Bab 2
"Sudah tiga tahun menikah, kamu ngga juga punya anak. Program juga ngga kunjung hamil. Terus diam saja begini? Kamu anak laki-laki satu-satunya, apa iya ngga ingin punya keturunan?" "Ibu ini ngomong apa! Ya jelas kepengan lah. Tapi namanya belum dikasih ya mau gimana lagi?" "Kalau diam aja ya gimana bisa cepet dikasih? Sudah periksa tapi ngga hasil, harusnya ganti metode yang lain. Jangan diam aja nunggu. Ibarat orang kalau ngga kerja ya gimana mau punya uang? Harusnya istrimu itu sadar diri, kalau ngga bisa kasih keturunan biar izinkan kamu nikah lagi! Biar ngga buang-buang waktu!" "Ya masak Janu usaha harus bilang sama Ibu? Ibu cukup bantu doa aja, jangan banyak menuntut nanti yang ada Janu malah stres." Tak lagi menghiraukan ibunya, Januar masuk ke dalam kamar. Ia menghindari perdebatan yang mungkin saja bisa menjadi luka baru untuk sang istri. Jangankan istrinya, mendengar kalimat tadi sudah cukup menyayat hatinya sendiri. Namun, langkah Janu terhenti saat melihat sang istri sudah menangis tersedu di atas ranjang. Kalimat yang keluar dari mulut ibunya selalu saja terasa menyakitkan. Bak belati, ucapan itu menembus hatinya hingga menyebabkan luka yang tak kasat mata tapi cukup terasa menyakitkan. Jika Janu yang anak kandungnya saja merasa sakit, apalagi istrinya yang sebagai menantu? Januar berjalan dengan perlahan menuju sang istri duduk sambil memeluk guling. Air matanya sudah mengalir deras. Bahunya naik turun sebab isakan yang tak tertahankan. "Maafkan Ibu ya? Jangan diambil hati." Tangan Janu terulur mengusap lengan sang istri. "Ngga diambil hati juga tetep aja terasa sakit, Mas! Siapa yang mau jadi aku? Kenapa kita ngga bilang aja sama Ibu kalau rahimku sudah diangkat? Biar ngga terus aja bicara nyelekit!" Safitri, istri Janu berucap dengan menggebu. Penyakit yang diderita dua tahun lalu membuatnya harus merelakan rahimnya diangkat agar bisa tetap hidup. "Jangan! Ngga tahu kondisi kamu aja Ibu sudah nyuruh cari yang lain, apalagi tahu kondisi kamu? Mas ngga mau. Akan ada banyak cara buat dapatkan anak. Kamu tenang saja." "Tapi sampai kapan? Mulut Ibu itu ...." Safitri menghela napas dalam dan panjang. Hidupnya jadi seperti neraka saat mertuanya terpaksa dibawa pulang ke rumah oleh kakak iparnya. "Sudahlah, ngga usah dipikirkan. Kita jalan-jalan aja. Kamu mau?" ajak Janu untuk menghibur istrinya. Safitri mengangguk. Ia meraih pasmina instan yang tersampir di gantungan baju lalu memakainnya dengan segera. "Cantiknya istriku," gumam Janu sambil menatap lekat wanita pujaannya itu. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas, menciptakan lengkungan indah di wajahnya yang bersih. Senyum indah pun terbit diantara mendung yang sejak tadi bergelayut di wajah Safitri. Ucapan Janu itu bak hujan di musim kemarau, tak dapat mengilangkan dampak dari panasnya cuaca tapi setidaknya kalimat itu mampu menyejukkan hati walau sesaat. Food court sederhana di pinggiran kota menjadi tujuan Januar dan Safitri. Di depan area food court itu terdapat taman yang di tengahnya berdiri sebuah pohon beringin besar dan dikelilingi dengan kolam ikan. Safitri berjalan sambil menyapukan pandangan. Di depan matanya, tampak sebuah buku terjatuh dari dalam tas seorang perempuan yang sedang berjalan meninggalkan area food court. Safitri memungut buku itu, lalu membuka hard cover yang menjadi penutup utama. "Apa yang pantas di dapat oleh perempuan kotor sepertiku? Aku korban tapi tak mampu bersuara. Sakit tapi tak berani mengeluh. Lantas, pantaskah aku bahagia di dunia ini?" "Buku diary?" gumam Safitri lirih. Mata Safitri lantas menatap punggung pemilik buku itu. Ia tertegun sesaat, lalu sebuah ide terlintas di kepalanya. Safitri berjalan lambat mengikuti langkah perempuan yang memakai hijab segitiga itu. Pandangannya tak lepas dari langkah pelan wanita di depannya. Sekilas saat ia menatap wajah perempuan itu, hatinya tertarik. Wajah tenangnya membuat Fitri merasa terpanggil untuk berkenalan lebih jauh. "Permisi," ucap Safitri lirih. Langkahnya kian mendekat, hingga berhenti tepat di depan wanita yang baru saja ia panggil. Perempuan itu menoleh. Matanya menyipit seakan sedang bertanya 'kamu siapa?' pada Fitri. "Iya?" jawab perempuan itu lirih. Bola matanya bergerak gelisah, seolah takut dirinya telah melakukan kesalahan. "Mbak pemilik buku ini?" Safitri mengangkat buku diary warna biru laut dengan gambar Princess Belle yang dipegangnya. Perempuan itu menajamkan pandangan, lalu berganti menatap tas yang ada di sampingnya. "Diary-ku? Bagaimana bisa?" ucapnya kaget. "Tadi jatuh di dekat kedai burger. Aku mengambilnya, lalu tak sengaja membukanya." Safitri mengulum senyuman. Mata perempuan itu membola. "Mbak baca?" Senyum Safitri kian lebar, lalu mengangguk. "Sedikit." Helaan napas panjang keluar dari bibir perempuan itu yang polos tanpa balutan lipstik layaknya perempuan seusianya. Bahu perempuan itu jatuh seiring dengan helaan napas yang terembus. Seperti ada sesal bercampur malu yang sedang merasukinya. "Tak apa. Aku hanya baca bagian depannya saja. Tapi itu cukup membuatku tertarik untuk menjadi temanmu." "Tertarik?" Dahi perempuan di depan Safitri itu mengerut. "Dari yang aku baca, kamu merasa kalau dirimu tak pantas punya pasangan. Bagaimana kalau aku izinkan kamu menjalin hubungan dengan pasanganku, lalu beri aku anak. Setelah itu kamu boleh pergi. Aku akan berikan apapun yang kamu inginkan." Fitri berucap dengan tegasnya. Rasa sakit akibat ucapan mertuanya membuat lidahnya mengalir begitu saja. "Apa maksudmu, Mbak? Kita baru saja ketemu tapi kamu sudah memintaku memberimu anak! Jangan gila!" sembur perempuan itu. "Tidak penting kamu siapa. Yang aku tahu kamu masih single dan kamu merasa tak pantas punya pasangan. Bukankah ini adalah kesempatan yang baik agar kamu bisa merasakan bagaimana rasanya punya pasangan?" "Aku tidak butuh itu, Mbak. Silahkan pergi!" usir perempuan itu. "Tolonglah! Bantu aku sekali saja. Aku tak tahu bagaimana bisa punya anak kalau aku tidak punya rahim." Safitri terpaksa mengutarakan sebab permasalahannya. Perempuan di depan Safitri itu tersentak. Ucapan Fitri cukup mengusik perasaannya. "Tak punya rahim?" Safitri mengangguk. "Iya. Aku perempuan tanpa rahim. Tolong bantu aku agar aku bisa dipanggil ibu." Safitri menatap wanita di depannya dengan tatapan memohon. "Namamu siapa? Berapa nomor telepon kamu? Nomor rekening kamu juga berapa? Aku akan transfer berapapun yang kamu minta," lanjut Safitri seakan tak memberi celah perempuan itu menolak. Perempuan di depan Safitri itu membalas tatapannya dengan hati iba. "Aku Nuraini. Tapi aku tak bisa. Aku trauma." Nuraini menunduk. Ia datang ke sini untuk mencari ketenangan, bukan menambah masalah hidup.Bab 5Janu mengambil satu botol air kemasan yang ada di showcase minuman. Kemudian ia berjalan keluar showroom menuju wanita yang sedang berteduh di bengkel miliknya. Ada beberapa karyawan yang sedang sibuk dengan pekerjaan mereka tapi Janu abai. Ia sibuk dengan apa yang ada dalam pikirannya.Hati Janu berdebar kencang ketika jarak semakin terpangkas. Entah mengapa respon badannya seperti itu, berbeda ketika ia berjumpa dengan wanita lain yang baru ia temui, baik customer showroom atau pelanggan bengkel. Ini membuat hati Janu makin penasaran dengan sosok tersebut.Langkah Janu meragu setelah melihat tubuh wanita yang sedang berjongkok sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan di sudut bangunan. Akan tetapi, hal itu tak menyurutkan langkahnya. Ia harus memastikan dengan mata kepalanya sendiri dan melihat dari jarak dekat agar bisa memastikan."Mbak, permisi," ucap Janu sopan. Sekuat tenaga ia menutupi debar dalam dadanya yang saling berlompatan.Wanita itu membuka tangannya yang menu
Bab 4Safitri menatap wajah sang suami dengan tatapan memohon. "Untuk bilang pada Ibu bahwa aku tak punya rahim pun aku tak berani, Mas. Apa salahnya kita yakinkan dia agar mau menerima permintaan tolong kita? Dia yang merasa tak pantas memiliki pasangan pasti akan tahu rasanya jadi aku."Safitri berusaha mengutarakan maksud ucapannya pada sang suami. Ia khawatir jika Janu tak setuju dengan usulannya. Lalu, pada siapa lagi ia berharap bantuan? Sementara hatinya sudah sangat ingin menimang dan mencurahkan kasih sayangnya pada sang buah hati."Tidak, Sayang. Kita bisa cari cara yang lain. Tidak dengan cara ini, apalagi perempuan itu. Kita ngga kenal siapa dia dan bagaimana keluarganya," sergah Janu tak setuju. Ah tidak, bukan tak setuju, ia hanya sedang menutupi gelisah dalam hatinya. "Tapi, Mas-" Fitri menghentikan ucapannya saat Janu kembali beranjak, mengabaikan ucapan sang istri yang masih dirundung pilu. Akhirnya, Safitri terpaksa mengikuti langkah sang suami menuju mobil mereka
Bab 3Safitri menatap wajah di depannya dengan tatapan dalam, seakan memohon kerelaan hati Nuraini agar mau menuruti keinginannya."Traumamu masih bisa disembuhkan tapi rahimku tak mungkin kembali." Safitri terisak. Kepalanya menunduk merasai nyeri yang menghantam dadanya. Kenyataan itu, cukup mengguncang hati dan jiwanya.Juna sudah berusaha menguatkan Fitri, tapi mendengar omelan mertuanya tiap hari membuat hatinya terus saja merasa bersalah. Memangnya siapa yang mau rahimnya diangkat sementara ia baru saja menikah? Tidak ada."Aku turut prihatin Mbak," ucap Nuraini lirih. Tapi ... aku—" Ucapan Nuraini terhenti sebab suara yang terdengar"Sayang," panggil sebuah suara yang membuat dua wanita di depan sana menoleh bersamaan.Fitri mengusap wajahnya dengan cepat. Ia tak mau membuat sang suami cemas karena wajahnya basah oleh air mata. Sekuat tenaga Janu telah membuatnya bahagia, meskipun nyatanya usaha Janu itu tak sepenuhnya berhasil. Tangis itu masih ada. Suara-suara menyakitkan yan
Bab 2"Sudah tiga tahun menikah, kamu ngga juga punya anak. Program juga ngga kunjung hamil. Terus diam saja begini? Kamu anak laki-laki satu-satunya, apa iya ngga ingin punya keturunan?""Ibu ini ngomong apa! Ya jelas kepengan lah. Tapi namanya belum dikasih ya mau gimana lagi?""Kalau diam aja ya gimana bisa cepet dikasih? Sudah periksa tapi ngga hasil, harusnya ganti metode yang lain. Jangan diam aja nunggu. Ibarat orang kalau ngga kerja ya gimana mau punya uang? Harusnya istrimu itu sadar diri, kalau ngga bisa kasih keturunan biar izinkan kamu nikah lagi! Biar ngga buang-buang waktu!""Ya masak Janu usaha harus bilang sama Ibu? Ibu cukup bantu doa aja, jangan banyak menuntut nanti yang ada Janu malah stres."Tak lagi menghiraukan ibunya, Januar masuk ke dalam kamar. Ia menghindari perdebatan yang mungkin saja bisa menjadi luka baru untuk sang istri. Jangankan istrinya, mendengar kalimat tadi sudah cukup menyayat hatinya sendiri.Namun, langkah Janu terhenti saat melihat sang istri
Bab 1"Jangan bahas soal jodoh, Bu. Nur ini sudah kotor. Sudah bagus begini saja. Mana ada laki-laki yang mau sama wanita korban pemerkosaan? Ngga hamil aja udah untung." Perempuan berambut sebahu itu menghentikan suapannya. Ia berujar dengan dada yang penuh sesak.Air mulai mengalir menggenangi kelopak mata perempuan yang sedang duduk di meja makan itu. Bayang-bayang kejadian lima tahun lalu kembali terlintas dalam kepalanya. Wajahnya menunduk, membiarkan air itu berjatuhan. Nasi lauk sambal paru kesukaannya mendadak terasa hambar.Bayangan kejadian lima tahun lalu terus saja berputar dalam kepala Nuraini. Hamparan sawah yang membentang menjadi saksi kejadian mengerikan itu. Jerit suaranya memanggil siapapun yang lewat tapi tak ada yang datang menolong, hingga lelaki yang entah siapa itu dengan teganya merusak mahkota yang telah dijaga dengan baik oleh Nuraini.Jangan mengira kalau Nuraini berpakaian ketat, apalagi terbuka. Kesialan tak memandang itu. Pakaiannya tertutup, hanya saja