"Oke, oke. Maaf, bukan maksud yang aneh-aneh. Enggak, Akang juga tahu kita cuma sahabat dan teman saja. Aku tahu ... tapi," jelas Tania yang menunduk.
"Kang Gema, enggak mau aku bahagia? Begitu?" "Bukan! Kamu harus bahagia, tapi aku takut kejadian yang lalu terulang lagi. Kamu yakin? Ibu pasti marah besar." Gema memegang bahu Tania hingga saling pandang. "Yakin! Hatiku berkata seperti itu. Aa Asep pasti bisa menghadapi ibu. Tidak akan terulang lagi, Kang." "Apa karena pekerjaan Aa Asep, Kang? Akang jadi ragu?" tanya Tania yang duduk di pinggir kasur. "Iya, tapi aku percaya Asep akan berjuang untukmu. Kamu tahu sendiri. Ibuku yang jadi masalahnya." Gema bersimpuh dan menggenggam tangan sang adik. "Itulah yang ingin dibuktikan sama Aa Asep. Bahwa dia mampu dan bisa. Dan aku pun ingin buktikan tanpa pacaran bisa kok menikah." "Oke, aku paham. Ibu pasti nolak atau malah merendahkan Asep. Seperti mantanmu, Galuh. Bagaimana? Asep sanggupkah?" Tania terdiam, berpikir keras. Namun, dari setiap do'a yang selalu dia panjatkan. Memberi jawaban, hatinya mengatakan Asep pasti bisa menerobos semua halangan. Tania menggenggam erat tangan Gema, wanita itu tersenyum lebar dan menganggukan kepalanya. Gema yang sudah memperingatkan Tania, tapi dengan melihat keyakinan Sang adik. Gema perlahan mempercayai keyakinan Tania terhadap Asep. Namun, dalam hatinya Gema harus berbicara serius dan hanya empat mata dengan Asep. "Hal itu enggak akan terjadi, Kang. Aku yakin Aa Asep sanggup." Tania mengelus rambut Gema yang akhirnya mau tersenyum juga. "Oke, kalau itu yang kamu inginkan. Tapi, aku peringatkan satu hal. Ibuku mulai mencari pria untukmu. Niat jahat mereka yang memaksa kamu nikah dengan orang kaya tetap mereka lakukan. Hati-hati, kasih tahu Asep juga," jelas Gema yang mengajaknya duduk di ruang tamu. "Apa? Gila! Oke, tidak ada rahasia antara keluarga kita ke Aa Asep. Aku tidak mau mengabulkan keinginan ibu," jawab Tania yang mengekor Gema. *** Asep yang dengan telaten menyuapi calon mertuanya. Ucup hanya menepuk-nepuk bahu Asep yang terdiam tanpa berbicara apa pun. Ucup seperti melihat sesosok pria yang akan menolong keluarganya. Ucup yakin saat pertama kali bertemu dengan Asep. Sifat dan sikap Asep menjunjung tinggi attitude yang sangat baik. Setengah lagi makanan akan habis, Asep memulai perbincangan yang sangat sederhana dan menyenangkan. Ucup berkali-kali tertawa dengan celotehan pria tampan itu. Sampai akhirnya Ucup bertanya yang membuat suasana jadi serius. "Kalau melihatmu. Aku jadi teringat masa mudaku. Tampan, pekerja keras, semangat tinggi," ucap Ucup setelah menghabiskan makan dan minum. "Waw, jadi aku adik Abah, dong? Kan mirip." Asep cekikikan dengan menyenggol tangan Ucup. Mereka pun tertawa lepas. "Kamu di sini hampir tiga bulan lebih, ya? Ada maksud apa ini datang ke rumah? Pakai baju bagus lagi." Ucup fokus memandangi lawan bicaranya itu. "Kurang lebih tiga bulan Abah. Yah, ingin memperkenalkan diri secara resmi. Maksud kedatanganku pun ingin menjelaskan hal serius untuk hubungan kami." Asep meletakan piring dan gelas di meja samping. "Hmm, kalian berpacaran? Kok Abah enggak tahu, ya?" "Enggak, Abah. Kami berteman dan bersahabatan kok." "Oh, begitu pantas saja. Lalu kamu sudah tahu keadaan rumah kami. Kenapa masih maju? Tidak malu, kah? Coba pikir-pikir lagi. Abah takut kamu menyesal." Ucup mengelus lembut wajah dan rambut Asep. "Sudah tahu. Tidak akan menyesal Abah. Aku yakin jodohku cuma sama anak Abah. Di setiap do'a dan solatku, terjawab dengan hati dan pikiran yang terus tertuju ke Tania." "Kamu benar-benar mencintai dan menyayangi anakku? Dan soal pekerjaanmu, istriku pasti akan menentangmu!" gertak Ucup yang terus merasa ragu. Asep pun terdiam sejenak, dan berpikir keras. "Iya, aku mencintai dan menyayangi Tania. Aku tahu Abah. Tapi, akanku buktikan dengan membahagiakan anak Abah. Soal mahar berapapun akan aku penuhi. Abah jangan khawatir soal yang lainnya. Aku sudah mempersiapkan semuanya dari yang terkecil sampai terbesar," terang Asep yang membuat Ucup berlinang airmata. "Nak, satu pesanku. Lindungi anakku, sayangi dan cintai anakku, dan aku tidak terima kalau kamu berani menyakiti Tania. Kalau sudah tidak sanggup lagi. Kembalikanlah Tania padaku." Pesan sang ayah untuk anaknya, yang didengar langsung Gema dan Tania. Rose dan Cindy sudah memasang wajah marah. "Abah, berarti menerimaku? Merestui kami?" tanya Asep yang memastikan kembali. "Iya, bahagiakan dan selamatkan anakku, Asep." "Alhamdulillah, kita bicarakan ke keluarga Abah dan keluargaku. Abah, punten!" pinta Asep langsung menggendong ala bride style ke ruang tamu. Asep yang sangat bahagia, langsung melakukan musyawarah di ruang tamu. Tania yang sumringah dengan berlinang air mata. Ucup duduk di tengah yang diapit Gema dan Tania. Sang suami memanggil Rose dan Cindy untuk ikut serta. Asep yang sudah berbaur dengan keluarga Tania dan Iis selama tiga bulan. Untuk pendekatan pun tidak akan terlalu sulit, hanya saja masih ada satu rintangan yang menjadi penghalang pernikahan. Tania dan Asep harus bisa menembus tembok besar itu. Yah, tembok egoisnya Rose dan Cindy yang selalu berniat jahat. Pria tampan itu duduk dihadapan semuanya, dia menghela napas dan mengulangi perkataan untuk niat baik meminang Tania. Rose cemberut dan memandang Si Badut dari ujung kaki ke kepala. Cindy terus mendengus kesal, menatap sinis. "Ngaca atuh, euy! Kamu yang kerjanya jadi badut itu? Mau nikahin adik ipar aku yang cantik ini?" seru Cindy sambil menunjuk-nunjuk Asep. "Ah, aku tahu pasti mau manfaatin Tania, kan? Karena dia bekerja di kantoran!" omel Cindy yang sudah emosi sekali. "Kamu punya apa? Penghasilan pas-pasan gitu! Aku tidak setuju!" teriak Rose yang langsung menolak keras Asep. "Ibu! Kenapa sih? Selalu saja menghalangi kebahagiaanku!" murka Tania yang mulai menangis. "Kebahagiaanmu harus dan wajib kita rasakan bersama Tania! Enak, saja kalau kamu saja yang merasakan!" omel Rose yang melototi Asep. "Cukup. Memang, aku hanya kerja sebagai Badut. Tapi, aku bisa membahagiakan semuanya." "Satu lagi, Bu. Pernikahan ini bisa berlanjut tanpa restumu. Karena yang sah adalah yang akan menjadi wali nikah. Yaitu, restu Abah." Lanjut Asep dengan menajamkan mata elang itu. Yang membuat Cindy dan Rose bergidik ketakutan. "Te-teu ... Teu bisa ki-kitu! Tetap aku pun harus merestui pernikahan ini. Emang, siapa nanti yang urus tenda, yang masak, dan lain-lainnya. Emang, kamu ada uang untuk kebutuhan resepsinya?" gertak Rose yang melotot balik dengan mengintimidasi. "Ngapain repot-repot dan cape hanya mempersiapkan resepsi? KUA gratis, cuma bayar administrasi. Sekarang zaman modern serba instan. Aku bisa pakai jasa WO saja. Tinggal rapat-rapat, diskusi, dan bayar. Duduk manis sampai hari pernikahan," balas Asep yang tersenyum sinis dan menatap dalam Gema. "Emang, murah pake jasa WO? Belum pengajian dan siraman. Tunjukin kalau punya uang!" sindir Cindy yang kebingungan dengan jawaban Asep. "Cindy ... Cindy. Uang terus yang dipikirin. Emang, butuh berapa sih? Mau mahar berapa?" timpal Asep dengan senyum tiga jarinya. "Oke, Rp. 500.000.000 sekalian bisa sewa tempat! Sanggup enggak? Kalau kamu sanggup, aku akan kasih restu!" geram Rose yang menantang Asep sampai menggebrak meja. "Oh, segitu. Oke, siap. Tania mau ada tunangan dulu enggak? Kalau mau, aku saja yang persiapkan semuanya. Seminggu lagi aku akan bawa orang tuaku ke sini." Asep dengan percaya diri menyetujui. Semua orang syok, terutama Tania yang memikirkan bagaimana cara Asep mendapatkan uang sebesar itu. "Aa! Beneran ada uangnya? Jangan maksain diri Aa," lirih Tania yang terisak-isak dan menghampiri Asep. "Ada, kan aku bertahun-tahun nabung. Kamu juga sudah lama menabung untuk hal ini, kan? Gimana ada pertunangan dulu?" Asep menyakinkan dan menenangkan Tania dengan mengelus punggungnya. "Asep? Kamu enggak bercanda dan bohong, kan?" tanya Gema dengan kebingungan. "Benar. Ada hasil kerja kerasku selama ini. Ingat, aku bukan Si Badut biasa. Aku Si Ate yang pemberani." Asep menepuk punggung tangan Gema. "Aa kenapa sih? Kenapa enggak diobrolin dulu sama aku? Aku pun harus ikut serta hal apa pun. Aku harus tahu. Aku enggak suka Aa kaya gini. Bertindak sendiri!" jerit Tania yang semakin menangis pilu dan berlalu pergi ke teras. Asep memejamkan mata dan menghela napas. "Betul kata Tania. Kamu harus diskusikan hal kecil apa pun. Kan nanti yang berumah tangga kalian berdua. Lanjut nanti. Tenangkan dulu adikku." Gema menepuk bahu dan meminta menyusul Tania. Ucup pun mengangguk setuju. *** Tania diam di benteng dengan memainkan kancing blazer berwarna hitamnya. Dia marah dan kesal, seharusnya Asep bertanya dan memberitahu rencana dan keinginan apa pun ke dirinya. Dia terus menyeka air matanya, mata sendu melirik pria yang diam menatap dalam punggung Tania. Asep langsung memeluk dari belakang dan menggenggam kedua tangan mungil itu. Tania sedikit berontak, mencoba menepis tangan kekar itu yang berakhir kalah. Mereka hanya diam, terdengar suara jantung yang berdetak dan suara napas saja. Tubuh Tania semakin bergetar, tangis keras pun terjadi lagi. Asep membalikan tubuh wanita itu, dia memeluk erat Tania. Pria itu mengecup ubun-ubun dengan mengelus lembut rambut Tania. "Maaf-maaf. Aku tidak berpikir ke situ. Sungguh! Maaf, aku menyakitimu tanpa aku sadari," bujuk Asep yang terus menenangkan Tania. "Aa ... aku merasa tidak dilibatkan apa pun. Aku sangat senang dan bersyukur Aa bisa berjuang untukku. Tapi, aku pun ingin berjuang bersama-sama. A-aku ti-tidak mau Aa terluka sendirian," gagap Tania dengan bibir bergetar. "Oke, aku akan melibatkan kamu. Terima kasih mau berjuang bersamaku. Sekali lagi, maafkan aku." Asep menunduk dan Tania mendongak. Mereka menatap dalam dan sangat dalam sampai terhanyut suasana. Keduanya menutup mata, yang ingin menyatukan bibir merah itu. Mereka tidak menyadari Gema sudah diam di belakang. "Ekem! Jangan dulu atuh! Belum sah! Hai!" teriak Gema dengan meletakan tangan diantara bibir mereka. Asep dan Tania yang terkejut langsung berbalik badan. "Aduh, Gema maaf-maaf ... duh, bibir ini! Tahan dong! Tahan!" murka Asep yang terus memukul bibir seksinya. Kakak-Adik itu pun tertawa bersama. Ucup yang melihat keakraban itu, merasakan ketenangan. Selama ini takut kalau anak-anaknya akan terus terluka. Ucup menatap sinis istri dan mantunya. Rose dan Cindy sangat tidak suka dengan Asep. Rencana mereka yang ingin menjodohkan dengan orang kaya. Pupus sudah harapan dua Nenek Lampir itu. Dering ponsel Rose berbunyi, dia pergi ke arah dapur. Asep yang melihat Rose pergi. Ada rasa penasaran yang besar, akhirnya Si Badut pun mengikuti ke luar lewat belakang rumah. Tania dan Gema sudah masuk ke rumah, saat menanti Asep tak kunjung datang juga. Tania panik, langsung menelepon dan mengirim pesan lewat W******p berkali-kali. Tania : Aa ke mana? Kok ke belakang rumah? Ada apa? Tania : Aa enggak kabur, kan? Enggak, kan? Tania : Aa! Angkat! Asep yang membaca pesan pun cekikikan, dia sampai lupa mengabari Tania. Dia pun membalas pesan secara singkat. Asep : Enggak ke mana-mana. Ada tukang baso lewat, lupa bilang aku. Maaf. Lapar. Asep : Mau baso? Aku beliin buat orang rumah, ya. Tania : Bohong! Iya, aku juga lapar. Kok malam-malam ada tukang baso? Asep : Ada, itu Mang Iup langananku. Tadi lewat rumahmu. Sebentar, yah. Asep mengendap-endap sembari memesan baso. Dia mempertajam pendengaran, dapur Tania memiliki jendela yang cukup besar. Untungnya jendela kaca itu terbuka sedikit. Rose yang marah terus memerintahkan sesuatu. Asep yang menepuk bahu Mang Iup untuk membungkus semuanya. Dia mundur dan menempel dinding di sinari lampu yang remang-remang. "Pokoknya, lacak! Aku enggak mau tahu. Harus ketemu semua tentang Asep Saepudin," perintah Rose yang sudah tak sabar. "Bodoh! Mana aku paham soal itu. Kamu sudah aku bayar! Bosmu yang menunjuk kamu langsung. Masa kagak dapet apa-apa?" Rose menepuk jidatnya yang tidak habis pikir. "Bos Abdullah akan lebih murka kalau tahu kamu bermain-main dengan adiknya. Memang, aku bodoh! Sudahlah, besok! Ingat!" Dia menutup ponselnya dan menghentakkan kaki. "Oh, begitu cara mainnya. Silakan lacak sesuka hati kalian." Asep cekikikan sambil membawa kantong hitam. Dia masuk ke rumah Tania lagi. "Aa! Huh!" gerutu Tania yang langsung mengambil kantong itu. Dia pergi ke dapur untuk membawa piring. Tania dan Rose berpapasan dengan saling menatap sinis. "Bu, kita makan baso bareng," ajak Asep yang berusaha tetap baik. "Baso? Bosen! Makanan kampung. Burger atau pizza gitu." Rose memalingkan muka dan masuk ke kamar yang disusul Cindy. "Oh, nanti aku bawa, ya. Sekarang sudah pada tutup. Asik, jadi makan dua bungkus deh," balas Asep yang kegirangan. "Aa, jangan gitu lagi. Aku panik tahu. Ayo, makan," keluh Tania sambil menyodorkan piring. Asep tersenyum dan mengelus rambut Tania. "Maaf, takut Mang Iup langsung pergi. Siap, Ibu Negara." "Asep, makan di teras, yuk. Yah, sambil ngobrol-ngobrol gitu. Tania sama Abah dulu, oke. Ini khusus obrolan para pria dewasa." Gema mengedipkan mata yang dipahami Asep. Tania hanya cemberut."Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d