Halwa terbangun karena sentuhan lembut di pipinya. Perlahan ia membuka kedua matanya, dan langsung berhadapan dengan wajah sendu Edzhar. Halwa menahan dirinya untuk tidak memekik senang saat mendapati pria itu telah siuman, ditambah lagi ada raut kekhawatiran di wajahnya itu.
Rupanya ia tertidur di samping pria itu, dan untungnya anne Neya telah membawa Vanessa ke hotel tepat mereka bermalam. "Günaydın ... " sapa Halwa dengan lembut. "Apa kita telah berada di surga? Apa paru-paruku tidak bisa menyelamatkanmu hingga kamu menyusulku? Bagaimana dengan anak-anak kita?" tanya Edzhar. Pertama kali Edzhar membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah wajah wanita yang paling ia cintai ini, hingga ia harus menyentuh wajah Halwa untuk meyakinkan dirinya kalau saat ini wanita itu benar nyata, tidak seperti sebelumnya yang hanya berupa bayangannya saja. "Kita masih berada di Milan, Ed.Dua bulan kemudian ... “Apakah kamu datang ke pesta pernikahan itu?” tanya Victor kepada Lilian. “Pernikahan Halwa dan Edzhar maksudmu?” tanya balik Lilian. Victor tidak menjawab, dia kembali meneguk gelas brandy berikutnya. “Cukup! Kamu tidak boleh meminumnya lagi!” cegah Lilian, tapi Victor menepis tangannya, dan dengan cepat mengisi kembali gelas kosongnya. Pria itu Tengah patah hati, lebih tepatnya mengorbankan kebahagiaannya sendiri demi bisa memberikan kebahagiaan untuk wanita yang sangat pria itu cintai, Halwa. “Apa aku bodoh? Apa seharusnya aku tidak melepaskannya? Bagaimana kalau wanita itu kembali tersakiti lagi?” “Vic … Saat kamu bertekad untuk membatalkan pertunanganmu dengannya demi kebahagiaannya, seharusnya kamu tidak perlu berpaling kebelakang lagi. Teruslah fokus kedepan, yakinkan dirimu sendiri kalau keputusanmu itu adalah yang terbaik untuk kalian. Dan hanya
Halwa terbangun karena sentuhan lembut di pipinya. Perlahan ia membuka kedua matanya, dan langsung berhadapan dengan wajah sendu Edzhar. Halwa menahan dirinya untuk tidak memekik senang saat mendapati pria itu telah siuman, ditambah lagi ada raut kekhawatiran di wajahnya itu. Rupanya ia tertidur di samping pria itu, dan untungnya anne Neya telah membawa Vanessa ke hotel tepat mereka bermalam. "Günaydın ... " sapa Halwa dengan lembut. "Apa kita telah berada di surga? Apa paru-paruku tidak bisa menyelamatkanmu hingga kamu menyusulku? Bagaimana dengan anak-anak kita?" tanya Edzhar. Pertama kali Edzhar membuka matanya, yang pertama kali ia lihat adalah wajah wanita yang paling ia cintai ini, hingga ia harus menyentuh wajah Halwa untuk meyakinkan dirinya kalau saat ini wanita itu benar nyata, tidak seperti sebelumnya yang hanya berupa bayangannya saja. "Kita masih berada di Milan, Ed.
Sambil memangku Vanessa yang masih tidur, Halwa menatap penuh Edzhar yang belum juga bangun. Sesekali terdengar gumaman pelannya yang tidak terdengar jelas apa yang tengah pria itu gumamkan. Dan saat Halwa meraih tangannya, ia menahan pekikannya karena merasakan lengan pria itu yang panas. Setelah menekan tombol untuk memanggil dokter Halwa merebahkan Vanessa di solfa bed yang tersedia di ruangan itu, sebelum kembali lagi ke tempat tidur Edzhar. "Badanmu panas sekali, Ed!" serunya saat menempelkan punggung tangannya pada kening Edzhar. Bahkan wajah pria itu pun mulai memerah mungkin karena saking panasnya suhu badannya saat ini. Ia harus melakukan sesuatu untuk menurunkan demamnya Edzhar, sebelum pria itu kejang karena panas tingginya, sambil menunggu dokter datang. Halwa bergegas ke toilet dan menemukan handuk kecil, ia membasahinya dengan air dingin sebelum kembali ke Edzhar untuk mengompres keningnya, "Ed
"Anne!" pekik Vanessa sambil menghambur ke pelukan Halwa saat melihat annenya itu melangkah ke arahnya dan anne Neya. Halwa baru lepas infusnya, dan dokter mengizinkannya untuk ke kamar Edzhar, meski tidak boleh berlama-lama di sana mengingat kondisi Edzhar, juga dirinya yang masih harus banyak istirahat. "Vanessa, my princess ... Apa kamu baik-baik saja?" tanya Halwa dengan penuh kekhawatiran, sebelum menggendong putrinya itu yang langsung menangis di bahunya, dan Halwa memeluknya penuh kasih. Hampir satu minggu ini ia tidak melihat Vanessa, sejak putrinya itu meninggalkan Palazzo. Yang ternyata itu semua adalah rencana Edzhar dan juga Tita untuk menyelamatkan Vanessa dan Maman Susan, yang sekarang masih berada di bawah pengawasan interpol karena hubungannya dengan Marcus. Maman Susan akan menjadi saksi kunci dari kejahatan pria itu, dan kali ini hukuman mati untuknya tidak akan terhindari lagi, ka
"Bertahanlah, Ed. Aku sudah melepaskan Aira untukmu, dan Aira pun telah bersedia memberikan kesempatan kedua untukmu. Aku tidak akan menjadi penghalang bagi cinta kalian berdua lagi." Antara sadar atau tidak Edzhar mendengar kalimat Victor itu. "Ya, aku memang akan kembali padanya, melalui paru-paruku ini yang akan selalu berada di dalam tubuhnya untuk selamanya," balas Edzhar dengan lemah. Tangannya yang selemah suaranya itu terulur ke arah Victor yang langsung meraih tangannya itu sebelum duduk di sampingnya. Suara Edzhar berupa bisikan saat pria itu bertanya, "Kenapa aku masih hidup? Kenapa operasi itu belum dimulai juga? Kenapa lama sekali? Bagaimana kalau Halwa tidak kuat lagi?" "Tidak akan ada operasi untuknya dan paru-parumu akan tetap berada di tempatnya, karena ... " "Jangan bodoh kamu, Vic. Apa kamu mau bermain-main dengan nyawa Halwa?" potong
'Jadi ... Biarkan aku memberikanmu kehidupan yang baru.' Dengan panik, Halwa membalik surat yang terhenti itu, ia masih berharap masih banyak perkataan Edzhar yang tertulis di sana, tapi ternyata sudah berakhir, "Kenapa? Kenapa tidak ada lagi?!" tanyanya setengah histeris. Victor memegang kedua bahu Halwa yang bergetar karena isakannya, "Tenangkan dirimu, Ay. Ed tadi keburu pingsan, jadi dia belum menyelesaikan tulisannya," jelasnya. "Bagaimana keadaannya sekarang, Vic? Apa dia sudah membaik?" tanya Halwa di sela isakannya. "Ada infeksi di salah satu lukanya, tapi dokter sudah menanganinya. Sekarang tinggal tunggu dia siuman saja," jawab Victor dengan lembut. Ia meraih tangan Halwa sambil terus menatap lekat-lekat kedua matanya, "Sekarang kamu sudah tahu kan, betapa Ed sudah banyak berubah? Dia sangat mencintaimu, Ay. Cintanya jauh lebih besar dari cintaku padamu hingga dia rela mendonorkan par
"Apa kamu yakin mau membacanya, Ay? Kamu baru saja siuman ... " tanya Victor dengan nada khawatir. Halwa terlihat masih syok, sejak wanita itu sadar dan terus meneriakkan nama Edzhar, membuat Victor ragu-ragu untuk memperlihatkan surat dari sahabatnya itu. Tapi mau tidak mau ia harus memperlihatkan surat itu pada Halwa, agar masalah ini tidak berlarut-larut dan wanita itu segera menentukan pilihannya. "Berikan saja padaku, Vic ... Aku ingin melihatnya," jawab Halwa meski suaranya sudah mulai terdengar parau. "Dengan satu syarat, kamu akan berhenti baca kalau kamu mulai merasa tidak kuat untuk melanjutkannya," pinta Victor. Setelah Halwa mengangguk setuju, ia meletakkan surat yang ditulis Edzhar itu ke tangan Halwa, yang langsung membuka dan membacanya. 'Wa ...' 'Saat surat ini telah berada di tanganmu dan kamu tengah membacanya, berarti paru-paruku cocok untuk di donorkan padamu, bukan hanya setengahnya tapi seluruhnya, itulah doa terakhirku untukmu, Wa. Semoga paru-paru
"Aku lebih memilih menghembuskan napas terakhirku demi bisa memberikan napas baru untuk wanita yang aku cintai, Anne dari anak-anakku. Aku mohon, cintailah mereka dengan segenap hatimu, Vic. Aku menitipkan mereka padamu ... " "Apa maksud perkataanmu itu, Ed?" tanya Anne Neya. Setelah menutup kembali pintu kamar Rawat Edzhar, ia berderap maju dengan Vanessa yang berada di gendongannya, "Kenapa kamu berkata seperti itu?" tanyanya lagi. Hati Edzhar terasa hancur saat melihat wanita yang telah membesarkannya itu dengan penjuh kasih sayang. Ia belum bisa membalas semua kebaikan dan kasih sayang Anne Neya padanya itu, tapi sudah akan meninggalkan Annenya untuk selamanya. Dan saat matanya beralih pada wajah putrinya yang tengah berbinar ceria itu tiap kali melihat Edzhar, membuat dadanya terasa sesak. "Baba ... " Suara kecil Vanessa terdengar manja, dan anak itu me
"Akhirnya kau sadar juga, Ed!" seru Victor, tidak dapat menyembunyikan kesedihan di dalam suaranya itu. "Di mana aku?" tanya Edzhar sambil melihat ke sekelilingnya. Edzhar baru akan mengangkat badannya ketika merasakan sakit yang menusuk di bagian dada kanannya, juga bagian pinggangnya meski bagian dadanya terasa jauh lebih sakit, dan ia menekan bagian yang sakit itu. "Rumah sakit, kau beruntung dari sekian banyak peluru yang bersarang di tubuhmu itu, tidak ada satu pun yang mengenai organ vitalmu," jawab Victor. Peluru? Teringat pada peristiwa penembakan di Pallazo Marcus, dengan panik Edzhar berusaha bangun sambil menahan rasa sakit yang kian menusuk itu, hanya untuk mendapati tubuhnya yang kembali terbaring di atas tempat tidur itu lagi dan lagi. Melihat tekad sahabatnya yang ingin sekali bangun itu membuat Victor kembali bersuara, "Jangan terlalu memaksakan dirimu, Ed. Kau masih terlalu lemah karena telah kehilangan begitu banyak darah. Beruntung kami dapat membawamu