Desa Albarracin, Spanyol. Salah satu desa terindah di dunia. Desa yang menyajikan panorama abad pertengahan yang sangat kental, rumah-rumah di desa ini rata-rata dibangun di atas bukit, dengan material-material yang ringan, begitu juga dengan rumah peristirahatan Victor ini.
Dari jendela kamarnya Halwa dapat melihat ke sekeliling desa itu, dan ia merasa seperti tinggal di abad pertengahan, dengan banyaknya benteng batu yang menghiasi sudut kota, dan bukit-bukit tandus yang mengelilingi desa yang berada di wilayah tengah Aragon ini, meski demikian udaranya terasa sejuk. Di gang-gang sempit desa ini terdapat jalur-jalur yang berliku, yang mengarah ke menara-menara batu kuno, istana-istana dan juga kapel-kapel, serta situs bersejarah lainnya. "Kamu tidak istirahat, Aira?" tanya mama, "Tidurlah sebentar, kamu tidak tidur selama di pesawat." Halwa "Aku takut, Ma. Aku selalu merasa ketakutan saat akan beranjak tidur. Aku takut mimpi buruk lagi," jawab Halwa. "Besok Victor akan mengantarmu terapi ke Psikolog yang ada di desa ini, Sayang. Dokter itu katanya teman baik Victor, jadi kamu tidak perlu sungkan-sungkan padanya. Semoga saja dengan rutinnya kamu mengikuti terapinya, perlahan tapi pasti kenangan buruk itu tidak akan mengganggumu lagi." "Aku berhutang banyak padanya, Ma. Pria itu mau menolong aku yang bahkan tidak akrab dengannya," desah Halwa. "Maka dari itu bangkitlah, Nak. Kuatkan dirimu dalam menghadapi cobaan berat ini. Mulai menata kembali hidupmu." "Ya, aku akan bangkit. Demi anakku," tekad Halwa. Satu minggu kemudian ... Victor mengajaknya menyusuri jalan setapak yang akan mengarah ke puncak bukit, tempat ia akan memperlihatkan pemandangan indah di malam hari nanti pada Halwa. Pria itu selalu mengajaknya ke sana, sesuai dengan arahan psikiater yang membantu terapi trauma Halwa, untuk menenangkan pikiran Halwa sebelum ia beranjak tidur. Dan kegiatan rutin itu memang sedikit membantunya, karena sudah beberapa hari ini mimpi buruk itu tidak pernah datang kembali. "Apa orang tuamu tidak keberatan kami tinggal di sini, Vic?" tanya Halwa. "Mereka tidak pernah mendatangi tempat ini," jawab Victor. "Bagaimana kalau tiba-tiba mereka datang, dan mendapati aku beserta keluargaku tinggal di rumah peristirahatannya?" Victor mengangkat bahunya, "Kalaupun mereka datang, mereka tidak berhak mengusir siapapun yang aku izinkan tinggal di sana... Karena rumah itu adalah pemberian Opaku, dan sudah atas namaku." "Vic, kalau aku sudah memiliki penghasilanku sendiri, bolehkah aku menyewa vila lain untukku dan keluargaku? Aku tidak ingin terus-terusan membebanimu." "Kamu bebas tinggal di mana saja kamu mau, aku tidak akan melarangnya. Aku hanya bisa menemanimu selama dua minggu ini saja, sekalian mengajakmu mengelilingi desa ini untuk melihat fasilitas umum seperti rumah sakit dan sebagainya." "Apa setelah itu kamu akan kembali ke Jakarta?" tanya Halwa, ia belum terbiasa tinggal di negara ini tanpa Victor. "Ya, aku tidak bisa terlalu lama meninggalkan perusahaanku," jawabnya. Victor menelengkan sedikit kepalanya untuk melihat fitur wajah Halwa, wanita itu nampak sedang mengerutkan keningnya, mungkin merasa khawatir dengan ketiadaan Victor di desa ini. Sudah banyak kemajuan di dalam diri wanita itu. Halwa sudah tidak histeris lagi di dalam tidurnya, dan tidak ada lagi tatapan kosong wanita itu, selama tidak meninggalkannya sendirian. Memang sesekali dia terlihat termenung, tapi tidak separah sebelumnya, dan responnya sekarang jauh lebih bagus, Halwa sudah mau bicara banyak dengan Victor dan juga sudah mulai menampakkan senyumnya. Senyum yang mampu menghangatkan hati Victor yang sudah membeku, sejak pertama kali mereka bertemu. 'Namanya Aira Halwatuzahra, kalian bisa panggil dia Halwa.' Victor teringat kembali saat Tita memperkenalkan Halwa pada teman-temannya. Wanita itu dapat langsung mencuri perhatian Victor, saat ia melihat senyumnya yang merekah laksana bunga, yang mekar di padang hati Victor yang gersang. 'Bunga paling indah. Sesuai dengan namanya.' "Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah menempatkan beberapa anak buahku di sekitarmu dan juga orang tuamu. Jangan sungkan-sungkan menghubungiku jika ad masalah, sekecil apapun itu." Victor berusaha menenangkan Halwa. Kerutan di keningnya perlahan memudar, Halwa menghentikan langkahnya hanya untuk menatap Victor, "Itu berarti kamu tinggal satu minggu lagi di sini?" "Ya., aku akan segera menyelesaikan urusanku di sana, supaya bisa kembali ke sini lagi, itu pun kalau kamu membutuhkanku." "Terima kasih untuk semua kebaikanmu, Vic. Aku pasti akan dengan senang hati kalau kamu sering-sering mengunjungi kami." "Ingin aku bawakan apa dari Jakarta?" tanya Victor. "Kamu sampai dengan selamat, itu saja sudah cukup untukku Vic," jawab Halwa. "Kalau begitu, aku akan tiba dengan selamat." Halwa kembali menatap penuh wajah pria itu, terlihat kaku begitu juga dengan nada suaranya. Tapi hatinya hangat sekali, Halwa bahkan tidak menyangka kalau pria yang selama ini ia kenal sebagai pria yang introvert, tapi banyak bicara saat sedang bersamanya. Dan terlebih lagi, pria itu telah mengeluarkannya dari neraka itu, menarik Halwa keluar dari keterpurukannya, dan menenangkannya saat mimpi buruk itu kembali hadir. Ya, Halwa tahu tangan hangat Victor lah yang selalu mendekapnya dengan erat, setiap kali mimpi buruk itu hadir. Suaranya yang terdengar lembut dan sedikit kaku, mampu menembus sampai ke alam bawah sadar halwa, dan menariknya keluar dari dalam kegelapan itu. Dan saat Halwa sudah sepenuhnya sadar, ia membiarkan pria itu memeluk dan menenangkannya, karena Halwa sangat membutuhkannya, membutuhkan dukungan penuh dari seseorang. Halwa membiarkannya saat Victor menenangkannya hingga Halwa kembali tertidur. Halwa hanya berpura-pura lupa di pagi harinya, supaya Victor tidak menjadi canggung karenanya. Satu bulan pun berlalu. Halwa baru saja selesai melakukan terapi, dan sedang menunggu Papanya yang sedang ke toilet saat seseorang berpakaian safari serba hitam menghampirinya. "Nona Aira Halwatuzahra?" tanyanya. "Ya," jawab Aira. Ia mengira pria itu adalah salah satu dari pengawal yang ditugaskan Victor untuk menjaganya dan juga menjaga kedua orang tuanya. "Mr. Omero meminta kami membawa anda untuk menemuinya," "Mr. Omero?" Halwa belum pernah mendengar nama Omero sebelumnya, apa pria ini salah orang? "Mr. Victor Omero Covaz." Pria itu menyebutkan nama lengkap Victor. "Victor? Di mana dia?" tanya Halwa sumringah, sudah hampir satu bulan Halwa tidak melihatnya, jadi sekarang Victor sudah sampai di negara ini? "Ikut saya, Nona!" seru pria itu. "Iya, tapi saya tunggu Papa saya terlebih dahulu," ujar Halwa. "Papa anda akan segera menyusul dengan mereka," pria itu menunjuk dua orang lagi yang berpakaian sama dengannya, yang sedang berdiri tegak di depan lorong yang mengarah ke toilet. "Baiklah kalau begitu." Halwa mengikuti langkah pria itu sampai di luar lobby. Sudah ada mobil yang menunggu mereka, dan Halwa diminta untuk segera naik ke mobil mewah itu. Halwa mulai panik saat mobil tidak mengarah ke desanya, supir itu malah melajukan mobilnya ke arah kota. "Ki ... Kita mau ke mana? Di mana Victor ingin bertemu?" tanyanya dengan panik. Tidak ada satupun dari keempat pria tegap itu yang menjawabnya, dua pria duduk di sisi Halwa, sementara dua lagi duduk di depannya. Halwa semakin panik saat mobil memasuki bandara, lalu terus masuk ke landasan pacu, dan berhenti di sebelah jet pribadi. Salah satu pengawal itu turun dan menahan pintu untuk Halwa, "Silahkan turun, Nona. Mr. Omero menunggu anda di dalam jet pribadinya itu. Beliau tidak memiliki waktu banyak untuk bertemu anda." Oh, jadi Victor datang hanya untuk menemuinya sebentar saja? Halwa bergegas menaiki tangga jet pribadi itu, dan pintunya langsung tertutup saat Halwa sudah memasukinya. Perasaannya mulai tidak enak. "Apa kau pikir kau bisa kabur begitu saja dariku?" tanya suara dingin yang dipenuhi dengan kemarahan di belakangnya, Halwa langsung balik badan ke arah suara itu. Seketika tubuh Halwa bergetar hebat, ketakutan yang teramat sangat kembali mencengkramnya, seolah-olah terapi berminggu-minggu yang ia jalani menguap sepenuhnya hanya dengan sekali melihat pria itu.Pesta pernikahan itu di adakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Covaz, yang kini berada langsung di bawah pengawasan Victorino yang mengelolanya dengan sangat baik. Tidak seperti pernikahan mereka sebelumnya, kali ini pesta pernikahan mereka di adakan secara besar-besaran, dengan semua media baik cetak, online maupun elektronik diundang untuk meliput pernikahan putra kedua dari salah satu bangsawan tertua di negara itu. Sekaligus memperkenalkan putra kedua yang selama ini disembunyikan identitasnya demi keamanannya itu kepada khalayak ramai. Juga mengumumkan kalau Victor kini akan ikut andil dalam bisnis keluarganya bersama dengan kakaknya, Victorino Duque de Neville. Pesta itu dihadiri berbagai macam kalangan, dari mulai pengusaha besar, artis dan model papan atas, hingga para pejabat tinggi yang tidak mau membuang kesempatan langka mereka untuk bertemu langsung dengan penerus ke
"Apa kamu senang, Sayang?' tanya Victor pada Lilian yang masih terus mengagumi dekorasi rofftop malam itu. "Aku jadi ingin membuat rooftop seperti ini, Vic. Kita bisa berbincang-bincang sambil menatap langit malam penuh bintang!" Lilian terlihat sumringah, dan sudah pasti Victor akan mengabulkan keinginan wanikta pujaan hatinya itu. Ia merapatkan dirinya pada Lilian saat berbisik, "Kita bisa main juga di rooftop itu, ya kan? Di tempat gterbuka seperti itu pasti rasanya akan jauh lebih nikmat lagi, karena adrenalin yang terpacu akan lebih besar." Lilian menjauhkan dirinya untuk menatap galak Victor, atau awalnya ia ingin menegur suaminya itu. Tapi alih-alih menegur Lilian malah terkikik geli karenanya, "Vic, kamu kenapa jadi seperti ini sih?" tanyanya. "Kamu tidak suka? Kamu lebih suka aku yang dulu? Aku yang mengacuhkan dan mengabaikanmu?"
Kalau pemandangan pagi hari yang disuguhkan dari rooftop hotel mereka adalah beraneka warna balon udara yang menghiasi langit, malam harinya rooftop itu menyuguhkan landscape Cappadocia yang diterangi dengan bermacam cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk, hotel dan fasilitas umum lainnya. Mungkin jika di tempat lainnya cahaya lampu akan terlihat biasa, tapi tidak di Cappadocia yang terlihat seperti sebuah batu yang menyala karena cahaya lampu yang terpantul pada dinding-dinding yang terbuat dari batu itu. Dan entah karena setiap malam desain rooftop selalu berubah atau hanya khusus untuk malam ini saja, karena rooftop itu kini di desain dengan begitu indahnya layaknya desain sebuah pesta pernikahan, dengan banyaknya buket bunga dan taburan kelopak mawar merah di lantainya. "Apa kita salah masuk, Vic? Mungkinkah seseorang akan mengadakan pesta di sini?" tanya Lilian yang masih terus bergandengan tangan den
Meski balon udara yang mereka naiki berhenti lumayan jauh dari titik perhentian yang sang pilot rencanakan karena arah angin berubah, mereka tetap besyukur karena balon yang mereka naiki itu mendarat dengan aman. Karena menurut yang pernah Victor dengar ada balon udara yang salah landing di perkebunan seseorang hingga harus menabrak beberapa pohon, entah karena sang pilot yang kurang cakap dalam mengendalikannya, atau arah angin yang membawa balon udara itu ke arah pohon. Meski keranjang balon udara itu terlihat kokoh dan tidak akan menyebabkan masalah serius jika menabrak pohon, tapi Victor tetap waspada, dan yang pasti, Victor tidak pernah sekalipun melepas Lilian sampai balon udara yang mereka naiki itu berhasil mendarat dengan sempurna, meski beberapa kali istrinya itu berontak ingin melepaskan diri dari pelukannya. "Kamu terlalu protektif!" sungut Lilian smabil memberengut kesal. "Itu karena aku sangat mengkhawatirkanm
Meski lokasinya lumayan jauh dari Istanbul, tapi landscape yang dipenuhi dengan perbukitan uniik di sepanjang mata memandang, membuat Halwa dan Lilian tak henti-hentinya berdecak kagum. Awalnya suami-suami mereka ingin mereka naik balon udara yang berbeda, tapi Halwa dan Lilian menolaknya. Mereka ingin menikmati keeksotisan Cappadocia itu bersama-sama, membuat Edzhar dan Victor memberengut kesal karenanya. Bagaimanapun juga, jika mereka naik di balon yang sama, tidak akan ada privasi untuk mereka. Sementara Edzhar dan Victor berniat mencium istri mereka saat balon udara itu telah mencapai ketinggian. "Aku tahu yang apa yang menyebabkan kerutan dalam di keningmu itu," bisik Victor sambil melihat Lilian dan Halwa yang masih asik menikmati pucuk-pucuk pilar batu raksasa yang terlihat mempesona. JIka dilihat dari ketinggian ini, bentuknya menyerupai kerucut, persis sekali dengan rum
"Selain pintar menghindar, sekarang kamu sudah mulai pintar mengalihkan pembicaraan juga yaa ... " kekeh Edzhar saat melepaskan c1uman mereka. Halwa membuka satu-persatu kancing kemeja Edzhar, "Aku belajar banyak darimu, Ed," akunya sambil menjatuhkan kemeja suaminya itu ke lantai. "Aku masih merindukanmu ... Dan aku hanya mau kita berdua saja sekarang di kamar ini, well mungkin dengan calon anak kita juga, karena kita belum bisa membujuknhya untuk bermain di luar," lanjutnya. Halwa memekik pelan saat tiba-tiba Edzhar membopongnya, "Aku mau mulai permainan itu sekarang!" serunya. "Iya, tapi turunkan aku dulu, aku bisa jalan sendiri, Ed." "Kamu harus menghemat tenagamu untuk berjaga-jaga kalau rasa mual itu kembali lagi. Jadi biar aku isi lagi tenagamu itu dulu!" elak Edzhar. "Ak