Sudah hampir dua bulan sejak wawancara radio itu tayang. Tak disangka, banyak yang mendengar, dan lebih banyak lagi yang menanggapi. Beberapa menulis surel. Beberapa mengirim pesan lewat media sosial, bahkan ada yang datang langsung ke toko buku tempat Dinda biasa mengisi sesi diskusi.Bukan untuk menyanjung. Tapi untuk berkata: “Kamu mewakili luka yang aku simpan bertahun-tahun. Dan sekarang aku nggak merasa sendiri.”Dinda tertegun setiap kali membaca satu demi satu cerita dari para perempuan (dan laki-laki) yang selama ini merasa suaranya tak punya tempat. Ia tak menyangka, keberaniannya berbagi justru membuka pintu untuk lebih banyak orang merangkul diri mereka sendiri.Tapi bukan hanya hidup profesionalnya yang pelan-pelan berubah. Hubungannya dengan Rayhan pun ikut tumbuh. Tak lagi penuh tanda tanya, tak lagi diliputi ketakutan masa lalu. Kini mereka belajar hal baru: hidup tenang di dalam cinta yang tidak meledak-ledak, tapi mengakar.—Suatu pagi di hari Minggu, Dinda duduk di
Pagi itu, studio terasa lebih ramai dari biasanya. Asisten produksi lalu-lalang, kru lighting sibuk menyetel sorotan, dan di sisi ruang tunggu, Dinda duduk dengan naskah di tangan—tapi matanya kosong.Hari ini, ia akan tampil live untuk pertama kalinya.Selama ini, semua sesi talkshow direkam, lalu diedit sebelum tayang. Tapi mulai minggu ini, pihak media ingin memperkuat branding dengan sesi live broadcast langsung di kanal digital mereka. Judul episode: “Memaafkan Diri Sendiri” — tema yang sangat Dinda kuasai, tapi entah kenapa justru membuatnya gemetar.“Din, kamu udah siap?” suara Nadya, produser acara, membuat Dinda tersentak.“Iya… sedikit deg-degan,” akunya.Nadya tersenyum menenangkan. “Itu wajar. Tapi kamu tahu kan, kamu nggak harus jadi sempurna di kamera. Kamu cuma perlu jadi kamu.”Dinda mengangguk. Tapi dalam hati, ia bertanya: Masihkah aku jadi “aku” yang dulu? Yang sederhana, tenang, dan nggak takut gagal?Setelah sesi selesai dan acara berjalan cukup lancar, Dinda menu
Pagi itu, Dinda membuka email seperti biasa. Tapi matanya langsung terpaku pada satu pesan dari sebuah agensi media digital besar.Subject: Undangan Menjadi Narasumber Tetap – Program “Hidup dan Luka”Ia membaca ulang isi email itu tiga kali. Mereka menawarinya posisi sebagai kontributor tetap di program talkshow tentang mental health dan relasi, dengan kontrak selama enam bulan dan opsi perpanjangan. Gajinya jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan untuk pekerjaan berbasis menulis dan bicara.Rayhan yang duduk di seberang meja makan sambil mengoles selai di roti tawarnya, memperhatikan wajah Dinda yang mendadak terdiam.“Ada apa?” tanyanya ringan.Dinda menoleh, setengah bingung. “Aku baru dapet email… dari LightSpace Media. Mereka mau ajak aku jadi narasumber tetap. Program TV streaming gitu. Topiknya tentang luka, relasi, trauma. Dan—ini gila banget, Han. Aku ditawarin kontrak tetap.”Rayhan terbelalak, lalu berdiri, menghampiri Dinda. “Serius? Itu kabar bagus dong!”Dinda me
Tiga hari setelah Dinda membaca surat itu di balkon bersama Rayhan, ia menatap layar laptopnya dengan tangan gemetar. Di blog pribadinya yang sempat vakum berbulan-bulan, ia mengetik pelan judul baru:Untuk yang Pernah Meninggalkan, dan yang Akhirnya MerelakanTulisan itu tak seperti postingan-postingan Dinda sebelumnya yang penuh refleksi manis atau catatan harian ringan. Kali ini, ia membagikan kisah paling pribadi: tentang luka yang tak selesai, tentang seseorang yang mencintai tapi tak tahu cara mempertahankan, tentang kepergian yang membawa amarah sekaligus kerinduan.Dan untuk pertama kalinya… ia membagikan isi surat Arsen.Tanpa menjelaskan semua latar belakang secara detil, Dinda menulis:“Surat ini ditulis oleh seseorang yang dulu sangat aku cintai. Ia pergi sebelum sempat aku maafkan. Tapi surat ini membuatku sadar, kadang kita tak butuh penjelasan panjang. Kita hanya butuh keberanian untuk menerima.”Di akhir tulisan, ia menutup dengan kalimat sederhana namun kuat:“Semoga
Sabtu pagi, udara Jakarta terasa lebih segar dari biasanya. Langit biru cerah dan angin lembut membuat hari itu cocok untuk acara luar ruangan. Dinda berdiri di antara puluhan booth pameran kreatif yang digelar di pelataran Galeri Nasional. Hari itu adalah hari pertama Festival Karya Tangan Nusantara—sebuah ajang tahunan yang mewadahi seniman dan pengrajin lokal.Booth HatiKayu berada di baris tengah, berdampingan dengan produk anyaman dari Kalimantan dan pembatik dari Jogja. Rayhan sibuk menyusun produk di atas rak kayu kecil: papan kutipan, tatakan gelas, hingga pajangan dinding dengan kaligrafi dari potongan kayu bekas. Semua dengan sentuhan tangan mereka sendiri.Dinda duduk di bangku kecil, menata kartu nama dan buku kecil berisi catatan kutipan yang ditulis tangan. Ia mengenakan blouse putih dan celana kain biru tua, rambutnya dikuncir rapi. Hari itu, ia tampak siap menghadapi dunia. Atau setidaknya… ia pikir begitu.Hingga sebuah suara pelan memanggilnya dari sisi kanan booth.
Sudah dua minggu sejak Dinda dan Rayhan meluncurkan akun @HatiKayu, tempat mereka menjual berbagai pernak-pernik buatan tangan dari kayu bekas, dipadukan dengan kutipan tulisan Dinda yang hangat dan penuh makna.Salah satu produk mereka—tatakan gelas bundar bertuliskan: “Yang sembuh bukan yang kuat, tapi yang mau pelan-pelan berdamai”—tiba-tiba viral di media sosial setelah seorang influencer lokal mengunggahnya. Pesanan masuk ratusan dalam semalam.Rayhan sampai harus lembur membuat potongan kayu, sementara Dinda mengatur packing dan pengiriman. Mereka kewalahan, tapi juga bahagia. Ini lebih dari sekadar bisnis kecil. Ini adalah ruang di mana cinta dan proses pulih mereka hidup dalam bentuk nyata.Suatu pagi, Dinda membuka Instagram dan mendapati sesuatu yang membuat dahinya mengernyit. Sebuah akun dengan jutaan pengikut memposting foto tatakan gelas buatan mereka, lengkap dengan kutipan miliknya… tapi tanpa mencantumkan nama Dinda atau HatiKayu.Lebih dari itu, caption-nya menulis: