Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 3
Kirani masih tak sadarkan diri di ranjang UGD rumah sakit. Kepalanya terbalut perban yang terdapat noda merah di keningnya akibat mengalami benturan. Lengan kanannya memar juga kulit di kaki kanannya mengelupas karena gesekan dengan aspal. Ia terserempet mobil saat sedang mencariku, dan sialnya si penabrak malah melarikan diri.
"Wi kamu bisa urus administrasinya lebih dulu, aku harus pulang dan maaf aku cuma bisa antar sampai sini saja," pamit Mas Halim. Ia adalah tetangga sebelah rumah yang baiknya sudah seperti saudara sendiri.
Tanpa menjawab aku hanya mampu menunduk, bingung dengan musibah yang tengah Allah beri ini.
"Wi kamu kenapa?" tanya Mas Halim penuh selidik.
Aku bingung mau menjawab bagaimana. Hendak meminta bantuan pun tenggorokanku tercekat, tak mampu berucap. Hendak membiarkan ia pergi juga aku butuh bantuan. Tanpa bersuara air mataku mengalir deras.
"Kok malah nangis Wi? Kamu nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Mas."
"Ya sudah saya balik dulu, ya?"
Aku mengangguk dengan satu tangan masih berusaha menyusut air mataku. Sementara Mas Halim mulai berjalan menjauh dariku. Meninggalkanku sendiri di rumah sakit dengan perasaan tak menentu.
Kemudian kuhembuskan napas perlahan. Aku pasrah seandainya aku meminta tenggat waktu untuk membayar biaya rumah sakit namun ditolak oleh pihak rumah sakit. Biarlah kubawa Rani pulang saja bagaimanapun keadaannya.
Seorang perawat membawa brankar untuk memindahkan Rani menuju kamar rawat inap. Ia memintaku untuk menyelesaikan administrasi lebih dulu selagi ia memindahkan Rani. Aku hanya mampu mengangguk, dan membiarkannya membawa Rani yang masih tak sadarkan diri.
Aku lantas berjalan menuju meja pendaftaran, menghampiri pegawai yang berseragam batik dengan kerudung cokelat membalut kepalanya. Bergetar bibirku saat menyampaikan maksudku datang ke mejanya. Namun, sedikit lega setelah mendengar jawabannya.
"Boleh Ibu, tapi hanya sampai besok. Pembayaran harus segera ditunaikan esok hari, minimal setengah dari biaya perawatan hingga hari tersebut."
Meskipun dari ucapannya tak ada kesan emosi atau ketus, tetap saja ucapannya tak mampu membuatku tenang. Setidaknya aku masih punya waktu untuk berusaha mencari uang hingga bisa menutup biaya pengobatan Rani.
Setelah sedikit lega mendengar penjelasan penjaga tadi, aku kembali ke ruangan tempat Rani di rawat. Dengan perasaan kalut aku berjalan terseok-seok dengan kepala tak henti berpikir. Pandanganku nanar tiap melewati lorong rumah sakit yang penuh dengan lalu lalang keluarga pasien.
Aroma khas rumah sakit begitu menusuk hidungku, aroma yang kerap membuat perutku mulas ketika menghidunya. Karena aku sudah hapal aroma ini setelah beberapa bulan lalu harus bolak balik rumah sakit untuk menjalani perawatan Mas Bima.
Musibah apa lagi ini, terlalu bertubi-tubi Tuhan memberiku ujian. Belum selesai aku berpikir untuk mencari pekerjaan agar bisa menyambung hidup, kini Allah beri ujian lagi berupa musibah kecelakaan.
"Ibu orang tua Kirani?" tanya seseorang berpakaian serba putih dengan nametag didadanya menghampiriku tergesa-gesa.
"Iya, saya Sus. Ada yang bisa saya bantu?"
"Anaknya sudah sadar, Bu. Tadi sempat mencari ibunya," jawabnya dengan senyum terkembang.
"Baik, saya akan segera ke sana. Terima kasih ya Sus?"
Aku sedikit berlari menuju kamar dimana Rani dirawat. Khawatir jika ia menangis karena tak mendapatiku bersamanya.
Benar saja, sudah ada satu perawat lagi yang menemaninya di atas ranjang ruang rawat. Menghiburnya sambil mengulur waktu hingga aku tiba dihadapan mereka berdua.
"Maaf Sus, merepotkan Suster." Aku berjalan tergopoh menuju tempat tidur Rani. Mendekatinya lalu mengambil alih tubuh Rani dari pelukan suster jaga.
"Nggak apa-apa, Bu. Sudah jadi tugas kami," jawabnya ramah. Setelah itu ia meninggalkanku bersama Rani dalam kamar rawat.
"Dek, kok bisa sampai seperti ini sih?" tanyaku cemas. Mengingat ia baru sadar dari kecelakannya tadi, segera kuberondong dengan beberapa pertanyaan terkait kejadian yang ia alami.
"Tadi adek cari ibu, tiba-tiba ibu nggak ada di rumah. Adek cari di gang depan tapi nggak nemu, ya udah adek jalan ke jalan raya, barang kali ibu ada di sana," paparnya dengan suara lemah. Kepalanya ia telusupkan ke ceruk leherku dengan satu tangan ia rangkulkan di pundakku sedang tangan yang lainnya ia letakkan di atas pangkuanku dengan hati-hati.
Kusambut pelukannya dengan ciuman lembut diantara perban di keningnya. Sambil mengusap lembut punggung kecilnya yang lemah.
"Lain kali tunggu ibu di depan pintu rumah, jangan sampai keluar ke jalan raya, adek mengerti?" tegasku namun tetap dengan nada suara yang lemah lembut.
"Iya, Bu. Tapi ini sakit," ucapnya sambil menunjuk kakinya yang terluka.
"Sabar, nanti kalau sudah minum obat sakitnya pasti berkurang."
Kulihat jam yang menempel di dinding tepat di depan ranjang Rani, jarumnya hampir menunjukkan waktu pulang sekolah Danisa. Aku bingung bagaimana mengabari keluarga Mas Bima karena ponsel pun aku tak punya.
Kuusap lembut punggung Rani hingga ia kembali tertidur, sementara aku akan pulang untuk mengabari Danisa juga Mas Bima soal keadaan Rani. Ibu mertua pun harus tahu soal musibah yang menimpa cucunya ini.
Kuhampiri ibu paruh baya yang tengah menunggu suaminya di ranjang sebelah.
"Permisi Ibu, apa boleh saya titip anak saya sebentar? Saya mau pulang untuk mengabari kakaknya juga ayahnya," ucapku sopan.
Seketika ibu itu menghentikan aktifitas menyendok makanannya untuk memperhatikan ucapanku. Dengan cepat ia letakkan piring makannya lalu berdiri menghampiriku yang tengah menunggunya diujung tirai pembatas.
"Boleh, Mbak. Tapi jangan lama-lama takutnya nanti nangis lagi kayak tadi," selanya.
"Iya, Bu. Saya juga akan titipkan pada suster jaga di depan, nanti biar dibantu kalau rewel. Makasih ya Bu sebelumnya?" sahutku seraya menganggukkan kepala lalu pamit keluar ruangan.
Aku berjalan setengah berlari dari rumah sakit menuju jalan arah ke rumah. Lumayan jauh jika ditempuh dengan jalan kaki bisa menghabiskan waktu setengah jam perjalanan. Tanpa banyak berpikir lagi, kupaksa tubuhku untuk berjalan dengan cepat, agar tak banyak makan waktu.
Tak henti kepalaku berpikir, apa yang akan aku lakukan setelah ini. Sepeser uang pun aku tak punya, bahkan aku harus berjalan kaki untuk kembali ke rumah. Begitu berat ujian ini menimpaku. Ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Belum sembuh Mas Bima terkena stroke, sekarang Allah tambah dengan kecelakaan yang menimpa Rani.
Aku terus berjalan menyusuri jalan raya yang penuh dengan kendaraan lalu lalang. Terus berjalan tanpa memperhatikan keadaan sekitar, karena yang ada di kepalaku hanya bagaimana mencari biaya untuk membayar tagihan rumah sakit.
Tak peduli setiap pasang mata yang mengamatiku saat air mata tengah mengalir di sela-sela napasku yang memburu. Peluh yang membanjiri tubuh pun tak kuhiraukan. Kubiarkan ia mengalir deras membanjiri punggung juga kerudung yang kukenakan.
Bayangan wajah Mas Bima hadir dalam kepalaku yang membuat langkahku semakin cepat mengambil jarak. Seseorang berteriak menghentikanku yang membuat langkahku tiba-tiba terhenti.
"Mbaaakk minggir!"
Bersambung🥀🥀🥀
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 4"Hati-hati, Mbak kalau jalan," ucap seorang bapak paruh baya yang sudah meneriakiku saat aku telah kembali berada di pinggiran jalan raya.Seseorang hampir menabrak tubuhku manakala aku terlalu fokus dengan apa yang ada di pikiranku tanpa memperhatikan jalanan sekitar. Beruntung bapak tadi berteriak sehingga membuat kesadaranku kembali penuh.Seorang ibu penjaga warung menghampiriku dengan segelas air putih ditangannya saat aku tengah duduk untuk menunggu ritme jantungku kembali normal."Diminum dulu, Mbak, pasti kaget tadi." Senyum yang terkembang dari bibirnya membuatku turut tersenyum."Terima kasih, Bu," jawabku sopan sambil meraih gelas di tangannya. Seketika kuteguk hingga tandas seluruh isi dalam gelas itu. Sungguh berjalan sejauh ini membuat tenggorokanku terasa kering, ditambah dengan
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 5"Mas yuk makan dulu," ajakku sambil mengganjal punggungnya dengan dua bantal, agar posisinya setengah duduk.Di meja dekat ranjangnya sudah tersedia segelas air putih juga terdapat beberapa obat-obatan yang harus dikonsumsi Mas Bima. Sprei yang selalu kuganti tiap bulan tak menjadikan kamar ini terlihat lusuh dan bau. Aku selalu memperhatikan kebersihan juga kerapiannya. Karena hari-hari Mas Bima ia habiskan di dalam kamar, maka aku tak mau membuatnya tersiksa dengan kamar yang bau dan kotor.Saat perjalanan pulang tadi kubelikan Mas Bima sebungkus nasi yang kubagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk Mas Bima, sebagian lagi untuk Danisa. Biarlah aku hanya makan sisa dari Mas Bima saja, toh sudah sering aku menahan lapar dengan banyak minum air putih untuk menekan pengeluaran harian.Saat aku selesai menyuapi Mas Bima, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Segera kuletakk
Room Delapan"Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata."Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku.Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu.Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna."Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar peke
Tuan BramRagu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini.Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku."Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku."Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku.Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku."Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model."Duduk," perintahnya. 
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan"Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya."Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya.Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan."Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan ya
Amplop Coklat"Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti."Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata."Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku."Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku."Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon."Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri."Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism
Bimbang"Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan."Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah."Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men
Bak Petir Di Siang HariKupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku.Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi."Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis."Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebe