Share

Kejadian yang Tidak Biasa

"Arghh!" teriak Hikaru yang terduduk dengan napas ngos-ngosan dan keringat dingin yang membanjiri pelipisnya. Matanya menatap nanar keadaan sekitarnya.

Kepalanya menoleh ke arah TV yang berada di sebelah kanannya, masih dalam keadaan menyala. Lalu melihat jendela yang berada di hadapannya yang memperlihatkan kalau langit sudah mulai gelap dan sepertinya hujan deras.

Remaja itu lalu menarik napas dalam-dalam, berusaha menetralkan jantungnya yang masih berdegup kencang. Sampai kemudian suara password pintu apartemennya berbunyi diiringi bunyi beep dan kemudian terbuka.

"Hikaru?!" panggil sebuah suara yang menyerupai suara anime kesukaannya. "Kenapa gelap begini?" tanya suara itu lagi bersamaan dengan lampu yang mulai menyala.

"Elisa Noona?" panggilnya pelan.

"Oh! Kau ada disini? Kenapa tidak menyalakan lampu?" tanya Elisa yang menoleh menatap Hikaru tapi kemudian langsung berjalan ke arah dapur, menaruh dua kotak pizza berukuran besar serta tiga kantong plastik yang sepertinya berisikan cemilan dan bahan makanan.

Hikaru masih menatap punggung Elisa yang sibuk mengeluarkan bahan makanan dan cemilan yang ia beli dari ruang TV. Dapur dan ruang TV di apartemen mereka memang bersebelahan. Jadi Hikaru masih bisa melihat tubuh Elisa.

"Kau kenapa?" tanya Elisa menatap Hikaru di pintu kaca terbuka yang memisahkan ruangan dapur dengan ruang TV.

"A-apa? Ti-tidak apa-apa kok. Kau membeli pizza rasa apa?" tanya Hikaru berusaha mengalihkan tatapan menyelidik Elisa sambil berjalan menuju meja makan tempat Elisa menaruh pizza yang ia beli.

Elisa masih menatap Hikaru yang baru saja melewatinya. Ia terlalu mengenal Hikaru, jadi ia tahu kalau remaja yang tingginya sudah menyamai tinggi Ethan itu sedang merahasiakan sesuatu.

Meskipun ia gatal ingin memaksa Hikaru agar bercerita padanya, Elisa memilih untuk membiarkannya untuk sekarang. Mungkin nanti saat Ethan sudah pulang baru akan ia tanyakan lagi supaya Hikaru tidak perlu bercerita dua kali.

"Buka saja duluan. Aku mau mandi dulu," kata Elisa melangkah menuju kamar tidurnya yang berada di belakang ruang TV.

Pemudi berkaki jenjang itu mengambil baju ganti lalu kembali keluar kamar. Ia berjalan ke arah ruang mesin cuci yang berada sebelah dapur. Kemudian melangkah masuk ke kamar mandi yang berada di sebelahnya.

Elisa mengikat rambut panjangnya setelah menggantung handuk dan bajunya.

"Kau bisa melihatku kannnn~," desis seorang perempuan berwajah pucat dengan luka di kepalanya.

Si pemudi jelas dapat melihatnya, namun ia memilih tak acuh. Dengan santai ia membuka pakaiannya dan mulai masuk ke ruang shower dan menyalahkan air.

"Jangannn berpura-puraa .... Aku tahu kau bisaaa melihatkuuu~," ucap si hantu lagi yang kini sengaja menyempilkan kepalanya diantara dinding kamar mandi dan wajah Elisa.

Namun, sekeras kepalanya si hantu, Elisa jauh lebih keras kepala. Ia benar-benar tidak peduli dengan keberadaan si hantu. Sambil berusaha sebaik mungkin untuk sama sekali tidak menatap mata si hantu dan mulai menyabuni tubuhnya.

Hingga akhirnya saat ia sudah selesai membasuh tubuhnya dan mulai menyeka air di tubuhnya, si hantu yang masih mengganggunya membuatnya bergidik kedinginan karena dengan sengaja melewati tubuhnya agar Elisa menaruh perhatian padanya.

Percayalah, dilewati oleh hantu amat sangat tidak enak. Rasanya seperti disiram dengan air es secara tiba-tiba dari luar dan meminum air super dingin. Dan itulah yang saat ini dirasakan Elisa, menggigil hingga ke tulang-tulang. Mengakibatkannya tidak lagi bisa mendiamkan si hantu menyebalkan.

Dengan tatapan ekstra kesal, Elisa menoleh ke arah si hantu yang terkikik senang karena mendapat perhatian Elisa.

"Kitsune kun. Sedikit jeritan kurasa tidak apa," desis Elisa dengan fokus menatap si hantu yang mulai terbelalak ketakutan ketika menyadari seekor roh rubah berekor sembilan yang mulai memperlihatkan wujudnya.

"Ma ... maafkan akuuu ...~," lirihnya lalu berlari pergi meninggalkan jejak asap.

"Cih! Penakut tapi iseng," gerutu Elisa yang kini sudah berpakaian lengkap dan melangkah keluar kamar mandi.

"Apa Ethan sudah pulang?" tanya Elisa pada Hikaru yang sedang memakan cemilan kentang.

"Baru saja. Ayo bersiap," ucap Ethan yang baru saja keluar dari kamar tidurnya bersama Hikaru yang bersebelahan dengan kamar tidur Elisa. Hanya saja, pintu masuk kamarnya berada di samping  pintu masuk ke ruang TV.

"Apa tidak mau makan dulu?"

"Sambil saja. Jadi begitu Paman Kim datang kita bisa langsung memulai," jawab Ethan yang masih menggunakan pakaian polisinya.

"Baiklah kalau begitu. Makanlah. Kau pasti lelah. Biar aku yang menyiapkan," ucap Elisa sambil menarik kursi makan di sebelah Hikaru untuk Ethan dan mulai membuka kotak pizzanya. Lalu meninggalkan mereka berdua menuju ruang TV, mempersiapkan ritual untuk Hikaru.

"Apa yang kau rasakan hari ini, Hikaru?"

"Ti-tidak. Maksudku, biasa saja Hyung." ucap Hikaru cepat.

"Kau mengalami sesuatu bukan? Jangan menyembunyikannya, Hikaru yya. Kau tahu persis, rahasia bisa melukai siapapun diantara kita," tutur Ethan setelah menelan pizza yang dikunyahnya.

"I-itu ...." Hikaru menceritakan mimpinya yang didatangi Kakek Watai dan bagaimana sang kakek menyalahkannya atas tragedi tujuh tahun lalu serta berusaha membunuhnya.

Dari ruang TV, Elisa menghela napas panjang. Kemudian menoleh, menatap ke arah Hikaru sambil membersihkan tangannya dengan tissue basah.

"Hikaru yya. Tidak ada yang salah atas kejadian tujuh tahun lalu karena tidak ada orang yang tahu kalau roh jahat itu akan datang. Jadi jangan merasa bersalah. Kakek Watai tidak akan pernah menyalahkanmu."

"Dengarkan katanya. Walau otaknya sedikit kurang, tapi kali ini Elisa berkata benar, Hikaru yya."

"Yak!"  Elisa baru saja mau menggetok kepala Ethan ketika sebuah suara riang menyapa mereka.

"Anak-anak!" teriak Paman Kim yang tiba-tiba sudah masuk ke dalam apartemen mereka. "Apa kalian sudah siap? Seharusnya diadakan saja di rumahku. Wow! Pizza," ujarnya Paman Kim sambil menyomot satu slice pizza.

"Ayo habiskan makannya. Sebentar lalu kita mulai ritualnya."

"Apa itu perlu, Hyung?"

"Sangat. Kau bisa menggila jika kemampuan meramalmu luber tanpa ada saringan. Bisa-bisa kau tidak lagi mampu membedakan dunia nyata dan ramalanmu. Jadi lebih baik berjaga-jaga, okay," senyum Ethan, mengelus puncak kepala si remaja bersuara rendah itu.

"Tidak usah khawatir. Aku pastikan, tidak akan terjadi apapun," senyum Ethan sebelum akhirnya benar-benar melangkah menuju tempat cuci baju.

"Kakakmu benar, Hikaru." Paman Kim tersenyum menatap Hikaru, seorang anak lelaki kecil yang ia temukan tujuh tahun lalu itu kini sudah tumbuh dewasa.

Mereka melakukan ritual sederhana dimana Hikaru duduk di hadapan Paman Kim yang mengenakan baju tradisional cenayang. Paman Kim mulai berkomat-kamit merapalkan doa, di tangan kanannya memegang sebuah tongkat yang ujungnya terdapat potongan pita kertas yang kalau diperhatikan mirip cambuk.

Kedua tangan Paman Kim mulai terangkat dan bergetar. Setelah mengucapkan lantunan nada mantera, tangan kanannya lalu mengambil untaian kerincing dan mulai menggoyangkannya sambil berdiri. Kemudian memutari Hikaru yang hanya duduk diam dengan sesekali menyentuhkan tongkat pitanya ke kepala Hikaru.

Tidak terlalu rumit, karena yang dilakukan oleh Paman Kim hanya ritual yang menahan agar perisai kemampuan Hikaru tidak langsung pudar seluruhnya tapi secara perlahan. Jadi, ritual itu hanya berlangsung selama seperempat menit.

"Bagaimana rasanya?" tanya Elisa menatap Hikaru yang kini sudah duduk di atas sofa ruang TV mereka. Ritual yang dilakukan oleh Paman Kim baru saja berakhir.

"Tidak ada bedanya ... kurasa."

"Tentu saja. Ritual tadi bukan untuk menutup kemampuanmu. Tapi hanya untuk memperlambat bukaannya," ujar Paman Kim dari arah meja makan. "Bagaimana jika kita makan diluar? Aku yang traktir. Aku kan belum memberi kado untuk Hikaru."

Keempatnya berangkat menggunakan mobil patroli Ethan yang dipinjamnya ke salah satu restoran yang tidak jauh dari komplek apartemen mereka.

Namun sebelum sampai di restoran, Ethan mendapat panggilan dari radio panggilnya yang mengatakan kalau ada pembunuhan di komplek rumah orang kaya di lingkungan yang masih masuk yuridiksinya sehingga Ethan mau tidak mau hanya mengantar ketiganya dan meninggalkan mereka.

¤¤¤

"Selamat malam, Miss Kang," sapa Ethan yang sedang berdiri di depan garis kuning yang membentang di sebuah gerbang rumah mewah. Ia sudah sampai terlebih dahulu untuk mengamankan TKP sebelum para detektif datang.

"Siapa saja yang didalam?" tanya wanita yang baru saja disapa. Jessica Kang namanya, salah satu kepala polisi senior divisi kriminal dan kekerasan yang disegani.

Wanita yang terlalu cantik untuk menjadi seorang detektif itu berdiri di hadapan Ethan sambil memasang sarung tangan karetnya.

"Miss Park dari divisi forensik sudah di dalam bersama teamnya, Miss."

"Okay, thanks." Jessica melangkah masuk setelah memastikan dirinya juga sudah mengenakan sarung sepatu. Ia hampir tiba di teras rumah mewah tersebut ketika partnernya dengan tiba-tiba membuka pintu dan berlari keluar sambil menutup mulutnya.

Tidak lama kemudian, suara orang yang memuntahkan makanannya terdengar, membuat Jessica terkekeh. Kayden Kim, polisi yang baru beberapa bulan ini menjadi partnernya itu selalu muntah jika berada di TKP. Membuat Jessicaheran, mengapa ia memilih menjadi polisi di divisi kriminal jika melihat jenazah saja dia tidak kuat.

Jessica kembali melangkah, membuka pintu rumah mewah itu lalu masuk ke dalam. Matanya yang jeli mulai menelisik setiap sudut, memperhatikan team forensik yang bekerja di sekitarnya.

"Wow!" serunya speechless saat mendapati ruangan yang menjadi TKP.

"Luar biasa bukan? Seperti melihat film-film pembantaian."

Jessica menoleh ke arah sumber suara yang sudah sangat ia kenal. Selama ia menjadi detektif, wanita berambut pirang bergelombang inilah yang selalu membantunya di bagian forensik. Park Jangmi namanya, tapi lebih suka dipanggil dengan panggilan Rose.

Sesuai namanya, Rose sangat cantik seperti bunga mawar namun jangan coba-coba memetiknya jika tidak ingin berdarah tertusuk durinya. Sebagai kepala team forensik, wanita cantik ini begitu beracun — dalam arti yang sebenarnya. Karena ia suka meneliti racun-racun yang ditemukan di tubuh jenazah yang ia otopsi.

"Berapa korbannya?" tanya Jessica menatap ruangan yang luar biasa berantakan.

"Enam orang. Kakek, nenek, orang tua dan dua anak kandung. Penyelidikan sementara ini, sepertinya semua mati kehabisan darah akibat tusukan bertubi-tubi pada tubuh mereka."

Jessica mendengarkan penjelasan awal Rose karena untuk mengetahui penyebab pasti kematian harus dilakukan bedah forensik terlebih dulu. Sambil mendengarkan, Jessica mempelajari ruangan tempat ditemukannya keenam jenazah.

Keenam jenazah itu ditemukan di beberapa tempat di ruang keluarga. Sang nenek tergeletak dengan posisi janggal di depan TV berukuran besar. Sang kakek yang mati dengan mata terbelalak tergeletak tidak terlalu jauh dari sang nenek dengan tangan yang berusaha menyentuh tangan istrinya.

Beberapa meter dari jenazah kakek dan nenek terdapat jenazah anak lelakinya. Posisinyalah yang paling aneh. Pria paruh baya itu mati dengan posisi duduk namun tangan dan kakinya mencuat di posisi yang tidak normal. Kepala polisi senior itu yakin — bahkan tanpa perlu otopsipun, orang yang melihatnya tahu kalau tulang tangan dan kakinya patah.

Di daerah pintu masuk ruang keluarga, sang istri atau menantu keluarga Yoon tewas dengan kepala terpisah. Sedangkan kedua anaknya yang sepertinya masih berusia sekolah dasar mati berpelukan di sudut terjauh di ruangan tersebut.

"Apa kau punya teori mengenai darah-darah itu?" tanya Jessica yang sedang mendongak mempelajari cipratan darah di atap ruangan tersebut kepada Rose.

"Belum. Aku harus mencobanya dulu untuk memastikan kenapa cipratan darahnya bisa sampai ke atap."

"Ini pasti perbuatan roh jahat," sela Kayden yang sudah kembali dari ajang muntah-muntahnya.

Jessica menoleh melihat partner yang jauh lebih muda darinya lalu menjitaknya. Sedangkan Rose hanya terkekeh dan meninggalkan keduanya untuk memantau kerja teamnya.

"Kau itu detektif, tapi malah percaya hal mistis. Detektif itu berpikir menggunakan logika," geram Jessica . "Dan, karena kau sudah tiba lebih dulu? informasi apa yang sudah kau dapatkan?"

"Keluarga Yoon adalah salah satu pemegang saham terbesar perusahaan penerbitan, Brightstar. Sang kakek, Yoon Bin adalah direktur sekaligus pemegang saham terbesar. Istrinya hanya ibu rumah tangga namun juga memiliki sedikit saham di perusahaan tersebut.

"Anak pertamanya Yoon Dojin adalah pemilik saham sekaligus pendiri situs pencari yang mulai merambah ke sosial media, Aisee. Perusahaan ini masih di bawah Brightstar. Sedangkan istrinya, Kim Lijah adalah CEO di majalah La Manière yang merupakan majalah fashion terkenal. Masih termasuk bagian dari Brightstar.

"Lalu dua anak kecil itu, adalah anak kedua dan ketiga Yoon Dojin dan Kim Lijah. Mereka masih duduk di sekolah dasar. Yoon Sojun sebelas tahun dan Yoon Minso sembilan tahun," jelas Kayden sambil membaca informasi yang sudah ia tulis di buku sakunya.

"Anak kedua dan ketiga?"

"Anak sulung mereka, Sean Yoon masih berada di sekolah. Saat ini sedang dijemput oleh Opsir Jung."

"Siapa yang menemukannya pertama kali?"

"Asisten Yoon Dojin. Ia datang karena diminta oleh Yoon Dojin untuk mengambil dokumen kantor."

"Baiklah. Kerja bagus. Pastikan kau mewawancarai tetangga-tetangganya. Lalu bagaimana dengan CCTV?"

"Sudah diambil Park Jayden dari team forensik digital, Miss."

"Apa sudah memeriksa blackbox mobil-mobil di sekitar sini?"

"Jayden Park juga sudah melakukannya, Miss," jawab Kayden drngan tegas.

"Baiklah. Kalau begitu kau kumpulkan lagi informasi lengkap tentang mereka," ucap Jessica yang melangkah semakin memasuki rumah megah tersebut.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status