Blurb Wanita independen bukan berarti tidak membutuhkan pria atau tidak ingin menikah. Memang, secara finansial sudah mampu. Namun, mental yang terlalu berat memikul segalanya sendiri. Itulah pemicu luka yang menjadi pertimbangan. Ditakutkan akan menjadi bumerang di kehidupan pernikahannya kelak. Tania Nuraini, wanita single dan berkarir yang belum menikah diusia matang. Dia jadi tulang punggung keluarga. Satu lagi broken home, ibu meninggal saat melahirkannya. Sang ayah —Ucup Suherman menikah lagi dengan Rose Daryoto. Ibu tiri dan kakak ipar yang selalu meremehkan, merendahkan, dan menghina Tania. Semenjak, Sang ayah lumpuh dan sudah pensiun. Mereka pun gila harta, berhutang kemana-mana. Mau menikah bagaimana? Semua tugas dan kewajiban Tania yang kerjakan. Kakak tiri? Cukup membantu Tania dari menjaga mental. Dia yang terluka semakin dalam. Dia ingin lepas dari masa jomlo dengan menikahi pria mana saja. Atau menikah kontrak pun akan dilakukan. Paling terpenting membawa dia dan ayahnya pergi dari rumah itu. Jual saja rumahnya untuk membayar hutang. Namun, Ucup Suherman melarang hal itu. Hanya ayah dan kakak tirinya yang paling sayang dan peduli. Suatu hari, di sore yang indah. Tania yang menangis pilu di taman dekat rumahnya, langsung dihibur oleh sesosok badut yang lucu. Pria yang misterius dan berkharismatik. Si Badut yang memiliki banyak rahasia penuh teka-teki. Terutama rahasia tentang jati dirinya. "Halo, aku Si Ate. Badut yang imut, seperti wanita di depanku ini. Yah, ... imutnya luntur." Hibur pria badut itu, menyeka air mata Tania. (Bab 6, Si Badut itu, Pangeranku!)
View More"Lepasin! Sakit! Tolong ...!" jerit Tania Nuraini yang terus diseret-seret dan terus dipeluk. Tiga preman itu sangat beringas.
"Diam! Stt! Jangan coba-coba kabur. Masuk ke mobil." Preman yang mengancam. "Woy! Lepasin temanku!" Si Badut melihat jelas adegan itu dan disusul sahabatnya. Mereka berlari kencang untuk menolong. Tania terus melawan dan berontak dari orang-orang besar dan berkulit sawo matang. Tania dan Iis dibekap kain, tubuh menjadi lemas. Preman-preman itu baru mau mengendong mereka. Si Badut dan Si Tukang Balon langsung menendang dan menarik lawannya. Baku hantam terjadi, saling serang dan bertahan begitu alot. Tania dan Iis terkulai lemah dan setengah sadar di pinggir trotoar. Tania memfokuskan matanya, melihat pertarungan dashyat. Si Badut alias Asep Saepudin mengeluarkan jurus silat, sedangkan Si Tukang Balon alias Ujang Sumarwan mengeluarkan jurus taekwondo. Preman-preman itu pun takluk dan memilih mundur. "Tania! Iis! Sadar, ini kami." Ujang yang membawa minyak kayu putih dan sapu tangan menghapus aroma bius itu. "Tania, lihat sini. Ini angka berapa?" tanya Asep sambil mengacungkan dua jarinya. "Dua! Asep? Ujang?" tanya Tania yang mendekatkan wajah ke Asep. "Enggak usah deket-deket mukanya. Nanti aku enggak tahan, loh." Asep Si Badut langsung mendorong wajah imut itu untuk menjauh. "Aku takut!" lirih Tania. Tania dan Iis menangis pilu. Dua pria itu saling bertatapan. Masing-masing ditenangkan dengan mengelus punggung. "Apa ini sindikat orang itu?" bisik Asep ke Ujang yang sedang berpikir. Ujang menggelengkan kepalanya. "Belum, pasti. Amankan mereka dulu. Mereka dalam bahaya!" bisik Ujang yang menenangkan Iis. "Ko kamu ada di sini?" tanya Tania yang terus menghirup saputangan itu. "Hmm, aku kebetulan lewat saja. Baru pulang dari aktraksi di taman. Ada yang terluka?" Si Badut, menyodorkan tangannya. "Aku enggak apa-apa." Tania mengelus lutut dan tangannya. "Bohong." Asep langsung menggendong ala bride style, Tania merangkul lehernya sambil memejamkan mata. Wajah mereka sangat dekat. "Engkelku sakit! Gendong!" rayu Iis ke Ujang sambil meringis kesakitan. "Hah, manja! Sini!" Ujang berjongkok, Iis tak menyangka. "Mau enggak?" Iis pun memeluk leher Ujang dengan senyum-senyum sendiri. "Malam-malam jangan berdua saja. Pulang kerja minta jemput kakakmu bisa, kan?" tegur Asep memarahi Tania yang cemberut. "Mereka siapa? Preman mana? Rentenir?" Asep menoleh dan menatap dalam mata cokelat itu. "Enggak, tahu. Aku juga enggak paham, kenapa? Jahat!" Tania terisak-isak lagi dan mempererat rangkulan. Kepalanya menyentuh leher Asep. "Tutup matamu, kalau aku suruh buka. Baru buka matamu." "Mau apa?" tanya Tania. Pria itu terdiam. Tania pun menuruti saja. Perjalanan yang sunyi, Asep dan Ujang meletakan dua wanita itu di kursi besi. Asep dan Ujang sibuk mempersiapkan kejutan. Terdengar suara gemercik api, tercium bubuk yang terbakar. Asep berbisik ke Tania, "Buka matamu." Tania dan Iis terkejut dan terkesima dengan belasan kembang api yang dinyalakan dan disusun mengelilingi mereka. Mereka ada di sebuah taman bunga. "Waw, indah! Sungguh indah, Asep. Terima kasih." *** Keesokan harinya. "Aduh, Gusti ... aku harus gimana ini? Hari ini harus beli obat, stock makanan, dan belum bayar hutang lagi!" Wanita berambut ikal sepunggung itu, mengacak-acak rambut hitamnya. "Tabungan tinggal segini! Semoga sampai ke tanggal gajianku," lirih Tania saat melihat buku tabungan. Dia beranjak dari kasur dan mencari seseorang. Di Perumahan Balista, Cikole, Lembang-Bandung. Begitu asri penuh perkebunan, taman bunga, dan lahan hijau sangat menyegarkan jiwa. Berbeda dengan Tania Nuraini, wanita single kebingungan. Dia sebenarnya malu untuk meminjam uang. Dia berjalan ke arah teras, memandangi sesosok pria tinggi berkulit kuning langsat yang susah payah menyalakan motor matiknya. Gema Suryo menoleh ke Tania dengan tersenyum hangat. Namun, dari arah belakang terdengar suara piring plastik dibanting ke meja makan. "Eta Si Eneng! Baru bangun jam segini! Liat meja kosong gini, belum masak? Lapar, yeuh!" omel Cindy yang langsung melemparkan tudung saji ke Tania. "Istighfar, Cindy! Tolong, jangan kasar. Dia kemarin baru pulang tengah malam. Tania kerja, loh! Kasian cape. Harusnya kamu bantu adikku urus rumah. Bukan, yang diurus kuku sama rambut saja!" seru Gema sambil mengambil tudung saji. Dan mengecek keadaan Tania yang meringis kesakitan. "Ih, mulai! Belain terus. Adik tiri ini dibela! Males. Dapur itu buat pembantu!" timpal Sang istri yang memandang sinis Tania. "Apa maksudmu? Tania itu pembantu? Gila kamu! Dia tetap adikku! Akanku bela sampai kapan pun." "Kamu yang gila! Ya. Puas! Jadi, enggak nafsu makan. Ah!" Cindy duduk di kursi tamu. "Akang, sudah-sudah. Nanti aku masak kok." Tania menenangkan Gema dan meletakan benda berwarna biru itu di meja tamu. "Enggak usah, nanti beli makanan yang sudah jadi saja. Kamu sekarang berangkat kerja lagi, kan? Istirahatlah dulu. Jadi, ada apa?" tanya Gema yang menghela napas panjang. "Uang sudah menipis. Akang, punya uang enggak? Tania mau pinjem dulu. Nanti aku ganti pas gajian, deh." "Oh, ada. Nih, ambil semua." Gema mengelus rambut Tania, adik tirinya yang mulai berkaca-kaca. Pria itu memberi uang lebih untuk memenuhi kebutuhan yang lain. "Ini kebanyakan. Nanti ibu sama Teh Cindy marah lagi." Tania menyodorkan lagi. Gema menggelengkan kepala. "Terima kasih. Kang Gema jaga kesehatan juga. Mata bengkak dan merah. Lembur lagi, ya?" Kakak tirinya terdiam, terlihat mata mulai berkaca-kaca juga. "Hutang kita banyak! Paham, kan?" Gema menatap dalam Tania, bersyukur di keluarga masih ada tempat untuk saling bersandar. Mereka saling menggenggam tangan begitu erat. Hati Kakak-Adik tak sedarah itu sangat terluka dalam. Harus bisa mengalah demi ketenangan bersama. Apa lagi posisi Gema serba salah, satu sisi Cindy istrinya. Satu sisi lagi ibu kandungnya, Gema jadi susah mengambil keputusan. Tania dan Gema menoleh bersamaan, memfokuskan pendengaran. Terdengar suara wanita berteriak histeris dari arah kamar. Mereka syok pintu dibuka kasar, melihat foto pigura melayang dan menghantam tembok. Wanita berambut Bob Klasik hitam itu cek-cok hebat. Tidak kalah pria yang terus menarik baju daster untuk menahan kepergian sang istri. "Teuing! Teu paduli! Aku butuh berkas ini. Aku minta uang saja susah. Makanya, jangan lumpuh!" hina Rose, sang ibu tiri, sambil membawa berkas sertifikat rumah. "Astaghfirullah aladzim! Istighfar, Rose! Kan, uang udah dikasih. Masih kurang? Buat apa atuh?" tanya pria paruh baya yang berbaring di lantai karena jatuh dari kasur. "Kurang! Kenapa, ya. Aku menikahi orang miskin!" Rose mencebik. "Shopping, Hangout, Manicure and Pedicure lah!" Rose menepis dan mendorong suaminya hingga tersungkur ke belakang. "Rose Daryoto!" jerit pria berumur 60 tahun yang tak berdaya, mengejar pun harus menyeret tubuhnya."Haha ... yakin? Yang akan menghancurkan Tania dan Asep. Oh, salah. Tania dan Doni, bukan dari aku saja. Dia jauh lebih kejam dan sadis!" seru Hani yang tertawa lepas dan melengking. Ujang sampai merinding. "Aku peringatkan kalian. Dari hari besok dan seterusnya. Abdullah akan turun tangan langsung untuk mengambil miliknya." Lanjut Hani yang tersenyum sinis. Ujang hanya terdiam dan terus mengetik semua pernyataan Hani. Pria muda itu mendidih mendengar semuanya. Ujang mengembalikan Hani ke dalam sel dan memberikan makanan malamnya. Pria berkulit kuning langsat itu, termenung dan menelepon via Video Call Asep dan Restu. Mereka pun terdiam dengan syok, lantas memutuskan rapat di siang harinya. Tidak lupa mereka berdiskusi untuk langkah selanjutnya, karena sudah 50% barang bukti terkumpulkan. Asep meminta ijin ke Komandan untuk memperketat pengawasan keluarga Tania dan keluarganya. Restu memiliki firasat buruk soal ancaman dari Hani itu dan mengijinkannya.
"Baiklah, hubungi nomor ponsel ini. Kalau terjadi apa-apa. Berikan ponselmu." Restu mengambil ponsel Argha dan memasang alat penyadap. "Terima kasih, kerjasamanya. Tolong, utamakan kewarasanmu," pinta Restu yang mengembalikan benda pipih itu. "Sama-sama, dan terimakasih kembali. Maaf, aku terlambat menyadari kewarasanku," lirih Argha yang bersemangat kembali. Restu hanya tersenyum lebar dan mengangguk saja. Restu dan anak buahnya memasang secara permanen alat-alatnya. Argha merenung sambil berpikir langkah selanjutnya harus bagaimana. Mereka berbincang dengan asik dan bergiliran untuk sarapan. Restu berpamitan untuk mengunjungi tempat kerjanya yang kedua. Dia memerintahkan ke anak buah untuk terus menjaga dan mengawasi satu rumah itu. Argha yang kembali diborgol dan masuk ke sel penjara dengan satu tempat tidur itu. Dia menghela napas berat dan menatap langit-langit. Dia sangat merindukan keluarga kecilnya. Argha sesekali menahan sakit dari chip yang be
"Lepas! Sakit tahu!" jerit Hani dengan terus berontak. "Enggak mau! Biarin rasakan semuanya!" jerit Tania yang masih mencelupkan kepala Hani. "Teteh! Sudah lepasin! Biar aku yang urus orang ini!" teriak Ujang yang menarik tubuh Tania. "Lepas! Dasar penipu kalian!" hina Hani yang memberontak saat dua rekan Ujang menyeret tubuh seksi itu ke arah pintu belakang. "Ah! Ujang, jangan bawa dia pergi! Aku belum puas!" jerit Tania yang sama memberontak dari Ujang. Asep menghampiri dan melepaskan kekasihnya. "Sayang! Sudah, tenangkan dirimu!" mohon Asep dengan suara lembut sambil memeluk erat Tania. "Kang, aku urus dia dulu. Biar penyelidikan kasusnya bisa berlanjut lagi." Ujang menepuk bahu Asep dan berlalu pergi. "Ta-tapi ... dia menghina Aa! Aku enggak terima!" geram Tania yang menangis tersedu-sedu dalam pelukan itu. "Iya, aku tahu. Terima kasih, sudah mewakilkan Aa." Asep menghapus air mata itu sambil mengecu
"Ke mana orang itu! Pak, terus telusuri jalan setapak ini," perintah Ujang yang kesal karena hanya menemukan gantungan tas berinisial H di tanah. "Tata, kita cuma dapat ini saja. Ada syal motif bunga sama gantungan kunci. Satu yang pasti sosok itu wanita," terang salah satu dari rekan Tata sambil menyodorkan dua benda. "Baiklah, yang lain cari lagi. Aku punya firasat buruk soal ini." Ujang langsung menelepon Asep alias Doni yang masih ada di Cafe. "Siap, tapi kalau ini dugaanku benar. Kapten dalam dilema sekali." Lanjut bapak-bapak tadi dan menatap dalam Tata. "Pasti. Pokoknya kalau kalian lihat orang mencurigakan lagi. Jangan ragu untuk ditangkap! Paham!" perintah Tata alias Ujang yang menunggu kaptennya menjawab telepon. "Baik! Laksanakan!" teriak semua orang yang langsung menyebar dan mencari lagi. Tata yang masih menunggu jawaban dari Doni. Tata dan rekan-rekannya terus menyusuri jalannya hingga menemukan sebuah mobil m
Keesokan harinya, dari semua kejadian-kejadian yang dialami keluarga besar Asep, Tania, dan Iis. Banyak sekali hikmah yang bisa diambil. Tania, Ucup, dan Gema jauh lebih bisa berpikir jernih dan tenang. Asep, Ujang, dan Iis yang terus menjaga mereka dengan berbagai macam cara. Walau harus mengorbankan darah dan harga diri, semua selalu dihadapi bersama-sama. Denny dan Asri yang sudah pulih total pun akhirnya ikut di hari terakhir wisata itu. Iis menyewa sebuah pemandian air panas untuk semuanya. Dia memilih wisata yang santai dan merelaksasikan ketegangan otot semua orang. Tania sedang duduk di pinggir kolam dan bermain air panas. Asri menghampiri dengan memeluk erat dari samping. Tania tersenyum dan membalas pelukan hangat itu. "Sudah mendingan, Teh? Maaf." Tania mendusel di pipi Asri. "Sudah, enggak apa-apa. Luka kecil gini. Kamu gimana? Sudah lepas plester, kan?" tanya Asri yang sama-sama mendusel di pipi Tania. "Besok lusa, sekalian cek up
Sesudah mendapatkan keputusan final, mereka pun berbincang-bincang ditemani kopi hangat dan singkong goreng. Mereka pun menunggu Asri dan Denny pulang ke motel. Paman Asep yang satunya lagi sedang mengintip di jendela, dia melihat dua orang yang sedang berjalan menuju lorong itu. Dia pun membuka pintu sambil melambaikan tangan. Denny yang melihat pun langsung menghampiri kamar itu. Dia dan istrinya masuk dan langsung merasa marah melihat Cindy ada di depan. Iim dan Uun langsung memeluk erat kedua orang itu. Suami istri pun menyambut pelukan hangat dari keluarga. Denny terkejut dengan suasana di kamar itu. Dia berbisik menanyakan apa yang terjadi di situ ke Uun dan Iim. "Oh, baguslah. Aku masih belum bisa menerima semuanya. Maaf, Tania," ucap Denny yang membuat Tania mengangguk. "Aku paham, Kang. Maafkan, kami Teh Asri dan Akang." Tania berdiri dan memeluk kakak iparnya yang masih terlihat lesu. "Aku enggak marah ke kamu. Aku marah sama orang yang diam d
Ucup menangis tersedu-sedu, Iim, Aan, dan Uun yang tidak tega menenangkannya. Semua orang yang melihat dan mendengar semua kenyataan pahit itu hanya terdiam. Anak-anak yang tadinya tertawa lepas menjadi termenung dengan melihat kejadian tadi. Awal kesenangan dan kebahagiaan sekejap saja langsung menjadi kelabu. Iim mendorong kursi roda Ucup ke depan menuju taman yang ujungnya tebing itu. Aan menyusul Gema dan Uun menyusul Tania. Iim terus menepuk-nepuk bahu Ucup yang masih gemetar hebat. Iim terus menatap langit malam yang sangat indah, ditemani hiruk-pikuk kendaraan yang melintas di bawah. Sorot lampu dari bawah dan restoran itu menghiasi malam yang sendu. "Hah, aku jadi merasa mual. Kenapa Akang malah bercerita sekarang?" tanya Iim yang duduk di samping kursi roda. "Ini kesempatan bagus, Iim. Di sini ada tempat untuk menyejukkan hati. Kalau di rumah, suasananya jadi enggak terkendali." Ucup menyeka air dan menenangkan diri. "Terlalu nekat lebih tepatn
Perjalanan pulang pun dilalui dengan beristirahat, tetapi sebelum ke motel semua sepakat untuk makan malam di luar. Tempat restoran yang dikelilingi sawah dan kebun teh. Dihiasi lampu malam yang seperti bintang kejora. Satu jam sebelum ke motel, Iis langsung booking dua saung lesehan yang besar. Banyak menu yang dipesan dari Western sampai Nusantara. Gema dan Asep bercerita soal keributan tadi yang membuat dua keluarga itu tercengang dan syok. Asep dan Ujang terus memberi wejangan untuk lebih berhati-hati untuk kedepannya. Bila ada hal yang mencurigakan atau orang misterius terus menganggu, harus cepat-cepat menghubungi mereka. Makan pun dihiasi dengan canda tawa, Tania melihat dan merasakan semua ingin menghiburnya. Asep menerima telepon dari Denny yang sudah berangkat pulang. Semua orang yang tidak tahu kejadian sebelumnya pun, baru menyadari ketidak hadiran Denny dan istrinya. Ujang pun berceritalah sampai menunjukan luka-lukanya. "Ini sudah diluar nalar manusia, Nak."
"Asep! Berhenti! Berhenti!" teriak Gema yang menarik tubuh Asep yang terus melancarkan serangan ke Galuh yang terpojok. "Aa sudah! Sudah, tangan Aa berdarah! Cukup!" jerit Tania yang langsung memeluk erat Asep dari depan. "Lepas, Gema! Lepas! Orang enggak tahu diri harus dikasih pelajaran! Kalau tahu kurang, jangan lepas tanggung jawab dong!" murka Asep yang terus berontak, Tania tetap membujuk. "Kamu ini. Dibayar berapa? Sampai tahu keberadaan kami?" tanya Ujang yang kesal dan marah. Dia berlari dari atas ke bawah menghampiri keributan itu. "Kang, sudah! Sudah!" mohon Iis yang ikut mendorong tubuh Asep. Iis panik saat melihat kekasihnya langsung berlari ke dermaga itu. Iis menyusul Ujang. "Jawab! Suruhan Rose lagi, kan? Ayo, katanya cinta kok mata duitan?" ejek Ujang yang menarik dan mengangkat Galuh seperti anak kucing. Ujang yang marah terus mengangkat ke ujung belakang dermaga. "Lepas! Suka-suka aku dong. Kamu siapa? I
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments