Jane memandang dua orang di hadapannya dari pinggir cangkirnya. Ethan dan Elisa, dua orang keponakan angkat sepupunya. Si pemuda masih mengenakan pakaian dinasnya, sedangkan Elisa hanya berbalut jeans dan T shirt berwarna putih dengan gambar kartun.
Saat ini, ketiganya berada di ruang rapat kantor kejaksaan. Pintu masuk pun sudah Jane kunci dan sebelumnya juga sudah memastikan kalau tidak ada alat rekaman atau semacamnya yang dapat mencuri dengar pembicaraan mereka.
"Apa kalian tegang?" tanya Jane, menyatukan jemarinya di atas meja besar yang memisahkannya dengan Ethan dan Elisa.
Si perempuan menggeleng tidak peduli sedangkan yang laki-laki hanya diam, menatap datar atas pertanyaan Jane yang terlalu berbasa-basi.
"Apa sepupuku sudah mengatakan alasan mengapa aku ingin bertemu?"
"Unnie! Bisakah kau berhenti berbasa-basi? Hikaru sebentar lagi pulang dan aku belum memasak makan siang. Lagipula hari ini aku ada shif
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Elisa sambil memperhatikan jalanan di depannya. Keduanya kini sedang berada di dalam mobil milik Paman Kim. Karena Ethan sedang tidak bertugas, maka ia tidak membawa pulang mobil patrolinya. "Apa maksudmu?" "Kau tahu persis kalau semua yang terjadi itu kutukan kan? Walau memang belum tentu pemimpin perusahaan TellUs ada sangkut pautnya, tapi dengan mengatakan kalau kau tidak menemukan jejak kutukan ...." Elisa menoleh ke arah kirinya, menatap Ethan yang sedang menyetir disampingnya. "Dengan mengatakan itu, berarti kau berbohong kan?" "JaneNoonabukanshamanseperti kita dan Paman Kim. Kurasa ia sebaiknya tidak perlu ikut campur dengan segala keanehan yang terjadi." Elisa meniup poninya sebelum ia kembali bicara. "Tapi jika Paman Kim bahkan membuatkan janji temu dengan JaneUnnie, seharusnya JaneUnnie dan Paman Kim sudah tahu konsekuensinya kan.
"Kenapa kau melakukannya?" tanya Elisa sambil memperhatikan jalanan di depannya.Keduanya kini sedang berada di dalam mobil milik Paman Kim. Karena Ethan sedang tidak bertugas, maka ia tidak membawa pulang mobil patrolinya."Apa maksudmu?""Kau tahu persis kalau semua yang terjadi itu kutukan kan? Walau memang belum tentu pemimpin perusahaan TellUs ada sangkut pautnya, tapi dengan mengatakan kalau kau tidak menemukan jejak kutukan ...." Elisa menoleh ke arah kirinya, menatap Ethan yang sedang menyetir disampingnya. "Dengan mengatakan itu, berarti kau berbohong kan?""JaneNoonabukanshamanseperti kita dan Paman Kim. Kurasa ia sebaiknya tidak perlu ikut campur dengan segala keanehan yang terjadi."Elisa meniup poninya sebelum ia kembali bicara. "Tapi jika Paman Kim bahkan membuatkan janji temu dengan JaneUnnie, seharusnya JaneUnnie dan Paman Kim sudah tahu konsekuensinya kan."
Mobil tua milik Paman Kim melintas menyusuri jalan berbatu setelah melewati jalanan yang diapit pematang sawah. Seperti yang telah direncanakan, Elisa, Ethan, dan Hikaru pergi ke rumah utama milik keluarga Cha. Rumah yang sama dimana tragedi pembantaian tujuh tahun lalu terjadi. Sebenarnya, pemandangan menuju rumah utama keluarga Cha begitu asri dan menenangkan jika saja ketiga anak manusia yang menuju ke sana tidak pernah mengalami hal mengerikan sebelumnya. Karena itulah ketiganya memilih diam dan memperhatikan jalanan sambil mengatur perasaan gundah masing-masing. Hanya butuh waktu sekitar hampir tiga jam jika menggunakan kendaraan pribadi untuk sampai di kediaman keluarga Cha. Ethan memarkir mobilnya di ujung jalanan sebesar satu mobil yang menuju ke rumah Cha. Jalanan itu hingga rumah serta pekarangan yang mengelilinginya adalah milik keluarga Cha. Sebagaishamanyang terkenal hingga ke pelosok negeri, keluarga Cha sangat dihormati dan
— Seven Years ago — "Maafkan kami Nyonya. Tapi kami tidak bisa melakukan ritual seperti itu saat ini. Jadi kurasa anda salah waktu mendatangi kami." Kakek Cha berdiri di depan terasnya. Berbicara kepada beberapa orang yang berdiri di halaman rumahnya. Di salah satu hari di bulan Mei — di saat matahari sedang terik dan udara terasa lembab — seorang wanita berusia sekitar empat puluhan yang mengaku bernama Alexa Dimitri mendatangi rumah keluarga Cha. Berdiri di sebelahnya, anak lelakinya yang berusia sekitar akhir dua puluhan. "Tapi tuan, anakku butuh doa dan jimatmu. Kami akan membayar berapapun," mohon Mrs. Dimitri tanpa malu dengan penampilan mewahnya. Kakek Cha lalu turun dari teras rumahnya yang dua undak lebih tinggi dari pelataran halamannya lalu berjalan mendekat ke arah para tamunya. Menyisakan jarak sekitar dua meter diantara mereka. Manik hitamnya menelisik ke kanan Mrs. Dimitri. Tempat si anak berdiri. Tanpa diperkenalkan pun, Kakek
"Kau mengingat anak itu?" tanya Ethan melihat bayangan Elisa di kaca spion tengah mobil Paman Kim. Ketiganya kini sedang berada di dalam perjalanan pulang setelah mendengarkan cerita kedua nenek yang berbaik hati. "Bukan anak itu, Ethan. KimOppalebih tua darimu. Harusnya kau memanggilnyaHyung!" tegas Elisa. Ethan baru saja mau melayangkan protes tapi Elisa duluan melanjutkan ucapannya. "Jika bukan karena cerita nenek Yoo dan nenek Ji, aku pasti tidak akan mengingatnya. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya," lirihnya sedih, merasa bersalah. "Padahal KimOppasangat baik padaku." "Noona," panggil Hikaru yang memutar kepalanya untuk menatap Elisa. "Lalu apa yang terjadi setelahnya? Kalau kata kedua nenek tadi, setelah itu Mrs. Kim selalu mabuk-mabukkan dan di hari yang sama dengan kematian keluarga kita, temanmu menghilang. Apa kau tidak pernah bertemu dengannya lagi? Kita menghabiskan wa
Nam Tobias sedang sibuk menghitung buku besar milik Miss Lee di ruangan kantor yang hampir mirip seperti museum ketika ketukan tidak sabaran memecah konsentrasinya. Dengan tergopoh-gopoh, Tobias berlari mengintip melalui celah gerbang besi untuk mengetahui siapa tamu kurang ajar yang datang. Betapa terkejutnya Tobias saat ia melihat mata kucing yang memicing marah kala ia mengintip. Pria kurus itu bahkan hampir terjungkal karena terkejut. Namun ia tidak memiliki keberuntungan untuk terus meratapi keterkejutannya karena suara bentakkan yang menyuruhnya membuka pintu menyadarkannya. "Kami akan menggeledah tempat ini karena adanya kecurigaan me
Kaki jenjang Elisa terus membawanya berlari. Melewati keramaian dengan lincah. Beberapa orang yang tertabrak sempat mengomelinya, tapi ia tidak boleh berhenti jika tidak ingin tertangkap. Sesekali ia menoleh, hanya untuk memeriksa orang-orang yang mengejarnya. Terkadang bahkan membuatnya hampir terbentur pilar-pilar besar penyanggah gedung pertokoan.Melalui sudut matanya, ia memperkirakan ada sekitar enam orangbodyguardsudah berpencar untuk mengejarnya. Sosok berhoodiemerahmaroondiantara kerumunan orang. Elisa bersyukur karena mereka berada di daerah pusat pertokoan. Setidaknya ia bisa berbaur dan menyusahkan orang-orang yang mengejarnya.Lagipula bajunya bukan baju bermerk, jadi terlihat biasa dan warnanya pun bukan warna yang unik. Meskipun dalam hatinya ia mengutuk diriya sendiri karena tidak memakai pakaian berwarna umum seperti putih atau hitam.Dalam ketergesa-gesaannya, samar-samar Elisa masih bisa
Elisa masih terus menunduk, meskipun secara naluri ia tahu kalau Miss Lee, orang yang telah membunuh keluarganya mulai mendekat. Ia merasa seperti sedang menggali kuburnya sendiri dan terus menyalahkan dirinya yang tidak mengikuti peringatan Hikaru sedikitpun. Inginnya sih cepat-cepat berdiri dan berusaha kabur dari gerbong itu. Ia cukup yakin dirinya bisa menyelinap di antara keramaian di dalam gerbong.Semua skema pelarian sudah dibayangkan olehnya. Dari buru-buru berdiri dan menembus orang-orang yang sedang berdiri hingga skema melarikan diri dengan melompat ke luar jendela., walau akhirnya ia batalkan karena teringat kalau ia menaiki kereta bawah tanah. Yang artinya jika ia melompat ke luar jendela, maka ia akan tetap tewas karena terbentur dinding rel kereta dalam kecepatan penuh pula.Entah beberapa kali ia menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan tangan dan kakinya yang gemetar ketakutan. Berharap ia sudah cukup tenang dan bisa bergerak sebelum Miss Lee tiba