Share

Episode 4

~••°••~

"Dari mana, Rindu? Kakak dari tadi di sini, pintu nggak dikunci. Emak nggak ada, kamu nggak ada!"

Kak Kasih bersama dua anaknya sudah menunggu di depan rumah. Saking buru-buru menyusul Emak, aku sampai lupa mengunci pintu. Padahal rasanya tadi sudah kukunci sebelum berlari pergi.

"Habis bantu Emak, Kak. Ngantar bawang ke rumah Pak Rinto."

Di waktu bersamaan, seorang anak buah Pak Rinto datang menjemput bawang. Dua karung bawang dimuat ke atas gerobak motor. Kak Kasih membantu mengangkat satu karung yang besar.

"Kok tumben Emak yang antar? Bukannya sebelum ini selalu dijemput?"

"Emak ada kepentingan lain dengan Pak Rinto, Kak." Mengatakan ini rasanya pedih di hati. Gara-gara aku, Emak harus berhutang sama orang.

Kak Kasih hanya mengangguk. Aku paham dia nggak bertanya banyak. Dia pasti menebak-nebak kepentingan Emak yang aku maksud.

Anak-anak Kak Kasih merengek ingin makan dengan ayam goreng lagi. Aku membantu mengambilkan nasi. Kak Kasih bagian memipilkan lauknya.

Tidak lama, Emak datang. Membawa bungkusan kresek hitam lumayan besar. Rasanya aku tidak punya keberanian menatap Emak lama-lama.

"Apa itu, Mak?"

"Pagi-pagi udah pada makan, pintar cucu Nenek." Emak mengabaikan pertanyaan Kak Kasih.

"Di rumah ada lauk, masak telur balado. Entahlah merengek-rengek mau makan di rumah Nenek."

"Kamu nggak sekalian sarapan, Kasih? Doni sudah berangkat?"

Bang Doni yang bekerja jauh di kantor dinas pemerintahan sebagai office boy, setiap hari berangkat lebih awal. Jarak rumah dan kantor memakan waktu kurang lebih satu jam. Agar tidak terlambat, Bang Doni selalu berangkat pukul enam lewat beberapa menit.

"Baru berangkat, Mak. Nantilah sarapan, barengan Rindu," tolak Kak Kasih.

"Kamu kenapa, Rin? Ke sekolah jam berapa? Sudah selesai cuci piring?" Emak meluncurkan rentetan pertanyaan dengan cepat.

Perlahan aku berdiri, menuju dapur. Membawa lagi piring ke sumur. Mulai mencucikan satu persatu.

Tidak butuh waktu lama untuk menyelesaikan semua itu. Aku lanjut membilas cucian yang sudah direndam sejak Subuh. Mencuci secara manual, menggundarnya sampai muncul busa berlimpah.

Selesai semuanya, aku mandi. Lalu ke depan sambil membawa teh hangat. Duduk dekat Emak yang mulai menggelar terpal untuk membersihkan akar bawang lagi.

"Sudah sarapan, Rin? Nanti kamu maagh lagi."

"Emak sudah sarapan?"

"Sudah tadi makan gorengan di rumah Pak Rinto. Besar-besar gorengnya, satu aja Emak makan sudah bikin kenyang dan eneg."

"Ateu boleh minta satu nggak?" tanyaku pada Aldo yang sedang makan snack ciki-ciki. Tanpa berpikir lama, dia beri aku satu wafer rasa coklat.

"Mak, nanti Rindu ke sekolah sekitar jam sembilan."

"Iya," jawab Emak singkat.

"Mak, maafkan Rindu."

"Maaf apa, Nak. Kamu salah apa sama Emak? Maling telur ayam lagi, atau nyuri uang Emak?" seloroh Emak, sukses membuat senyumku merekah.

"Bukan loh. Maaf karena masih merepotkan Emak, sudah sebesar ini."

"Astaghfirullah, Rindu ... Rindu. Namanya orang tua, tanggung jawab yang diembannya adalah mengurus anak-anak. Memenuhi kebutuhan, menjamin kesehatan dan pendidikannya. Kamu itu bagaimana, sih? Mau jadi dokter kok malah aneh-aneh." Lagi, Emak tersenyum lebar begitu tulus.

Dalam hati kuaminkan setiap kalimat Emak. Membatinkan doa agar Emak berumur panjang. Selalu sehat dan bahagia seperti ini. Di mata Emak ada keteduhan yang membuatku merasa aman dan percaya diri lagi.

Melihat Emak bekerja keras, apakah aku akan sanggup meninggalkan beliau sendiri. Andaikata aku kuliah, tentu tidak bisa pulang terlalu sering. Alasannya, menghemat ongkos, salah satunya.

Lalu aku teringat lagi, barusan untuk menebus ijazah saja Emak harus berhutang pada Pak Rinto. Bagaimana nanti jika aku jadi kuliah? Memang ada beasiswa, apakah seenak itu? Benar-benar akan ter-cover semuanya? Jujur saja, aku sedikit ragu.

Aku ingat lagi, ketika itu bapak masih ada. Sebutlah kawan bapak itu namanya Pak Burhan. Beliau salah satu orang berada di sini, sawah dan kebun kakao-nya sangat luas. Mempekerjakan banyak orang untuk mengolahnya.

Sawah Emak baru bisa dipanen seminggu lagi. Sementara butuh uangnya harus hari itu juga. Kejadiannya ketika aku akan masuk SMA.

Bapak pergi ke rumah Pak Burhan. Menawarkan padi yang masih di batangnya. Meminjam sejumlah uang, nanti dibayar dengan padi jika sudah panen.

Aku remaja belum begitu paham tentang apa pun omongan orang. Semuanya hanya masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Aku tidak peduli.

Kalimat "Halah, kalau bukan karena aku ...." tidak begitu penting bagiku, kala itu. Belakangan aku sadar, bahwa berhutang jasa dan budi pada orang akan diungkit terus seumur hidup.

Masih terekam dengan baik, saat itu pendaftaran ulang. Siswa wajib membayar lunas uang pembangunan. Seperti yang aku bilang, Bapak terpaksa meminjam pada Pak Burhan.

Beberapa hari setelahnya, aku mendengar beliau sedang bicara pada orang lain di kedai Koh Agung.

"Anak Umar yang Rindu itu memang encer otaknya, ya. Bisa dia mengungguli pendaftar lain masuk di SMAN 1 Gunung Sandi. Padahal lawannya dari banyak sekolah ya!"

"Halaaah, sekarang otak encer itu nggak berlaku. Zaman sekarang yang penting adalah uang. Kalau bukan karena aku, bukan aku yang kasih pinjaman, nggak sekolah anak Umar itu!" Begitu pongahnya Pak Burhan berkata.

Baru aku sadari belakangan ini. Begitu hinakah kalau kita meminjam uang? Sehingga ada trauma yang tinggal dalam kepala ini. Aku takut hal demikian terjadi lagi. Jangan sampai berhutang uang, berhutang jasa pula.

Karena kami keluarga miskin, orang ringan saja bicara semaunya. Padahal nasi sesuap pun kami tidak meminta. Hidup dengan daya sendiri, bukan atas belas kasih orang lain.

"Emak kenapa sampai meminjam lagi pada Pak Rinto. Apa Emak lupa, dulu Pak Burhan pernah bilang 'Halah kalau bukan karena aku ....' Rasanya malu dikatakan begitu, Mak." Aku memberanikan diri bertanya.

"Lupakanlah perkataan Pak Burhan, Rindu. Anggap saja beliau khilaf berkata demikian. Kenapa kamu tahu Emak meminjam uang Pak Rinto? Kamu menguping ya tadi?"

"Rindu tidak mau terjadi lagi hal yang sama, Mak. Kita meminjam, bukan meminta. Dibayar lagi sesuai dengan nominal yang kita pakai. Kata-kata itu seperti seakan-akan tanpa mereka kita ini bukan apa-apa."

"Rindu, hati tidak boleh di kening. Kalau bukan karena kebaikan hati orang meminjamkan uang, barangkali kita memang bukan apa-apa. Pokoknya akadnya jelas, utang piutang. Kita pinjam, kita bayar kemudian. Perkaranya hanya sebatas itu.

Dengarkan Emak, Rindu. Tidak berdosa kita meminjam uang pada orang. Asalkan dibayar lagi tepat waktunya. Menjadi berdosa kalau tidak dibayar-bayar. Asal tidak menadah tangan, mengemis, menjual penderitaan, baru salah. Pinjam meminjam itu tidak ada larangannya."

Emak berkata lugas. Kemudian melanjutkan menggelar bawang ke atas terpal. Aku bukan mempermasalahkan utangnya, tapi sikap orangnya.

"Setiap kejadian ada hikmahnya, Rindu. Tidak semuanya harus dimasukkan ke hati. Bisa jadi orang tersebut sedang bercanda."

Aku diam, tidak mampu menjawab lagi perkataan Emak.

"Dari sekolah nanti kamu langsung ke rumah Etekmu, Nak."

"Ta--tapi, Mak?"

"Rindu, pergilah ke rumah Etek Yarni."

Kalau Emak sudah berkata dengan membulatkan mata, artinya tidak bisa dibantah lagi. Padahal aku sangat tidak ingin ke sana. Etek Yarni itu sebetulnya baik, tapi perkataannya kadang-kadang lebih keras dari Ceu Nova. Aku ini kerap dibuatnya kena mental.

~••°••~

To be continue!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status