Bab 3
Safitri menatap wajah di depannya dengan tatapan dalam, seakan memohon kerelaan hati Nuraini agar mau menuruti keinginannya. "Traumamu masih bisa disembuhkan tapi rahimku tak mungkin kembali." Safitri terisak. Kepalanya menunduk merasai nyeri yang menghantam dadanya. Kenyataan itu, cukup mengguncang hati dan jiwanya. Juna sudah berusaha menguatkan Fitri, tapi mendengar omelan mertuanya tiap hari membuat hatinya terus saja merasa bersalah. Memangnya siapa yang mau rahimnya diangkat sementara ia baru saja menikah? Tidak ada. "Aku turut prihatin Mbak," ucap Nuraini lirih. Tapi ... aku—" Ucapan Nuraini terhenti sebab suara yang terdengar "Sayang," panggil sebuah suara yang membuat dua wanita di depan sana menoleh bersamaan. Fitri mengusap wajahnya dengan cepat. Ia tak mau membuat sang suami cemas karena wajahnya basah oleh air mata. Sekuat tenaga Janu telah membuatnya bahagia, meskipun nyatanya usaha Janu itu tak sepenuhnya berhasil. Tangis itu masih ada. Suara-suara menyakitkan yang pernah ia dengar tak bisa sepenuhnya hilang dari ingatan. Suara-suara itu juga menjadi sumber rasa sakitnya selama ini. "Iya, Mas," jawab Fitri sambil mengulum senyuman menyambut kedatangan sang suami. Bekas tangisan itu masih ada, tapi senyum yang terukir di wajah ayu berkerudung instan itu cukup menyamarkan sembab di wajah. "Siomaynya udah siap. Mau dimakan di mana?" tanya Janu sambil menatap wajah istrinya. Saat pandangannya bergeser ke samping, tak sengaja matanya menatap wajah wanita di samping istrinya. Matanya terpaku sesaat, bukan karena wajah ayu yang dimiliki wanita di sisi istrinya, melainkan tanda lahir yang ada di pipi kiri perempuan itu, seperti mengingatkannya pada sesuatu. Bercak merah datar (Port-Wine Stain) berjajar dua, tak terlalu mencolok tapi cukup kentara di wajah Nuraini yang bersih dan cerah. Dua tanda itu, cukup membekas di ingatan Janu. Tak hanya membekas, tanda lahir itu seolah menciptakan trauma dalam hati suami Fitri yang sedang berdiri di hadapan dua wanita di dekat kursi itu. Janu mengalihkan pandangannya cepat. Tidak. Tidak mungkin. Ada banyak wanita dengan tanda lahir yang sama. Wanita itu memakai kerudung sedang wanita yang menjadi korbaannya itu berambut panjang. Rasanya itu bukan perempuan naas itu. Tak mungkin mereka bertemu di tempat seperti ini. Janu berusaha keras menolak. "Terserah, Mas. Di sini juga boleh, sambil liatin ikan," ucap Fitri beralasan. Tangannya menunjuk kolam yang ada di belakangnya. Senyum yang terukir di wajah sang istri yang biasanya menjadi obat, hari ini tak berlaku. Hati Janu tetap gusar, meskipun hatinya berusaha menepis dengan keras. "Mas di sana ya? Kamu di sini aja, kan sudah ada temannya. Biar Mas ambilkan punyamu dulu." Janu menunjuk kursi berjajar yang ada di area food court. Wajahnya berubah tegang, akan tetapi ia berusaha menyembunyikanya dari sang istri. Kakinya segera melangkah agar sang istri tak curiga. Wanita yang baru dinikahi Januar selama dua setengah tahun itu tak boleh tahu masa lalunya. Sekuat tenaga Janu menutupi trauma dan kesialan yang pernah menimpanya di masa lalu agar wanita itu tetap berada di sisinya. Fitri mengangguk. Ia lantas menatap wajah Nuraini yang tampak sungkan. "Mbak silahkan pergi sama suaminya. Maafkan aku yang tidak bisa membantumu." Nuraini hendak melangkah tapi tangan Fitri mencekalnya. "Enggak. Kamu harus bantu aku. Aku akan berikan berapapun yang kamu minta. Tolonglah," ucap Fitri setelah memaksa. Tak ada gambaran perempuan lain yang mau membantunya. "Aku trauma, Mbak. Aku ngga mungkin mau disentuh sama laki-laki!" Aini berusaha keras menolak. Membayangkan punya pasangan aja dia enggan apalagi tubuhnya disentuh oleh laki-laki lain. "Aku bisa tunggu sampai trauma kamu sembuh. Aku akan antar kamu ke psikolog terbaik agar kamu bisa normal lagi." "Tidak, Mbak. Aku tidak bisa. Aku tidak mau. Tolong mengerti aku," lirih Aini enggan. Setelah beberapa saat, Janu kembali dengan seporsi siomay di tangan beserta minumannya. Fitri menerima uluran tangan sang suami. Ia berusaha menutupi kekakuan di wajahnya dengan senyum yang dipaksakan. "Habiskan ya?" ucap Janu sebelum beranjak. Matanya tak sengaja menatap wajah yang ada di samping istrinya. Janu segera mengalihkan pandangannya saat tak sengaja Aini menatap dirinya. Ia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Ada rasa tak nyaman yang perlahan menyelinap dalam hatinya, padahal Aini hanya menatap sejenak lalu menunduk kembali. Wajah basah wanita dibawah kungkungannya maalm itu kembali terlintas. Bercak merah di wajah yang dulu tak ia perhatian, mendadak mengusik ingatannya saat ini. Suara lemah perempuan itu, tiba-tiba saja mencabik nuraninya yang mulai lemah. "Tidak. Tidak mungkin." Janu kembali berucap dalam hatinya, menepis keras pikiran buruk yang terus saja berjejalan. Ia memang merasa bersalah tapi perempuan itu belum tentu gadis yang sama dengan wanita yang menjadi pelampiasannya beberapa tahun lalu. Namun, wajah ayu itu, tetap saja menjadi triger Janu akan masa lalu yang sudah sekuat tenaga ia hapus dan ia lupakan. "Iya, Mas. Jangan khawatir." Fitri tersenyum menenangkan. Janu lantas kembali ke kedai. Ia tak bisa menelan makanannya dengan sempurna. Telur rebus berbalut bumbu kacang gurih yang sudah dikunyah itu rasanya enggan masuk kedalam tenggorokan. Apalagi mereka berdua di sana tampak duduk tenang. Suara jeritan perempuan itu, cakaran serta tangan yang berontak lagi-lagi berkelindan dalam pikiran Janu. Saat itu, pikiran Janu tak dapat berpikir jernih. Yang ada dalam pikirannya hanya bagaimana cara agar rasa panas dan tak nyaman dalam area sensitifnya segera tersalurkan. Tanpa peduli sebesar apa dampak yang ia timbulkan. Tak hanya pada korban, tapi juga pada dirinya sendiri. Segelas es dawet yang disiapkan untuk Janu habis tak bersisa. Akan tetapi, tidak demikian dengan sepiring makanan berbalut saus kacang itu. Mendadak ia tak berselera. Bibirnya sibuk mengatur napas agar rasa tak nyaman dalam hati segera normal kembali. Janu memejamkan matanya. Menyesal? Sudah pasti. Tapi, ia bisa apa? Ingin mencari tapi ia takut dengan resikonya. Selain penolakan dari sang korban, bisa saja keluarganya akan menghajarnya habis-habisan. Tak hanya itu, akan ada banyak kemungkinan yang bisa saja berdampak pada usahanya yang sedang naik daun saat ini. "Aku pergi, Mbak! Permisi." Suara yang terdengar dari ujung sana membuat Janu turut berdiri. Ia menghampiri sang istri yang masih diam di kursi dengan tatapan putus asa. "Ada apa, Sayang? Kenapa jadi gini wajahnya?" Janu menatap sang istri dengan tatapan cemas. Kedua tangannya mengusap pipi Fitri dengan lembutnya. "Aku baru saja memintanya untuk mengandung anakmu, Mas. Aku pinjam rahimnya agar kita punya anak kandung." Ucapan Safitri itu berhasil membuat badan Janu kaku seketika.Bab 5Janu mengambil satu botol air kemasan yang ada di showcase minuman. Kemudian ia berjalan keluar showroom menuju wanita yang sedang berteduh di bengkel miliknya. Ada beberapa karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tapi Janu abai. Ia sibuk dengan apa yang ada dalam pikirannya.Hati Janu berdebar kencang ketika jarak semakin terpangkas. Entah mengapa respon badannya seperti itu, berbeda ketika ia berjumpa dengan wanita lain yang baru ia temui, baik customer showroom atau pelanggan bengkel. Ini membuat hati Janu makin penasaran dengan sosok tersebut.Langkah Janu meragu setelah melihat tubuh wanita yang sedang berjongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan di sudut bangunan. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan langkahnya. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri dan melihat dari jarak dekat agar bisa memastikan."Mbak, permisi," ucap Janu sopan. Sekuat tenaga ia menutupi debar dalam dadanya yang saling berlompatan.Wanita itu membuka tangannya yang menu
Bab 4Safitri menatap wajah sang suami dengan tatapan memohon. "Untuk bilang pada Ibu bahwa aku tak punya rahim pun aku tak berani, Mas. Apa salahnya kita yakinkan dia agar mau menerima permintaan tolong kita? Dia yang merasa tak pantas memiliki pasangan pasti akan tahu rasanya jadi aku."Safitri berusaha mengutarakan maksud ucapannya pada sang suami. Ia khawatir jika Janu tak setuju dengan usulannya. Lalu, pada siapa lagi ia berharap bantuan? Sementara hatinya sudah sangat ingin menimang dan mencurahkan kasih sayangnya pada sang buah hati."Tidak, Sayang. Kita bisa cari cara yang lain. Tidak dengan cara ini, apalagi perempuan itu. Kita ngga kenal siapa dia dan bagaimana keluarganya," sergah Janu tak setuju. Ah tidak, bukan tak setuju, ia hanya sedang menutupi gelisah dalam hatinya. "Tapi, Mas-" Fitri menghentikan ucapannya saat Janu kembali beranjak, mengabaikan ucapan sang istri yang masih dirundung pilu. Akhirnya, Safitri terpaksa mengikuti langkah sang suami menuju mobil mereka
Bab 3Safitri menatap wajah di depannya dengan tatapan dalam, seakan memohon kerelaan hati Nuraini agar mau menuruti keinginannya."Traumamu masih bisa disembuhkan tapi rahimku tak mungkin kembali." Safitri terisak. Kepalanya menunduk merasai nyeri yang menghantam dadanya. Kenyataan itu, cukup mengguncang hati dan jiwanya.Juna sudah berusaha menguatkan Fitri, tapi mendengar omelan mertuanya tiap hari membuat hatinya terus saja merasa bersalah. Memangnya siapa yang mau rahimnya diangkat sementara ia baru saja menikah? Tidak ada."Aku turut prihatin Mbak," ucap Nuraini lirih. Tapi ... aku—" Ucapan Nuraini terhenti sebab suara yang terdengar"Sayang," panggil sebuah suara yang membuat dua wanita di depan sana menoleh bersamaan.Fitri mengusap wajahnya dengan cepat. Ia tak mau membuat sang suami cemas karena wajahnya basah oleh air mata. Sekuat tenaga Janu telah membuatnya bahagia, meskipun nyatanya usaha Janu itu tak sepenuhnya berhasil. Tangis itu masih ada. Suara-suara menyakitkan yan
Bab 2"Sudah tiga tahun menikah, kamu ngga juga punya anak. Program juga ngga kunjung hamil. Terus diam saja begini? Kamu anak laki-laki satu-satunya, apa iya ngga ingin punya keturunan?""Ibu ini ngomong apa! Ya jelas kepengan lah. Tapi namanya belum dikasih ya mau gimana lagi?""Kalau diam aja ya gimana bisa cepet dikasih? Sudah periksa tapi ngga hasil, harusnya ganti metode yang lain. Jangan diam aja nunggu. Ibarat orang kalau ngga kerja ya gimana mau punya uang? Harusnya istrimu itu sadar diri, kalau ngga bisa kasih keturunan biar izinkan kamu nikah lagi! Biar ngga buang-buang waktu!""Ya masak Janu usaha harus bilang sama Ibu? Ibu cukup bantu doa aja, jangan banyak menuntut nanti yang ada Janu malah stres."Tak lagi menghiraukan ibunya, Januar masuk ke dalam kamar. Ia menghindari perdebatan yang mungkin saja bisa menjadi luka baru untuk sang istri. Jangankan istrinya, mendengar kalimat tadi sudah cukup menyayat hatinya sendiri.Namun, langkah Janu terhenti saat melihat sang istri
Bab 1"Jangan bahas soal jodoh, Bu. Nur ini sudah kotor. Sudah bagus begini saja. Mana ada laki-laki yang mau sama wanita korban pemerkosaan? Ngga hamil aja udah untung." Perempuan berambut sebahu itu menghentikan suapannya. Ia berujar dengan dada yang penuh sesak.Air mulai mengalir menggenangi kelopak mata perempuan yang sedang duduk di meja makan itu. Bayang-bayang kejadian lima tahun lalu kembali terlintas dalam kepalanya. Wajahnya menunduk, membiarkan air itu berjatuhan. Nasi lauk sambal paru kesukaannya mendadak terasa hambar.Bayangan kejadian lima tahun lalu terus saja berputar dalam kepala Nuraini. Hamparan sawah yang membentang menjadi saksi kejadian mengerikan itu. Jerit suaranya memanggil siapapun yang lewat tapi tak ada yang datang menolong, hingga lelaki yang entah siapa itu dengan teganya merusak mahkota yang telah dijaga dengan baik oleh Nuraini.Jangan mengira kalau Nuraini berpakaian ketat, apalagi terbuka. Kesialan tak memandang itu. Pakaiannya tertutup, hanya saja