Share

Bab 6

Author: Safiiaa
last update Huling Na-update: 2023-09-30 22:31:50

"Dek, jangan begini, kita bisa bicara baik-baik dulu," teriak Mas Rasyid dari luar ruangan. Ia terus saja mengetuk pintu dengan kerasnya. Sesekali tangannya menarik hendel pintu yang sudah kukunci dari dalam.

Percuma saja berteriak, aku sudah tak ingin lagi bicara soal ini. Sakit hatiku tak akan bisa sembuh hanya dengan mendengar kalimat permintaan maafnya.

Beribu kali, bahkan berjuta kali kata maaf terlontar dari bibirnya, tak akan membuat semuanya kembali seperti semula.

Pernah saat itu, ada seorang teman dari masa sekolah dulu datang untuk mengantarkan undangan reunian akbar. Ia memintaku untuk turut mengisi acara karena aku termasuk siswa aktif semasa sekolah dulu.

Namun aku tak berani asal mengiyakan. Semuanya tergantung Mas Rasyid sebagai suami. Sebab, ketika aku setuju untuk memenuhi permintaannya, otomatis aku akan sibuk untuk berlatih juga menyiapkan segala keperluan acara.

"Tidak, Dek. Mas tidak kasih izin," ujar Mas Rasyid keras saat aku mencoba meminta izin. Sebagai seorang istri yang baik, aku tidak akan asal mengiyakan sebuah permintaan tanpa persetujuan suamiku.

"Kalau aku datang hanya sebagai alumni, apa Mas juga tidak kasih izin?" ujarku lagi. Siapa tahu jika hanya sebagai tamu, Mas Rasyid mau memberi izin.

"Tidak. Sebaiknya kamu di rumah saja, jaga Naila di rumah." Mas Rasyid tak lagi menatapaku. Ia mengalihkan pandangannya ke layar laptop yang ada di depannya.

Kesibukan Mas Rasyid sebagai guru kelas tak bisa ku ganggu lagi dengan hal sepele soal reuni. Karena saat itu, ia sedang sibuk menyiapkan rapor kelas yang akan dibagi pada minggu depan.

Melihat Mas Rasyid yang sepertinya tidak mau diganggu, aku pun pergi. Aku tak mau pertikaian terjadi karena hal kecil dan lebih memilih untuk mengalah saja. Biarlah, biarlah aku mengalah, toh hanya sekedar reuni.

Namun, aku tidak pernah menyangka jika ketaatan dan kesungguhanku menjaga rumah tangga ini dibalas dengan pengkhianatan hingga pernikahan siri mereka.

"Buka pintunya, Dek!" teriak Mas Rasyid lagi.

Namun aku mengabaikannya. Aku tetap meringkuk dibalik pintu ini. Kuremas pakaianku untuk melampiaskan rasa yang begitu dalam terasa.

Tiba-tiba terlintas dalam benakku, bagaimana ketika mereka memadu kasih layaknya pasangan lainnya. Apakah sama dengan ketika ia bersamaku?

Mendadak mulutku mual saat terbayang tentang mereka. Sekujur tubuhku terasa risih, membayangkan badan suamiku yang sudah terbagi dengan perempuan lain itu.

"Dek!" teriak Mas Rasyid lebih kencang.

"Pergi, Mas! Aku mau sendiri! Pergi saja ke rumah istrimu dan ceraikan aku!" balasku. Rasa jijik membuatku berani menjawab ucapannya dengan lantang.

"Buka pintunya, Dek! Buka! Jangan durhaka kamu!" teriak Mas Rasyid lagi. Kali ini lebih kencang hingga tubuhku berjingkat karena kaget dengan suaranya.

"Siapa yang durhaka? Aku tau kamu?!" teriakku lagi membalas teriakannya.

"Keluar kamu! Jangan begini! Atau kudobrak pintunya!"

Aku yang sedang bersandar di balik pintu segera berdiri dan membukakan pintu untuknya. Meskipun keadaan sudah seperti ini, aku masih punya rasa takut saat mendengar suaranya yang keras itu. Terlebih ia pernah juga mendobrak pintu saat kami sedang bertengkar dan aku tidak mau itu terulang kembali.

"Kita bicara baik-baik, jangan kabur! Mas ngga punya banyak waktu!" ujarnya sedikit melembut. Tangannya meraih pergelangan tanganku untuk dibawa ke meja makan.

Tanganku yang basah, hatiku yang hancur dan wajahku yang sudah tak berbentuk karena tangis, terpaksa menuruti keinginannya.

Kutepis tangannya meskipun tak urung aku tetap menuruti perintahnya. Dengan patuh aku duduk di hadapan ibu dan anak ini. Tapi kali ini, aku tak bisa diajak kompromi. Hatiku yang terlanjur sakit, tak akan bisa diam saja melihat perselingkuhan mereka.

"Ibu hanya ingin menyampaikan soal Naila, soal rumah tangga kalian, ibu tak berhak ikut campur. Silahkan bahas masalah kalian sendiri. Ibu harap, ada keputusan yang baik untuk keluarga kalian kedepannya." Ibu berujar sebelum pergi dari ruangan ini.

"Makasih ya, Bu. Rasyid nitip Naila sebentar," balas Mas Rasyid.

Kubiarkan ibu pergi, karena aku tak mau kehadirannya hanya menambah luka dalam hatiku. Sebagai sesama wanita, yang kumau ia berpihak padaku.

Namun sayangnya aku lupa bahwa ia adalah wanita yang melahirkan suamiku. Baik dan buruk putranya tetap dibela. Dan itu makin menambah sakit yang sedang menyapa hatiku.

"Mas ngga mau pisah sama kamu." Mas Rasyid memulai pembelaannya. Tangannya berusaha meraih jemariku. Tapi segera kutepis.

"Ngga bisa, Mas!"

"Ngga bisa bagaimana? Ini bukan masalah besar, Dek. Masalah ini masih bisa dicari jalan keluarnya."

"Bukan masalah besar katamu, Mas? Masalah sebesar ini kami bilang bukan masalah besar? Kamu seorang guru, Mas! Harusnya kamu tahu bahwa masalah ini adalah masalah yang serius. Dan ini datangnya dari kamu. Mas yang memantik masalah ini.

Lupa dengan kertas yang kusobek kemarin? Mas bisa mengembalikan sobekan kertas itu menjadi satu bagian yang utuh? Apa perlu kulaporkan pada pihak sekolah agar Mas tahu betapa besar dampak masalah ini?" cecarku tak terima.

"Jangan bawa-bawa sekolah, Dek! Ini murni masalah keluarga! Sebagai tenaga pengajar itu sudah jadi sumber mata pencaharian kita, jangan bawa-bawa kerjaan!"

"Harusnya sebelum memulai mencari sebuah masalah, Mas sudah pikiran dampaknya matang-matang!"

"Mas khilaf, Dek! Khilaf!"

"Apa iya khilaf sampai bisa menikah siri dengan dia? Khilaf itu sebentar, Mas! Dan ngga sampai menikah siri! Itu niat banget namanya!"

"Terserah kamu mau marah bagaimana, yang jelas Mas minta maaf sama kamu."

"Kumaafkan pun tak akan bisa membuatku lupa akan hal ini," ujarku lirih.

"Ayolah, Dek. Kita selesaikan ini. Anggap tidak ada yang terjadi setelah ini. Mas akan tinggalkan dia dan kita memulai hidup baru, lembaran baru."

Aku terdiam dengan tangan mengepal. Jika saja dibolehkan, ingin sekali kulempar kepalan tangan ini pada wajah suamiku. Sayangnya aku tidak mau mengotori tanganku untuk melukai laki-laki yang sudah melukai hatiku.

Saat ini, aku seperti sedang diikat dalam sebuah tiang. Hanya mampu berdiri tegak tanpa bisa bergerak bebas. Hanya mampu menerima setiap kata-katanya tanpa mampu membalas perbuatannya.

Aku bagaikan seonggok sampah tak berguna. Kebaikan dan keikhlasanku dibalas begitu kejam. Aku bagai pohon pisang yang babak belur ditikam belati tapi tak mampu membalas sedikit pun.

Sakit tapi tak berdarah. Perih tapi tak terdapat luka sedikitpun. Aku hanya mampu menunduk sambil sesekali menghela napas dalam.

"Pikirkan Naila, Dek. Apa kamu sanggup membesarkannya tanpa suami? Apakah dia bisa hidup tanpa ayah jika kamu tetap bersikukuh untuk berpisah?"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (5)
goodnovel comment avatar
Siti Rohilah
lanjut ...️ ...️
goodnovel comment avatar
D N
nama pelakor nya Aisyah..duhhh merusak banget nama itu
goodnovel comment avatar
D N
udah laporkan saja suami mu dan pelakor itu ke dinas pendidikan,dan juga kepala sekolah.. ngapain pusing2 , sumpah malas aku bacanya..lemot banget jadi laki laki
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 105

    "Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 104

    Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 103

    "Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 102

    "Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 101

    Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 100

    Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status