Beranda / Romansa / Jerat Ambisi Penguasa Kejam / Kenangan Yang Berbahaya

Share

Kenangan Yang Berbahaya

Penulis: Si Nicegirl
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-28 13:10:01

"Kenapa aku harus ke Psikiater?" tanya Halwa keesokan harinya.

Mama merangkul pundak Halwa, "Untuk membantumu supaya lebih cepat pulih dari trauma itu, Sayang. Dan bukan di sini, kamu akan memulai konsultasi saat sudah berada di Spanyol nanti," jawabnya.

"Dimana Victor? Aku belum melihatnya pagi ini?" tanya Halwa.

"Dia dan Papa sedang mengurus dokumen kepindahan kita. Beruntung kamu menemukan pria sebaik dia Aira," jawab mama sambil merapikan rambut Halwa,

"Mau Mama kuncir?" tanyanya dan Halwa menganggukkan kepalanya.

Kini ia tidak bisa mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi, bahkan hanya sekedar untuk mengikat rambutnya. Akibat dari tendangan keras di bahunya hingga menyebabkan tulang lengan atas bergeser dari soket bahunya.

"Tunggu sebantar, Mama ambil sisir dan ikat rambut dulu," ujar mamanya sambil berdiri, lalu melangkah ke dalam kamar Halwa.

Bosan hanya duduk-duduk saja sejak tadi, Halwa melangkahkan kakinya dengan pelan ke halaman rumahnya. Desanya ini berada di bawah gunung Rinjani dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Desa yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah, berupa pemandangan Gunung Sangkareang dan Gunung Rinjani yang gagah.

Halwa memanjakan matanya dengan hamparan sawah yang luas, lalu menghirup udara sejuk itu dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan pelan.

Bahkan ketenangan dan kesejukan kampungnya ini, tidak mampu menenangkan hatinya, yang masih saja terus bergejolak dengan berbagai macam pikiran dan perasaan yang campur aduk menjadi satu.

"Sepertinya baru kemarin Mama melihatmu bermain di sawah itu dan mengotori badan dan juga bajumu. Kamu tertawa riang saat Papa mencoreng wajahmu dengan tanah," gumam mama.

"Kenapa aku bisa sesial ini, Ma?" tanya Halwa dengan suara lirih.

Mama mulai menyisiri rambut panjang Halwa, "Semua sudah menjadi suratan takdir dari Tuhan, Sayang. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalaninya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Sambil terus berdoa semoga saja ada hikmah dibalik semua kejadian yang menimpamu ini."

"Aku merindukan Tita. Aku merindukan kebersamaan kami," desah Halwa pelan.

"Semoga Tita tenang di alamnya. Dan semoga dia segera memberikan petunjuk pada kekasih gilanya itu siapa pembunuh sebenarnya."

Halwa balik badan dan memeluk mamanya, "Aku mau melakukan itu, Ma. Aku mau terapi ke psikiater manapun untuk menghilangkan semua ingatan burukku itu. Ya mungkin aku tidak akan bisa menghilangkan kenangan buruk itu dari ingatanku untuk selamanya, tapi setidaknya aku mau tegar meski ingatan itu terus datang, Ma. Aku tidak mau terus tersiksa setiap kali mengingatnya."

Dengan lembut mama menepuk-nepuk punggung Halwa,

"Victor sudah mengurusnya, Sayang. sesampainya kita di Spanyol nanti, kamu bisa langsung memulai konsultasinya."

"Iya..."

"Kamu mau makan apa? Biar Mama masakkan untukmu," tanya mama sambil menjauhkan sedikit badannya untuk menatap lembut putrinya itu.

"Apapun masakan Mama aku menyukai semuanya," jawab Halwa.

Biasanya ia akan menjawabnya sambil tersenyum lebar, tapi sejak saat itu, senyum seperti menghilang dari wajahnya. Yang bisa dengan mudah dilakukan wajahnya saat ini hanyalah meringis, atau mengerutkan keningnya.

"Ya sudah, kamu mau menemani Mama masak?"

Halwa menggelengkan kepalanya, "Aku di sini saja, Ma. Aku mau menikmati pemandangan indah ini, yang mungkin tidak bisa aku dapatkan di Eropa nanti."

Mama menggeser bangku rotan ke sebelah Halwa, "Duduklah, jangan terlalu lelah dulu," serunya.

Dengan patuh Halwa duduk di kursi itu, dan menyandarkan punggungnya yang rapuh ke sandaran kursi. Usianya belum genap dua puluh lima tahun, tapi tulang belulangnya tidak ada bedanya dengan para manula, semua terasa linu ketika digerakkan, akibat dari siksaan hebat di dalam penjara.

"Mama masak dulu ya," ujarnya sambil mencium puncak kepala Halwa, dan Halwa hanya menganggukkan kepalanya.

Semilir angin dingin pegunungan memainkan rambut panjangnya, seolah-olah sedang menina bobokan Halwa, hingga tidak lama kemudian Halwapun terbuai di alam mimpinya.

"Patahkan saja tulang-tulangnya! Tuan Murat mengizinkan kita melakukan apapun, selama tidak membuatnya mati!"

Seluruh tubuh Halwa bergetar hebat saat mendengar suara salah satu wanita dari sel yang sama dengannya itu berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih, ketika Halwa sedang berjongkok menyikat lantai.

Murat? Edzhar Murat? Pria itu masih belum puas juga menyiksaku? tanya Halwa di dalam hatinya.

Lalu seseorang menendang punggungnya hingga Halwa jatuh telungkup, belum sempat Halwa bangun kaki lainnya kembali menendangnya bertubi-tubi, mereka tidak menghiraukan pekik kesakitan Halwa, seolah-olah hati para wanita itu terbuat dari batu karena begitu hebatnya mereka menyiksa sesama wanita.

"Aarrgghhh!" jerit kesakitan Halwa saat seseorang menendang bahunya sekencang mungkin, hingga Halwa dapat merasakan tulang bahunya yang bergeser.

Tidak berhenti sampai disitu, Halwa kembali menjerit kesakitan ketika seseorang melukai pinggangnya dengan patahan sapu hingga menyebabkan luka sobek sepanjang lima centi meter yang memanjang dari pinggang ke perutnya.

"Argghh! Sakit! Stop! Berhenti! Please!" teriak Halwa, tangan Halwa bergerak seolah-olah ingin menggapai sesuatu untuknya berpegangan untuknya terhindar dari siksaan itu, atau untuk meminta pertolongan seseorang.

Dan Halwa berhasil meraih tangan seseorang, bersamaan dengan suara lembut yang berhasil menelusup masuk ke dalam telinganya disela-sela kebisingan dan tawa jahat narapidana lainnya,

"Aira, bangun Aira. Kamu sudah aman sekarang. Keluarlah dari mimpi buruk itu!" seru suara itu.

Halwa masih terus berontak, dan tangan itu tetap menggenggam tangannya dan tidak mau melepaskannya,

"Tidak! Bukan aku. Aku tidak bersalah! Aku tidak tahu apa-apa!" teriaknya.

"Aira, Aku tahu bukan kamu pelakunya. Sekarang buka matamu, dan kamu akan merasa aman," bisik suara lembut itu.

Kelopak mata Halwa mulai bergerak, dan perlahan matanya terbuka, Victor sedang menunduk di atasnya, dengan kedua tangannya yang masih menggenggam erat tangan Halwa.

"Apa aku mimpi buruk lagi? Apa aku teriak-teriak lagi seperti orang sakit jiwa?" tanyanya lirih.

"Tidak apa-apa, tidak ada yang mendengarmu," jawab Victor menenangkan Halwa.

Teringat dengan sesuatu Halwa langsung menarik lepas tangannya dari genggaman Victor, dan langsung mengangkat kaos hariannya hingga menampakkan kulit putihnya, dan napasnya tercekat saat melihat luka yang memanjang itu, yang dijahit secara asal di klinik penjara itu, seketika air matanya kembali mengalir.

"Aku cacat, luka ini terlihat jelek sekali," isaknya.

Victor menggeser kursi rotan ke samping kursi Halwa, "Jangan pikirkan bekas luka itu. Sekarang pikirkan pengobatanmu saja. Sesampainya di Spanyol nanti, kita mulai dari mengoperasi tulang bahumu yang geser itu, kamu pasti tersiksa karenanya. Semakin lama menunda pengobatan semakin lama juga sembuhnya. Sebagai seorang dokter kamu pasti tahu itu ... "

Halwa menatap penuh mata Victor. "Kamu tahu tulang bahuku geser?" tanyanya.

"Ya, dari caramu meringis setiap kali kamu menggerakkan tangan kirimu. Tapi aku tidak mau mengambil resiko dengan melakukan operasi itu di sini, Edzhar akan segera mengetahui keberadaanmu," jelas Victor.

"Kenapa kamu baik sekali padaku, Vic?" tanya Halwa sambil menghapus air matanya.

"Aku hanya tidak ingin bunga yang paling indah ini menjadi layu. Aku akan terus merawatnya hingga terus mekar selama-lamanya," jawab Victor.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Merenggut Mahkota Lilian

    Victor membaringkan Lilian di atas tempat tidur, dan wanita itu mengalungkan lengannya di lehernya, "Jangan pergi, please ... " pintanya dan Victor tidak kuasa menolaknya. Sama halnya dengan ia tidak dapat menolak lagi keinginan kuatnya untuk menyentuh wanita itu. JIwa primitifnya mendorongnya untuk menanggalkan semua pakaiannya hingga tidak ada yang tersisa satu benangpun, lalu ia melakukan hal yang sama pada Lilian, dan wanita itu membiarkannya saja. Pinggul wanita itu terus di naikkan, seolah meminta Victor untuk menyentuhnya di sana. Dan Lilian mengerang pelan saat Victor memainkan jemarinya di kelembabannya itu, di area paling pribadinya itu. Kedua telapak tangan Lilian yang menyatu di belakang leher Victor, menariknya hingga wajah mereka mendekat, lalu mengangkat kepalanya untuk melumat bibir Victor, dan dengan senang hati VIctor membalas lumatan itu dengan sama liarnya.

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Kena Tanggung

    Hari sudah beranjak malam dan Edzhar masih terus asik di depan laptopnya, ia sedang membahas masalah Victor bersama dengan para sahabatnya, yang kini tidak bisa dihubungi kembali. Sesekali matanya melirik istrinya yang tengah asik membaca buku kedokterannya sambil tengkurap di atas tempat tidur dengan kedua kaki terlipat ke atas. Meski saat ini Halwa tengah cuti, istrinya itu tidak pernah berhenti untuk mempelajarinya. "Bagaimana dengan Lilian? Coba hubungi dia saja mungkin wanita itu tahu dimana Victor berada saat ini!" saran Levin. "Dan membuat Rino yang menyeramkan itu marah? Tidak, terima kasih!" sungut Ethan. "Ya, kita tidak bisa menghubungi lilian begitu saja. Tidak menutup kemungkinan Rino akan marah jika kita mengganggu istrinya. Sebaiknya cari cara lain saja!" timpal Aaron. "Bagaimana dengan Max? Apa asisten pribadinya itu juga tidak bisa dihubungi?" tanya Edzhar.

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Anakku, Bukan Anakmu!

    Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Victor hingga telinganya berdengung dan darah segar keluar dari sudut bibirnya yang sobek. "Rino!" pekikan dari tiga orang berbeda dalam waktu yang bersamaan. "Apa kau dendam padaku karena telah merebut semuanya darimu? Dan sekarang kau membalasnya dengan mencoba merebut istriku?" tanya Rino dengan suara dingin, "Kalau ya kenapa?" tantang Victor, Rino langsung mencengkram leher kemejanya dengan erat, "Rino, tahan dirimu!!" pekik mommy Rycca sebelum beralih menatap LIlian, "Ada apa ini, Lilian?" tanyanya. Lilian melangkah maju, memutuskan untuk membela Victor termasuk juga membela dirinya sendiri. Meski dengan tubuh yang gemetar ketakutan, ia berdiri di samping Victor, berniat memberikan penjelasan pada suaminya yang terlihat semakin menyeramkan itu, "Rino ... Semua karena aromatherapy yang kamu pasang itu. Victor semalam mengan

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Ceraikan Rino, Menikahlah Denganku

    "Dios mío! Anda meniduri kakak ipar anda sendiri!" seru Max dengan kedua netranya yang membola. Victor mengacak rambutnya dengan frustasi, nyaris satu jam pria itu seperti itu, atau jalan hilir-mudik sambil sesekali mengumpat kasar. "Cepat cari keberadaan Rino sekarang juga!" perintahnya sambil melangkah kembali ke arah pintu, "Anda mau kemana, Tuan?" tanya Max, "Bicara empat mata dengan kakak iparku!" jawabnya sambil menutup pintu kamarnya dengan kencang sebelum membuka kamar Rino. Ia tidak menemukan Lilian di sana, yang berarti wanita itu masih berada di dalam kamar mandi. Victor melangkahkan kakinya melewati ruang ganti menuju kamar mandi, masih terdengar bunyi air dari dalamnya dan ia mulai mengetuk pintu itu. Entah sudah berapa kali ia mengetuk tapi tidak juga ada jawaban dari Lilian, hingga kali ini Victor menggedornya dengan cukup keras,

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Rencana Kita Berhasil

    Lilian masih terus terpaku di bawah kucuran air shower yang terus membasahi tubuhnya. Sesekali isakannya kembali kencang saat teringat akan ancaman Rino kalau Lilian tidak mematuhinya, keluarga dan perusahaan papanya yang akan mendapatkan konsekuensinya. Kalau tidak mematuhinya saja hukumannya sudah sedemikian berat, bagaimana jika Rino tahu kalau Lilian telah berhubungan intim dengan Victor? Meski bukan atas kemauan Lilian, tapi apa Rino akan peduli? Pria itu terlalu jahat dan tidak berperasaan. Lilian sangat ketakutan, ia benar-benar takut kalau Rino akan membalasnya dengan sangat kejam. Kalau pada keluarganya sendiri saja Rino bisa sekejam itu, bagaimana dengan Lilian yang tidak ada hubungan darah dengannya? "Kenapa kamu melakukan itu padaku, Vic? Kenapa?!!" isaknya pilu sambil jongkok dan memeluk kedua lututnya, sementara punggungnya bergetar hebat karena tangisannya. Lilian terus

  • Jerat Ambisi Penguasa Kejam   Apa Yang Telah Kita Perbuat?

    Lilian terbangun dengan rasa sakit yang teramat sangat di bagian pribadinya, serta seluruh tubuhnya yang terasa pegal, seolah ia baru saja melakukan pekerjaan fisik yang berat, yang menguras seluruh tenaganya. Lilian merenggangkan tangannya untuk mengurangi rasa pegal itu, dan langsung terhenti saat telapak tangannya menyentuh sesuatu yang keras, punggung seseorang yang membuatnya seketika itu juga terduduk, 'Apakah itu Rino?' tanyanya dalam hati tanpa berani mengalihkan matanya ke sosok pria yang tengah tidur tengkurap itu. Ia mengerang pelan saat melihat dirinya yang tanpa sehelai benangpun, dan segera menutupi bagian depan tubuhnya itu dengan selimut yang menumpuk di kaki mereka. Dari rasa sakit yang Lilian rasakan saat ini, ia sangat yakin kalau ia dan Rino telah melewati malam pertama mereka. Tapi kenapa ia tidak bisa mengingat jelas prosesnya? Seharusnya ia merasa senang seperti layaknya pasangan pengantin baru lainnya, ya kan? Tapi alih-alih senang ia malah meneku

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status