~••°••~Setelah salat Subuh, Emak sudah berkemas-kemas. Pagi ini aku dipindahkan ke Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Solok. Seluruh administrasi sudah diurus kemarin sore oleh pihak kampus. Fuji juga menginap semalam, seperti Emak ... dia juga terlihat sibuk beres-beres."Aku enggak ikut ke Solok, Rindu. Ada tugas yang harus aku kejar. Maaf ya," katanya tanpa menoleh. Aku tahu ia menahan air mata. "Lusa aku ke sana sama teman-teman kelas," ulasnya masih memalingkan wajah."Kamu kenapa sih, Ji?""Enggak!" tukasnya."Ji, lihat aku!"Tangannya yang sedang melipat kain, berhenti bergerak. Ia menoleh dan aku menemukan sepasang mata yang merah. Fuji terlihat tidak baik-baik saja."Nggak tahu, sedih aja kamu pindah ke Solok. Entah kapan balik ke Padang.""Doain aku pulih cepat, biar bisa kuliah cepat.""Ya tapi treatment tulang itu lama, Rindu. Solok itu jauh banget, gimana aku bisa ke sana sering-sering. Ya Allah, Fuji sedih banget loh, Mak!" adunya beralih pada Emak.Jika Fuji sedih karena
~••°••~"Kenapa dia dibawa ke sini? Adik saya punya hak untuk mendapatkan kenyamanan dan ketenangan, Pak. Lihat, apa hasilnya!" Aku mendengar suara Kak Kasih di luar."Dan, tolong dengan sangat, Etek jangan pernah menampakkan muka lagi di depan Rindu. Belum cukupkah penderitaan yang Etek hadirkan untuk dia?" Semakin menggelegar suaranya."Mak, Kak Kasih!" lirihku, Emak bergegas keluar.Pintu yang tersibak lebar menampakkan pemandangan mereka yang sedang berseteru. Etek Yarni sedang berlutut pada Kak Kasih. Tetapi, kakakku itu seperti tidak peduli bahkan ia terlihat jijik untuk menyentuh Etek Yarni.Sebetulnya kami tidak pernah diajarkan untuk dendam dan menanam kebencian kepada siapa pun. Sekali ini rasanya dadaku sudah penuh. Karena perbuatan Etek Yarni menyangkut nyawa, dia tidak lagi manusia. Dia iblis, maaf."Saya nggak peduli mau menangis darah sekali pun, bapak kami dulu menyekolahkan Etek supaya jadi orang, bukan jadi maling!" Kak Kasih melangkah, dan mencegah tangan Emak yang
~••°••~Hari kedua menginap di kamar VIP Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Solok, penyangga punggungku dilepas. Dokter memeriksa bekas jahitan operasi dibagikan rusuk. Setelah itu aku menjalani Rontgen untuk mengecek struktur tulang yang retak. Selesai semua prosedur tersebut, dibantu oleh suster mulai belajar duduk tegak dan menggerakkan leher ke kiri dan ke kanan."Lukanya sudah kering dengan baik, semoga tidak muncul keloid dibekas sayatannya ya, Bu." Dokter berkata pada Emak. "Lalu, untuk kondisi keretakan juga sudah mulai rekat lagi. Nanti, setelah Rindu pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa ... tidak dibenarkan untuk olahraga berat, mengangkat beban berat, pokoknya benar-benar harus dimanja lagi tubuhnya, ya."Emak hanya mengangguk memahami penjelasan sang dokter."Semoga bisa pulih secepatnya ya, Rindu. Semangat jangan kendor. Rajin-rajin terapi bersama suster. Pokoknya mulai dari pikiran positif, karena kesembuhan itu berawal dari sugesti. Kamu kuat, hebat! Kan mau jadi dokt
Berkali-kali kutekan bel, suster datang dengan langkah tergesa. Wajahnya terlihat cemas ketika melangkah masuk. Astaga, aku jadi merasa bersalah padanya."Kenapa, Dek Rindu?" tanyanya segera mendekatiku."Maaf, Suster ... tidak ada apa-apa. Bantu saya duduk, terus ambilkan laptop sekalian. Mau ada streaming di website, maaf banget, Sust.""Astaghfirullah, saya lari ke sini. Saya pikir terjadi sesuatu. Syukurlah kalau semuanya baik-baik saja," katanya menyeka peluh di dahi."Ya Allah, sekali lagi saya minta maaf, Suster.""Tidak apa-apa, memang tugas kami membantu pasien kok. Harus gesit dan sigap." Suster tersebut menyerahkan laptop kepadaku. Tak itu saja, aku meminta ambilkan mukena untuk kupakai. Sebab, kerudung instan milikku entah di mana disimpan Emak.Setelah semuanya aman dan nyaman, ia permisi. Ponselku berdering lagi. Kali ini Robby yang memanggil."Assalamualaikum, Rindu. Gimana, sudah bisa online?" cecarnya."Walaikumsalam, bentar, Robby. Ini baru nyalain laptop. Kamu gabun
~••°••~"Loh, ada Nak Farid?" Emak tiba-tiba muncul.Bayangkan saja kepiting rebus, seperti apa merahnya. Seperti itulah rona wajah Bang Farid saat itu. Perutku kram menahan tawa. Gelagapan, kedapatan mentah-mentah sama Emak. Haha."Lagi sakit apa bagaimana, kenapa merah padam begitu wajahnya?" selidik Emak. Yang ditanya semakin gelagapan. Salah tingkah Bang Farid tidak tanggung-tanggung."Sehat kok, Mak. Dari mana Emak? Aku udah dari tadi loh nungguin," kilahnya mengganti topik."Halah, lagu-laguan. Dari depan, ngantar fotokopian KK ke bagian administrasi. Tadi disuruh anter ke sana sama susternya. Emak nggak tahu buat apaan.""Jangan-jangan udah boleh pulang, Mak?" seruku."Belumlah, tadi Emak ketemu dokter di depan. Katanya kamu terapi dulu. Kalau udah kokoh duduk sendiri, belajar berdiri dan jalan. Soalnya kalau enggak gitu, entar kaku di panggul. Bahaya.""Bahaya gimana, Mak?" sahut Bang Farid."Ya, Emak nggak tahulah. Pokoknya dokter bilang begitu tadi. Entar kalau panggul kaku,
~••°••~"Siapa, Rin?" Emak menatap ke arahku tajam."Orang tua Rosemary.""Kenapa seperti itu cara bicaranya, tidak sopan kalau begitu.""Maaf, Mak. Rindu khilaf, habis mereka usil, Mak. Masa Rindu dituduh yang merebut posisi Rosemary, dituduh ingin mempermalukan keluarga mereka. Kan mengada-ada itu namanya. Mau ke sini kayaknya, Mak. Entah besok atau lusa, nggak tahu.""Ya nggak masalah kalau mereka datang, silakan saja ... pintu terbuka sangat lebar. Namanya tamu ya kita sambut, Rin. Mereka sopan, kita segan. Mereka kurang ajar, kita juga bisa lebih kurang ajar." Emak tidak biasanya bicara seperti ini. Apa Emak juga tersinggung dengan perkataan orang tua Rosemary?Melupakan huru-hara tidak jelas tersebut, aku kembali memfokuskan pikiran pada materi yang sudah dikompresi ke dalam bentuk word. Berlembar-lembar sudah aku baca. Mata mulai perih, otak mulai mendidih. Rasa-rasanya mau menyerah, tapi sudah terlanjur basah. Mari mandi sekalian.Belum seperempat dari soal yang berhasil aku j
~••°••~Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, tinggal 2 jam lagi menuju deadline. Masih ada 3 soal lagi yang harus aku selesaikan. Seharian mataku tak beranjak dari layar laptop. Sampai dokter menegur agar istirahat dulu. Aku yang diburu waktu seakan-akan lupa sedang dirawat. Demi menjaga amanah dari universitas, aku kesampingkan rasa pegal yang mendera punggung.Emak setia berjaga, menyediakan apa saja yang kubutuhkan. Beliau juga sabar menyuapi makan, sementara tanganku terus menari di atas keyboard. Selesai Magrib, Bang Farid mampir sejenak mengantarkan martabak untuk Emak. Hanya sepuluh menit ia singgah, lalu pergi lagi karena harus mengantar beras ke Padang. Aku rasa hanya alasannya saja, karena tak mau mengganggu aku yang sedang berpacu dengan waktu.Tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul 11, semuanya kelar. File sudah aku submit. Lega, plong dan seketika ringan isi kepala. Langsung aku kabari ke grup universitas, mengirimkan tangkapan layar dari portal yang melampirkan file
~••°••~"Bapak apa kabar?" Aku bertanya hati-hati sambil mengamati Pak Arzen yang begitu sabar menyuapi istrinya sarapan. Semangkuk bubur putih dengan siraman gula merah cair, berada dalam genggamannya. Ada yang berbeda dengan beliau, terlihat sedikit kurus dibandingkan dahulu."Beginilah, Rindu."Emak meninggalkan kami, beliau dipanggil oleh suster untuk mengurus beberapa administrasi yang tidak masuk dalam cover-an kampus. Beruntunglah kami terdaftar dalam penerima bantuan iuran asuransi kesehatan milik pemerintah. Prosesnya memang sedikit rumit dan ribet, tetapi bagaimana lagi? Namanya butuh."Kamu sendiri kenapa sampai begini?" Pak Arzen balik bertanya."Saya ditabrak orang, Pak. Cidera serius di tulang rusuk. Pindah dari RS M.Djamil ke sini juga belum lama. Pasca-operasi baru ke sini. Alhamdulillah sekarang sudah jauh lebih baik, Pak. Sudah bisa duduk dan tidur sendiri. Ini lagi proses terapi punggung sambil terapi berjalan.""Alhamdulillah. Kuliah bagaimana?" tanya beliau lagi."