“Anton ….”Di dalam ambulance, Mirah masih bisa memanggil nama Anton. Beruntung ipar lelakinya itu ikut mendampingi di dalam mobil ambulance.“Iya, Mbak. Kenapa?”“Eee … eee”Susah bagi Mirah untuk berucap di saat kondisi seperti ini. Tubuhnya benar-benar lemah. Nafasnya pun mulai tersengal-sengal.“Kenapa, Mbak? Mbak mau ngomong apa?”Anton mendekatkan diri dan mencondongkan telinganya ke dekat bibir Mirah. Berusaha mendengar kata yang mungkin akan lemah dan tersapu suara sirine ambulance.“Waktu Mbak gak lama lagi.”“Mbak, gak boleh ngomong gitu! Sebentar lagi kita sampai rumah sakit. Mbak harus kuat! Tahan, sebentar lagi! Katanya Mbak mau ketemu Rinai, anak kami. Ayo semangatkan dirimu! Nanti kalau Mbak sembuh, Laras dan Rinai pasti senang melihatmu.”Mirah yang mendengar semua itu, hanya bisa mengeluarkan air mata. Di dalam hati kecilnya, dia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang disebutkan oleh Anton barusan, tetapi kekuatannya mulai melemah. Tubuhnya tak sekuat dulu. Dia
“Kita omongin di dalam aja, yuk! Malu kalau dilihat tetangga.”“Gak … aku gak mau masuk ke dalam. Aku ke sini cuma mau bertemu Mbak Mirah. Lagipula, tak ada tetangga lain di sini.”Walaupun Anton menolak, Dahlia tetap melancarkan jurusnya. Memaksa Anton untuk masuk ke rumahnya. Pada akhirnya lelaki itu pun setuju demi menemukan titik terang tentang keberadaan kakak iparnya.“Duduk dulu! Biar aku buatin minum!” Dahlia pergi ke dapur. Dia hendak membuatkan minum dengan tangannya sendiri untuk Anton. Sedangkan sang tamu dibiarkan duduk di ruang tamu ditemani tatapan anggota keluarganya yang lain. Iya. Siang itu, para lelaki tak berada di rumah. Hanya ada kumpulan wanita beserta anak-anak di rumah itu. Walaupun begitu, Anton merasa risih akan keberadaan mereka. Ditambah dengan tatapan misterius dari setiap orang yang ada di rumah itu.“Ini minumnya. Silahkan diminum!”Dahlia datang membawa nampan berisi secangkir teh serta biskuit. Membuyarkan perhatian Anton yang sempat tertuju pada tat
“Mas … Mas Parna! Cepat ke sini!”Dahlia berusaha melepaskan diri sembari terus berteriak memanggil sang suami. Dari arah belakang, kini muncul sesosok pria yang Mirah kenal. Dia adalah Parna, suami dari Dahlia.“Loh … loh, kenapa ini, Li?”“Tolong aku, Mas! Aduh … tolong aku! Jangan diem aja.”Setelah diberi titah, lelaki bernama Parna baru mau bergerak. Dia berusaha memisahkan sang istri dengan tetangganya itu. Karena genggaman Mirah cukup kuat di rambut Dahlia, Parna terpaksa sedikit melakukan ke-ke-ra-san.“Aduuuh, Mas. Sakit.”Dahlia akhirnya berhasil dipisahkan dengan Mirah. Wanita itu memegang kepalanya yang terasa nyeri. Sedangkan lawannya terlihat jatuh ke tanah akibat dorongan dari Parna.“Tuh, kan, Mas. Rambutku acak-acakan. Ini semua, gara-gara wanita itu!”Dahlia menunjuk ke arah Mirah yang masih terduduk di halaman rumah.“Cepat bawa dia ke dalam rumah!”“Loh, kamu mau ngapain dia, Li?” Parna penasaran. Tapi sang istri tetap memberi perintah sambil berlalu—-masuk ke dala
Satu tahun kemudian“Oh baik ... baik, Paman. Nanti saya kabarin ke Mbak Mirah.”Anton menekuk wajahnya setelah mendapat telepon dari seseorang. Apa yang kiranya dikabarkan oleh seseorang di seberang sana?“Mas … ini kopinya.”Laras datang sembari membawa secangkir kopi untuk sang suami. Dia heran melihat reaksi sang suami yang hanya mengangguk tanpa melihat ke arahnya. Tak biasanya Anton bersikap seperti ini pada Laras. Pria itu hanya sibuk memainkan ponselnya.“Mas ….”Melihat keanehan yang ada pada sang suami Laras pun ikut duduk di samping Anton.“Iya, Sayang?” jawab Anton tanpa melirik sedikitpun pada Laras.“Mas … kamu lagi nelpon siapa?”“Aku mau nelpon Mbak Laras, Sayang.”“Laras? Aku dong?”Anton menghentikan kegiatannya sejenak setelah mendengar jawaban istrinya. Dia langsung menatap Laras dan tersenyum.“Maaf, Sayang. Maksud aku Mbak Mirah. Tadi ada tetangga desa yang ngabarin aku kalau Dahlia membuat ulah.”“Hah? Kenapa lagi dia, Mas?”“Dia mau menjual rumah Mbak Mirah.”“
“Gimana, Ton? Apa kamu juga setuju dengan keputusan Mbak?”Mirah meminta saran dari adik iparnya itu. Ia ingin menyerahkan rumahnya dirawat oleh Bi Ningsih. Mirah sudah memutuskan untuk bekerja di sebuah panti sosial. Dia mendapat tawaran pekerjaan itu dari orang baik hati yang iba akan nasib Mirah. Wanita malang itu memang harus selalu berinteraksi dengan orang banyak agar kejiwaannya tak kembali kambuh. Lagipula, di panti itu, Mirah akan mendapat banyak teman sekaligus pendampingan, ceramah, pelatihan, untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan kuat mental. Ibaratnya, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Mirah akan bekerja sekaligus memulihkan kondisinya di tempat itu.“Memangnya Mbak sudah yakin ingin pindah dari desa ini?” tanya Anton.Mirah mengangguk dan tersenyum.“Iya, Ton. Aku gak bisa hidup sendirian di desa ini. Aku kesepian. Lebih baik, Mbak menerima tawaran dari teman Mbak itu.”“Tapi Mbak bisa kok ikut aku ke kota. Lagipula, keluarga Mas Bumi kan keluarga Mbak juga. Me
(Oke, Bi. Besok saya pulang ke desa. Untuk malam ini, tolong bujuk Mbak Mirah untuk pulang ke rumahnya, ya.)“Iya, Ton. Salam buat Laras, ya. Semoga Ibu dan bayinya sehat-sehat. Selamat kalian sudah resmi menjadi orang tua.”(Iya, Bi. Terima kasih ucapan dan doanya.)Ningsih memutus sambungan telepon dengan Anton. Kemudian dia beralih kembali pada Mirah. Istri mendiang Bara itu, masih anteng duduk di teras rumah Laras. Dia menunggu kabar dari si empunya rumah.“Gimana, Bi? Apa Laras dan Anton sudah mau pulang?”“Anton baru bisa datang besok siang, Mir. Gak apa-apa, ‘kan? Kita tunggu dia besok, ya.”“Yaaah … jadi aku gak bisa ketemu mereka hari ini? Apa gak bisa dibujuk saja biar pulang hari ini juga, Bi? Ada yang mau aku bicarakan ke meraka. Penting.”“Sepertinya gak bisa, Mir. Laras baru saja melahirkan. Tentunya Anton sedang mendampingi anak dan istrinya kini.”“Apa? Laras sudah melahirkan, Bi?”Mata Mirah berkaca-kaca. Terlihat raut kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Dia terus