~••°••~
"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi."Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar."Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?""Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.Tidak lama, Emak datang. Membawa bungkusan kresek hitam lumayan besar. Rasanya aku tidak punya keberanian menatap Emak lama-lama."Apa itu, Mak?""Pagi-pagi udah pada makan, pintar cucu Nenek." Emak mengabaikan pertanyaan Kak Kasih."Di rumah ada lauk, masak telur balado. Entahlah merengek-rengek mau makan di rumah Nenek.""Kamu nggak sekalian sarapan, Kasih? Doni sudah berangkat?"Bang Doni yang bekerja jauh di kantor dinas pemerintahan sebagai office boy, setiap hari berangkat lebih awal. Jarak rumah dan kantor memakan waktu kurang lebih satu jam. Agar tidak terlambat, Bang Doni selalu berangkat pukul enam lewat beberapa menit."Baru berangkat, Mak. Nantilah sarapan, barengan Rindu," tolak Kak Kasih."Kamu kenapa, Rin? Ke sekolah jam berapa? Sudah selesai cuci piring?" Emak meluncurkan rentetan pertanyaan dengan cepat.Perlahan aku berdiri, menuju dapur. Membawa lagi piring ke sumur. Mulai mencucikan satu persatu.Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan semua itu. Aku lanjut membilas cucian yang sudah direndam sejak Subuh. Mencuci secara manual, menggundarnya sampai muncul busa berlimpah.Selesai semuanya, aku mandi. Lalu ke depan sambil membawa teh hangat. Duduk dekat Emak yang mulai menggelar terpal untuk membersihkan akar bawang lagi."Sudah sarapan, Rin? Nanti kamu maagh lagi.""Emak sudah sarapan?""Sudah tadi makan gorengan di rumah Pak Rinto. Besar-besar gorengnya, satu aja Emak makan sudah bikin kenyang dan eneg.""Ateu boleh minta satu nggak?" tanyaku pada Aldo yang sedang makan snack ciki-ciki. Tanpa berpikir lama, dia beri aku satu wafer rasa coklat."Mak, nanti Rindu ke sekolah sekitar jam sembilan.""Iya," jawab Emak singkat."Mak, maafkan Rindu.""Maaf apa, Nak. Kamu salah apa sama Emak? Maling telur ayam lagi, atau nyuri uang Emak?" seloroh Emak, sukses membuat senyumku merekah."Bukan loh. Maaf karena masih merepotkan Emak, sudah sebesar ini.""Astaghfirullah, Rindu ... Rindu. Namanya orang tua, tanggung jawab yang diembannya adalah mengurus anak-anak. Memenuhi kebutuhan, menjamin kesehatan dan pendidikannya. Kamu itu bagaimana, sih? Mau jadi dokter kok malah aneh-aneh." Lagi, Emak tersenyum lebar begitu tulus.Dalam hati kuaminkan setiap kalimat Emak. Membatinkan doa agar Emak berumur panjang. Selalu sehat dan bahagia seperti ini. Di mata Emak ada keteduhan yang membuatku merasa aman dan percaya diri lagi.Melihat Emak bekerja keras, apakah aku akan sanggup meninggalkan beliau sendiri. Andaikata aku kuliah, tentu tidak bisa pulang terlalu sering. Alasannya, menghemat ongkos, salah satunya.Lalu aku teringat lagi, barusan untuk menebus ijazah saja Emak harus berhutang pada Pak Rinto. Bagaimana nanti jika aku jadi kuliah? Memang ada beasiswa, apakah seenak itu? Benar-benar akan ter-cover semuanya? Jujur saja, aku sedikit ragu.Aku ingat lagi, ketika itu bapak masih ada. Sebutlah kawan bapak itu namanya Pak Burhan. Beliau salah satu orang berada di sini, sawah dan kebun kakao-nya sangat luas. Mempekerjakan banyak orang untuk mengolahnya.Sawah Emak baru bisa dipanen seminggu lagi. Sementara butuh uangnya harus hari itu juga. Kejadiannya ketika aku akan masuk SMA.Bapak pergi ke rumah Pak Burhan. Menawarkan padi yang masih di batangnya. Meminjam sejumlah uang, nanti dibayar dengan padi jika sudah panen.Aku remaja belum begitu paham tentang apa pun omongan orang. Semuanya hanya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Aku tidak peduli.Kalimat "Halah, kalau bukan karena aku ...." tidak begitu penting bagiku, kala itu. Belakangan aku sadar, bahwa berhutang jasa dan budi pada orang akan diungkit terus seumur hidup.Masih terekam dengan baik, saat itu pendaftaran ulang. Siswa wajib membayar lunas uang pembangunan. Seperti yang aku bilang, Bapak terpaksa meminjam pada Pak Burhan.Beberapa hari setelahnya, aku mendengar beliau sedang bicara pada orang lain di kedai Koh Agung."Anak Umar yang Rindu itu memang encer otaknya, ya. Bisa dia mengungguli pendaftar lain masuk di SMAN 1 Gunung Sandi. Padahal lawannya dari banyak sekolah ya!""Halaaah, sekarang otak encer itu nggak berlaku. Zaman sekarang yang penting adalah uang. Kalau bukan karena aku, bukan aku yang kasih pinjaman, nggak sekolah anak Umar itu!" Begitu pongahnya Pak Burhan berkata.Baru aku sadari belakangan ini. Begitu hinakah kalau kita meminjam uang? Sehingga ada trauma yang tinggal dalam kepala ini. Aku takut hal demikian terjadi lagi. Jangan sampai berhutang uang, berhutang jasa pula.Karena kami keluarga miskin, orang ringan saja bicara semaunya. Padahal nasi sesuap pun kami tidak meminta. Hidup dengan daya sendiri, bukan atas belas kasih orang lain."Emak kenapa sampai meminjam lagi pada Pak Rinto. Apa Emak lupa, dulu Pak Burhan pernah bilang 'Halah kalau bukan karena aku ....' Rasanya malu dikatakan begitu, Mak." Aku memberanikan diri bertanya."Lupakanlah perkataan Pak Burhan, Rindu. Anggap saja beliau khilaf berkata demikian. Kenapa kamu tahu Emak meminjam uang Pak Rinto? Kamu menguping ya tadi?""Rindu tidak mau terjadi lagi hal yang sama, Mak. Kita meminjam, bukan meminta. Dibayar lagi sesuai dengan nominal yang kita pakai. Kata-kata itu seperti seakan-akan tanpa mereka kita ini bukan apa-apa.""Rindu, hati tidak boleh di kening. Kalau bukan karena kebaikan hati orang meminjamkan uang, barangkali kita memang bukan apa-apa. Pokoknya akadnya jelas, utang piutang. Kita pinjam, kita bayar kemudian. Perkaranya hanya sebatas itu.Dengarkan Emak, Rindu. Tidak berdosa kita meminjam uang pada orang. Asalkan dibayar lagi tepat waktunya. Menjadi berdosa kalau tidak dibayar-bayar. Asal tidak menadah tangan, mengemis, menjual penderitaan, baru salah. Pinjam meminjam itu tidak ada larangannya."Emak berkata lugas. Kemudian melanjutkan menggelar bawang ke atas terpal. Aku bukan mempermasalahkan utangnya, tapi sikap orangnya."Setiap kejadian ada hikmahnya, Rindu. Tidak semuanya harus dimasukkan ke hati. Bisa jadi orang tersebut sedang bercanda."Aku diam, tidak mampu menjawab lagi perkataan Emak."Dari sekolah nanti kamu langsung ke rumah Etekmu, Nak.""Ta--tapi, Mak?""Rindu, pergilah ke rumah Etek Yarni."Kalau Emak sudah berkata dengan membulatkan mata, artinya tidak bisa dibantah lagi. Padahal aku sangat tidak ingin ke sana. Etek Yarni itu sebetulnya baik, tapi perkataannya kadang-kadang lebih keras dari Ceu Nova. Aku ini kerap dibuatnya kena mental.~••°••~To be continue!~••°••~Pukul sembilan kurang beberapa menit, aku sampai di sekolah. Menaiki ojek pangkalan dari rumah, dengan ongkos sepuluh ribu rupiah. Sebelum melangkah masuk memasuki gerbang, mataku menatap lekat pada tulisan besar yang melengkung di atas gapura."Sekolah Menengah Atas Negeri 01 Gunung Sandi." Di bawah tulisan itu tertulis lagi "Tut Wuri Handayani." Ada desir di dada ini. Tanpa terasa sudah tiga tahun lamanya aku menimba ilmu di sini.Tujuan pertamaku adalah bagian tata usaha. Di loket pembayaran yang merupakan hasil sulap sebuah pintu ruangan tersebut dikerumuni banyak siswa. Mereka pastilah punya hajat yang sama denganku."Rindu!" seru seorang teman dekatku. Dari kelas satu, kami sudah akrab. Ranti, adalah teman pertamaku ketika memasuki sekolah ini. Lalu, keisengan jiwa anak remaja membuat label 2R sebagai tanda best friend forever."Sudah selesai punyamu?" Aku menyuguhkan senyum terbaik untuknya."Belum, itu lihat antriannya panjang. Mana Bu Erna ngomel-ngomel nggak jelas da
~••°••~Hampir 10 menit aku berjalan, bergegas tanpa menoleh lagi ke belakang. Harusnya aku ikuti apa kata Kak Kasih. Tetapi, men-tidak-kan permintaan Emak juga tak sanggup. Kak Kasih itu benar, Etek memang tidak pernah menyukai kami."Rindu?"Kalau di kota, orang menyebutnya Pak RT. Namun, di sini kami menyebutnya Pak Jorong. Sebut saja nama beliau Muslim. Rumahnya dekat dengan rumahku. Oh ya, rumahku dan rumah Etek Yarni beda jorong. Kurang lebih 8-10 menit perjalanan naik motor."Pak Mus." Aku sedikit menunduk, menyembunyikan mata yang basah."Dari mana, kenapa sendiri?""Iya, Pak Mus. Dari rumah Etek, mau kembali ke rumah.""Oh begitu, ada yang mengantar? Atau sedang menunggu jemputan?"Aku menggeleng, masih menumpukan tatapan ke ujung sepatu."Kalau begitu, naiklah. Kebetulan saya mau pulang juga."Tanpa berpikir lama, segera aku membonceng sepeda motor Pak Mus. Setidaknya, aku tidak perlu berjalan kaki untuk sampai ke rumah. Di belakang Pak Mus, kuhela napas sedalam mungkin, mele
~••°••~"Sudah, ya. Jangan dijadikan beban pikiran juga omongan Emak."Kak Kasih pamit pulang. Aku bantu Emak merapikan sisa pekerjaannya. Melipat terpal dan menyapu bekas urat bawang.Emak duduk meluruskan kaki di bangku rotan tua. Kursi yang dibeli saat Emak kembali dari Bengkulu. Tentunya banyak kenangan di benda mati nan usang itu. Dia adalah saksi bisu keluarga ini melewati badai kehidupan.Kulihat Emak duduk diam, memandang jauh ke depan. Nelangsa menghampiri hatiku. Pasti Emak sangat lelah. Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak sendirian? Sedangkan Kak Kasih sudah hidup terpisah dengan Emak."Ateu!" seru Aldo, putra sulung kakakku."Loh, Aldo dari mana? Sendirian?" Emak yang menjawab."Dari rumah, Nek. Kata Mama, Ateu sama Nenek nanti tidur di rumah. Papa nggak pulang, pulangnya besok. Dedek Rafif agak demam," jelas Aldo."Biar Ateu Rindu nanti, ya. Nenek nggak ikut.""Emak sendirian di rumah, gimana?" selaku."Mau lipat kain yang kering, Rin. Sudah setinggi gunung tumpukannya.
~••°••~"Sudah, Rin. Sudah, hentikan tangisanmu!" Kak Kasih melonggarkan pelukannya."Rindu ingin Bapak," kataku tersedu-sedu."Astaghfirullah, mengucap, Rindu! Bapak akan sedih melihatmu begini. Munculkan semangat itu, Rin. Tunjukkan pada dunia, kita bisa. Kaki kita kuat menopang semuanya. Bersama Kakak, bersama Emak. Demi Allah, tidak akan Kakak biarkan kamu sendirian, Rin."Sekali lagi aku terisak. Menutup wajah dengan dua telapak tangan. Senyum Bapak menari-nari di pelupuk mataku. Sosok pria yang selalu kutunggu kepulangannya setiap senja."Kamu istirahat dulu, ya. Kalau mau makan, itu tadi kakak masak ikan asin.""Kakak nggak tidur?""Ada sedikit jahitan, orang permak celana. Katanya dijemput besok pagi. Mau dipakai mungkin. Kasihan kalau iya, makanya mau diselesaikan malam ini."Kakak persis seperti Emak. Apa yang bisa ia kerjakan sekarang, akan ia lakukan segera. Tidak pakai entar, tidak pakai nanti. Kehidupan benar-benar membentuk Kak Kasih menjadi pribadi yang kuat dan tanggu
~••°••~"Rindu, langsung ke ruangan kepala sekolah. Silakan, Bu." Pak Huspri mempersilakan kami berjalan lebih dulu.Pak Arzen tersenyum sangat lebar menyambut aku dan Emak. Tidak pernah aku lihat beliau se-semringah itu selama tiga tahun sekolah di SMAN 1 Gunung Sandi. Meski beliau memang selalu tersenyum pada siapa pun, tetapi senyuman kali terasa berbeda."Ibundanya Rindu siapa namanya?" ucap Pak Arzen."Rosmayah," jawab Emak malu-malu."Sebentar, Harmoni Rindu Umayyah. Maaf kalau boleh tahu lagi, ayahandanya Rindu namanya siapa?""Umar Basdi," balas Emak masih bersikap kaku."Umar, Rosmayah. Aah, apakah Umayyah itu gabungan keduanya?"Emak mengangguk dengan senyum terukir indah. Ada binar keceriaan yang tergambar di wajah Emak. Ketakutan dan gugup yang awalnya menahan langkah, sepertinya sudah menguap bersama sambutan dan candaan dari Pak Arzen.Bapak memberi kami nama memang cukup unik. Kak Kasih bernama lengkap Senandung Kasih Umayyah. Sementara aku disematkan nama Harmoni Rindu
~••°••~"Guru kamu baik-baik semua, Rin. Emak keburu keder, kirain pada galak.""Namanya guru ya baik, Mak. Kan untuk digugu dan ditiru. Rindu nggak menyangka sama sekali, sampai begininya penghargaan dari sekolah. Kok Rindu jadi merasa terlalu besar ya, Mak."🌻🌻🌻Sesampainya di rumah, sudah dekat ke waktu Dzuhur. Emak mulai mengeluarkan terpal dan karung bawang. Aku bersalin pakaian, sebelum membantu pekerjaan Emak.Sebelum memulai mengurati bawang, Emak menyeduh kopi dulu, sambil menunggu waktu salat masuk. Aku duduk dekat Emak, memperhatikan gurat bahagia yang tersirat begitu jelas di wajah beliau."Emak kok senyum-senyum terus?""Kamu ini, Rin, Rin. Emak bahagia sekali rasanya. Selama ini, orang sekampung memandang keluarga kita ini begitu lemah. Apalagi semenjak Bapak tidak ada, semakin remeh pandangan orang terhadap kita.Emak merasa, Allah maha baik sedang menunjukkan bagaimana membalas dengan cara terbaik. Melalui nasibmu, Rin. Allah memilih si bungsu Emak untuk menaikkan d
~••°••~Tidak butuh waktu lama untuk tersebarnya berita tentang penarikan kembali sawah oleh Etek Yarni. Warga silih berganti datang bertamu ke rumah. Ada yang betul-betul peduli dan mengecam sikap Etek Yarni, ada yang hanya ingin tahu dan mengompor-ngompori. Emak menjawab semua pertanyaan dengan kalimat senada."Pada dasarnya, sawah itu memang bukan hak milik kami. Hanya hibah dari mertua untuk menantu dan cucunya. Benar juga kata Yarni, aku bisa kewalahan sendirian. Apalagi Rindu akan kuliah di Padang." Demikian jawaban Emak.Etek Yarni seakan menutup mata dan telinga. Santer pembicaraan terdengar tentangnya. Serakah, rakus, tamak, medit, dengki, semua cap buruk berhamburan keluar. Tetapi, dia santai dan seolah-olah tidak peduli.Sore itu Kak Kasih datang tergesa-gesa. Kabar tentang datangnya Etek Yarni kemarin siang baru sampai ke telinganya. Pias wajah Kak Kasih menghampiri aku dan Emak yang sedang mengurat bawang."Assalamualaikum.""Walaikumsalam," jawab kami serempak."Mak, Kas
~••°••~"Barangkali ini hanya ketakutan saya, Bu Ros. Andai, maaf kalau perandai-andaian saya ini sedikit melompat pagar ... andai Yarni menggadai atau bahkan menjual sawah tersebut untuk membayar hutang ke saya ....""Rindu tidak akan biarkan, Bu. Dengan alasan apa pun. Kalau Etek Yarni menggarapnya kemudian hasil panen digunakan untuk mencicil hutang, sekalipun kami tidak dibagi barang sesukat pun, Insya Allah Rindu rida lillahi ta'ala. Tetapi, kalau dia menggadai atau menjual, Rindu dan Kak Kasih yang maju paling depan.""Itu makanya Ibu ke sini, Rindu.""Akad jual beli sawah itu juga butuh saksi, bukan? Harus ada persetujuan juga dari Emak, Rindu dan Kak Kasih yang selama ini tercatat sebagai pemilik di surat sawah.""Surat sawah?" ulang Bu Upik."Sebelum Nenek meninggal, beliau sudah antisipasi dengan menulis surat dengan tulis tangan. Isinya menyebutkan bahwa sawah yang menjadi bagian masing-masing adalah ini, ini, ini. Sebenarnya kalau mau menolak permintaan Etek Yarni, Rindu b