Share

Bab 2

Author: Safiiaa
last update Last Updated: 2025-08-14 12:19:10

Bab 2

"Sudah tiga tahun menikah, kamu ngga juga punya anak. Program juga ngga kunjung hamil. Terus diam saja begini? Kamu anak laki-laki satu-satunya, apa iya ngga ingin punya keturunan?"

"Ibu ini ngomong apa! Ya jelas kepengan lah. Tapi namanya belum dikasih ya mau gimana lagi?"

"Kalau diam aja ya gimana bisa cepet dikasih? Sudah periksa tapi ngga hasil, harusnya ganti metode yang lain. Jangan diam aja nunggu. Ibarat orang kalau ngga kerja ya gimana mau punya uang? Harusnya istrimu itu sadar diri, kalau ngga bisa kasih keturunan biar izinkan kamu nikah lagi! Biar ngga buang-buang waktu!"

"Ya masak Janu usaha harus bilang sama Ibu? Ibu cukup bantu doa aja, jangan banyak menuntut nanti yang ada Janu malah stres."

Tak lagi menghiraukan ibunya, Januar masuk ke dalam kamar. Ia menghindari perdebatan yang mungkin saja bisa menjadi luka baru untuk sang istri. Jangankan istrinya, mendengar kalimat tadi sudah cukup menyayat hatinya sendiri.

Namun, langkah Janu terhenti saat melihat sang istri sudah menangis tersedu di atas ranjang. Kalimat yang keluar dari mulut ibunya selalu saja terasa menyakitkan. Bak belati, ucapan itu menembus hatinya hingga menyebabkan luka yang tak kasat mata tapi cukup terasa menyakitkan. Jika Janu yang anak kandungnya saja merasa sakit, apalagi istrinya yang sebagai menantu?

Januar berjalan dengan perlahan menuju sang istri duduk sambil memeluk guling. Air matanya sudah mengalir deras. Bahunya naik turun sebab isakan yang tak tertahankan.

"Maafkan Ibu ya? Jangan diambil hati." Tangan Janu terulur mengusap lengan sang istri.

"Ngga diambil hati juga tetep aja terasa sakit, Mas! Siapa yang mau jadi aku? Kenapa kita ngga bilang aja sama Ibu kalau rahimku sudah diangkat? Biar ngga terus aja bicara nyelekit!" Safitri, istri Janu berucap dengan menggebu. Penyakit yang diderita dua tahun lalu membuatnya harus merelakan rahimnya diangkat agar bisa tetap hidup.

"Jangan! Ngga tahu kondisi kamu aja Ibu sudah nyuruh cari yang lain, apalagi tahu kondisi kamu? Mas ngga mau. Akan ada banyak cara buat dapatkan anak. Kamu tenang saja."

"Tapi sampai kapan? Mulut Ibu itu ...." Safitri menghela napas dalam dan panjang. Hidupnya jadi seperti neraka saat mertuanya terpaksa dibawa pulang ke rumah oleh kakak iparnya.

"Sudahlah, ngga usah dipikirkan. Kita jalan-jalan aja. Kamu mau?" ajak Janu untuk menghibur istrinya.

Safitri mengangguk. Ia meraih pasmina instan yang tersampir di gantungan baju lalu memakainnya dengan segera.

"Cantiknya istriku," gumam Janu sambil menatap lekat wanita pujaannya itu. Dua sudut bibirnya tertarik ke atas, menciptakan lengkungan indah di wajahnya yang bersih.

Senyum indah pun terbit diantara mendung yang sejak tadi bergelayut di wajah Safitri. Ucapan Janu itu bak hujan di musim kemarau, tak dapat mengilangkan dampak dari panasnya cuaca tapi setidaknya kalimat itu mampu menyejukkan hati walau sesaat.

Food court sederhana di pinggiran kota menjadi tujuan Januar dan Safitri. Di depan area food court itu terdapat taman yang di tengahnya berdiri sebuah pohon beringin besar dan dikelilingi dengan kolam ikan.

Safitri berjalan sambil menyapukan pandangan. Di depan matanya, tampak sebuah buku terjatuh dari dalam tas seorang perempuan yang sedang berjalan meninggalkan area food court.

Safitri memungut buku itu, lalu membuka hard cover yang menjadi penutup utama.

"Apa yang pantas di dapat oleh perempuan kotor sepertiku? Aku korban tapi tak mampu bersuara. Sakit tapi tak berani mengeluh. Lantas, pantaskah aku bahagia di dunia ini?"

"Buku diary?" gumam Safitri lirih.

Mata Safitri lantas menatap punggung pemilik buku itu. Ia tertegun sesaat, lalu sebuah ide terlintas di kepalanya.

Safitri berjalan lambat mengikuti langkah perempuan yang memakai hijab segitiga itu. Pandangannya tak lepas dari langkah pelan wanita di depannya. Sekilas saat ia menatap wajah perempuan itu, hatinya tertarik. Wajah tenangnya membuat Fitri merasa terpanggil untuk berkenalan lebih jauh.

"Permisi," ucap Safitri lirih. Langkahnya kian mendekat, hingga berhenti tepat di depan wanita yang baru saja ia panggil.

Perempuan itu menoleh. Matanya menyipit seakan sedang bertanya 'kamu siapa?' pada Fitri.

"Iya?" jawab perempuan itu lirih. Bola matanya bergerak gelisah, seolah takut dirinya telah melakukan kesalahan.

"Mbak pemilik buku ini?" Safitri mengangkat buku diary warna biru laut dengan gambar Princess Belle yang dipegangnya.

Perempuan itu menajamkan pandangan, lalu berganti menatap tas yang ada di sampingnya. "Diary-ku? Bagaimana bisa?" ucapnya kaget.

"Tadi jatuh di dekat kedai burger. Aku mengambilnya, lalu tak sengaja membukanya." Safitri mengulum senyuman.

Mata perempuan itu membola. "Mbak baca?"

Senyum Safitri kian lebar, lalu mengangguk. "Sedikit."

Helaan napas panjang keluar dari bibir perempuan itu yang polos tanpa balutan lipstik layaknya perempuan seusianya. Bahu perempuan itu jatuh seiring dengan helaan napas yang terembus. Seperti ada sesal bercampur malu yang sedang merasukinya.

"Tak apa. Aku hanya baca bagian depannya saja. Tapi itu cukup membuatku tertarik untuk menjadi temanmu."

"Tertarik?" Dahi perempuan di depan Safitri itu mengerut.

"Dari yang aku baca, kamu merasa kalau dirimu tak pantas punya pasangan. Bagaimana kalau aku izinkan kamu menjalin hubungan dengan pasanganku, lalu beri aku anak. Setelah itu kamu boleh pergi. Aku akan berikan apapun yang kamu inginkan." Fitri berucap dengan tegasnya. Rasa sakit akibat ucapan mertuanya membuat lidahnya mengalir begitu saja.

"Apa maksudmu, Mbak? Kita baru saja ketemu tapi kamu sudah memintaku memberimu anak! Jangan gila!" sembur perempuan itu.

"Tidak penting kamu siapa. Yang aku tahu kamu masih single dan kamu merasa tak pantas punya pasangan. Bukankah ini adalah kesempatan yang baik agar kamu bisa merasakan bagaimana rasanya punya pasangan?"

"Aku tidak butuh itu, Mbak. Silahkan pergi!" usir perempuan itu.

"Tolonglah! Bantu aku sekali saja. Aku tak tahu bagaimana bisa punya anak kalau aku tidak punya rahim." Safitri terpaksa mengutarakan sebab permasalahannya.

Perempuan di depan Safitri itu tersentak. Ucapan Fitri cukup mengusik perasaannya. "Tak punya rahim?"

Safitri mengangguk. "Iya. Aku perempuan tanpa rahim. Tolong bantu aku agar aku bisa dipanggil ibu." Safitri menatap wanita di depannya dengan tatapan memohon.

"Namamu siapa? Berapa nomor telepon kamu? Nomor rekening kamu juga berapa? Aku akan transfer berapapun yang kamu minta," lanjut Safitri seakan tak memberi celah perempuan itu menolak.

Perempuan di depan Safitri itu membalas tatapannya dengan hati iba. "Aku Nuraini. Tapi aku tak bisa. Aku trauma." Nuraini menunduk. Ia datang ke sini untuk mencari ketenangan, bukan menambah masalah hidup.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 78

    Bab 78Janu mengendarai mobilnya dengan kecepatan kencang. Ia tak bisa menerima semua ini. Pernikahan yang sedang diperjuangkan, rupanya diputuskan sepihak oleh wanita yang diharapkan menjadi teman setia. Kebahagiaan yang sudah dibayangkan akan bisa dilalui dengan mudah, rupanya tidak demikian dengan kenyataan yang ada. Berulang kali Janu memukul bundaran setir karena kesal. Ia butuh pelampiasan. Ia butuh bicara untuk mendapatkan pencerahan dari permasalahan yang sedang dihadapi. Namun, saat ini tak ada yang bisa diajak bicara. Janu hanya mampu diam sambil menikmati kesedihan yang sedang menderanya. Ponsel Janu tiba-tiba saja berbunyi. Ia meraih benda di atas dashboard itu sebelum menerima panggilan tersebut. "Assalamu'alaikum Mas," ucap sebuah suara di ujung sana. Janu mengurangi kecepatannya agar bisa berbicara dengan tenang. Ia lupa mengabari bahwa dirinya sedang pergi hari ini dan belum bisa menjemputnya. "Waalaikumsalam. Mas belum bisa jemput sekarang."Nuraini terdiam. Ad

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 77

    Bab 77Janu melempar surat itu ke sembarang arah. Ia tak bisa menerima semua ini. Perpisahan bukan akhir dari tujuannya untuk mendapatkan keturunan. Bagaimana pun, hubungan mereka sudah terjalin cukup baik dan tak bisa berakhir begitu saja karena masalah ini. Tak bisa diam saja, Janu segera menghubungi kakak iparnya. Ia yakin, istri Herman itu pasti tahu sesuatu. "Mbak, apa yang terjadi dengan Fitri selama aku pergi mencari Nuraini? Dia tiba-tiba pergi, lalu sekarang surat cerai tiba-tiba datang ke rumah. Aku tak paham dengan semua ini, Mbak!" Janu mengomel tanpa jeda. "Maafkan aku, Nu. Aku hanya menuruti apa yang diminta oleh Ibu. Lagi pula, mungkin ini keputusan yang tepat sebab kasihan Fitri kalau terus ada di sini.""Apa maksudmu kasihan? Dia istriku, Mbak! Aku menyayanginya apapun keadaan dia!""Kamu sayang padanya, tapi Ibu? Apa kamu tahu apa yang diucapkan Ibu setelah tahu Nuraini hamil? Justru kalau kalian masih bersama, aku malah lebih kasihan dengan Fitri.""Apa yang Ibu

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 76

    Bab 76Safitri menangis di bawah pohon. Hatinya sesak melihat laki-laki yang dicintainya terpaksa dilepas untuk dimiliki wanita lainnya. Kondisinya memang memiliki kekurangan tapi cintanya utuh. Bahkan laki-laki itu sudah menjadi sandaran hatinya selama ini. Bagaimana Fitri bisa dengan mudah melepasnya sementara ia sudah menggantungkan hidupnya pada lelaki yang bergelar suami? Fitri menghirup udara dalam-dalam. Ia berharap udara yang masuk itu bisa menghilangkan sesak yang masih saja membuat hidungnya sulit bernapas. "Ya Allah, aku ridho dengan ujian ini. Hamba ikhlas tapi tolong mudahkan segala prosesnya," ucap Fitri sambil meremas dadanya. Nyeri itu masih bertahan di sana. Perlahan, Fitri mengatur napasnya. Bertahan di tempat ini sepertinya bukan keputusan yang baik. Sewaktu-waktu Janu bisa saja kembali. Ia harus mencari tempat yang nyaman untuk tinggal hingga hatinya kuat untuk memutuskan semuanya. Terlebih menghadap suaminya kembali untuk mengurus proses perceraiannya. Fitri

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 75

    Bab 75Assalamu'alaikum Mas. Bagaimana Nuraini? Sudah ketemu? Aku bantu banyak doa biar Nuraini cepat ditemukan. Saat kamu baca surat ini, mungkin aku sudah pergi. Aku bahagia akhirnya kamu bisa mendapatkan keturunan yang mungkin selama ini hanya mampu kamu pendam sendiri. Dalam lubuk hatimu yang paling dalam, aku tahu sebenarnya kamu menginginkannya, bukan? Hanya saja kamu menutupinya di depanku. Beruntung aku segera sadar dan memilih pergi sebelum semuanya terlambat. Selamat atas kehamilan Nuraini, wanita yang pernah kamu renggut kesuciannya. Selamat karena kamu telah berhasil menebus kesalahanmu padanya. Pasti nanti wajah anak kamu lebih mirip sama kamu. Karena selama ini kamu sedih banget saat Nuraini pergi. Kamu ngebatin ya, Mas? Kamu pasti rindu usap-usap perut istrimu itu. Andai kamu tahu, Mas. Aku pun ingin diusap perutnya saat hamil. Pasti aku merasa menjadi wanita yang sempurna. Pasti aku bahagia sekali. Tapi sayangnya, aku tidak akan mendapatkan kesempatan itu. Bisa h

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 74

    Bab 74Dalam perjalanan menuju rumah Nuraini, Janu sedang menata hati. Ia menyiapkan banyak kata untuk berbicara kepada mertuanya secara langsung. Tak salah jika wanita yang sudah melahirkan Nuraini itu marah sebab Janu tak meminta izinnya saat akan menikah. "Kenapa diam aja, Mas?" tanya Nuraini cemas. Sepanjang perjalanan ia hanya memperhatikan wajah suaminya yang yang tampak tegang. Janu menoleh sambil mengulum senyum. Tangannya meraih tangan sang istri untuk digenggam erat. "Ngga apa-apa, Sayang. Mas hanya berusaha menata hati agar Ibu mau menerima kehadiranku yang sudah beristri ini.""Sudah selesai marahnya kemarin. Mungkin sekarang Ibu hanya butuh kejelasan soal status kita." Nuraini berucap tanpa ekspresi. "Itu yang Mas masih pikirkan.""Memangnya siapa yang akan Mas pilih?" tanya Nuraini sambil menatap wajah suaminya yang sedang fokus mengemudi. "Menurutku wajar kalau Ibu bilang begitu. Orang tua mana yang mau anaknya jadi istri kedua," sambung Nuraini lagi. Ia memperhat

  • Setelah Mahkotaku Kau Renggut Paksa   Bab 73

    Bab 73Nuraini berjalan bersisihan dengan Janu menuju sawah. Jalan setapak yang mereka lewati sedikit menanjak, membuat Nuraini harus ekstra berpegangan pada suaminya yang selalu siaga. "Tiap hari jalan begini sendirian?" tanya Janu kaget. Bagaimana istrinya bisa melewati jalan ini seorang diri sedangkan sekarang saja ia harus ekstra berpegangan denganya. "Iyalah. Sama siapa lagi emang? Ibu juga sibuk di rumah. Kan aku niatnya mau jalan-jalan cari udara segar. Hari ini aja entah kenapa tiba-tiba badan jadi lemes padahal biasanya juga ngga apa-apa." Nuraini menjawab dengan acuh. Ia tetap berjalan sambil menggandeng suaminya. "Jangan-jangan anak kita tahu ada bapaknya di sini jadi dia mode manja," ucap Janu sambil menatap wajah istrinya penuh selidik. "Bisa jadi. Mas sih! Kemana aja kemarin!" sungut Nuraini pura-pura kesal. "Ya lagian siapa suruh sembunyi. Mas sudah datang ke sini, kenapa kamu ngga temui Mas aja. Malah nyuruh Ibu buat bohong!""Biarin! Kan aku mode kesel sama Mas!"

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status