[Papa sudah tahu apa yang terjadi. Jangan sampai Sarah mengajukan tuntutan cerai ke pengadilan. Nama baik kita yang akan jadi taruhannya.]
Raka terhenyak kaget saat membaca pesan itu. Dia merasa seolah ada bom waktu yang siap meledak kapan saja. Mungkin dia belum sepenuhnya menyesali kepergian Sarah, tetapi ancaman tuntutan cerai itu membuatnya merenung. Dia pun mengetikkan balasan dengan segera.
Apakah semua ini akan berujung pada keruntuhan namanya? Raka tidak pernah berpikir jauh tentang dampak dari pernikahan yang tidak bahagia ini. Dia hanya ingin bebas dari perasaan bersalah yang menyelimutinya, dari rasa tak berdaya yang selalu mengikutinya ketika berada di dekat Sarah.
“Ada apa?” tanya Nadia, temannya yang mulai dekat belakangan ini, saat mereka duduk bersama di kafe dekat kampus.
“Eh, enggak. Aku hanya memikirkan banyak hal,” jawab Raka sambil berusaha tersenyum.
Nadia mengamati wajahnya dengan cermat, seolah bisa merasakan ketegangan yang tersimpan di dalam diri Raka. “Kamu bisa cerita padaku, loh. Aku di sini untuk mendengarkan.”
Raka merasa bersalah, tetapi di satu sisi, dia tahu bahwa Nadia sudah berusaha untuk ada di sampingnya. Dia menginginkan kehadiran seseorang yang mendukung, namun pikirannya teralihkan oleh rasa tanggung jawab terhadap Sarah. “Sebenarnya, aku…” Ia terdiam, kata-kata terasa sulit untuk diucapkan.
Saat itu, Raka berusaha menepis keraguan dalam hatinya. Mengingat kembali percakapan dengan sang papa, dia menyadari bahwa jika Sarah mengajukan tuntutan cerai, semua masalah ini tidak hanya akan merusak hidupnya, tetapi juga nama baik keluarganya. Hal itu membuat ia semakin tertekan.
“Mungkin aku hanya butuh waktu sendiri,” Raka akhirnya berkata, berusaha mengalihkan topik. “Tapi terima kasih, ya, Nadia. Kamu selalu baik padaku.”
Nadia mengangguk, meski Raka bisa melihat bahwa ada kekhawatiran di matanya. Dalam hati, Raka ingin berterus terang tentang Sarah, tentang perasaannya yang kompleks, tetapi dia tidak bisa. Dia merasa terjebak dalam labirin emosional.
Seminggu berlalu, dan rasa cemas itu tak kunjung hilang. Raka mencoba untuk fokus pada pekerjaannya di kantor, tetapi pikiran tentang Sarah dan kemungkinan tuntutan cerai terus menghantuinya. Dia memandangi layar komputernya, tetapi tetap tidak bisa berkonsentrasi.
Raka merasakan beratnya beban di pundak saat hari baru dimulai. Ia berusaha fokus pada pekerjaannya, tetapi bayangan Sarah dan kemungkinan tuntutan cerai terus menghantui. Ketika ia mencoba menenggelamkan diri dalam tugas-tugasnya, suara tawa dan obrolan ceria dari luar ruangan mengganggu konsentrasi.
Lekas dia melirik ke arah pintu dan terkejut saat melihat tiga mahasiswi yang baru saja memasuki kantor. Di ambang pintu berdiri Sarah, mengenakan kerudung yang anggun, wajahnya tersembunyi sebagian, tetapi mata yang berkilau itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata.
Jantung Raka berdegup kencang, terpesona oleh kehadirannya yang tiba-tiba. Rasa rindu yang menggerogoti jiwanya selama ini seolah meledak dalam sekejap. Sarah tampak berbeda, tetapi pesonanya tetap sama. Kerudung yang dikenakannya memberikan sentuhan kesopanan, tetapi juga menambah aura misteri di sekitarnya. Dia terlihat kuat dan rapuh sekaligus, menciptakan pertarungan emosional dalam diri Raka. Ingin rasanya melangkah maju, tetapi rasa gugup membuat pria itu terpaku di tempat
“Selamat pagi, semuanya! Ini adalah anak-anak magang kita dari kampus,” seru Andi, manajer pemasaran, dengan antusias saat mereka masuk. Ketika dia menoleh, dunia di sekitarnya seolah terhenti.
Sungguh Raka tidak menyangka akan melihat Sarah di sini, dan saat itu, Sarah sama sekali tidak memperhatikannya. Dia tampak dingin dan berjarak, seolah-olah tidak mengenali sang suami sama sekali. Ketika Andi kembali bersuara, Raka merasa seluruh dunia berputar di sekelilingnya.
“Ini Sarah, Dini, dan Lira. Mereka akan magang di bagian pemasaran selama beberapa bulan ke depan,” kata Andi, bangga memperkenalkan mereka. “Saya yakin kalian akan membantu tim kami dengan baik!”
“Selamat pagi,” ucap Dini dan Lira bersamaan, mengisyaratkan keceriaan. Namun, saat Raka berusaha menyapa Sarah, dia mengalihkan pandangannya, seolah tidak ingin terlibat.
“Pagi, semuanya,” sapa Raka, suaranya bergetar sedikit. Dia mengharapkan senyum atau setidaknya sebuah pengakuan, tetapi Sarah hanya membalas dengan anggukan datar dan tanpa ekspresi. Raka merasa terasing, seolah-olah mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.
Andi, tidak menyadari ketegangan yang terbangun, melanjutkan, “Jadi, kami akan menunjukkan kepada kalian tempat kerja dan beberapa tugas yang akan kalian kerjakan. Pak Raka, bisakah kamu membantu mereka berkenalan dengan kantor?”
“Ya, tentu saja,” jawab Raka, meskipun suaranya terdengar kurang bersemangat. Dia merasa seolah terjebak antara rasa tanggung jawab dan kerinduan. “Mari ikut saya.”
Saat mereka berjalan menuju ruang pemasaran, Raka berusaha mengabaikan kesedihan yang menggelayuti hatinya. Dini dan Lira mengobrol antusias, tetapi Raka tidak bisa berkonsentrasi. Dia terus mencuri pandang ke arah Sarah, berharap menemukan secercah kehangatan di wajahnya. Namun, tatapan gadis berkerudung biru muda itu tetap dingin dan tidak bersahabat, membuat hatinya semakin berat.
“Di sini kita akan memulai proyek pertama kalian,” kata Raka, menunjukkan ke arah meja kerja. “Kalian akan berfokus pada riset pasar dan analisis tren.”
Lira mengangguk, tampak bersemangat, tetapi saat Raka menatap Sarah, dia menemukan ekspresi datar yang sama sekali tidak mencerminkan semangat yang ada di sekitarnya. Rasa sakit yang ia rasakan semakin dalam, dan ia merasa semakin jauh dari Sarah yang ia kenal.
“Terima kasih, Pak Raka,” kata Dini dengan senyuman cerah. “Kita akan belajar banyak dari sini!”
Raka memaksakan senyum sambil mengalihkan pandangan dari Sarah. Dia ingin berbicara, menjelaskan semua yang terjadi, tetapi semua kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Hingga kemudian saat melihat situasi lengang, barulah ia mendekat.
“Sarah?”
“Iya, Pak. Ada apa?” gumam Sarah masih dengan ekspresi yang serupa. Membuat Raka menggeleng tak percaya dengan apa yang ia lihat dan dengar barusan.
Hari itu, udara terasa begitu tenang. Raka dan Sarah tengah duduk berdua di ruang keluarga, ditemani oleh Nasha yang sedang bermain dengan mainan di lantai. Meskipun suasana terasa begitu damai, ada sesuatu yang terasa berat di hati Raka. Ada semacam pertanda yang tak terucapkan, seolah dunia sedang mengingatkan mereka untuk lebih menghargai waktu yang ada. Beberapa hari sebelumnya, mereka baru saja merayakan ulang tahun pertama Nasha dengan penuh kebahagiaan. Momen itu, yang dipenuhi dengan tawa anak-anak panti asuhan dan sentuhan kasih sayang keluarga besar, memberikan Raka dan Sarah sebuah pemahaman baru tentang arti kehidupan yang sesungguhnya. Pak Herman kini mendatangi Raka yang sedang bersantai di taman belakang. Suaranya yang berat dan penuh makna terasa sangat berbeda dari biasanya. “Raka, ada hal penting yang ingin Papa sampaikan padamu,” kata Pak Herman saat teleponnya berbunyi. Suaranya terdengar agak lemah, namun tetap penuh kehangatan. Raka segera duduk tegak, khawat
Hari itu, langit tampak cerah, seakan ikut merayakan hari istimewa dalam keluarga kecil Raka dan Sarah. Nasha genap berusia satu tahun. Bukan pesta besar yang mereka persiapkan, tetapi sebuah acara syukuran sederhana yang penuh makna. Raka dan Sarah sepakat untuk merayakan ulang tahun pertama putri mereka dengan berbagi kebahagiaan di sebuah panti asuhan.Panti asuhan itu bukan tempat yang asing bagi mereka. Sejak kejadian penculikan Nasha dan konspirasi Bu Rini yang membuat mereka hampir kehilangan segalanya, Raka dan Sarah lebih banyak merenungi arti keluarga dan kasih sayang. Mereka ingin mengajarkan kepada Nasha bahwa kebahagiaan sejati bukan hanya tentang perayaan mewah, tetapi juga tentang berbagi dengan mereka yang kurang beruntung.Pagi itu, suasana panti asuhan sudah mulai ramai. Anak-anak di sana terlihat bersemangat menyambut kedatangan tamu istimewa mereka. Beberapa dari mereka bahkan sudah mengenal Sarah dan Raka karena kunjungan-kunjungan sebelumnya. Pak
Setelah berhasil menyelamatkan Nasha dari tangan penculiknya, Raka, Sarah, dan Jeno kembali ke tempat persembunyian sementara mereka. Malam itu mereka beristirahat sejenak, meski pikiran mereka masih dipenuhi ketegangan. Namun, mereka tahu bahwa semua ini belum benar-benar berakhir.Keesokan paginya, Jeno menerima laporan dari timnya bahwa beberapa anak buah Bu Rini yang terlibat dalam penculikan telah tertangkap. Namun, dalang utama di balik kejadian ini masih menjadi misteri."Aku sudah melacak transaksi dan komunikasi mereka. Satu nama yang terus muncul adalah seorang pria bernama Anton," kata Jeno dengan serius. "Dia adalah tangan kanan Bu Rini yang selama ini bekerja di balik layar. Sepertinya dialah yang mengatur segalanya."Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia yang selama ini mengancam keluargaku?"Jeno mengangguk. "Dia sangat licin dan punya banyak koneksi. Tapi aku sudah menghubungi seseorang yang bisa membantu kita menangkapnya."Tak la
Malam semakin larut, tetapi Raka, Sarah, dan Jeno masih terjaga. Pikiran mereka penuh dengan kekhawatiran dan strategi. Pesan singkat yang baru saja diterima Raka seolah menjadi alarm bahwa mereka tidak memiliki banyak waktu lagi."Kita harus menemukan keberadaan mereka sebelum mereka melakukan sesuatu yang lebih gila," kata Jeno dengan nada serius. "Aku sudah menghubungi seseorang yang pernah bekerja untuk Bu Rini. Dia setuju untuk bertemu, tapi dengan syarat kita harus berhati-hati."Raka mengangguk. "Di mana kita bisa menemuinya?""Sebuah gudang tua di pinggiran kota. Dia bilang tempat itu aman, jauh dari pantauan orang-orang yang mungkin bekerja untuk Bu Rini," jawab Jeno.Sarah menggenggam tangan Raka erat. "Aku takut, Mas. Bagaimana jika ini jebakan?"Raka menatap dalam ke mata istrinya. "Kita tidak punya pilihan lain, Sayang. Ini satu-satunya petunjuk yang kita punya. Aku janji, aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padamu atau Nasha."Jeno menghela napas. "Baiklah, kita be
Sarah menggigit bibirnya, mencoba menahan isak tangis yang hampir pecah lagi. Raka masih duduk di sebelahnya, ponsel di tangannya terasa dingin, seperti ancaman yang baru saja mereka terima. Jeno, yang berdiri di seberang mereka, mengetik sesuatu di ponselnya dengan cepat. Pria itu kemudian menatap Raka dengan sorot mata penuh kewaspadaan."Aku sudah menghubungi seseorang untuk melacak sumber video itu. Butuh waktu, tapi kita akan menemukan mereka," kata Jeno dengan suara dalam.Raka mengangguk, tangannya masih menggenggam jemari Sarah erat. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh Nasha lebih lama lagi. Tapi kita harus berhati-hati, mereka jelas tahu pergerakan kita."Sarah menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang menggerogoti hatinya. "Siapa yang cukup kejam untuk melakukan ini, Mas? Aku yakin ini bukan Ratna. Dia ada di penjara. Lalu siapa?"Hening. Raka menatap Sarah, begitu pula Jeno. Tidak ada yang bisa menjawabnya saat itu.Namun, di balik keheningan itu, otak Raka be
"NASHA?"Suara Sarah memekik lantang. Tangannya gemetar saat ia melihat layar ponselnya. Tak lama kemudian, sebuah kiriman video berputar otomatis, menampilkan seorang bayi mungil berusia tiga bulan yang menangis keras. Mata Sarah membelalak, napasnya tercekat. Itu Nasha. Anak mereka telah diculik.Raka segera meraih ponsel dari tangan Sarah, matanya membelalak saat melihat rekaman itu. Nasha berada di dalam ruangan yang remang-remang, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Tangisan bayi mereka menggema, membuat dada Sarah dan Raka terasa sesak. Tak ada suara lain dalam video itu, hanya isakan kecil yang semakin memilukan.Sebuah pesan muncul sesaat setelah video berakhir."Kalian ingin Nasha kembali? Jangan hubungi polisi. Kami akan memberitahu langkah selanjutnya."Sarah menatap Raka dengan wajah penuh ketakutan. "Mas... kita harus melakukan sesuatu. Nasha masih kecil, dia butuh kita."Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Aku tidak akan membiarkan mereka menyen