Share

6. BERUBAH

Penulis: A mum to be
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-06 07:09:28

“Sarah, kenapa kamu begini?”

Istrinya itu malah terkekeh samar. “Maksud Anda? Bukankah selama ini kehadiran saya tidak perlu diketahui banyak orang. Anggaplah sekarang petemuan kita yang pertama.”

“Sarah?”

“Apa lagi, Pak? Jangan sampai orang-orang melihat kita.” Sarah menepis pelan tangan Raka yang hendak mencekalnya.

Belum sempat Raka kembali bersuara, Nadia tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. Wajahnya pucat dan matanya berbinar dengan kemarahan yang tak tertahan.

Raka merasa jantungnya berdegup kencang melihat sang mantan kekasih melangkah maju, ekspresinya menunjukkan ketidakpuasan saat melihat interaksi Raka dengan Sarah. “Wah, siapa ini?”

“Jangan membuat orang-orang menaruh curiga, Nadia.” Raka mencoba mengingatkan.

“Oh, sungguh mengejutkan ternyata. Aku enggak nyangka ada perempuan cacat yang bisa lolos magang di sini,” ejek Nadia, nada suaranya penuh sarkasme.

Wajah Raka memanas, keinginan untuk membela Sarah membara di dadanya. “Nadia, tolong jangan mulai lagi,” ujarnya, berusaha menenangkan suasana yang sudah tegang. Namun, semua kata-katanya terasa sia-sia saat Nadia terus melanjutkan serangannya.

Nadia tertawa kecil, merendahkan. “Jadi, kamu di sini untuk mendapatkan perhatian suamimu? Menyedihkan sekali ya,” dia menyindir, matanya menatap Sarah dengan sinis.

Perasaan cemas menyelimuti diri Raka. Dia tidak ingin konflik ini berkembang, tetapi melihat Sarah yang hanya berdiri diam, menundukkan kepala, membuatnya semakin bingung. Kenapa Sarah begitu acuh? Seharusnya dia merasakan tekanan yang sama, tetapi sikapnya justru membuat Raka khawatir.

Dia menatap Sarah, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Sarah…” Suaranya perlahan, mencoba merangkul perhatian Sarah. “Kita perlu bicara.”

“Bicara tentang apa, Pak Raka?” jawab Sarah dengan nada formal yang membuat hati Raka terasa berat. Ada jarak yang semakin melebar antara mereka, seolah ada tembok tak terlihat yang memisahkan.

“Sarah, kenapa kamu pergi?” Raka berusaha mengingat semua momen indah yang mereka lalui, berharap bisa menemukan jalan kembali. “Maksudku setidaknya…”

“Kenapa memangnya?” potong Sarah dengan suara datar.

Raka terdiam, hatinya serasa diremas. “Kita harus bicara.” Nada suaranya penuh harapan, tetapi saat melihat ekspresi kosong di wajah Sarah, dia merasa putus asa.

“Enggak ada yang perlu diobrolin lagi,” Sarah berkata, suaranya tegas. Dia berbalik, seolah keputusan itu sudah diambilnya tanpa mempertimbangkan apa pun. Langkahnya mantap, meninggalkan Raka yang terdiam, dikelilingi oleh ketidakpastian.

Raka ingin mengejarnya, tetapi rasa sakit yang menggerogoti hatimembuatnya terhenti. “Kita harus bicara, Sarah!” serunya, berusaha keras agar suara penuh emosinya dapat mempengaruhi keputusan Sarah. “Aku tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja.”

Sarah berhenti sejenak, tetapi tidak menoleh. “Tentang apa yang harus kita bicarakan? Kita sudah sama-sama tahu. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan.”

Setiap kata yang keluar dari bibir Sarah seperti palu yang menghantam hati Raka. Dia merasa seperti kehilangan segalanya. “Tapi kita—” Raka berusaha menjelaskan, tetapi dia tahu bahwa kata-katanya tidak akan cukup untuk menjangkau hati Sarah yang tertutup.

Sarah menggelengkan kepala, bibirnya bergetar. “Kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Itu sudah selesai. Saya permisi, Pak Raka.”

“Tunggu!”

Sarah tidak menoleh. Raka berusaha mendekat, dan saat itulah dia merasakan kehadiran Nadia yang mengintimidasi di belakangnya.

“Raka, sudahlah. Seharusnya kamu senang karena dia yang memilih untuk menyerah. Lepaskan bebanmu karena pernikahan kalian memang salah sejak awal.” Nadia berkata, suaranya penuh kepuasan.

Raka merasa marah dengan pernyataan Nadia, tetapi dia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat dengannya. Rasa sakit di dalam dirinya semakin dalam saat melihat Sarah pergi tanpa menoleh. “Kamu tidak mengerti apa yang terjadi di antara kami!” Raka menatap Nadia dengan mata berapi-api. “Ini bukan hanya tentang aku dan Sarah.”

“Oh, tapi ini tentangmu, kan?” Nadia menjawab, menyeringai dengan sinis. “Kamu takut nama baik keluarga akan rusak? Ayolah, Raka. Berhenti terus mengorbankan diri sendiri.”

Raka ingin membantah, tetapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan. Dia merasakan kekecewaan dan kebingungan yang menggerogoti hati. Keberanian yang biasanya dimiliki sirna seketika. Dia hanya ingin mengerti, ingin mencari jalan keluar dari situasi yang menyedihkan ini.

“Dia masih mencintai aku,” Raka menjawab, berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Tapi suara hatinya berbisik lain—apakah dia benar-benar tahu apa yang dirasakan Sarah?

Nadia menggelengkan kepala, ekspresi puas di wajahnya semakin tampak jelas. “Aneh sekali. Kamu masih mencintaiku, tetapi malah mempertahankan perempuan pincang itu?”

Raka merasa tertekan, tidak bisa menahan perasaannya. “Aku tidak bilang begitu!” Suaranya menggema, penuh emosi.

“Tidak katamu? Aku hanya ingin kamu melihat kebenarannya,” jawab Nadia, berusaha terdengar tenang walaupun hatinya sedang kacang balau sekarang.

Ketika Raka menemukan Sarah, dia berdiri sendirian di sudut, matanya menatap ke bawah, seolah menghindari tatapan pria itu. Raka merasakan ketegangan di udara saat dia mendekat. “Sarah,” panggilnya lembut, berusaha menenangkan hatinya. “Jangan begini!” Raka hampir berteriak, hatinya bergetar.

“Aku sudah membuat keputusan, Pak Raka. Dan aku tidak ingin kembali ke masa lalu yang menyakitkan,” Sarah berkata tegas. Ada kepastian dalam suaranya, tetapi di dalam matanya, Raka melihat keraguan yang samar.

Raka merasa jantungnya hancur. “Kamu masih mencintaku ‘kan? Kamu enggak akan berubah secepat ini.”

Sarah terdiam, tetapi hanya sesaat. “Anda mungkin benar, Pak. Untuk itulah saya ke sini. Berusaha berdamai dengan keadaan dan meyakinkan diri bahwa perempuan cacat ini bisa lepas dari suaminya.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menyayat hatinya. Raka ingin berbicara lebih banyak, tetapi ketika dia membuka mulutnya, tidak ada suara yang keluar. Ketidakpastian dan kesedihan menggenggamnya.

“Maafkan aku ya.” Raka berkata, suaranya kini lembut, hampir seperti bisikan.

Sarah menatapnya, ekspresinya lembut namun tegas. “Kadang, kepergian adalah jalan terbaik untuk menarik diri dari masalah yang tak kunjung selesai.” Setelah mengatakan itu, dia berbalik dan pergi, meninggalkan Raka dengan rasa sakit yang tak terlukiskan.

“Lihat, Raka? Bukankah lebih baik menerima kenyataan? Sarah sudah menyerah.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   175. TANDA PERPISAHAN (TAMAT)

    Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   174. ULANG TAHUN PERTAMA NASHA

    Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   173. AKHIRNYA ..

    Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   172. APAKAH ADA TITIK TERANG?

    Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   171. SIAPA DALANGNYA?

    Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be

  • Setelah Istriku Memilih Pergi   170. NASHA DICULIK

    "NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status