04
"Hai, maaf, aku terlambat," ucap seorang pria berkemeja hijau muda sambil menyalami seorang perempuan berjilbab putih yang duduk di kursi seberang."Nggak apa-apa, Mas, aku juga baru nyampe beberapa menit," jawab perempuan bermata besar seraya tersenyum tipis. "Silakan duduk," sambungnya.
"Aku lupa, Jakarta ini kota macet. Keasyikan ngobrol dengan teman sampai nggak ingat kalau sudah janji ketemu kamu, Yu." Pria berhidung bangir mengamati perempuan berparas cantik di hadapan dengan saksama, lalu bertanya, "Apa kabar?"
"Kabar baik. Mas sendiri gimana?"
"Masih patah hati karena lamaranku bulan lalu kamu tolak."
Perempuan yang tidak lain adalah Dahayu, tertawa kecil, kemudian menjawab, "Mana ada Mas ngelamar. Kan, waktu itu cuma pengen ketemu aku dan Mas Bayu di rumah Ayah di Yogyakarta."
"Oh, belum ngelamar, ya? Ya, udah, sekarang aja."
"Ngaco!"
Pria berambut lebat menyunggingkan senyuman. Kemudian dia menarik tas kerja dan mengambil berkas-berkas. Lalu memberikannya pada Dahayu. "Ini, dipelajari dulu. Dijawab nanti setelah makan, karena sekarang aku lapar banget."
"Ehm, Mas mau pesan apa? Tadi aku cuma pesan makanan buatku doang."
"Apa aja yang penting cepat."
"Waduh, lapar berat kayaknya." Dahayu melambaikan tangan untuk memanggil pegawai restoran, kemudian berkata, "Pesan cake dulu, ya, buat ganjal sampai makanan utama tiba."
"Oke, aku mau ...."
"Tiramisu," potong Dahayu.
"Masih ingat rupanya kesukaanku." Pria berbibir penuh mengulaskan senyuman lebar, merasa senang karena Dahayu ternyata masih mengingat hal-hal kecil tentang dirinya.
"Gimana nggak ingat, tiap ketemu dulu pasti mesannya itu." Dahayu mengalihkan pandangan pada pegawai restoran dan menyebutkan pesanan tambahan untuk pria tersebut.
"Yu, kenapa kamu nggak pernah ikutan ngobrol di grup kalau aku muncul?" tanya Imran Maulana Nataprawira, sesaat setelah pegawai restoran pergi.
"Karena kalau aku nimpalin, maka Westi dan yang lainnya bakal ngeledekin," terang Dahayu.
Imran tertawa dan berhasil memancing Dahayu untuk melakukan hal serupa. Kedua orang tersebut meneruskan obrolan hingga pesanan mereka diantarkan oleh pegawai restoran.
"Aku dengar, mantan suamimu sudah punya dua anak. Dan sekarang istrinya tengah hamil anak ketiga," tukas pria berambut belah tengah di sela-sela mengunyah.
"Hmm, Mas kayaknya pengamat dunia gosip," timpal Dahayu.
"Karena aku baru sadar, kalau selama satu tahun terakhir menjalin kerjasama dengan perusahaan dia."
"Loh, kok, aku nggak tau?"
"Memangnya harus tau?"
"Aku ... masih punya saham di perusahaan inti. Mas Zayan maksa, padahal udah kuminta buat dialihkan ke anak-anak, tapi dia tolak."
"Komisaris?"
"Pemegang saham doang. Semuanya di bawah kendali Mas Zay dan Ferdi, serta Mas Malik."
"Oh, begitu. Aku kerjasama dengan Pak Malik dan Bu Novi."
"Perusahaan cabang berarti."
"Memangnya berapa banyak perusahaan di Grup Hatim itu?"
"Nanti kucek lagi di laporan. Lupa, saking banyaknya."
"Pantesan dulu kamu kesengsem berat sama dia, sampai-sampai nggak noleh ke aku yang gagah rupawan ini."
Dahayu spontan melemparkan gumpalan tisu karena kesal digodai teman semasa kuliah dulu. Imran adalah salah satu lelaki yang cukup dekat dengan Dahayu dan ketiga sahabatnya. Namun, pria berkumis tipis langsung menjauh saat mengetahui bila Dahayu tengah menjalin hubungan serius dengan Zayan.
Dahayu sempat bingung karena Imran bersikap seperti itu tanpa sebab yang jelas. Namun, dia tidak punya kesempatan untuk bertanya, karena terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Terutama karena tengah dilanda asmara pada Zayan.
Seusai wisuda, Imran langsung pindah ke Melbourne karena ditugaskan di sana oleh perusahaan tempatnya bekerja. Di kota itulah Imran bertemu dengan Dianita Damayanti yang akhirnya menjadi istrinya. Namun, sayangnya pernikahan mereka hanya bertahan tiga tahun. Setelah berpisah, Imran kembali ke Indonesia bersama putrinya, Nadia yang saat itu baru berusia satu tahun lebih.
Perusahaan tempat Imran bekerja menjalin kerjasama dengan perusahaan jasa keamanan milik Bayu, kakaknya Dahayu. Hal itulah yang membuatnya bisa kembali dekat dengan Dahayu dan teman-teman se-almamater sejak beberapa bulan silam.
*** Semua karyawan di butik pusat milik Dahayu tampak semringah, menyambut bos mereka yang sudah beberapa bulan tidak berkunjung, karena kesibukan Dahayu dalam mempersiapkan pembukaan cabang baru di Banjarmasin.Seusai berbincang beberapa menit dengan semua pegawainya, Dahayu menaiki tangga dengan hati-hati. Setibanya di lantai dua, Dahayu berhenti melangkah dan berdiri di pinggir tembok pembatas.
Perempuan bergaun abu-abu tua memandangi ruangan di lantai satu dengan tatapan penuh kebanggaan. Usaha yang ditekuninya selama sepuluh tahun akhirnya membuahkan hasil yang membahagiakan.
Tak berselang lama Dahayu sudah berada di kursi dekat meja kerjanya. Perempuan berjilbab putih memelototi layar laptop untuk mengecek laporan dari setiap cabang. Selain kantor pusat di Jakarta, cabang butiknya tersebar di beberapa kota besar.
"Permisi, Bu," ujar seorang pegawai berjilbab hitam yang baru saja membuka pintu.
"Ya? Ada apa, Mira?" tanya Dahayu.
"Ada tamu di depan. Mau ketemu sama Ibu."
"Oke, persilakan masuk."
Saat pegawai itu berbalik, Dahayu berpindah ke depan cermin untuk merapikan jilbab dan gaun. Pintu yang didorong dari luar membuat Dahayu spontan membalikkan badan dan seketika tertegun.
"Assalamualaikum," sapa kedua tamu itu nyaris bersamaan.
"Waalaikumsalam. Silakan masuk," jawab Dahayu seraya memaksakan senyuman. "Ayo, duduk dulu," ajaknya yang segera dikerjakan kedua tamu. "Apa kabar, Mas dan Jeehan?" tanya Dahayu sembari memandangi kedua tamu dengan lekat.
"Kabarku baik, demikian pula dengan Jeehan." Sang pria yang tak lain adalah Elang, mantan kekasih Dahayu, mengamati perempuan di hadapan dengan saksama, dan merasa senang karena hatinya tidak lagi bergetar saat pandangan mereka bertemu. "Kamu, sehat?" tanyanya.
"Iya, Mas. Alhamdulillah, aku sehat." Dahayu terdiam sejenak, lalu dia bertanya, "Ada angin apa, nih, kalian ke sini?"
"Kami mau mengantarkan ini." Jeehan membuka tas hitamnya dan mengeluarkan selembar kartu undangan yang diberikannya pada Dahayu. "Kalau bisa, datang, ya, Yu. Kami akan senang sekali kalau kamu bisa hadir," lanjutnya.
Dahayu tertegun sebelum mengambil kartu undangan hijau muda dan membaca nama pasangan yang akan menikah. Sedapat mungkin Dahayu menetralkan hati sebelum menengadah dan mengulaskan senyuman. Walaupun dia tidak menyangka bila kedua orang tersebut akhirnya akan menikah, tetapi Dahayu ikut senang mengetahui hal itu.
"Selamat, Mas dan Jeehan. Aku usahakan akan datang," tutur Dahayu. "Kalau boleh tahu, sejak kapan kalian memiliki hubungan khusus? Maaf, kalau aku sedikit lancang, tetapi aku benar-benar penasaran," sambungnya.
"Sebetulnya kami baru membicarakan hal ini dua bulan terakhir, Yu. Karena kemaren-kemaren kami sama sekali nggak ada pendekatan, hanya saja anak-anak, kan, sering mengunjungi Nandira di rumahnya dan sering ketemu Jeehan, jadi sepertinya anak-anak yang telah mendekatkan kami," terang Elang sambil melirik perempuan di samping kiri yang membalas dengan senyuman.
"Alhamdulillah. Aku ikut senang, dan semoga semuanya dimudahkan," sahut Dahayu seraya menyunggingkan senyuman.
"Makasih, Yu," tukas Elang. "Dan maaf, kami nggak bisa lama-lama di sini, karena harus mengantarkan undangan secara pribadi ke orang-orang penting," sambungnya sembari berdiri dan mengatupkan kedua tangan di depan dada yang dibalas Dahayu dengan hal serupa.
"Kami pamit, Yu. Dan jangan nggak datang nanti. Aku bakal ngambek," pungkas Jeehan sambil menyalami dan beradu pipi dengan Dahayu.
"Insyaallah," timpal Dahayu. "Mari, kuanterin sampai bawah," lanjutnya.
"Nggak usah, Yu. Kamu pasti lagi sibuk. Lanjutkan aja," tolak Elang.
"Ehm, oke, deh. Hati-hati di jalan." Dahayu melambaikan tangan dari depan pintu ruangannya. Saat pasangan tersebut menjauh, Dahayu menutup pintu dan menyandar pada benda besar itu.
Kendatipun Dahayu dan Jeehan sering bertemu di berbagai kesempatan, tetapi mereka memang tidak akrab dan hanya berteman biasa. Hingga Dahayu betul-betul tidak mengetahui hubungan perempuan berparas manis tersebut dengan Elang.
64*Grup EMERALD*Jauhari : Selamat datang, Semua komisaris. Beni : Salam hangat dari London. Faruq : Perkenalkan, saya, Faruq. Manajer marketing EMERALD. Naveen : Dan saya, Naveen. Manajer umum. Bryan : Aku, komisaris juga, ya? Jauhari : Iya, @Pak Bryan. Bryan : Lupa aku. Pokoknya nyetor aja duit ke Varo. Terserah dia mau beliin saham perusahaan mana. Fritz : Boleh beli saham Hayaka Grup, @Mas Bryan. Hadrian : Kebetulan aku lagi butuh dana segar buat proyek Yunani. Tolong tambahkan, @Mas Bryan. Chyou Jaden Cheung : Mau beli saham CJC atau Cheung Grup, aku akan sangat senang sekali. To Mu Zheung : Borong saham Zheung Grup, dijamin sukses nambah saldo rekening. Bryan : Aku mau beli saham perusahaan baru saja. Yang lama, dimohon menyingkir. Hendri : Padahal aku baru mau ngajukan proposal proyek di Kanada. Mungkin Mas @Bryan mau join. Bryan : Proyek mana, @Hendri? Hendri : Kemaren baru dirembukkan sama @Mas Benigno. Benigno : Di Ontario. Tapi aku belum deal sama pemerintah
63Ruang pertemuan di hotel Janitra, Minggu siang itu tampak ramai. Para tamu undangan berulang kali tertawa akibat drama yang ditampilkan para bos PG. Telah menjadi peraturan tidak tertulis. Jika yang menikah adalah anggota PC, maka tim PG dan PBK yang menjadi pengisi acara. Begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, karena saat resepsi di Yogyakarta minggu lalu tidak banyak bos PG yang hadir, akhirnya tim 7 PC dan tim PBK yang mengisi acara pertunjukannya. Dahayu mengusap sudut matanya, ketika menyaksikan tingkah para komedian yang tengah berlakon sebagai tokoh wayang. Kisah perang Bharatayuda yang seharusnya menegangkan, berubah menjadi drama lucu. "Kakanda Yudhistira, biarkan aku yang maju untuk memenggal kepala Duryodana!" seru Hadrian yang berperan sebagai Arjuna. "Kemarin saja kamu kalah adu layangan dengan dia. Jangan sok-sokan mau membunuhnya," ledek Dante yang berlakon sebagai Nakula. "Kakanda Nakula benar," imbuh Calvin yang menjadi Sadewa. "Sesama saudara, jangan saling m
62Setelah 2 hari menginap di rumah Dartomo, Dahayu mengajak suami dan anak-anaknya menginap di rumah Bagja. Kedatangan mereka disambut kedua orang tua Dahayu dengan sangat hangat. Bahkan Bagja dan Jamilah memaksa agar Aldi, Aldo serta Alfian tidur di kamar utama. Selama 2 hari di rumah mertuanya, Arya banyak berdiskusi dengan Bagja. Pria tua berkumis memberikan wejangan tentang bisnis dan tips menjalani kehidupan. Tibalah hari kepindahan keluarga Arya ke Jakarta. Kedua orang tuanya dan keluarga Dahayu turut berangkat ke Jakarta, untuk mengantarkan keluarga baru tersebut. Sesampainya di bandara Cengkareng, Arya terkejut saat didatangi petugas bandara, yang menyampaikan pesan dari Alvaro. Seusai memastikan semua barang tersusun rapi di troli, Arya mendorong kereta Alfian yang tengah terlelap sejak masih dalam pesawat. Arya bergegas ke pintu keluar terminal kedatangan penerbangan domestik. Dia celingukan, sebelum mendatangi beberapa orang berseragam safari hitam, yang telah menung
61Jeritan para bocah mengagetkan Arya pagi itu. Dia belum sempat mengubah posisi badan, ketika Aldi dan Aldo melompat ke kasur. Alfian berusaha memanjat tempat tidur, sebelum akhirnya diangkat Arya dan didudukkan di dekat kedua kakaknya. Arya meringis kala ketiganya meloncat-loncat, kemudian dia meminta para bocah untuk berhenti melakukan itu dan duduk bersila di dekatnya. Dahayu muncul sambil mendorong troli penuh makanan. Dia berhenti di dekat meja, lalu memanggil ketiga anak sambungnya yang segera mendatangi sang ibu. Dahayu meminra ketiga lelaki kecil untuk duduk di sofa. Kemudian dia membagikan potongan kue pada mereka. Dahayu berdiri dan beralih membuat minuman untuk dirinya serta Arya. Pria berkumis tipis bangkit dari kasur. Alih-alih menuju kamar mandi, Arya justru bergabung dengan anak-anaknya, sambil memerhatikan Dahayu yang rambutnya masih lembap. Arya mengulum senyuman. Malam pertama mereka berlangsung penuh kehangatan. Sama-sama lama sendirian, menjadikan Dahayu dan
60 Malam itu, Arya mengecek kondisi ketiga putranya di family room lantai tiga. Sisi kanan lantai itu menjadi area khusus keluarga Arya dan Dahayu. Sementara sisi kiri ditempati para bos PG dan PC serta petinggi PBK. Semua pengawal muda dan tim butik ditempatkan di lantai 4. Sedangkan Zayan dan keluarganya menginap di lantai 5 yang sisi kirinya merupakan tempat khusus keluarga Hatim, bila tengah berkunjung ke Yogyakarta. Setelah memastikan Aldi, Aldo dan Alfian terlelap, Arya berpamitan pada Wahyuni, Intan dan Resna yang turut menemani ketiga bocah tersebut. Tidak berselang lama, Arya sudah berada di koridor panjang yang dalam kondisi lengang. Dia memasuki lift untuk menuju kamar pengantin di lantai 7, yang merupakan area tertinggi di gedung itu. Zayan sengaja menempatkan Arya dan Dahayu di president suite yang baru dibangun 6 bulan silam. Selain supaya pasangan pengantin memiliki privasi, Zayan ingin menunaikan janjinya pada Dahayu, yakni melaksanakan pernikahan mantan istrinya
59 "Silakan dimulai, Engkoh Wew Wiw Ya, Abang Z, dan Kang H," tukas Fikri yang bertugas sebagai MC, bersama Khairani. "Pasukan owe belum semuanya datang," jawab Wirya dengan dialek khas orang Chinese. "Dipanggil aja, Koh," usul Khairani. "Biaya memanggilnya itu mahal," cetus Wirya. "Enggak apa-apa. Nanti tagihannya dibebankan ke PBK," papar Fikri. "Jangan cari masalah. Dirutnya garang," seloroh Zein. "Bukan garang lagi, tapi bengis bin sadis," imbuh Hendri. "Pokoknya jangan disenggol. Tanduknya akan muncul di kepala." "Taringnya pun keluar. Panjangnya 50cm." "Kalau lagi kumat sisi buruknya, musuh akan dikunyah." "Enggak dimasak dulu?" "Sudah dipanggang pakai jurus 3." "Stop!" sela Wirya. "Ngomongin dia itu nggak akan ada habisnya. Apalagi dia adalah anak kesayangan Emak OY yang pasti muncul di semua buku baru," lanjutnya. "Tidak terbantahkan emang," timpal Zein. "Apalah kita, nih. Hanya jadi pendukung yang jarang muncul," keluh Hendri. "Akang masih mending. Buku hororn
58 Ruang pertemuan besar di hotel milik Hatim Grup, Sabtu siang itu terlihat ramai. Perhelatan akbar pernikahan Arya dan Dahayu berlangsung meriah. Pasangan pengantin terlihat semringah. Mereka menyambut ucapan selamat dari semua tamu, dengan sangat ramah.Arya yang memang murah senyum, nyaris tidak berhenti mengukir senyumannya. Demikian pula dengan Dahayu yang tampil sangat cantik dan anggun. Gaun pengantin sage bertabur permata asli buatannya, menjadikan Dahayu benar-benar memesona. Ditambah dengan riasan wajah hasil penata rias ternama, menjadikan tampilan wajahnya terlihat makin menawan. Arya yang mengenakan setelan jas sage yang serupa dengan gaun Dahayu, terlihat berulang kali menatap pengantinnya dengan sorot mata memuja. Hal itu ternyata tertangkap jelas oleh rekan-rekan Arya yang berada di tempat VIP sisi kiri pelaminan. Mereka memvideokan tingkah sang pengantin pria, kemudian mengirimkannya ke grup PC dan PG utama. Tepat pukul 2, semua lampu utama diredupkan. Beberapa
57Sepanjang acara siraman, Dahayu nyaris tidak berhenti menangis. Dia teringat tingkahnya di masa lalu yang menyebabkan kedua orang tuanya kecewa. Begitu pula saat Bayu dan Nana menyiraminya dengan pelan, Dahayu memegangi pinggang sang kakak sambil sesenggukan. Bayu turut memeluk adiknya tanpa peduli jika bajunya akan basah. Pria bertubuh montok terbayang masa kecil hingga remaja dirinya dan Dahayu, yang nyaris selalu bersama. Mereka baru mulai memiliki kehidupan masing-masing, setelah Bayu kuliah. Putra sulung Bagja mengurai dekapan, kemudian dia merunduk untuk mengecup dahi adiknya yang masih terisak-isak. "Semoga pernikahan ini menjadi yang terakhir buatmu, Yu," tutur Bayu sambil mengusap jilbab putih adiknya yang basah. "Ya, Mas. Aamin," jawab Dahayu. "Jangan terlalu keras kepala. Sekali-sekali mengalah dan nurut sama suami. Walaupun Arya itu penyabar, tapi kalau kamu ngeyel terus, lama-lama dia bosan buat ngalah." "Inggih." "Kamu akan jadi Ibu dari 3 anak. Kurangi jam ke
56Sore itu, Arya dan keluarganya mengunjungi makam Erni. Aminah, Ningtyas dan yang lainnya, turut bergabung untuk membacakan doa buat almarhumah Erni. Arya bermonolog dalam hati, untuk meminta izin pada Erni, karena sebentar lagi dia akan menikahi Dahayu. Pria berkaus krem memejamkan mata sambil membayangkan sosok Erni, yang masih memiliki tempat spesial di hatinya. Puluhan menit terlewati, kelompok tersebut telah berada di dua mobil MPV. Ajudan Arya yang bernama Amir, mengemudikan mobil bosnya sembari menghafalkan jalan. Sementara di mobil Nazriel, pria tersebut tengah melatih ajudannya, Syamil, agar bisa lebih lancar menyetir. Sementara Aminah, Ningtyas dan Farid, suami Ningtyas, berbincang di kursi tengah. Dua perempuan di belakang yang merupakan perawat dan ajudan Aminah, memerhatikan sekeliling sambil mengobrol. Tika dan Resna, bisa langsung akrab sejak pertama kali bertemu di kediaman Aminah di Kediri. Setibanya di tempat tujuan, Gunawan dan Tami menyambut kelompok tersebu