Rindu?" tanyanya segera mendekatiku."Maaf, Suster ... tidak ada apa-apa. Bantu saya duduk, terus ambilkan laptop sekalian. Mau ada streaming di website, maaf banget, Sust.""Astaghfirullah, saya lari ke sini. Saya pikir terjadi sesuatu. Syukurlah kalau semuanya baik-baik saja," katanya menyeka peluh di dahi."Ya Allah, sekali lagi saya minta maaf, Suster.""Tidak apa-apa, memang tugas kami membantu pasien kok. Harus gesit dan sigap." Suster tersebut menyerahkan laptop kepadaku. Tak itu saja, aku meminta ambilkan mukena untuk kupakai. Sebab, kerudung instan milikku entah di mana disimpan Emak.Setelah semuanya aman dan nyaman, ia permisi. Ponselku berdering lagi. Kali ini Robby yang memanggil."Assalamualaikum, Rindu. Gimana, sudah bisa online?" cecarnya."Walaikumsalam, bentar, Robby. Ini baru nyalain laptop. Kamu gabun