แชร์

Bab 5

ผู้เขียน: Safiiaa
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2023-09-30 22:31:12

"Yang harusnya jaga mulut itu Mas, bukan aku!" sengitku tak terima. Aku hanya korban, bagaimana mungkin Mas Rasyid mengatakan padaku untuk menjaga mulut jika keadaannya sudah seperti ini.

Mas Rasyid hanya diam menunduk saat aku membalas ucapannya. Bahkan sesekali bahunya bergerak turun diiringi dengan helaan napas dalam dan panjang.

Melihat wajah Mas Rasyid yang diam itu, membuatku tak bisa lagi menahan diri.

"Mas ngga bisa menjaga mulut untuk tidak merayu perempuan lain selain istrimu ini!" Aku menjeda ucapanku sejenak untuk menetralkan debar yang menguasai diri. Debar yang perlahan membuat air kembali keluar dari sudut mataku.

"Betapa selama ini aku selalu menjaga diri dengan pandangan dan sikap untuk menjaga marwahku sebagai seorang istri. Aku pun tak mau bertindak yang membuat kepercayaan suami terhadapku ternoda.

Bahkan Mas ngga bisa jaga hati untuk benar-benar menjaga perasaan Mas untukku. Mas jahat sama aku!" Aku kembali mencecar Mas Rasyid dengan kalimat-kalimat yang masih mengganjal dalam dadaku. Aku tak mau menahan rasa ini sendiri, biarlah kuungkapkan semuanya agar hatiku tak lagi merasa sakit.

Meskipun aku tahu ini tak akan bisa menghilangkan rasa perih ini, minimal aku sudah meluapkan segala rasa yang mengganjal dalam hati. Begitu tega Mas Rasyid memberikan tamparan keras dalam hidupku seperti ini. Tidakkah ia berpikir bahwa dirinya memiliki anak perempuan yang bisa saja hal ini menimpa putrinya juga? Astaghfirullah.

"Dek, sudah! Ada Ibu di sini, jangan keterlaluan kalau bicara!" Mas Rasyid berujar sedikit keras sambil menatapku dengan sorot mata penuh rasa bersalah. Tapi percuma saja, semerasa bersalah apapun, ini semua sudah terjadi dan sungguh menyakitiku.

Biarlah. Sekalian saja kuluapkan perasaanku di sini agar ibu tahu bagaimana perasaan seorang istri juga kelakuan putranya yang keji itu.

"Mas sudah keterlaluan, bagaimana mungkin aku harus jaga bicaraku!" bentakku keras membalas ucapannya. Ini adalah kali pertama aku berani membentak suamiku setelah sekian tahun membina mahligai rumah tangga. Biarlah, aku tak lagi peduli.

Biar saja aku dibilang berani pada suami. Toh yang memulai semuanya adalah dirinya sendiri.

Sekilas kulihat Ibu dari ekor mataku, beliau hanya diam sambil mengatur napasnya yang mulai tak beraturan. Jari-jari tangannya memijit dahi yang mungkin saja terasa pening setelah mendengar pertikaian anak dan menantunya ini.

"Syid, izin dulu sama kepala sekolah untuk libur hari ini," ujar Ibu menengahi pertikaian kami setelah sebelumnya melirik jam dinding.

Mas Rasyid mengangguk patuh. Ia lantas berdiri sambil membawa ponselnya menuju ruang tamu. Entahlah, mengapa juga harus pergi menjauh jika hanya untuk memberi kabar pada pihak sekolah untuk meminta izin hari ini.

"Lihatlah Ibu, bagaimana Mas Rasyid menodai pernikahan ini," lirihku dalam tangis. Aku tak sanggup lagi menahan berat kepala di tubuhku. Terpaksa kuletakkan kepalaku di atas lipatan tangan di atas meja makan.

"Sabar dulu," ujar ibu. Ia menggeser badannya menuju kursi di sebelahku. Kemudian ia meraih bahuku untuk diusapnya dengan lembut.

Begitu damai kurasakan sentuhan tangan ibu, sekalipun hubungan kami hanya sebatas mertua dan menantu. Seandainya ibuku masih ada, mungkin akan kuraih badannya dan kutenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Akan bisa kurasakan betapa ibu turut sakit karena anaknya mendapatkan musibah seperti ini.

"Bagaimana bisa sabar, Bu. Mas Rasyid sudah ingkar janji," balasku masih dalam tangis. Begitu sulit untuk bisa menerima apa yang sudah Mas Rasyid lakukan ini.

"Semua pasti ada solusinya. Kamu sabar, kita selesaikan sama-sama." Ibu berbicara sambil terus mengusap punggungku lembut.

"Sudah, Bu." Mas Rasyid datang kembali setelah menghubungi kepala sekolahnya. Ia lantas duduk di tempatnya semula.

"Bisa jelaskan pada Ibu ada apa ini? Mengapa istrimu bisa sampai seperti ini?" ujar Ibu terdengar jelas.

Aku masih enggan menegakkan kepala. Pening dan nyeri dalam hati masih mendominasi perasaan ini. Sengaja, sengaja kubiarkan Mas Rasyid berbicara tanpa harus melihat wajahku agar ia bisa bebas menceritakan apa yang sebenarnya menjadi penyebab dia sampai tega mengkhianati pernikahan ini.

"Rasyid khilaf, Bu. Maafkan Rasyid."

Suara Mas Rasyid terdengar lemah. Mungkin benar jika ia sedang merasa bersalah. Tapi percuma saja, rasa bersalahnya itu tidak akan bisa menghapus jejak perselingkuhan yang sudah ia lakukan.

"Apa benar jika pernikahan itu terjadi?" balas Ibu lagi.

Tidak ada suara yang kudengar dari bibir Mas Rasyid setelah pertanyaan Ibu itu lolos. Hening. Yang terdengar hanya embusan napas kasar yang keluar dari bibir Ibu tepat di sebelahku.

"Rasyid khilaf, Bu. Rasyid sendirian di sana. Dan dia selalu ada saat Rasyid sedang merasa sendiri."

Aku terusik dengan ucapan Mas Rasyid. Lalu kupaksa kepalaku untuk bangkit dan membalas ucapannya.

"Sendirian Mas bilang? Apa aku juga tidak sendirian? Malah aku juga harus membagi waktu untuk mengurus Naila dengan kedua tanganku sendiri tanpa bantuan orang lain!" balasku keras. Entah dapat kekuatan dari mana hingga aku bisa menegakkan kepalaku kembali dan dengan lantang mengatakan hal itu.

"Mas khilaf, Dek! Mas khilaf! Dia selalu ada saat Mas merasa sendiri, dan iman Mas sedang lemah saat itu hingga kami mulai merasa nyaman satu sama lainnya!"

"Aarrghhh!" teriakku kencang. Sakit hatiku saat mendengar jawaban darinya.

"Sabar, Nit! Semua ini bisa dibicarakan baik-baik. Tidak perlu berteriak! Lagi pula, seharusnya kamu selalu setia mendampingi suamimu kemanapun dia dipindahtugaskan."

"Bu, tidak mudah untuk mengikuti kemanapun Mas Rasyid dipindahkan sementara Naila sudah mulai sekolah. Kami sudah bahas ini sebelumnya!"

"Lagi pula, aku selalu melayani Mas Rasyid sebagaimana mestinya ketika di rumah." Aku membalas dengan penuh kobaran amarah.

"Bukan hanya soal itu, Dek!"

"Lalu soal apa? Soal hubungan suami istri? Bahkan setiap Mas Rasyid pulang, kita selalu menyempatkan untuk berhubungan suami istri. Apa seminggu sekali itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan seksual Mas? Hah?!!"

"Bukan itu, Dek!" sela Mas Rasyid cepat.

"Lalu apa lagi? Bagaimana pun alasannya, perselingkuhan tetap salah! Apalagi sampai Mas Rasyid menikahinya! Aku tidak mau dimadu, Mas!"

"Permasalahan ini tidak harus selalu selesai dengan perceraian. Harus dicari lebih dulu penyebabnya apa, jangan asal mengucap kata cerai!" Ibu menyela ucapanku.

"Bagaimana mungkin ibu bisa bilang seperti itu sementara kita sama-sama perempuan! Sakit hati Anita, Bu, melihat kertas nikah bertuliskan nama suami dengan perempuan lain!"

"Bukan begitu, Nit!" sergah Ibu.

"Kalian sama saja!" teriakku sambil berdiri meninggalkan meja makan tempat kami berbicara.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป
ความคิดเห็น (3)
goodnovel comment avatar
Elin Marlina
aku pikir ibunya langsung nampar si rasyid trnyta mertua mah bgitu ya
goodnovel comment avatar
D N
kan punya anak istri yg bisa dihubungi kalau merasa sendirian,dasar kamu aja laki-laki brengsek anjing
goodnovel comment avatar
icher
lanjut terus kak update nya
ดูความคิดเห็นทั้งหมด

บทล่าสุด

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 105

    "Mbak Anita balik sini lagi?" sapa Laili, tetangga sebelah rumah, saat Anita baru saja turun dari mobil yang ditumpanginya."Iya, Mbak. Bagaimanapun rumah sendiri lebih nyaman." Anita tersenyum setelah menjawab pertanyaan tetangganya. Di dalam gendongannya, Nata masih terlelap."Ah iya, Mbak bener. Apalagi diantara kalian belum ada anak."Anita hanya tersenyum untuk menjawab ucapan tetangganya itu. Ia pun lantas masuk ke dalam rumahnya setelah Pak Mahmud membantunya menurunkan koper, meninggalkan perbincangan yang tak berarti dengan tetangganya itu."Makasih ya, Pak," ucap Anita setelah menyelipkan amplop ke dalam genggaman tangan laki-laki yang telah menjemputnya."Sama-sama, Mbak."Selepas kepergian Pak Mahmud, Anita duduk bersandar di sofa ruang tengah. Matanya memejam, memikirkan langkah hidup selanjutnya. Kepergian Hamid yang tiba-tiba membuatnya harus berpikir keras, sama ketika ia baru saja menyandang status janda dulu.Kepala Anita kembali mengingat obrolannya dengan Nisa sebe

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 104

    Sindy bersama Anita berangkat menuju rumah sakit tempat Hamid dirawat. Rasa cemas tak henti-hentinya singgah dalam diri Anita membayangkan bagaimana keadaan sang suami.Ditambah dengan pertengkaran pagi tadi yang membuatnya benar-benar merasa bersalah karena telah membuat sang suami pergi bekerja dengan hati yang tidak nyaman."Semoga kondisi Mas Hamid tidak mengkhawatirkan," lirih Anita tak tenang."Semoga ya, Mbak. Baru kali ini Mas Hamid kayak gini, biasanya ngga pernah. Pasti ada sesuatu yang terjadi sampai dia nyetir mobil ngga konsentrasi begini.""Mbak juga ngga tau. Mas Hamid ngga pernah cerita masalah apapun yang terjadi sama usahanya. Biasanya kalau ada apa-apa, pasti dia duduk lama di ruang kerja. Kalau sudah begitu, Mbak ngga akan berani ganggu.""Mas Hamid memang begitu. Ngga pernah terbuka soal kerjaan sama istrinya. Baginya, masalah dia soal kerjaan adalah masalah dia sendiri.""Padahal Mbak malah senang kalau diajak diskusi.""Itulah, Mbak."Perjalanan pun tiba di ruma

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 103

    "Mbak belum pernah ke mall ini," ucap Anita setibanya mereka di lobby utama. Ia mengamati sekitar dengan dua bola matanya sambil membawa Nata dalam gendongan."Masak belum pernah, Mbak? Secara bapak duitnya banyak.""Bukan perkara duit, Sa. Tapi memang ngga ada waktunya kesini. Kalau sendirian juga Mbak ngga mungkin bisa pergi. Mana berani.""Mbak ngga ngajak aku sih," seloroh Nisa. Ia tertawa setelahnya."Ya mana kepikiran, Sa. Kamu di sana, Mbak disini.""Iya juga sih. Ya sudah, yuk jalan lagi." Nisa menggandeng tangan Anita menuju ke area mall. Mata Anita mengitari sekitar, betapa selama beberapa bulan ini ia hanya menghabiskan waktu di rumah saja tanpa sedikitpun berpikir untuk berjalan-jalan menikmati udara luar. Ia hanya pergi ketika akan mengunjungi Naila atau ke tempat bulik. Selebihnya, Anita hanya di rumah menunggu sang suami pulang kerja."Kemana, Sa?" tanyq Anita saat Nisa menggandengnya menuju eskalator."Cari makanan, Mbak.""Tadi di rumah ditawari makan ngga mau.""Bed

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 102

    "Halo," panggil suara di ujung panggilan. Suara bariton dari lelaki yang saat ini membuat hati Anita kebat-kebit."Sayang?"Anita terdiam. Ia masih belum ingin menjawab panggilan dari sang suami."Sayang masih di situ kan?" ucap Hamid lagi. Ia melihat ponselnya yang masih menampakkan layar panggilan."Sayang aku minta maaf," kata Hamid lagi. Ia tahu pasti sang istri merasa aneh dengan sikapnya tadi pagi. Ditambah dengan penolakannya atas permintaan Anita."Emm ... I-iya, Mas." Anita menjawab dengan ragu-ragu."Aku minta maaf ya, tadi aku buru-buru berangkat soalnya ada masalah yang harus Mas selesaikan." Hamid menurunkan nada suaranya. Ia paham dengan perasaan seseorang yang kini mulai memenuhi relung hatinya."Aku yang harusnya minta maaf. Aku terlalu banyak permintaan pada Mas.""Enggak, ngga apa-apa. Oh Iya, Mas cuma mau kasih tau kalau Mas nyuruh Sindy cari pembantu buat kamu.""Pembantu? Mas aku bisa kerjain semuanya sendiri.""Ngga apa-apa. Biar dia bantu kamu beres-beres sekal

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 101

    Anita terduduk melamun di ruang tengah. Ia masih belum bisa menerima penolakan Hamid terhadap permintaannya. Ada rasa kesal dan amarah yang mulai bergelut dalam dadanya. Akan tetapi, Anita sadar bahwa segalanya sudah terpenuhi di rumah ini. Ia tidak kekurangan apapun yang bisa dijadikan alasan untuk menjadi wanita mandiri.Dering telepon berbunyi dari ponsel yang ada di sampingnya. Anita pun segera meraih ponsel itu untuk menerima panggilan dari seseorang."Assalamualaikum," sapa suara di ujung sana."Waalaikum salam. Ciee manten baru," goda Anita setelah mendengar suara Nisa yang terdengar ceria. Suara Nisa itu menjadi hiburan tersendiri di saat hatinya sedang kesal."Hihihi, Mbak nih! Bikin malu aja," balas Nisa cengengesan. Wajahnya merona karena mengingat bagaimana rasanya menjadi pengantin baru."Nyesel kan, kenapa ngga dari dulu aja nikahnya.""Hahaha enggak juga. Ada sih dikit tapi lebih ke riweh nya, Mbak. Tapi alhamdulilah semua berjalan dengan lancar.""Alhamdulillah. Mbak

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 100

    Hamid membawa Anita duduk di teras samping rumahnya. Jam dinding yang berputar masih menunjukkan angka lima lebih tiga puluh menit, masih ada banyak waktu untuk bisa berbicara dengan istrinya soal semalam.Laki-laki yang memakai kaos polos dengan celana pendek itu menatap sang istri yang menunduk. Ia menunggu perempuan yang rambutnya dikucir kuda itu menjawab pertanyaannya yang baru saja dilempar."Ada apa denganmu?" tanya Hamid sekali lagi. Ia masih terus menikmati wajah Anita yang membisu."Mas bukan dukun, bukan pula orang pintar yang tahu isi hatimu tanpa harus bertanya lebih dulu. Kalau ada apapun, baiknya bicarakan pada Mas, untuk kita bahas bersama. Jangan tiba-tiba diam seperti ini." Hamid berusaha menjelaskan apa yang ia mau. Memulai hubungan tanpa perkenalan yang dekat memang harus ada salah satu pihak yang menjadi mengalah untuk memulai. Jika pihak perempuan tidak demikian, maka pihak laki-laki yang harus mengalah untuk memulai membangun komitmen kedepannya.Anita diam saj

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 99

    Hamid memperhatikan istrinya disela-sela konsentrasinya mengemudi. Ia merasa aneh sebab sejak kembali dari kafe istrinya lebih banyak diam.Suara musik instrumental menemani mereka dalam perjalanan, dan menjadi satu-satunya suara dalam kabin mobil tersebut. Konsentrasi Hamid terpecah, akan tetapi suara musik itu membuatnya tetap bisa mengemudi dengan baik sekalipun hatinya sedang tak biasa.Hari sudah larut. Tidak ada waktu untuk Hamid bisa bertanya perihal perubahan sikap istrinya dengan tenang. Ia harus fokus dengan jalanan yang lumayan lengang agar lekas sampai di rumah.Sekilas Hamid melirik sang istri lagi. Wajah wanitanya itu terus saja melihat ke arah jendela. Sejak mulai perjalanan sampai hampir sampai Surabaya wajah itu tak beranjak dari depan kaca dengan tatapan nanar ke sepanjang bangunan di pinggir jalan.Dalam hatinya, Hamid kepayahan menahan diri. Tapi ia tak punya banyak pilihan sebab khawatir akan terjadi pertengkaran jika grusah grusuh membahas masalah sensitif seperti

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 98

    Di sebuah klinik, Rasyid sedang menunggu dokter memeriksa kondisi Ratih. Ia menjambak rambutnya untuk melampiaskan rasa kesal yang terus saja hinggap di hidupnya."Gimana bisa kamu tabrak istri saya!" omel Fajar. Ia berjalan mondar-mandir di depan Rasyid."Saya ngga nabrak. Dia sendiri yang lari pas saya berusaha pergi. Perlu kamu tahu, antara saya dan Ratih tidak ada apa-apa. Kami dulu memang berteman baik, setelah itu terpisah sekian tahun karena kami sibuk dengan kehidupan kami masing-masing.Baru beberapa hari yang lalu kami kembali bertemu dan saat itu, saya melihat ada gelagat aneh dari Ratih pada saya. Jika saja saya tau rumah tangga kalian sedang tidak baik-baik saja, maka saya tidak akan pernah mau untuk berurusan dengan dia lagi.""Jangan bohong kamu! Ratih terlihat sekali kalau dia menginginkan kamu!" ucap Fajar bersungut-sungut."Menginginkan?" Rasyid menyahut. Dahinya mengerut tak paham dengan ucapan Fajar."Iya, dia terlihat memaksa kamu untuk menerima dia!"Rasyid teetaw

  • Setelah Perselingkuhan Suamiku Terbongkar    Bab 97

    Nata tidur dalam perjalanan pulang. Ia terlelap nyenyak dalam pelukan sang ibu. Sesekali jemari ibunya mengusap pipi mulus bayi yang terlelap itu.Ada rasa lega yang mejalari hati Anita. Bayi yang dulu ia khawatirkan akan kekurangan kasih sayang bapak, nyatanya kini malah mendapatkan limpahan kasih sayang dari dua bapak sekaligus.Hubungan Anita dengan Rasyid yang membaik itu merupakan diluar prediksinya. Ia bersyukur memiliki suami yang mampu menjadi penengah antara dirinya dan mantan suaminya."Kecapekan ya dia?" tanya Hamid saat melihat sang istri berulang kali memandangi wajah mungil itu.Anita menoleh ke arah sang suami. Bibirnya tersungging sedikit."Iya. Dari siang aktif terus. Tidur cuma sebentar aja." Lagi, Anita mendaratkan pandangannya pada bayi dalam dekapannya itu."Ya sudah biarkan dia tidur. Kasihan.""Iya, Mas. Mas ngga capek? Kalau capek kita nginep di rumah aja," balas Anita. Ia melihat perjalanan masih sampai di sekitar tempat tinggalnya yang lama. Tidak butuh waktu

สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status