"Kenapa aku harus ke Psikiater?" tanya Halwa keesokan harinya.
Mama merangkul pundak Halwa, "Untuk membantumu supaya lebih cepat pulih dari trauma itu, Sayang. Dan bukan di sini, kamu akan memulai konsultasi saat sudah berada di Spanyol nanti," jawabnya. "Dimana Victor? Aku belum melihatnya pagi ini?" tanya Halwa. "Dia dan Papa sedang mengurus dokumen kepindahan kita. Beruntung kamu menemukan pria sebaik dia Aira," jawab mama sambil merapikan rambut Halwa, "Mau Mama kuncir?" tanyanya dan Halwa menganggukkan kepalanya. Kini ia tidak bisa mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi, bahkan hanya sekedar untuk mengikat rambutnya. Akibat dari tendangan keras di bahunya hingga menyebabkan tulang lengan atas bergeser dari soket bahunya. "Tunggu sebantar, Mama ambil sisir dan ikat rambut dulu," ujar mamanya sambil berdiri, lalu melangkah ke dalam kamar Halwa. Bosan hanya duduk-duduk saja sejak tadi, Halwa melangkahkan kakinya dengan pelan ke halaman rumahnya. Desanya ini berada di bawah gunung Rinjani dengan ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Desa yang terkenal dengan pemandangan alamnya yang indah, berupa pemandangan Gunung Sangkareang dan Gunung Rinjani yang gagah. Halwa memanjakan matanya dengan hamparan sawah yang luas, lalu menghirup udara sejuk itu dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan pelan. Bahkan ketenangan dan kesejukan kampungnya ini, tidak mampu menenangkan hatinya, yang masih saja terus bergejolak dengan berbagai macam pikiran dan perasaan yang campur aduk menjadi satu. "Sepertinya baru kemarin Mama melihatmu bermain di sawah itu dan mengotori badan dan juga bajumu. Kamu tertawa riang saat Papa mencoreng wajahmu dengan tanah," gumam mama. "Kenapa aku bisa sesial ini, Ma?" tanya Halwa dengan suara lirih. Mama mulai menyisiri rambut panjang Halwa, "Semua sudah menjadi suratan takdir dari Tuhan, Sayang. Kita sebagai manusia hanya bisa menjalaninya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Sambil terus berdoa semoga saja ada hikmah dibalik semua kejadian yang menimpamu ini." "Aku merindukan Tita. Aku merindukan kebersamaan kami," desah Halwa pelan. "Semoga Tita tenang di alamnya. Dan semoga dia segera memberikan petunjuk pada kekasih gilanya itu siapa pembunuh sebenarnya." Halwa balik badan dan memeluk mamanya, "Aku mau melakukan itu, Ma. Aku mau terapi ke psikiater manapun untuk menghilangkan semua ingatan burukku itu. Ya mungkin aku tidak akan bisa menghilangkan kenangan buruk itu dari ingatanku untuk selamanya, tapi setidaknya aku mau tegar meski ingatan itu terus datang, Ma. Aku tidak mau terus tersiksa setiap kali mengingatnya." Dengan lembut mama menepuk-nepuk punggung Halwa, "Victor sudah mengurusnya, Sayang. sesampainya kita di Spanyol nanti, kamu bisa langsung memulai konsultasinya." "Iya..." "Kamu mau makan apa? Biar Mama masakkan untukmu," tanya mama sambil menjauhkan sedikit badannya untuk menatap lembut putrinya itu. "Apapun masakan Mama aku menyukai semuanya," jawab Halwa. Biasanya ia akan menjawabnya sambil tersenyum lebar, tapi sejak saat itu, senyum seperti menghilang dari wajahnya. Yang bisa dengan mudah dilakukan wajahnya saat ini hanyalah meringis, atau mengerutkan keningnya. "Ya sudah, kamu mau menemani Mama masak?" Halwa menggelengkan kepalanya, "Aku di sini saja, Ma. Aku mau menikmati pemandangan indah ini, yang mungkin tidak bisa aku dapatkan di Eropa nanti." Mama menggeser bangku rotan ke sebelah Halwa, "Duduklah, jangan terlalu lelah dulu," serunya. Dengan patuh Halwa duduk di kursi itu, dan menyandarkan punggungnya yang rapuh ke sandaran kursi. Usianya belum genap dua puluh lima tahun, tapi tulang belulangnya tidak ada bedanya dengan para manula, semua terasa linu ketika digerakkan, akibat dari siksaan hebat di dalam penjara. "Mama masak dulu ya," ujarnya sambil mencium puncak kepala Halwa, dan Halwa hanya menganggukkan kepalanya. Semilir angin dingin pegunungan memainkan rambut panjangnya, seolah-olah sedang menina bobokan Halwa, hingga tidak lama kemudian Halwapun terbuai di alam mimpinya. "Patahkan saja tulang-tulangnya! Tuan Murat mengizinkan kita melakukan apapun, selama tidak membuatnya mati!" Seluruh tubuh Halwa bergetar hebat saat mendengar suara salah satu wanita dari sel yang sama dengannya itu berbicara dalam bahasa Inggris yang fasih, ketika Halwa sedang berjongkok menyikat lantai. Murat? Edzhar Murat? Pria itu masih belum puas juga menyiksaku? tanya Halwa di dalam hatinya. Lalu seseorang menendang punggungnya hingga Halwa jatuh telungkup, belum sempat Halwa bangun kaki lainnya kembali menendangnya bertubi-tubi, mereka tidak menghiraukan pekik kesakitan Halwa, seolah-olah hati para wanita itu terbuat dari batu karena begitu hebatnya mereka menyiksa sesama wanita. "Aarrgghhh!" jerit kesakitan Halwa saat seseorang menendang bahunya sekencang mungkin, hingga Halwa dapat merasakan tulang bahunya yang bergeser. Tidak berhenti sampai disitu, Halwa kembali menjerit kesakitan ketika seseorang melukai pinggangnya dengan patahan sapu hingga menyebabkan luka sobek sepanjang lima centi meter yang memanjang dari pinggang ke perutnya. "Argghh! Sakit! Stop! Berhenti! Please!" teriak Halwa, tangan Halwa bergerak seolah-olah ingin menggapai sesuatu untuknya berpegangan untuknya terhindar dari siksaan itu, atau untuk meminta pertolongan seseorang. Dan Halwa berhasil meraih tangan seseorang, bersamaan dengan suara lembut yang berhasil menelusup masuk ke dalam telinganya disela-sela kebisingan dan tawa jahat narapidana lainnya, "Aira, bangun Aira. Kamu sudah aman sekarang. Keluarlah dari mimpi buruk itu!" seru suara itu. Halwa masih terus berontak, dan tangan itu tetap menggenggam tangannya dan tidak mau melepaskannya, "Tidak! Bukan aku. Aku tidak bersalah! Aku tidak tahu apa-apa!" teriaknya. "Aira, Aku tahu bukan kamu pelakunya. Sekarang buka matamu, dan kamu akan merasa aman," bisik suara lembut itu. Kelopak mata Halwa mulai bergerak, dan perlahan matanya terbuka, Victor sedang menunduk di atasnya, dengan kedua tangannya yang masih menggenggam erat tangan Halwa. "Apa aku mimpi buruk lagi? Apa aku teriak-teriak lagi seperti orang sakit jiwa?" tanyanya lirih. "Tidak apa-apa, tidak ada yang mendengarmu," jawab Victor menenangkan Halwa. Teringat dengan sesuatu Halwa langsung menarik lepas tangannya dari genggaman Victor, dan langsung mengangkat kaos hariannya hingga menampakkan kulit putihnya, dan napasnya tercekat saat melihat luka yang memanjang itu, yang dijahit secara asal di klinik penjara itu, seketika air matanya kembali mengalir. "Aku cacat, luka ini terlihat jelek sekali," isaknya. Victor menggeser kursi rotan ke samping kursi Halwa, "Jangan pikirkan bekas luka itu. Sekarang pikirkan pengobatanmu saja. Sesampainya di Spanyol nanti, kita mulai dari mengoperasi tulang bahumu yang geser itu, kamu pasti tersiksa karenanya. Semakin lama menunda pengobatan semakin lama juga sembuhnya. Sebagai seorang dokter kamu pasti tahu itu ... " Halwa menatap penuh mata Victor. "Kamu tahu tulang bahuku geser?" tanyanya. "Ya, dari caramu meringis setiap kali kamu menggerakkan tangan kirimu. Tapi aku tidak mau mengambil resiko dengan melakukan operasi itu di sini, Edzhar akan segera mengetahui keberadaanmu," jelas Victor. "Kenapa kamu baik sekali padaku, Vic?" tanya Halwa sambil menghapus air matanya. "Aku hanya tidak ingin bunga yang paling indah ini menjadi layu. Aku akan terus merawatnya hingga terus mekar selama-lamanya," jawab Victor.Pesta pernikahan itu di adakan di sebuah hotel bintang lima milik keluarga Covaz, yang kini berada langsung di bawah pengawasan Victorino yang mengelolanya dengan sangat baik. Tidak seperti pernikahan mereka sebelumnya, kali ini pesta pernikahan mereka di adakan secara besar-besaran, dengan semua media baik cetak, online maupun elektronik diundang untuk meliput pernikahan putra kedua dari salah satu bangsawan tertua di negara itu. Sekaligus memperkenalkan putra kedua yang selama ini disembunyikan identitasnya demi keamanannya itu kepada khalayak ramai. Juga mengumumkan kalau Victor kini akan ikut andil dalam bisnis keluarganya bersama dengan kakaknya, Victorino Duque de Neville. Pesta itu dihadiri berbagai macam kalangan, dari mulai pengusaha besar, artis dan model papan atas, hingga para pejabat tinggi yang tidak mau membuang kesempatan langka mereka untuk bertemu langsung dengan penerus ke
"Apa kamu senang, Sayang?' tanya Victor pada Lilian yang masih terus mengagumi dekorasi rofftop malam itu. "Aku jadi ingin membuat rooftop seperti ini, Vic. Kita bisa berbincang-bincang sambil menatap langit malam penuh bintang!" Lilian terlihat sumringah, dan sudah pasti Victor akan mengabulkan keinginan wanikta pujaan hatinya itu. Ia merapatkan dirinya pada Lilian saat berbisik, "Kita bisa main juga di rooftop itu, ya kan? Di tempat gterbuka seperti itu pasti rasanya akan jauh lebih nikmat lagi, karena adrenalin yang terpacu akan lebih besar." Lilian menjauhkan dirinya untuk menatap galak Victor, atau awalnya ia ingin menegur suaminya itu. Tapi alih-alih menegur Lilian malah terkikik geli karenanya, "Vic, kamu kenapa jadi seperti ini sih?" tanyanya. "Kamu tidak suka? Kamu lebih suka aku yang dulu? Aku yang mengacuhkan dan mengabaikanmu?"
Kalau pemandangan pagi hari yang disuguhkan dari rooftop hotel mereka adalah beraneka warna balon udara yang menghiasi langit, malam harinya rooftop itu menyuguhkan landscape Cappadocia yang diterangi dengan bermacam cahaya lampu dari rumah-rumah penduduk, hotel dan fasilitas umum lainnya. Mungkin jika di tempat lainnya cahaya lampu akan terlihat biasa, tapi tidak di Cappadocia yang terlihat seperti sebuah batu yang menyala karena cahaya lampu yang terpantul pada dinding-dinding yang terbuat dari batu itu. Dan entah karena setiap malam desain rooftop selalu berubah atau hanya khusus untuk malam ini saja, karena rooftop itu kini di desain dengan begitu indahnya layaknya desain sebuah pesta pernikahan, dengan banyaknya buket bunga dan taburan kelopak mawar merah di lantainya. "Apa kita salah masuk, Vic? Mungkinkah seseorang akan mengadakan pesta di sini?" tanya Lilian yang masih terus bergandengan tangan den
Meski balon udara yang mereka naiki berhenti lumayan jauh dari titik perhentian yang sang pilot rencanakan karena arah angin berubah, mereka tetap besyukur karena balon yang mereka naiki itu mendarat dengan aman. Karena menurut yang pernah Victor dengar ada balon udara yang salah landing di perkebunan seseorang hingga harus menabrak beberapa pohon, entah karena sang pilot yang kurang cakap dalam mengendalikannya, atau arah angin yang membawa balon udara itu ke arah pohon. Meski keranjang balon udara itu terlihat kokoh dan tidak akan menyebabkan masalah serius jika menabrak pohon, tapi Victor tetap waspada, dan yang pasti, Victor tidak pernah sekalipun melepas Lilian sampai balon udara yang mereka naiki itu berhasil mendarat dengan sempurna, meski beberapa kali istrinya itu berontak ingin melepaskan diri dari pelukannya. "Kamu terlalu protektif!" sungut Lilian smabil memberengut kesal. "Itu karena aku sangat mengkhawatirkanm
Meski lokasinya lumayan jauh dari Istanbul, tapi landscape yang dipenuhi dengan perbukitan uniik di sepanjang mata memandang, membuat Halwa dan Lilian tak henti-hentinya berdecak kagum. Awalnya suami-suami mereka ingin mereka naik balon udara yang berbeda, tapi Halwa dan Lilian menolaknya. Mereka ingin menikmati keeksotisan Cappadocia itu bersama-sama, membuat Edzhar dan Victor memberengut kesal karenanya. Bagaimanapun juga, jika mereka naik di balon yang sama, tidak akan ada privasi untuk mereka. Sementara Edzhar dan Victor berniat mencium istri mereka saat balon udara itu telah mencapai ketinggian. "Aku tahu yang apa yang menyebabkan kerutan dalam di keningmu itu," bisik Victor sambil melihat Lilian dan Halwa yang masih asik menikmati pucuk-pucuk pilar batu raksasa yang terlihat mempesona. JIka dilihat dari ketinggian ini, bentuknya menyerupai kerucut, persis sekali dengan rum
"Selain pintar menghindar, sekarang kamu sudah mulai pintar mengalihkan pembicaraan juga yaa ... " kekeh Edzhar saat melepaskan c1uman mereka. Halwa membuka satu-persatu kancing kemeja Edzhar, "Aku belajar banyak darimu, Ed," akunya sambil menjatuhkan kemeja suaminya itu ke lantai. "Aku masih merindukanmu ... Dan aku hanya mau kita berdua saja sekarang di kamar ini, well mungkin dengan calon anak kita juga, karena kita belum bisa membujuknhya untuk bermain di luar," lanjutnya. Halwa memekik pelan saat tiba-tiba Edzhar membopongnya, "Aku mau mulai permainan itu sekarang!" serunya. "Iya, tapi turunkan aku dulu, aku bisa jalan sendiri, Ed." "Kamu harus menghemat tenagamu untuk berjaga-jaga kalau rasa mual itu kembali lagi. Jadi biar aku isi lagi tenagamu itu dulu!" elak Edzhar. "Ak