Drtt…drtt..suara ponsel berdering. Vani dan Aira saling berpandangan.“Ponselku yang bunyi,” kata Aira sambil tersenyum, kemudian ia mengambil ponsel yang masih berada di dalam tasnya.Aira kaget melihat nama yang tertera di ponselnya. Dengan ragu-ragu, ia menerima panggilan itu.“Assalamualaikum.” Aira menyapa sang penelepon.“Waalaikumsalam, Aira. Apa kabar?”“Alhamdulillah, kabar baik, Mas. Mas sendiri gimana kabarnya?”“Kabar baik juga. Bagaimana Kenzo, sehat kan?”“Kenzo sehat, Alhamdulillah.”“Syukurlah kalau begitu. Begini, Aira, boleh aku minta nomor rekening mu?”“Untuk apa, Mas?” Aira mengernyitkan dahinya.“Aku ada sedikit rezeki untuk Kenzo. Nggak banyak, sih.”“Apa Mbak Amel tahu?” tanya Aira lagi, terdengar nada kekhawatiran dari suara Aira.“Kamu nggak usah mikirin itu. Semua itu urusanku dengan Amel. Kirim sekarang ya, aku tunggu.” Fariz langsung mengakhiri pembicaraan.Tanpa pikir panjang Aira langsung mengirimkan nomor rekeningnya.“Siapa Mbak?” tanya Vani.“Mas Fari
Drtt…drtt… Ponsel Gita berdering, ia melihat ke layar ponsel itu. Wajahnya menjadi berbinar melihat nama yang tertera di layar ponsel.“Halo Mas,” sapa Gita dengan suara manjanya.“Dimana sekarang?” Gita heran dengan suara Derry yang terdengar datar dan kaku.“Makan diluar bersama Firda.”“Bisa pulang sekarang?”“Sebentar lagi ya, Mas. Menyelesaikan makan dulu. Kenapa? Sudah kangen ya? Sama, aku juga sudah sangat kangen.” Gita berkata dengan suara yang mendesah, mencoba menggoda Derry.Firda hanya tersenyum melihat Gita yang seperti ABG sedang jatuh cinta. “Iya, buruan pulang ya?” lanjut Derry.“Oke, Mas.” Derry langsung mengakhiri pembicaraan.“Aneh,” kata Gita dengan agak kesal, wajahnya terlihat cemberut.“Kenapa?” tanya Firda.“Suara Mas Derry kok aneh, tidak seperti biasanya. Datar dan kaku, nggak ada mesra-mesranya. Atau hanya perasaanku saja, ya?” “Siapa tahu ia bicara seperti itu karena disuruh istrinya. Mungkin saja istrinya sudah tahu tentang hubungan kalian. Makanya ia
Gita terduduk lemas di lantai, ia menangis tersedu-sedu. Meratapi nasibnya sendiri.“Apa yang harus aku lakukan? Aku harus tinggal dimana?” Gita beranjak dari duduknya, kemudian ke kamar untuk berganti pakaian dan mulai mengemas pakaiannya. Sambil bercucuran air mata ia mengambil satu persatu pakaian yang ada di lemari untuk dimasukkan ke dalam tas koper.“Dasar laki-laki pengecut, katanya tidak mencintai istrinya. Tapi malah tunduk bagaimana kerbau yang dicucuk hidungnya. Sialan sekali, kenapa aku sampai terbujuk rayuannya.”Cukup lama ia mengemas pakaiannya, isi lemari hampir kosong. Gita meraih ponselnya untuk menelpon Firda, siapa tahu Firda bisa membantunya mencari tempat untuk tinggal.“Kemana sih Firda, dari tadi aku menelpon tidak diangkat juga,” kata Gita dengan kesal. Ia pun mencoba untuk menghubungi Firda lagi. Tapi lagi-lagi tidak ada respon.“Aku harus menghubungi siapa lagi? Temanku hanya Firda saja. Kalau menghubungi teman kantor, nanti banyak yang tahu, akhirnya malah
Drtt…drtt suara ponsel berdering.“Maaf, saya menerima telepon dulu.”Irwan langsung mengangkat telepon.“Iya, Pak. Saya bersama Bu Aira. Oke!” Panggilan telepon pun berakhir.“Bu Aira, kita dipanggil Pak Bara,” kata Irwan ketika selesai menelpon.“Baik, Pak. Mas, aku duluan ya? Terima kasih untuk traktirannya,” pamit Aira.“Iya, Dek. Sama-sama.”“Kami duluan Pak Alan.” Irwan ikut berpamitan.Alan hanya mengangguk dan berusaha untuk tersenyum walaupun terpaksa. Ia memandangi kepergian Aira dan Irwan dengan perasan yang tidak menentu.“Laki-laki hidung belang! Aku tahu kalau Irwan itu berusaha mendekati Aira. Semoga saja Aira tidak mau.” Alan hanya bisa mengomel dalam hati. Ia merasa kesal dan sedikit cemburu melihat Irwan dan Aira yang sepertinya sangat akrab.Alan tidak menyadari kalau ia sendiri seorang laki-laki hidung belang. Menyelingkuhi istri demi mantan pacar. “Sepertinya Pak Alan tidak menyukai kedatanganku tadi,” kata Irwan ketika berjalan bersama dengan Aira.“Masa sih, Pa
“Ngapain kalian bisik-bisik, ngomongin saya ya?” hardik Dewi ketika ia sudah mendekati Aira dan Vani.Aira dan Vani hanya diam saja, mengabaikan Dewi.“Hei, saya bicara dengan kalian!” teriak Dewi.“Maaf, Bu, saya punya nama. Saya yakin Ibu tahu nama saya.” Aira menjawab dengan tenang.“Sudahlah, Bu, ayo kita pergi. Nggak enak dari tadi diliatin orang terus, malu, Bu,” ajak teman Dewi sambil berusaha menarik tangan Dewi.“Sebentar urusan saya dengan perempuan ini belum selesai,” sahut Dewi sambil menepis tangan temannya.“Oh, jadi Ibu ada urusan dengan saya? Sepertinya kita tidak ada urusan apa-apa. Saya juga tidak ada hubungan apa-apa dengan anda. Wah saya tahu sekarang, sepertinya anda menyesal sudah sering menghina dan memaki-maki saya. Tenang saja, Bu, sudah saya maafkan. Semoga Ibu segera mendapatkan hidayah. Atau mungkin Ibu kangen karena sudah lama tidak menghina saya? Malu dengan umur, Bu.” Aira berkata dengan tenang, kemudian langsung menarik tangan Vani.“Ayo, jemputan kita
Bara masuk ke apartemennya, ia mendapati istrinya sedang tidur di sofa. Bara hanya melirik sekilas ke arah Firda, kemudian ia masuk ke kamarnya. Mereka berdua memang sudah pisah kamar. Bahkan mereka juga jarang bertegur sapa. Ketika berada di rumah, mereka akan sibuk di kamarnya masing-masing.Bara tidak tahu kalau Firda hanya pura-pura tidur.“Kalau aku pindah ke kamar, pasti Bara berpikiran kalau aku hanya pura-pura tidur. Nanti lah nunggu setengah jam lagi baru aku pindah ke kamar,” kata Firda dalam hati.Firda pun bertahan untuk pura-pura tidur. Dengan mata terpejam, pikirannya melayang kemana-mana, memikirkan Gita yang tidak bisa dihubungi, juga memikirkan kondisi papanya. Ia merasa berada di persimpangan jalan. Di dalam kamar, Bara hanya rebahan sambil memainkan ponselnya. Cukup lama Bara berdiam diri dikamar. Ia pun merasa bosan, mau keluar malas bertemu dengan Firda. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, Bara merasa sangat haus, ia pun keluar dari kamar. Lampu ruang t
“Mbak, sudah lama?” sapa Malvin. Ia juga kaget melihat Firda berdiri di depan pintu kamar.“E..enggak, baru saja, kok.” Firda menjawab dengan gugup.Malvin memandangi kakak perempuannya itu, dari atas sampai ke bawah.“Mbak sakit ya?” tanya Malvin.“Enggak, kenapa?” “Kok kayaknya kurang sehat gitu. Kalau memang kurang sehat nggak usah nemenin Papa, biar diantar supir saja.”“Nggak apa-apa aku yang nemenin, tapi diantar supir. Aku hanya kurang tidur saja.”“Bener Mbak Firda nggak apa-apa?”“Iya, aku nggak apa-apa.”“Ya sudah, aku mau berangkat dulu.”Firda mengangguk, kemudian ia masuk ke kamar orang tuanya. Tampak Linda terbaring dengan selimut menutupi tubuhnya.“Mama kenapa?” tanya Firda sambil mendekati mamanya. “Hanya demam. Sudah lama nyampe?”“Baru sampai kok, Ma. Papa sudah siap?” Firda menoleh ke arah Hendrawan yang baru keluar dari kamar mandi.“Sudah, ayo berangkat pagi saja.”Firda mengangguk.*Pemeriksaan Hendrawan sudah selesai, sekarang Firda sedang antri mengambil ob
Firda merasakan ada benjolan di pay*dara sebelah kanan. Tapi benjolan itu tidak terasa sakit. Keringat dingin pun keluar. Ia takut apa yang ia pikirkan sepanjang perjalanan tadi akan menjadi kenyataan. Diperjalanan pulang tadi Firda memikirkan segala kemungkinan. Ketika dokter Ilham menyarankan memeriksa sendiri kalau ada benjolan di pay*dara, ia sudah yakin kalau yang dimaksud oleh dokter tadi adalah kanker pay*dara.“Ah mudah-mudahan bukan sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Besok aku akan menemui dokter Ilham lagi.”Firda baru ingat sesuatu, dari tadi ia ingin menelpon Alan. Tapi karena disibukkan dengan mengantar Hendrawan, ia lupa untuk melakukannya.“Bara tahu dari mana ya kalau Alan sudah bercerai? O iya, Aira kan kerja di kantor Bara. Pasti ia sudah bercerita tentang perceraiannya. Tapi kok Alan tidak bercerita padaku ya?”Firda berusaha untuk menelpon Alan, tapi ternyata tidak diangkat oleh Alan. Padahal ponsel Alan aktif. Berulang kali ia mencoba menghubungi Alan, tetap saja