Malam itu, Neon City tampak seperti kota yang melupakan napasnya sendiri. Langit penuh kabut neon, namun keheningan yang menggelayut terasa tidak wajar. Di salah satu gedung pencakar langit, sebuah pertemuan rahasia berlangsung, jauh dari jangkauan dunia. Tapi di balik bayangan gelap gedung itu, tiga sosok bersiap mengubah takdir kota.
Alan berdiri di depan jendela besar, matanya tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. Dia tidak pernah memalingkan pandangan meski malam di luar begitu gelap. Detik-detik terakhir sebelum mereka bergerak terasa seperti bom waktu. Namun wajahnya tetap tak terganggu. Baginya, malam ini bukan sekadar misi—ini adalah awal dari revolusi. "Dewi, semuanya sudah siap?" tanya Alan, suaranya rendah tapi penuh kendali. Dewi memutar-mutar pisau kecil di tangannya, kebiasaan yang hanya muncul saat kecemasannya tak bisa disembunyikan. Tapi dia, seperti biasa, tetap memberi kesan tak kenal takut. "Siap. Pintu belakang sudah bersih. Jalur masuk juga sudah aku pastikan aman. Mereka bahkan nggak akan sadar kita di sini sampai semuanya selesai." Alan mengangguk, tapi tak memberi pujian. "Bagus. Tapi jangan terlalu percaya diri. Satu kesalahan saja bisa membuat kita semua berakhir di tangan mereka." Thomas duduk di sudut ruangan, jari-jarinya sibuk menari di atas layar ponselnya yang dimodifikasi khusus. "Aku sudah memotong semua komunikasi di gedung ini. Mereka akan buta dan tuli selama kita ada di sini. Tapi kita hanya punya lima menit sebelum sistem cadangan mereka aktif lagi." "Kalau begitu, kita buat setiap detik berarti," Alan menjawab, nadanya tajam seperti pedang. "Ingat, ini langkah pertama. Kalau kita gagal, mereka akan tahu kita ada, dan itu akan mempersulit segalanya." Dewi tersenyum tipis, matanya menyala penuh antusiasme. "Kalau gagal, setidaknya kita bikin ledakan besar untuk dikenang." Thomas melirik Dewi dengan ekspresi setengah khawatir, setengah kesal. "Ledakan besar hanya bagus kalau itu direncanakan, Dewi. Jangan bikin kita jadi legenda karena mati bodoh." Mereka bergerak dengan keheningan yang mencekam, menyelinap masuk melalui pintu belakang gedung. Setiap langkah terasa seperti pertaruhan, tapi Dewi memimpin jalan dengan keyakinan seorang pemburu yang tahu pasti jalurnya. Di belakang, Alan dan Thomas memastikan tidak ada yang tertinggal—tidak ada jejak, tidak ada kesalahan. Saat mereka mencapai ruang server, ketegangan semakin terasa. Alan memberi isyarat dengan tangannya, dan Dewi menoleh untuk memeriksa pintu yang dijaga oleh dua pria bersenjata. "Dua penjaga," bisik Dewi. "Cepat atau lambat, mereka akan tahu kita di sini." "Kita buat cepat," Alan memutuskan. "Thomas, awasi sekitar. Jangan biarkan ada alarm berbunyi." Thomas mengangguk, jari-jarinya sudah sibuk di perangkatnya. Sementara itu, Alan dan Dewi bergerak. Dewi menyelinap seperti bayangan, menghampiri penjaga pertama. Dengan gerakan cekatan, dia mengalungkan tali plastik di leher pria itu, membungkam jeritannya dalam sekejap. Alan bergerak di waktu yang sama, menghantam penjaga kedua dengan presisi mematikan. Mereka masuk ke ruang server tanpa suara, dan Alan langsung bekerja pada terminal utama. Kode demi kode dimasukkan dengan kecepatan mengagumkan. Namun, hanya beberapa detik setelah dia memulai, layar monitor menyala dengan peringatan merah menyala. "Sial!" desis Dewi, matanya waspada. "Mereka tahu kita di sini." Alan tidak menjawab, fokusnya tertuju pada layar. Tangan-tangannya bergerak cepat, mencoba menonaktifkan alarm. "Thomas, butuh gangguan di sistem utama mereka. Cepat!" Thomas mengetuk layar dengan intensitas yang jarang terlihat. "Sedang aku coba. Tapi mereka punya pengaman yang lebih ketat dari dugaanku." Pintu besi di belakang mereka tiba-tiba terbuka dengan keras, diikuti derap langkah cepat. Penjaga bersenjata menyerbu masuk, dan dalam sekejap, ruang server berubah menjadi medan pertempuran. Dewi bergerak cepat, menghunus Crimson Scythe-nya dan menyerang tanpa ragu. Senjata itu berkilau di bawah cahaya monitor, menciptakan bayangan yang mengerikan. Alan, dengan senjata tersembunyi yang selalu siap, menembak dengan ketenangan seorang pembunuh terlatih. Thomas tetap di belakang, tapi tangannya sibuk memastikan data yang telah diunduh tetap aman. "Lima puluh persen lagi! Tahan mereka!" teriaknya. Dewi tertawa di tengah serangan, seperti menikmati adrenalin pertempuran. "Mereka harus bawa pasukan lebih besar kalau mau menghentikanku!" Alan mengarahkan tembakannya ke salah satu penjaga yang hampir menyerang Thomas. "Fokus, Dewi! Kita belum selesai." Setelah apa yang terasa seperti selamanya, data akhirnya selesai diunduh. Alan meraih perangkat keras dari terminal, lalu memberi isyarat pada timnya. "Kita keluar. Sekarang." Meski dikepung, mereka berhasil meloloskan diri melalui jalur darurat yang telah direncanakan sebelumnya. Namun, saat mereka tiba di mobil, napas mereka masih berat, dan ketegangan masih menggantung. Dewi menyeka darah dari pipinya, senyum puas menghiasi wajahnya. "Aku bilang juga, ini baru permulaan." Alan menatapnya, lalu Thomas. Di balik matanya yang tajam, ada api tekad yang tak pernah padam. "Dan kita harus memastikan langkah selanjutnya lebih sempurna. Karena mereka tidak akan membiarkan ini berlalu begitu saja." Tanpa menunggu jawaban, Alan menyalakan mesin dan melaju ke dalam gelap, meninggalkan Neon City di belakang. Tapi jauh di dalam kegelapan, The Council sedang mempersiapkan balasan.Alan duduk di tepi ranjang tua sebuah kamar motel yang berbau lembap. Lampu redup menggantung di atas kepala, memberikan cahaya kuning pucat yang memantulkan bayangan samar di dinding kusam. Heningnya malam di luar hanya dipecah oleh suara serangga dan sesekali bunyi kendaraan yang lewat di jalan raya dekat motel. Alan menggenggam kepalanya, kedua sikunya bertumpu pada lutut. Raut wajahnya lelah, jauh lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sudah berjam-jam ia duduk di sana, tetapi pikirannya terus berputar. Peristiwa perpecahan dengan Rekan-rekannya terulang kembali dalam benaknya, seperti rekaman yang tak bisa dihentikan. Kata-kata Rey menghantam dirinya berkali-kali, menembus lapisan-lapisan ketahanan emosinya. "Kami tidak bisa terus bersama. Kau membawa terlalu banyak masa lalu, Alan. Kami tidak bisa bertahan dengan beban seperti itu." Satu kalimat itu saja sudah cukup untuk membuat hatinya retak, tetapi tatapan kecewa Dewi membuat semuanya lebih buruk. Alan tidak bisa melupaka
Malam itu, Alan berlari sekuat tenaga, menembus lorong-lorong gelap yang dingin di markas besar The Council. Suara langkah kakinya menggema, berbaur dengan teriakan dan suara alarm yang memekakkan telinga. Ia tidak memedulikan semua itu. Tubuhnya bergerak seperti naluri, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Air mata bercucuran tanpa henti di wajahnya, bercampur dengan darah dan keringat. Setiap tikungan membawa bayangan rekan-rekannya yang telah gugur. Wajah Adrian dengan senyum penuh keyakinan, sekarang tak bernyawa. Sophia, yang selalu membawa semangat dalam tim, tergeletak di lantai dingin dengan mata terbuka kosong. Suara mereka yang tertawa, bercanda, dan menyemangatinya kini digantikan oleh gema pilu yang terus berputar di kepala Alan. “Aku bodoh…” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak terdengar. "Aku yang menyebabkan ini..." Langkahnya terhuyung ketika ia mendekati pintu keluar. Tembakan dan teriakan masih terdengar jauh di belakangnya, tetapi semakin memudar seiri
Tahun-tahun berlalu, dan Alan, yang dulunya anak kecil tanpa tempat berlindung, kini berdiri sebagai sosok dewasa yang dipenuhi keyakinan. Pada usia 20 tahun, ia telah berubah menjadi bagian inti dari Pasukan Perubahan. Setiap langkahnya mencerminkan kerja keras, dedikasi, dan rasa terima kasih kepada mereka yang memberinya kesempatan kedua dalam hidup. Alan tidak hanya bertempur; ia hidup untuk misinya. Rekan-rekannya melihatnya sebagai seseorang yang membawa keberanian sekaligus ketenangan, bahkan di tengah situasi yang paling genting. Saat timnya hampir kehilangan harapan, Alan selalu menemukan cara untuk mengembalikan fokus mereka. "Dia tidak hanya bertarung dengan tubuhnya," ujar Adrian suatu malam, "dia bertarung dengan jiwanya." Di medan perang, Alan adalah perpaduan antara presisi dan insting. Langkah-langkahnya terasa seperti bagian dari rencana besar yang selalu berhasil, meskipun tampak mustahil. Suaranya jarang meninggi, tetapi setiap kata yang keluar membawa otoritas y
Langit kelabu menyelimuti puing-puing kota yang hancur. Asap hitam masih mengepul dari bangunan-bangunan yang runtuh, suara gemuruh ledakan yang menjauh menjadi saksi bisu dari tragedi yang baru saja terjadi. Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil duduk memeluk lututnya. Pakaian compang-campingnya penuh dengan debu dan darah. Wajahnya yang penuh luka terlihat kosong, matanya menatap jauh, tetapi tidak benar-benar melihat apa-apa. Dia baru saja kehilangan segalanya. Rumahnya hanya serpihan yang berserakan di tanah. Keluarganya? Tidak ada lagi yang tersisa. Bom yang menghujani kotanya telah merenggut mereka dalam sekejap mata. Hanya dia yang masih hidup, meski terasa seperti hidup hanyalah hukuman. Langkah kaki terdengar dari arah reruntuhan. Seorang pria muncul, siluetnya berdiri tegak di tengah debu dan asap. Tubuhnya diselimuti mantel panjang hitam, wajahnya tertutup sebagian oleh masker, hanya menyisakan sepasang mata tajam yang bersinar penuh misteri. Dia berjalan perlahan, m
Di sudut gelap sebuah ruangan luas yang dipenuhi layar monitor, seorang pria berjas hitam duduk dengan sikap santai. Wajahnya samar-samar terlihat dalam cahaya biru yang terpancar dari layar-layar tersebut, menampilkan rekaman real-time dari perpecahan tim. Tangan kirinya memegang secangkir anggur merah, sementara tangan kanannya bermain dengan cincin perak di jarinya. “Kita tidak perlu melakukan apa-apa,” katanya dengan suara rendah, hampir berbisik, namun penuh dengan keyakinan. “Lihat bagaimana mereka menghancurkan diri sendiri.” Sebuah tawa kecil terdengar dari sudut ruangan yang lain. Seorang wanita dengan rambut hitam panjang, mengenakan mantel hitam panjang, melangkah mendekat. “Manusia memang selalu menjadi musuh terburuk bagi diri mereka sendiri,” katanya sambil menatap layar yang menampilkan Rey dan Sophia berjalan menjauh dari Alan. “Semakin kita mendorong mereka, semakin dalam retakan itu terbentuk.” Pria itu mengangguk perlahan, matanya tajam seperti elang yang mengin
Saat kendaraan terus melaju, angin kencang menerpa kaca mobil, seolah menggambarkan keretakan dalam kelompok mereka. Alan mengemudi dengan fokus, tetapi keheningan di dalam mobil semakin menekan. Setiap anggota tim masih berjuang dengan pikirannya masing-masing, berusaha mengatasi konflik yang telah terjadi. Rey duduk di sebelah Dewi, menatap lurus ke depan, wajahnya penuh amarah dan kekecewaan. "Aku tidak tahu lagi, Dewi," katanya dengan suara rendah. "Aku merasa seperti aku tidak tahu siapa lagi yang harus dipercaya di sini. Alan—Alan adalah bagian dari The Council. Bagaimana aku bisa mempercayainya sekarang?" Dewi menghela napas panjang, melirik ke arah Rey. “Aku mengerti perasaanmu. Tapi kita harus berpikir rasional. Kalau kita terus-terusan berperang dengan satu sama lain, kita hanya akan memperburuk keadaan.” Rey menatapnya tajam, tetapi tidak menjawab. Di dalam dirinya, rasa sakit dan pengkhianatan sudah terlalu dalam untuk diabaikan begitu saja. “Bagaimana kalau kita b