Rasa kecewa, sedih, hati seakan tersayat dan terluka, atau merasa kesal, marah, dan benci terhadap seseorang karena perbuatannya yang jahat pada kita, itu adalah hal yang manusiawi, sebagai respon dari seseorang yang tidak ingin disakiti.
Kita akan memandang diri kita sebagai objek penderita saat seseorang berbuat buruk pada kita. Tapi jangan sampai kita menjadi subjek pelaku kejahatan bagi psikis kita sendiri.Buang semua pikiran negatif kita. Karena pikiran negatif bisa menjadi belati yang akan melukai kita, atau bara api yang akan membakar hati kita sendiri.Percayalah, terkadang pikiran kita sendiri yang bisa meyakiti diri kita, lebih dari mereka yang telah menyakiti kita itu. Pikiran negatif menjadi racun bagi psikis kita sendiri. Yang alih-alih menyembuhkan hati, tapi malah semakin membakar dan melukai hati kita.Jangan biarkan sakit hati, amarah, benci, dendam dan sebagainya merebut kedamaian di dalam hati kita. Kedamaian yang bisa kamu dHari ini Halwa memaksa Victor untuk mengantarnya ke makam Vanessa. Awalnya Victor menolak, karena takut Halwa belum siap dan kembali histeris lagi. Tapi Halwa tetap bersikeras ingin melihat makam putrinya itu sekarang juga.Halwa menatap sendu gundukan tanah yang masih terlihat sedikit basah, tempat bayi perempuannya dimakamkan. Bayi yang hanya dapat ia lihat sebentar sebelum ia tidak sadarkan diri, karena kehilangan bayinya itu."Dia cantik sekali, Vic," desahnya lirih, suaranya parau karena menahan air matanya."Ya, dia bayi perempuan paling cantik yang pernah aku lihat," timpal Victor. Mereka sama-sama melihat batu nisan bertuliskan nama Vanessa itu, Vanessa Carlos Omero. Victor memberikan nama keluarganya untuk nama belakang putrinya itu, yang tentu saja atas izin Halwa.Halwa menghapus air matanya, lalu jongkok untuk menyusuri jemarinya di batu nisan itu,"Maafkan Anne yang tidak bisa melindungimu. Seandainya bisa memilih,
Edzhar membalas pelukan Tita, dan ia sudah tidak dapat lagi membendung tangisannya. Ia menumpahkan semua kesedihannya di bahu wanita itu. "Berdoalah, Ta. Semoga Tuhan masih mau berbaik hati pada kita ... " isaknya lirih. "Vanessa kenapa?" tanya Tita sambil memukul punggung Edzhar. "Vanes tidak bisa napas tanpa bantuan ventilator, Ta. Entah sampai kapan dia akan bergantung pada alat itu," jawab Edzhar. Ia melepaskan pelukannya, lalu berjalan ke arah kaca untuk melihat Vanessa, dimana para perawat tengah melakukan prosedur intubasi pada putrinya itu untuk pemasangan ventilator. Anak sekecil itu sudah menjalani perawatan yang cukup berat, yang bahkan orang dewasapun belum tentu dapat melewatinya. Edzhar benar-benar pesimis dengan keselamatan Vanessa, ia sudah pasrah pada apapun kehendak Tuhan pada putrinya itu. 'Ya Tuhan ... Jika Engkau mempercayakan Vanessa pa
"Percaya terlebih dahulu dengan pasanganmu, bukti menyusul!" seru Anne sambil berdiri dan melangkah menjauhi Edzhar. "Mau ke mana?" "Ke rumahmu, Anne mau istirahat!" "Please ... Temani aku sebentar Anne," pinta Edzhar dengan wajah memelas. Sebesar apapun rasa kesal Anne Neya pada putranya itu, hatinya tetap saja terenyuh saat melihat putranya memelas seperti itu. Tidak terlihat lagi Edzhar yang selalu tampil dengan penuh percaya diri, yang selalu terlihat cool dan berwibawa dimanapun ia berada. Setelah menghela napas panjang. Anne Neya kembali duduk di samping Edzhar. "Aku bingung dengan diriku sendiri, Anne. Tidak pernah sebelumnya aku merasakan berbagai macam perasaan yang membaur menjadi satu terhadap seseorang, dalam hal ini Halwa. Aku tidak pernah merasakan p;erasaan sekuat ini," desahnya lirih. Edzhar menunduk, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, helaan nafasny
"Edson kenapa, Wa? Dari tadi Mama dengar tidak berhenti nangis," tanya Mama sambil melangkah masuk ke dalam kamar Halwa. "Tidak tahu, Ma. Edson tidak mau nyusu juga, aku jadi bingung," jawab Halwa. Wajahnya yang memucat tidak mampu menutupi raut kekhawatirannya. Ia terus menimang-nimang Edson, berusaha menenangkan putranya itu. Tapi Edson tetap tidak mau berhenti nangis, mau bagaimanapun posisi Halwa. "Coba sini Mama gendong." Halwa segera memindahkan Edson ke lengan mamanya, yang ikut mencoba menenangkan cucunya itu sambil menyenandungkan bermacam-macam lagu, dan tetap saja Edson tidak mau berhenti menangis. "Apa kita bawa ke dokter saja ya Ma?" tanya Halwa dengan suara bergetar. "Tidak perlu, Wa. Paling karena kolik," jawab mamanya. Ah ya kolik! Kenapa Halwa tidak kepikiran ke arah sana. Padahal ciri-cirinya sudah mengarah ke sana, Edson menangis dengan kedua tangannya yang men
Keesokan harinya ..."Kenapa kamu tidak memakai baby sitter untuk membantumu mengurus Edson?" tanya Azalea.Ia dan Halwa tengah menyusuri Playa De La Fontainilla, pantai utama yang paling populer di Marbella, karena membentang di sepanjang sisi selatan kota. Tempat wisata favorit turis mancanegara dengan berbagai macam kegiatan yang patut dicoba, seperti berjemur baik di sun lounger maupun di atas pasir langsung dengan alas seadanya, menyewa shower, beragam olahraga air dan kegiatan lainnya. Di sekitar pantai terdapat bar, kafe, restoran yang menarik dan menyuguhkan berbagai makanan lezat, bahkan terdapat hidangan makanan India. Tapi seafood adalah makanan terlezat di sana, yang menjadi kuliner favorit para pelancong.Azalea dan Halwa menyusuri tepian pantai itu dengan kaki kaki tel4njang mereka, membiarkan ombak yang mencapai bibir pantai membasahi kaki mereka. Sengaja Halwa memilih pantai ini karena tidak terlalu jauh dari Villa Victor.
"Bisa kita bicara sebentar, Vic?" tanya Halwa selesainya mereka makan malam bersama, ia harus membicarakan masalah ini sebelum Victor kembali ke Jakarta besok.Hanya tinggal mereka berdua saja di meja makan itu, Halwa sengaja berlama-lama menunggu yang lainnya masuk ke kamar mereka masing-masing, sementara Victor memang memiliki kebiasaan berlama-lama menikmati kopinya setelah makan malam."Mau bicara di sini atau di ruang kerjaku?" tanya Victor, pria itu tersenyum lembut padanya."Umm, bagaimana kalau di luar saja?""Rooftop kalau begitu!" seru Victor sambil mengulurkan lengannya untuk Halwa rangkul."Besok kamu jadi pulang ke Jakarta, Vic?" tanya Halwa sesampainya mereka di rooftop.Matanya dimanjakan dengan aneka lampu yang menerangi kota itu, juga lampu dari kapal pesiar yang mengapung di tengah lautan. Malam itu terlihat sempurna dengan taburan bintang-bintang yang menghiasi langit malam, ditambah bulan sabit yang bersinar terang seolah tengah mengawasi mereka berdua."Iya, kamu
Hari sudah menjelang malam saat Edzhar masih tetap duduk di samping box bayi Vanessa. Setelah satu minggu lebih di rawat di ruang NICU, putrinya itu sudah berhasil melewati masa kritisnya, dan kini sudah pindah ke ruang rawat inap VVIP.Ia masih enggan pulang, selama hampir dua minggu ini ia selalu bermalam di rumah sakit, tidak mau ketinggalan perkembangan putrinya itu sedikitpun. Edzhar mulai bisa bernapas lega saat Vanessa sudah bisa bernapas sendiri tanpa bantuan ventilator lagi, dan Vanessa sudah boleh menyusu lewat botol susunya lagi, yang kini sedang Edzhar pegangi saat putrinya itu menyedotnya dengan penuh semangat setelah satu minggu puasa."Minumlah, My Princess. Supaya kamu lekas pulih," gumamnya sambil tersenyum lembut.Setelah susu itu habis, dengan pelan ia mengangkat putrinya dan meletakkannya di bahunya sambil menepuk-nepuk punggungnya untuk membuatnya sendawa."Biar saya saja, Tuan!" seru suster Mia, tapi Edzhar menolaknya. Ia belum mau menyerahkan putrinya itu pada
Satu tahun kemudian ...Pada akhirnya, Halwa tidak jadi ikut Azalea ke Paris. Ia lebih memilih tinggal di Spanyol, tepatnya di Barcelona, di salah satu apartment yang terletak tidak jauh dari kampusnya. Banyak mahasiswa asal Indonesia yang menempati unit apartment itu, yang sering terlihat membaca buku atau sedang fokus pada layar laptopnya di taman apartment, yang menjadi satu dengan taman bermain anak, membuat Halwa seolah tengah berada di negaranya sendiri.Dan pagi itu Halwa tengah mengajak jalan Edson yang baru mulai belajar melangkah, saat Dian, seorang mahasiswi yang akan berangkat ke kampus menegurnya,"Kak Aira tidak ke kampus hari ini?" tanyanya lalu jongkok untuk mencubit gemas pipi Edson."Nanti siangan, Dian. Tumben kamu ke kampus sendiri, di mana Susan?""Tidak ada kelas dia, jadi masih tidur. Aku berangkat dulu ya!" Dian mendaratkan kecupan ringannya di pipi Edson sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
"Bisa kita bicara di kamarmu, Neya?" tanya mommy Rycca.Anne Neya melirik sekilas Edzhar yang masih termenung di balkon sambil melihat icon Paris itu, sebelum akhirnya mengangguk."Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya setelah menutup pintu kamarnya."Aku yang telah membocorkan pertunangan Halwa denganputraku pada Edzhar," aku mommy Rycca sambil duduk salah satu sofa santai yang berada di dalam kamar itu.Sambil mengerutkan keningnya, anne Neya bergegas menghampiri dan duduk di sofa sebelahnya,"Jadi kamu yang mengirim pesan itu? Kenapa?" tanyanya lagi.Mommy Rycca mengurut keningnya sambil menyandarkan punggungnya di sofa, ia pun masih tidak habis pikir dengan tindakan impulsifnya itu,"Entahlah ... " hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya."Jangan bilang kamu sebenarnya tidak merestui hubungan putramu dengan Halwa?" tebak anne Neya sambil menyipitkan kedua matanya.Melihat sahabatnya yang tida
Kontak skin to skin, dan dekapan lembut Halwa itu memiliki efek psikologis menenangkan, dan memberikan rasa nyaman pada Vanessa, hingga putrinya itu pun tidur dengan sangat nyenyaknya.Ibu dan anak itu sama-sama tertidur lelap hingga Halwa terbangun karena sentuhan tangan lembut seseorang di pipinya,"Anne ... " sapa Vanessa saat Halwa membuka kedua matanya.Selama ini Vanessa hanya bisa melihat foto-foto Halwa yang terpajang di rumahnya saja. Dan saat bisa melihat Annenya itu secara langsung, membuat anak itu terlihat ragu-ragu, antara Halwa nyata ada atau hanya ia bermimpi seperti biasanya saja.Kedua bola matanya seketika berkaca-kaca saat melihat senyum hangat Halwa,"Hai, cantik ... " sapa Halwa dengan suara parau, dan seketika itu juga tangis Vanessa pecah,"Anne ... Anne ... " isaknya sambil memeluk erat Halwa, seolah-olah takut kalau ia melepasnya Halwa akan kembali menghilang."Iya, Sayang. Ini Anne ... " ujar
Edzhar menahan pintu kamar tempat Vanessa tertidur, dengan plester kompres demam yang menempel pada keningnya. Dengan langkah pelan dan kedua mata yang sudah dibanjiri air matanya itu, Halwa mendekati putrinya yang entah kenapa terlihat rapuh itu,"Vanessa ... " gumamnya lirih.Halwa nangis sesengukan sambil berlutut di samping tempat tidur Vanessa, tangannya yang gemetar meraih tangan mungil putrinya itu, yang terlihat jauh lebih kecil dari tangan putranya, Edson."Vanessa, putriku ... " desahnya sambil menciumi punggung tangan putrinya itu yang masih terasa hangat.Ia menempelkannya di pipinya, merasakan hawa panas yang mengalir dari telapak tangan Vanessa ke pipinya. Sementara tangan lainnya membelai lembut rambut putrinya itu.Tadi di sepanjang jalan Halwa sudah menyiapkan dirinya untuk tidak nangis, untuk terus terlihat kuat saat bertemu dengan putrinya nanti. Karena seorang anak bisa merasakan juga kesedihan ibunya, terutama anak ba
"Membicarakan apa? Menjelaskan apa?" tanya Halwa bingung."Vanessamu dan Edzhar masih hidup, Ay ... "Halwa mengerutkan keningny, ia merasa sangat bingung, luar biasa bingung. Ia menatap penuh mata tunangannya itu,"Vic, jangan becanda ini tidak lucu!" keluhnya.Meski bibirnya mengeluarkan keluhan itu, jantungnya mulai berdebar dengan sangat cepat selama ia menunggu balasan dari tunangannya itu."Apa aku terlihat tengah becanda, Ay? Apa aku pernah becanda jika menyangkut orang yang aku kasihi? Yang kamu sayangi?" tanya Victor dengan nada lembut, tidak sedikitpun ia marah dengan kecurigaan Halwa padanya.Halwa menggelengkan kepalanya, ia munduru beberapa langkah ke belakangnya,"Itu tidak mungkin ... Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri vanessaku itu sudah tidak bernapas, Vic!" sangkalnya, ia menangkup mulutnya dengan kedua mata yang membola,"Itu tidak mungkin ... " lanjutnya, air mata mulai membasahi kedua
"Poppa ... Aku punya dedek!" pekiknya dengan riang dan Victor mengangguk, ia pun menghapus air mata di sudut matanya. Ia dan juga sahabatnya yang lain, sama terharunya saat melihat pertemuan ayah dan anak itu yang mengharu biru. Edson kembali ,mengalihkan perhatiannya ke Edzhar, "Jadi kapan aku bisa ketemu sama dedek Vanessa?" tanyanya dengan nada tidak sabar. "Secepatnya ... " jawab Edzhar. Ia tidak bisa menjanjikan kapannya, karena ia juga belum tahu Halwa bersedia bertemu dengannya atau tidak. Tapi seandainya pun Halwa tidak mau bertemu dengannya, ia akan tetap mempertemukan Edson dengan saudarinya, meski putranya itu tidak mengetahui kalau Vanessa adalah adik kandungnya. Edzhar mengangkat dan menggendong Edson, lalu beralih menatap Victor, "Apa Halwa bersedia bicara denganku?" tanyanya. "Satu-satu, Ed. Membawa Edson padamu saja sudah membuatku d
Edson baru akan menghampiri Victor ketika Halwa menggendongnya, dan tanpa repot basa-basi lagi, ia langsung membawa putranya itu kembali masuk ke dalam Villa. "Aku akan bicara dengan Aira sebentar!" seru Victor lalu berdiri dan segera menyusul tunangannya itu. "Ay, tunggu Ay!" Halwa menghentikan langkahnya, ia memberikan tatapan dongkolnya pada Victor, "Kenapa pria itu masih berada di sini? Kenapa kamu bersikap baik padanya?" cecarnya. "Kalian di sini rupanya? Tamu-tamu sudah mencari kalian, ayo ke belakang lagi!" seru mama sambil menarik lengan Halwa. "Poppa ... " rengek Edson mengangkat kedua tangannya minta digendong Victor. "Berikan Edson padaku, kamu temani tamu-tamu saja terlebih dahulu yaa," bujuk Victor. "Sebentar, Ma. Ada yang ingin aku bicarakan pada Victor dulu," ujar Halwa sambil melepaskan lengannya dari genggaman mamanya itu. "Tapi tamu-tamu ... "
"Jadi insiden kapal pesiar itu sengaja direncanakan Tita untuk menjebak Aira?" tanya Victor setelah Edzhar selesai menceritakan semuanya.Tragedi itulah awal dari penderitaan Halwa. Ia lolos dari perangkap jahat Tita, tapi malah jatuh ke dalam jerat Edzhar. Victor yakin betul, saat mengetahui semua kebenaran itu, pasti Edzhar tersiksa oleh rasa bersalahnya.Bagaimana tidak? pria itu dengan kejam telah melakukan hal buruk pada Halwa, membuat Halwa tersiksa lahir dan batin, menjadikan dua bulan hidup wanita itu laksana berada di dalam neraka."Ya ... Kalian pasti menertawakan kebodohanku, ya kan? Tertawa dan hina saja aku, kalian tidak salah, aku memang terlalu mudah dibodohi wanita itu," desah Edzhar sambil menatap sendu satu-persatu sahabatnya itu."Tidak ada satupun dari kami yang akan menertawakanmu, Ed. Di banding orang lain, kami yang paling tahu betapa pandai dan cakapnya kau dalam hal apapun, ya kecuali dalam hal asmara. Kau pintar dengan se
"Halwa ... " panggil seseorang dari arah belakangnya, membuat langkah Halwa terhenti.Aroma yang pernah sangat Halwa kenali dulu menyeruak masuk memenuhi indra penciumannya, membuat Halwa seolah-olah Tersihir hingga punggungnya seketika itu juga membeku."Aku sangat merindukanmu," ujar Edzhar setelah sampai di samping Halwa."Edzhar ... " desah Halwa. Ia menatap penuh wajah yang tidak pernah ia lihat lagi selama tiga tahun ini, lalu hatinya kembali merasa sakit, hingga Halwa bergegas meninggalkannya.Halwa berpikir setelah bertahun-tahun terlewati, ia akan bisa menatap Edzhar tanpa merasakan kesakitannya yang dulu, dan menganggap pria itu layaknya sahabat Victor yang lainnya.Tapi ternyata ia salah ... Cukup melihat wajah itu satu kali, dan luka di hatinya langsung kembali terbuka lebar. Pria itu adalah sumber dari segala kesakitannya."Halwa tunggu!" cegah Edzhar sambil menahan lengannya."Lepas, Ed!" teriak Halwa samb
Pagi itu seperti biasa, selesai sarapan pagi Edzhar mengajak Vanessa main di halaman belakang. Membiarkan putrinya itu berlarian kesana-kemari mengejar kupu-kupu, sambil terus mengawasinya. Tidak lama kemudia terdengar notif pesan singkat di ponselnya, kedua matanya membulat saat membaca pesan singkat itu. 'Besok pagi Halwa dan Victor akan bertunangan di Paris. Tepatnya di X Villa!' Edzhar segera menghubungi nomor asing itu, tapi tidak tersambung, sepertinya siapapun yang memberi informasi ini menggunakan nomor sekali pakai untuk menghubunginya. "Yas!" teriak Edzhar, lalu menatap suster Mia, "Kamu, jaga Vanessa sebentar!" serunya dan suster Mia mengangguk. "Ya, Tuan?" "Majukan jadwal ke Parisnya hari ini! Halwa dan Victor akan bertunangan besok!" perintahnya. "Bertunangan? Anda kata siapa, Tuan?" tanya Yas. Alih-alih menjawab, Yas malah menyerahkan p