Senyumnya yang biasa membuatku tenang, sekarang tidak bisa lagi meredam kekhawatiran yang kurasakan. Di sini memang ada banyak orang, tapi orang kalap bisa nekat dan berbuat apa saja. Kulingkarkan kedua lengan di pinggangnya dan menyandarkan kepala di dadanya.
"Tidak usah cemas, besok kami akan membicarakan masalah ini saat meeting," kata Mas Ilham sambil merangkulku.
Aku teringat waktu beberapa laki-laki itu datang dengan tampang garang dan badan penuh tato. Memang tidak kulihat mereka memegang senjata tajam, tapi siapa tahu di sembunyikan di balik jaketnya.
Mas Ilham mendapatkan gaji lebih besar, tapi dengan resiko pekerjaan lebih besar juga.
"Mas, aku sebenarnya heran. Kenapa bos membangun resort di sini? Bukankah ini jauh dari mana-mana. Mau ke sini saja perjalanannya melelahkan," tanyaku masih tetap memeluknya.
"Nanti akan di bangun bandara domestik
Senja tiba, bias sisa cahaya dari matahari membaur dengan gelap malam yang mulai datang, menyatu dan menampilkan semburat warna jingga yang merona indah.Aku duduk di bangku depan kamar bersama Sekar, sedangkan Abian ikut papanya jalan-jalan."Aku besok mau ke kota, ikut enggak?" tanyaku pada Sekar."Mbak, mau belanja?""Ya, sama mau periksa. Akhir-akhir ini sering pusing dan cepat lelah. Mungkin kurang darah, tapi Mas Ilham nyangka aku lagi hamil.""Emangnya, Mbak Vi, telat datang bulan?""Aku enggak pernah mengingat tanggal haid. Kupikir sedang memakai kontrasepsi, jadi enggak mungkin akan hamil. Lagian aku hanya merasa pusing dan cepat lelah. Kadang saja mual.""Aku bawa beberapa testpack. Sebentar aku ambilin."Sekar gegas masuk kamarnya. Aku menunggu dengan perasaan cemas. Dia kembali sambil m
Aku tetap diam di dalam kamar. Mungkin kalau yang diajaknya Bu Melinda, aku akan datang menemui.Sekar datang mengetuk pintu."Masuk aja!" teriakku.Wanita masuk lantas menciumi Abian yang berdiri di samping tempat tidur. Abian sudah belajar berdiri dan rambatan di box dan tempat tidur kami. Kalau saja ruangan ini luas, aku akan membelikan baby walker."Mbak, wanita yang diajak Pak Petra tadi bukan istrinya, 'kan? Yang pernah bertemu denganku di kantor imigrasi pas Mbak bikin paspor waktu itu bukan dia, 'kan?"Aku menggeleng. "Bukan.""Terus ....""Itu istri keduanya.""Yang bener, Mbak?""Ya. Yang bertemu denganmu di imigrasi itu namanya Bu Melinda.""Apa Bu Melinda tahu?""Tahu.""Ya Allah, bisa terima kalau begit
Kendaraan mini bus ini melaju di jalan tol menuju ke Nilai Springs Resort Hotel, sebuah hotel yang akan menjadi tempat penginapan kami dalam beberapa hari ini. Dari bandara KLIA ke hotel menempuh perjalanan selama kurang lebih lima belas menit dengan jarak sekitar 18 km di sebelah selatan bandara. Itu penjelasan yang diberikan oleh Pak Rahman, orang kepercayaan Big Bos yang akan jadi tour guide kami kali ini.Sepanjang perjalanan Abian sangat anteng di pangkuanku, melihat keluar jendela sambil makan biskuit. Pokoknya ada biskuit sama mainan, dia akan anteng dan tidak berisik.Kebun kelapa sawit juga kami jumpai di perjalanan kami. Pohonnya masih setinggi orang dewasa, tanaman baru.Kendaraan memasuki area parkir di hotel yang kami tuju. Satu per satu penumpang turun. Sebelum masuk hotel, kami mengadakan sesi foto bersama di depan Nilai Springs Resort Hotel.Pak Petra dan Bu Melind
Aku baru tahu kalau Pak Petra ini seorang mualaf. Ilmu agama belum mumpuni telah berani mengambil langkah poligami, di mana seorang istri tidak menginginkan hidup berbagi.Namun sejauh kami cerita. Bu Melinda belum mengungkapkan kisah sebelumnya. Tentang kehamilannya yang akhirnya dinikahi Pak Petra."Perempuan itu masih gadis saat kenal Abang. Masih perawan saat mereka bersama.""Pak Petra cerita ke, Kakak, tentang hal itu?"Bu Melinda mengangguk. Tampak kesedihan makin pekat terlihat di netranya. Sedih karena dalam hal ini dia dikalahkan oleh perempuan itu, yang mana Bu Melinda tidak bisa memberikan kehormatan itu pada suaminya."Maaf, ya. Harusnya kita bahagia di holiday kali ini. Tapi kamu malah harus mendengarkan keluh kesah kakak.""Enggak apa-apa, Kak. Santai saja.""Ya, sudah. Kakak mau kembali ke kamar. Sebelum mere
Melinda's POVAku kembali ke kamar setelah bicara dengan istrinya Om Broto. Tante Ros, begitu aku biasa memanggilnya. Namanya Rosalina, beliau adalah adik kandung Ibuku."Seminggu yang lalu Arfan menemui Tante. Dia ingin sekali bertemu Rama, meski dari kejauhan saja. Sudah empat kali ini dia tanya alamat kalian."Arfan adalah ayah biologis anak pertamaku. Kekasih yang meninggalkan benih di rahimku lalu menghilang bagai ditelan bumi."Jangan dikasih tahu, Tan. Biarkan saja. Bagiku semua urusan dengannya telah selesai sejak dia meninggalkanku.""Iya, Tante hanya memberitahumu. Ya sudah, kamu istirahat saja. Enggak usah dipikirkan." Tante Ros tersenyum sambil menepuk pundakku.Kuambil ponsel di saku celana, kupandang foto Rama saat sedang bermain bulu tangkis. Wajahnya sangat mirip pria itu. Pria pengecut itu.Usia Rama sekaran
Melinda's POVHatiku sakit saat ingat Bang Petra pernah membela bahwa perempuan itu bukan wanita murahan. Ya, dia bukan murahan. Akulah yang murahan."Yang di kandungnya itu anakku, Lin. Dia masih perawan saat aku menyentuhnya untuk pertama kali." Pembelaan itu dulu membuat hatiku hancur berkeping-keping. Mengoyak harga diri yang sejatinya sudah tidak berharga.Kini aku mengingatnya kembali. Menorehkan sayatan panjang dalam hati. Kunyalakan shower hingga air dingin itu mengguyur seluruh tubuh dan membuatku menggigil."Lin, apa yang kamu lakukan tengah malam begini. Nanti kamu sakit." Bang Petra menggedor pintu kamar mandi. Hingga dia berhasil membukanya karena kunci pintu memang tergantung di luar."Kenapa tidak pakai air hangat." Dia tampak cemas lantas memelukku. Namun aku mendorongnya mundur."Keluarlah, Bang. Aku ingin sendiri." 
Vi Ananda's POVKendaraan melaju lurus melewati Nilai Cancer Hospital. Memutar di bundaran Nilai dan lurus ke arah utara kalau menurutku, karena aku memang tidak tahu arah di sana.Di sisi sebelah kiri ada supermarket Giant yang di sekelilingnya berdiri sederetan pertokoan. Kendaraan tidak begitu ramai pagi itu. Hanya ada bus besar warna biru bertuliskan bus pekerja yang bersimpangan dengan mini bus kami. Bandar yang lengang.Sampai perempatan bus tetap lurus belok kanan. Melewati bangunan-bangunan pabrik yang berjajar di sepanjang jalan. Kendaraan berhenti tidak jauh dari pintu gerbang yang tertutup dan di jaga dua orang satpam.Pak Broto berdiri, mengajak turun pegawainya. Kaum perempuan memilih menunggu di dalam bus, karena tidak berkaitan langsung dengan pekerjaan.Mas Ilham mencium Abian. "Mas, turun dulu!" Pamitnya.Meskipun ini kawa
Vi Ananda's POVAku jadi teringat peristiwa yang sudah lewat. Syifa lahir dia sedang keluar kota, mungkin pergi dengan perempuan itu. Giliran lahiran Abian, Mas Ilham lagi meeting. Ah, menyedihkan.Andai saja aku siap hamil lagi, tapi bukan sekarang. Abian masih bayi."Ya, sudah. Dua anak saja cukup. Mas dimaafkan saja sudah bersyukur," katanya sambil mengeratkan pelukan.🌺🌺🌺Jam delapan pagi bus sudah meninggalkan Nilai Springs Resort dan Hotel. Tujuan selanjutnya ke Genting Highlands, yang berada di negeri Pahang. Destinasi percutian yang termasuk jadi favorit para wisatawan.Dari Bentong, sebuah kota yang kami lewati untuk ke Genting Highlands, telah nampak perbukitan yang menjulang tinggi tertutup kabut. Ke sanalah tujuan kami.Pak Rahman yang jadi tour guide memaparkan tempat-tempat yang sedang kami