Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 4
"Hati-hati, Mbak kalau jalan," ucap seorang bapak paruh baya yang sudah meneriakiku saat aku telah kembali berada di pinggiran jalan raya.
Seseorang hampir menabrak tubuhku manakala aku terlalu fokus dengan apa yang ada di pikiranku tanpa memperhatikan jalanan sekitar. Beruntung bapak tadi berteriak sehingga membuat kesadaranku kembali penuh.
Seorang ibu penjaga warung menghampiriku dengan segelas air putih ditangannya saat aku tengah duduk untuk menunggu ritme jantungku kembali normal.
"Diminum dulu, Mbak, pasti kaget tadi." Senyum yang terkembang dari bibirnya membuatku turut tersenyum.
"Terima kasih, Bu," jawabku sopan sambil meraih gelas di tangannya. Seketika kuteguk hingga tandas seluruh isi dalam gelas itu. Sungguh berjalan sejauh ini membuat tenggorokanku terasa kering, ditambah dengan kejadian mengejutkan yang baru saja terjadi.
"Dari mana Mbak? Kok jalan kaki?" tanyanya lagi.
"Saya dari rumah sakit, Bu."
"Nggak bawa kendaraan?"
Aku hanya mampu menggeleng untuk menjawab pertanyaannya. Kembali teringat putriku yang tengah kutinggalkan di rumah sakit membuat air bening seketika berkumpul di dalam kelopak mataku.
"Mau kemana memangnya? Apa perlu diantar?" tawarnya cepat. Mungkin ia iba melihat penampilanku yang menyedihkan. Kerudung yang kukenakan sudah lusuh terkena keringat, juga peluh yang membanjiri tubuh membuat bajuku basah.
"Apa tak merepotkan ibu?" sambungku kemudian.
"Nggak apa-apa, biar diantar sama anak saya," usulnya sambil menunjuk seorang lelaki yang tengah duduk di dalam warungnya.
Aku ragu hendak bagaimana. Mau menolak tapi tubuhku lelah rasanya kalau harus berjalan lagi, sementara ini masih separuh jarak yang harus kutempuh. Mau menerima, namun aku sungkan karena kami bukan mahrom.
"Nggak apa-apa, Mbak. Jangan sungkan, daripada Mbak harus jalan kaki lagi," imbuhnya yang membuatku pasrah menerima tawarannya.
Tanpa basa basi lagi, lelaki gagah berkulit putih itu segera mengambil motor juga helm untukku. Kemudian aku segera pamit pada ibu pemilik warung untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tak lupa juga kuucapkan terima kasih atas kebaikannya menolongku.
Saat motor telah berjalan membelah jalan raya, kubatasi diri untuk tak terlalu banyak berkomunikasi dengan lelaki di hadapanku ini. Selain memang kami bukan muhrim, aku juga tak mau terlalu sok dekat. Cukup menjawab apa yang ia lontarkan sebagai pertanyaan.
"Ke arah mana lagi Mbak ini?" tanyanya sambil melirikku dari kaca spion.
"Lurus aja, setelah pertigaan itu, Mas nya belok kanan," jawabku menunjukkan arah yang harus ia tempuh. Dengan berat hati aku harus ke tempat ibu mertua lebih dulu. Hanya kepadanya aku berharap untuk mendapatkan bantuan.
Tak butuh waktu lama, motor yang kunaiki telah sampai di depan rumah bercat biru dengan halaman rumah yang rapat tertutup pagar.
"Terima kasih ya, Mas?" pamitku yang hanya dijawab anggukan olehnya. Tanpa basa basi lagi ia berlalu meninggalkanku di depan rumah mertuaku.
Segera kuketuk pintu ruang tamunya agar tak banyak membuang waktu.
"Ada apa, Wi?" sapa Mas Seno.
Ya, mertuaku hanya seorang janda pensiunan yang tinggal dengan anak sulung dan menantunya.
"Ibu ada, Mas?"
"Ibu lagi nggak ada, nginep di rumah bulek," sahutnya cepat.
Mendengar jawaban Mas Seno membuatku seketika menunduk lemas. Hanya pada ibu tempat kubergantung namun kini yang kuharapkan tak ada di depan mata. Lantas aku harus bagaimana?
"Mas Seno bisa pinjami saya uang?"
"Buat apa, Wi? Aku aja pinjam sertifikat ke kamu buat bayar utang, mana ada uangnya! Sudah habis buat bayar hutang sama buat modal jualan lagi!"
"Buat biaya Rani di rumah sakit, Mas."
"Kenapa memangnya anakmu itu?"
"Rani terserempet mobil, Mas. Sekarang di rumah sakit. Aku butuh uang untuk biaya rumah sakitnya."
"Ya nggak ada, Wi! Sudah dibawa semua sama mbakmu buat modal jualan lagi. Barusan aja aku pulang dari pasar buat ngantar dia belanja."
Lututku serasa lemas tak bertulang mendengar jawaban Mas Seno. Lantas aku harus bagaimana setelah ini? Kemana aku harus mencari pinjaman atau minimal pekerjaan?
Ah ya, aku teringat tawaran Arum tadi pagi.
Apa aku ke tempat Arum saja? Tapi pekerjaan itu, pekerjaan yang ... ah. Bagaimana mungkin aku melakukannya? Tapi hanya itu pekerjaan yang ada di depan mata dan bisa menghasilkan uang dengan cepat.
Aku bingung. Aku hanya mampu duduk menunduk bertumpu kedua lengan di pinggiran trotoar setelah tadi aku pamit dari rumah Mas Seno. Kepalaku bertumpu lengan dengan kaki sebagai penopang. Tubuhku lemas tak bertenaga. Kembali tak kuhiraukan tatapan beberapa pasang mata yang menatapku aneh. Aku tetap menunduk, sesekali pandanganku menyapu sekeliling.
Saat aku tengah menikmati rasa yang begitu sakit mencekat batin, suara yang tak asing samar terdengar ke telingaku.
"Ibu."
Suara Rani begitu dekat dengan telingaku. Gegas aku bangkit dan berjalan ke tempat Arum. Tak ada pilihan lain. Kuabaikan rasa yang memberatkan hati untuk mengambil keputusan ini. Keselamatan Rani lebih penting dari segalanya. Akupun tak mau menyesal dikemudian hari dengan menuruti apa yang memberatkan langkahku untuk menyelamatkan buah hati tercinta.
Entah apa yang merasuki tubuhku. Tiba-tiba kekuatan tubuhku kembali penuh. Aku kembali mampu berjalan dengan cepat hingga langkahku terhenti di depan pintu rumah Arum.
"Assa ...."
"Eh ada Mbak Dewi, waalaikumsalam, Mbak. Gimana keadaan Rani?"
"Masih perlu tindakan lebih lanjut, Rum. Saya kesini mau menanyakan soal pekerjaan yang kamu tawarkan tadi," bisikku pelan.
"Eh beneran Mbak Dewi mau? Sudah tahu kan kerjaanku gimana?"
Aku hanya mampu mengangguk pasrah mengabaikan segala gejolak batin yang meresahkan. Tak ada pilihan lain, biarlah segala dosa menjadi tanggung jawabku dengan Tuhanku. Toh Tuhan pasti tahu bahwa keadaanku sedang terdesak. Jika pun ada pilihan lain aku pasti akan memilih yang lain. Namun sialnya hanya ini pekerjaan yang ada didepan mata dengan bayaran yang langsung diberikan hari itu juga. Mungkin cukup untuk membiayai biaya rumah sakit Rani nantinya.
"Ya sudah, kalau Mbak Dewi mau, nanti malam habis isya' Mbak Dewi langsung ke rumahku ya? Kita berangkat bersama-sama."
"Iya, tapi apa boleh saya merepotkanmu dahulu?"
"Merepotkan apa? Ah yaa ... aku paham. Sebentar ya saya ambilkan."
Ah Arum begitu peka terhadap ucapanku, padahal aku sama sekali belum menyinggung soal uang terhadapnya tapi ia sudah menebaknya lebih dulu. Dan sialnya, tebakannya benar. Apa karena hidupnya yang bergelimang materi membuatnya mudah memberikan uang pada siapapun? Ah apapun itu aku harus bersyukur. Setidaknya aku punya pegangan untuk kembali dari rumah sakit nanti malam.
Setelah menerima uang dari Arum, aku berjalan menuju rumah yang kutinggalkan sejak setengah hari yang lalu. Aku harus menjelaskan pada suamiku perihal keadaan Rani yang sebenarnya.
Setelah sampai di depan ranjang tidur, tangisku pecah di hadapan Mas Bima. Meluapkan segala sesak yang menyiksa dada sejak tadi pagi. Juga karena keputusan menerima pekerjaan dari Arum yang begitu terpaksa kuterima.
Aku tak tahu pada siapa hendak meluapkan segala gundah ini. Meskipun aku tahu Mas Bima tak akan bisa memberikan solusi terbaik, namun ini cukup untuk membuat hatiku lega.
Kadang seseorang hanya butuh untuk didengar tanpa diberi solusi. Seringkali juga solusi muncul setelah pikiran lebih tenang dan segar.
Wajah Mas Bima tampak panik, bibirnya kelu untuk sekedar menanyakan penyebab aku menangis. Namun aku segera menghentikan tangisku sebelum Danisa kembali ke rumah.
Bersambung🥀🥀🥀
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 5"Mas yuk makan dulu," ajakku sambil mengganjal punggungnya dengan dua bantal, agar posisinya setengah duduk.Di meja dekat ranjangnya sudah tersedia segelas air putih juga terdapat beberapa obat-obatan yang harus dikonsumsi Mas Bima. Sprei yang selalu kuganti tiap bulan tak menjadikan kamar ini terlihat lusuh dan bau. Aku selalu memperhatikan kebersihan juga kerapiannya. Karena hari-hari Mas Bima ia habiskan di dalam kamar, maka aku tak mau membuatnya tersiksa dengan kamar yang bau dan kotor.Saat perjalanan pulang tadi kubelikan Mas Bima sebungkus nasi yang kubagi menjadi dua bagian. Sebagian untuk Mas Bima, sebagian lagi untuk Danisa. Biarlah aku hanya makan sisa dari Mas Bima saja, toh sudah sering aku menahan lapar dengan banyak minum air putih untuk menekan pengeluaran harian.Saat aku selesai menyuapi Mas Bima, terdengar suara langkah kaki dari ruang tamu. Segera kuletakk
Room Delapan"Duh wajahnya kok lesu begitu, Mbak? Nanti tamunya eneg lihat wajah Mbak!" decak Arum kesal melihat wajahku yang kusut karena terlalu banyak mengeluarkan air mata."Maaf Rum, biar saya cuci muka dulu," sahutku lalu bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka.Ah gini amat ya mau kerja, wajah harus dijaga agar tamu tak jengah lihat wajah kusut ini. Segera kuraih air dalam gayung lalu kusiramkan ke wajah kusutku.Setelah mencuci muka, sebelum Arum menghias wajahku dengan bedaknya, kusempatkan diri untuk berpamitan pada Mas Bima lebih dulu.Mas Bima sedang terpejam di atas ranjangnya. Kuusap lembut pipinya hingga mata itu terbuka sempurna."Mas, aku pergi dulu ya? Nanti akan ada Mas Halim yang datang untuk melihat keadaan Mas. Mas jangan khawatir, insya Allah aku bisa jaga diri. Doakan aku agar peke
Tuan BramRagu aku melangkah ke dalam ruangan yang minim penerangan ini. Namun Arum menggandeng tanganku memaksaku masuk hingga kami berada tepat dihadapan lelaki paruh baya ini.Ah lelaki hidung belang. Sudah tua masih saja main-main di tempat seperti ini, batinku."Ini Tuan, barang baru." Tangan Arum menunjuk daguku."Hemm ... oke. Cantik. Kamu boleh pergi," ucapnya sambil menelisik wajahku.Arum hanya tersenyum mendengar jawaban lelaki di depannya. Kemudian ia berganti menatap wajahku."Sudah ya, Mbak. Saya pergi dulu. Jangan lupa layani Tuan Bram dengan sebaik-baiknya. Jangan buat ia kecewa." Setelah berucap demikian, tanpa ragu Arum menjawil dagu lelaki dihadapannya kemudian berlalu dari hadapan kami dengan jalan yang dibuat seolah-olah ia sedang berjalan sebagai model."Duduk," perintahnya. 
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan"Syaratnya apa Tuan?" tanyaku penuh harap. Tak apalah memenuhi syaratnya yang lain asal tubuhku tak sampai dijamahnya."Saya mau lihat sendiri bagaimana kondisi anak kamu. Saya tak mau asal memberi uang, kebanyakan wanita sepertimu hanya memberikan bualan cerita demi meraih simpati yang mau menolong," ucapnya dingin. Wajahnya tampak tegas ditambah dengan rahang kokoh itu terkatup rapat setelah selesai mengucapkan permintaannya.Aku maklum, karena hal ini biasa terjadi. Jangankan menolong orang, meminta sumbangan pun kadang disalahgunakan."Boleh, Tuan. Saya tidak berbohong. Demi Allah. Silahkan ikut saya ke rumah sakit untuk melihat bagaimana keadaan anak saya. Sudah seharian saya meninggalkannya bersama kakak dan neneknya. Hanya demi mencari rupiah untuk membayar tagihan rumah sakit." Aku pun membalas ucapan tegasnya dengan ucapan ya
Amplop Coklat"Jangan pergi Ibu," ucap Rani dengan isakannya yang tak henti."Sebentar, Nak. Ibu harus mengantar atasan ibu keluar sebentar," ucapku memohon sambil kuusap lembut rambutnya agar ia luluh. Kutatap lebih dalam wajah Rani yang sayu. Matanya mengerjap mendapati aku yang terus memohon dengan bahasa mata."Maaf Tuan. Anak saya rewel," ucapku saat Rani tak kunjung mau lepas dariku."Iya tak apa, saya mengerti." Matanya nanar melihat Rani dengan erat memeluk tubuhku."Sebentar saja ya, Nak?" ucapku memohon."Baiklah." Seiring dengan ucapannya, Rani melepas tangannya dari tubuhku. Kemudian ia beralih duduk di atas ranjangnya sendiri."Mari Tuan," ajakku setelah aku turun dari ranjang Rani dan berjalan keluar ruangan diikuti oleh lelaki gagah nan berkharism
Bimbang"Bu dipanggil Mbak Arum itu dibelakang," ucap Danisa. Ia sesekali menoleh ke belakang, melihat betapa Arum berusaha memanggilku. Sengaja aku tak mau menoleh, aku tak ingin Arum membahas masalah apapun di depan Danisa, terlebih soal pekerjaan."Sudah biarkan saja. Kalau butuh sama ibu biar Mbak Arum datang ke rumah." Ku percepat langkah sambil terus menggandeng tangan Danisa hingga kami sampai di depan rumah."Cepat siap-siap ke sekolah, Nak. Biar nggak kesiangan," ucapku setelah membuka pintu rumah yang ternyata tak dikunci. Mungkin Mas Halim baru saja melihat kondisi Mas Bima sehingga pintu rumah tak dikunci.Tanpa menjawab lagi, Danisa segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap untuk ke sekolah. Sementara aku pergi ke dapur untuk meletakkan nasi yang sudah kami beli setelah turun dari angkutan umum. Lalu menjarang air lebih dulu untuk men
Bak Petir Di Siang HariKupikir jika sedikit saja uang pemberian Tuan Bram kubagi pada Feni untuk membeli kursi roda, masih cukup untuk menebus biaya rumah sakit Rani. Namun aku salah. Biaya untuk observasi luka di kepalanya cukup besar untuk ukuran orang sepertiku.Kini aku sedang duduk kursi di depan pintu kamar rawat Rani. Menatap nanar nota pembayaran yang masih kurang sedikit lagi. Berpikir kemana harus mencari tambahan biaya selain ikut kerja bersama Arum. Sudah cukup sekali saja aku masuk ke dalam tempat seperti itu. Aku tak mau lagi."Kok nggak masuk, Nduk?" Suara ibu mengagetkanku. Segera ku masukkan nota pembayaran dalam kantong gamisku. Lalu kuusap air mata yang mengalir di pipi. Rasa ini sungguh membuatku tak bisa menghentikan air mataku untuk tak mengalir. Namun, aku tak mau ibu melihatku menangis."Nggak apa-apa, Bu. Lagi pengen duduk di sini sebe
Setelah Sepuluh Tahun Pernikahan 12Tanggung JawabAku berjalan dengan langkah gontai. Menyusuri jalanan dengan pandangan nanar dan perasaan berkecamuk. Sebulan itu bukan waktu yang sebentar, cukup lama untukku sanggup berada dalam lingkungan mengerikan seperti itu tiap malam. Tak terbayangkan bagaimana aku sanggup melalui hari-hari dengan bayangan mengerikan dalam gedung tersebut.Apa yang harus kulakukan agar aku bisa keluar dari belenggu yang mengerikan ini? Pada siapa aku harus memohon untuk bisa melepaskan diri ini dari jerat dunia malam? Lagi-lagi aku harus menelan cobaan ini sendiri.Kuhembuskan napas lebih dalam, membuang segala rasa yang menyesakkan dada. Perlahan terbit keyakinan dalam diri bahwa pasti akan ada jalan keluar untuk lepas dari kemelut masalah ini. Semoga saja."Mbak Dewi ...," panggil seseorang saat aku hendak masuk ke halam