Home / Romansa / Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni / 7. Gadis yang Membenci Hari Senin

Share

7. Gadis yang Membenci Hari Senin

Author: El Baarish
last update Last Updated: 2023-04-08 08:44:03

Beberapa tahun yang lalu.

Senin.

Bagi sebagian orang, pembuka hari itu menjadi semangat baru untuk mereka yang bekerja atau anak-anak bersekolah, setelah kemarin menghabiskan waktu liburan bersama keluarga atau teman. Namun, tidak bagi Silvi, seorang gadis yang baru saja duduk di bangku kelas enam sekolah dasar.

Gadis itu sama sekali tak menyukai hari Senin. Bahkan, ia terlalu membencinya. Karena baginya, hari itu lebih menyedihkan dari hari lainnya. Rasanya setiap hari memang sama saja, tak memberinya sedikit pun bahagia layaknya yang dirasa oleh anak-anak lain. Baginya, Senin lebih memberinya tekanan ketimbang kenyamanan atau kebahagian yang layak dinikmati.

“Silvi mana?”

“Ini tempat Silvi!”

Sahut-sahutan beberapa teman sekelas Silvi menanyainya. Mereka sibuk melongok ke sana kemari, tapi tak menemukan sosok yang dipanggil.

Lapangan masih belum penuh terisi oleh semua siswa. Sebagian siswa telah berbaris dengan rapi, pun kelas enam sudah menempati posisi di mana biasanya mereka berdiri.

Uta. Uta Sofia nama lengkapnya. Ia dijuluki ratu geng di kelas Silvi. Ada dua anak perempuan yang selalu mengekorinya, Siska dan Chrisa. Anak-anak di kelas itu terlalu takut menatap mata Uta. Mata itu selalu menatap orang lain dengan tajam dan tersirat perintah. Seperti saat ini, Uta melirik ke kanan dan kiri, tapi tak ditemukan sosok Silvi. Lalu ia melihat ke belakang, di sanalah gadis itu muncul.

Upacara.

Itulah yang membuat Silvi sangat membenci hari Senin.

Silvi berjalan dengan pandangan menunduk, ia memasuki barisan teman-temannya untuk berdiri di posisi pada tempat yang telah ditentukan, tempat istimewa atas perintah Uta.

“Lelet amat sih, Tiang Listrik!” bentak Uta sambil mendorong bahu Silvi ketika mendekat ke arahnya. Gadis itu sedikit terlambat hari ini.

Gelar si Tiang Listrik sudah menyemat di diri Silvi sejak beberapa tahun lalu. Silvi tak ingat pasti kapan mulai dirinya disematkan gelar menyedihkan itu, yang ia tahu anak-anak sekolah selalu memanggilnya seperti itu. 

Silvi heran kenapa dirinya dipanggil seperti itu, padahal Reva dari kelas yang sama bahkan mempunyai tubuh lebih tinggi dari Silvi. Pernah sekali waktu, Silvi benar-benar berdiri di samping Reva hanya untuk melihat siapa yang lebih tinggi. Namun, jelas saja Reva lebih berisi, hingga ketinggiannya tak mendominasi. Sementara Silvi tubuhnya kurus dan gelar itu hanya diberikan untuknya seorang diri.

Karena ketinggiannya, Silvi selalu menjadi bahan olok-olok teman-teman sekelas. Bukan hanya tinggi, tapi badannya kurus serta jalan yang sering menunduk yang membuat ia terlihat sedikit bungkuk. Lucunya, ia tak membantah sama sekali. Entah karena terlalu lelah, takut, atau memang pikirannya membenarkan apa yang mereka katakan. Kepercayaan dirinya telah terenggut. 

Kadang ketika berjalan di lapangan, Silvi disoraki teman-teman lelaki, katanya sebelas duabelas dengan tiang bendera. Atau ketika Silvi pulang sekolah, mereka sengaja mengukur bayang Silvi dan menyamakannya dengan tiang listrik di jalanan.

Seperti yang kini dilakukan Uta, menyuruh Silvi untuk berdiri di barisan depan, agar ketinggiannya bisa menutupi wajah mereka dari sinar matahari, agar Uta dan dua temannya sesekali bisa berjongkok di dalam barisan, ditutupi tubuh Silvi. Agar yang belum mengenali, bisa mengenal Silvi dengan tubuh yang begitu kurus dan penampilan yang kacau. Sepatu mangap, kaus kaki longgar yang sudah diikat dengan karet gelang.

Bahkan ketika Silvi mengedarkan pandangan ke seluruh lapangan, ia tak menemukan anak-anak dengan pakaian yang lebih kusam darinya, juga rok merah yang sudah sangat pudar warnanya. Belum lagi membandingkan tas buluknya yang kini ia letakkan di kelas. Pernah sekali waktu gadis itu meminta seragam baru pada ibunya, tapi perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu mengatakan sebentar lagi sudah naik SMP, jadi Silvi diam saja, dan tetap memakai pakaian kusam dan pendek itu.

Dia, Silvi. Silvi Andriani nama panjangnya. Tiang listrik nama tengahnya, disandang pada tubuh tinggi dan dekil itu. Padahal ibunya tak pernah memberi nama itu.

*

Pelajaran terakhir sedang berlangsung. Saat itu guru sedang mengajarkan materi pecahan. Silvi tak terlalu memperhatikan pelajaran. Pikirannya melayang ke mana-mana. Tentang makan nanti siang. Tentang aneka makanan yang dijual di kantin tadi saat istirahat. Tiba-tiba ia merasa air liurnya mengalir, gadis itu jarang terlihat di kantin, bahkan hampir tak pernah. Ia mencoba mengalihkan pikirannya sendiri, lalu teringat sesuatu. Silvi menepuk jidat saat tersadar ia lupa menjemur buku-buku pelajaran yang semalam basah karena hujan. Padahal tadi ia menjemur kasur juga beberapa baju.

Silvi tinggal di salah satu pemukiman kumuh kota Samarinda, Kalimantan Timur. Rumah yang terbuat dari geribik yang seandainya tak ada bangunan rumah orang lain di sampingnya, mungkin akan roboh saat ada angin sedikit kencang. Tak jarang, gadis itu harus menjemur pakaian juga buku yang basah akibat sisa genangan hujan semalaman. Sebab itu Uta dan teman-teman menjuluki rumah Silvi sebagai tong setan. Mungkin karena rumah itu terlihat gelap dari luar, atau mereka merasa rumah itu seperti tong setan di pameran-pameran.

Sang guru melihat gelagat Silvi. Bu Darma, Guru Matematika yang terkenal killer itu menurunkan kacamata, lalu bertanya pada salah satu siswanya yang tertangkap basah tak menyimak pelajaran.

“Sedang apa kamu, Silvi?”

Silvi menunjuk diri sendiri, seolah sedang mempertanyakan apakah baru saja sang guru menyebut namanya. Atau ia hanya berhalusinasi.

“Ya, kamu. Siapa lagi?” Bu Darma memperjelas.

Silvi diam. Gadis itu menunduk tak berani menatap wajah sang guru. Dalam hati ia berdoa semoga tak disuruh maju ke depan dan menyelesaikan soal-soal, pasalnya ia tak menyukai Matematika. Bahkan ketika sang guru mencontohkan metode pembagian dengan cara membagi apel untuk Budi, gadis itu bingung, karena jangankan untuk membagi apel, untuk makan sendiri saja, gadis itu hampir tak pernah.

Namun, sayang, doa Silvi sepertinya tak dikabulkan. Bu Darma menyuruhnya untuk maju ke depan kelas.

Langkah Silvi ragu, ia berjalan lambat seperti setengah diseret. Tapi jarak deretan bangku paling belakang ke papan tulis tentu tak memakan waktu berjam-jam, hingga membuat doa kedua Silvi akan terkabul, doa agar bel segera berbunyi. Tidak!

Silvi menatap sekilas sang guru, sebelum akhirnya benar-benar menghadap papan tulis putih. Ia mengambil spidol yang diulurkan Bu Darma.

Harus isi apa?

Pikiran Silvi kembali bergelut, ia sama sekali tak mengerti apa yang barusan dijelaskan. Satu-satunya yang membuat Silvi senang bersekolah adalah pelajaran Bahasa Indonesia, karena ia bisa membaca dongeng-dongeng di buku pelajaran, dan berharap suatu saat bisa menjadi seperti putri dalam salah satu cerita itu.

“Apa kamu gak ngerti sama sekali?” Sedikit kesal nada Bu Darma saat bertanya.

Silvi menggeleng. Gadis itu menunduk menatap sepatu buluknya.

“Duduklah!” Sang guru menghela napas berat, tidak memaksa. Ia dan semua guru tahu betul bagaimana Silvi. Selain penampilan, nilai-nilainya juga tak ada yang menonjol meskipun setiap tahun ia naik kelas, karena mencapai ketuntasan minimun.

Silvi kembali duduk.

Sebelum bel pulang berbunyi, Bu Darma telah berpesan agar membagikan kelompok untuk minggu depan. Satu kelompok terdiri dari tiga orang.

“Tos dulu!” Uta dan gengnya membuat gerakan tos. Mereka telah membuat kelompok yang terdiri dari anggota geng.

Silvi melihat ke kiri dan kanan, teman-temannya saling mencari anggota kelompok, dan tak ada yang menanyai dirinya. Sebab itu ia mencoba mengajukan diri.

“Mel, a ... ku masuk ke kelompok kamu ya?” Silvi menoleh ke bangku belakang, menawarkan diri pada Amel dengan hati-hati.

“Penuh, maaf ya.” Amel menjawab sambil menunjuk dua teman yang baru saja bergabung dengannya.

Silvi tak ingin tak mempunyai kelompok, meskipun ia tak suka Matematika, tapi minimal ia harus menuntaskan nilainya. Sebab itu, ia bangun dari bangku duduknya, berjalan ke pojok di mana Rangga duduk.

“Aku boleh gabung sini?” Sekelompok dengan anak cowok pun tidak masalah bagi Silvi, karena ia melihat anak cewek hanya tinggal ia seorang diri.

“Pe ... nuh, Vi.” Rangga menutup hidungnya hingga terdengar suara sengaunya. Ekspresi untuk memberi aba-aba pada gadis dekil itu agar segera menjauh. Bau. Lagi-lagi Silvi tertolak.

Silvi kembali ke tempat duduk. Ada rasa kecewa yang menyelinap dalam hatinya. Bahkan untuk masuk anggota kelompok saja terlalu susah baginya diterima.

“Yaudah gabung sini aja,” sahut seorang anak lelaki di meja paling depan.

Anak lelaki yang berstatus sebagai ketua kelas.

“Entar aku juga yang repot kalau kamu gak punya kelompok.”

Bukan perhatian, tapi tanggung jawab sebagai seorang ketua kelas. Anak lelaki itu tak mau disalahkan oleh Bu Darma karena Silvi yang tak dapat kelompok. Karena sang guru mengamanahkan pembagian kelompok pada ketua kelas, entah dipilih atau memilih sendiri, intinya ada, dan mereka dituntut mandiri.

Silvi tersenyum ke arah teman lelaki sekelasnya. Senyum yang entahlah, ia merasa dihargai. Ia merasa ada hal baru dalam hidupnya, ditawarkan, dan ia merasa mendapat energi baru dari hal itu. Namun, senyum itu mendapat tatapan tajam dari Uta.

Sementara anak lelaki itu kembali mengemas buku pelajaran dan melangkah keluar.

Dia, Araska Pratama.

*

TERIMA KASIH 🙏

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
araska Pratama
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   57. Extra Part

    “Andri ada?”Milly membuka pintu saat bel di pintu berbunyi. Gadis itu sedikit terpaku, lalu tersenyum pada Araska yang berdiri di depannya.Araska ingin menemui Andri. Semalam ia berpikir cukup lama untuk mencari cara menyatakan perasaannya pada gadis itu. Ia yakin Andri bisa merasakan debar cinta antara keduanya. Namun, Araska harus memperjelas dengan cara yang lebih serius. Araska selama ini menjaga. Araska ingin tahu seperti apa muara rasa itu, setelah sekian lama terpisah, menjalani alur hidup masing-masing. Lalu bersama, kembali dipertemukan dalam keadaan yang tak sama.Araska mencoba mengirimkan pesan untuk Andri, tapi hanya centang satu. Lalu, ia menghapusnya dan mengambil kesimpulan untuk bertemu langsung. Ia menghubungi, tapi nomor gadis itu tak tersambung. Sebab itu, Araska sekarang berdiri di depan rumah Andri. Mengetuk pintu, berharap gadis itu yang membukanya. Namun, yang kini di depannya bukanlah gadis yang ia tuju.“Dia balik ke Samarinda.” Milly menjawab setelah sepe

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   56. Coming Home

    “Kamu yang lagi nyeka air mata, berbaliklah!”Araska mengulang kalimat itu.Andri yang sedang melangkah, terpaksa berhenti seolah sedang diperintahkan untuk berhenti. Ia berdiri sejenak, bergelut dengan pikirannya sendiri. Gadis itu tak berani melihat ke belakang, karena akan ketahuan sedang menangis. Itu memalukan.Kepalang tanggung melangkah, ia tak bisa bersikap terlalu kepedean dengan mengira bahwa Araska menyuruhnya berhenti. Siapa tahu, Milly di sudut sana juga sedang terharu karena tersentuh dengan lagu yang dinyanyikan Araska. Itu akan lebih memalukan jika ternyata bukan dia yang dimaksud Araska.Andri kembali melangkah, tak peduli dengan kalimat barusan yang nyatanya akan semakin membuat hatinya ragu untuk melepaskan.“Kamu yang terus melangkah meski disuruh balik, berhentilah!”Dari mikrofon itu kembali terdengar suara Araska. Bodo amat! Andri tetap melangkah hingga hampir sampai di pintu depan.Bukan dirinya! Pikir Andri.“Kamu, Silvi Andriani, kemarilah!”Andri berhenti, d

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   55. Pesta Ulangtahun

    Halaman rumah Naya telah disulap sedemikian rupa. Aneka hiasan, balon-balon menggantung di udara. Makanan mewah juga banyak tersaji di meja. Atas persetujuan Andri, Naya menggelar acara untuk ulang tahun gadis itu; ulang tahun ke dua puluh satu.Sebelumnya, Andri tak pernah mau merayakan dengan banyak orang. Namun, kali ini gadis itu merasa harus merayakan setiap kemenangan yang ia lalui bersama Naya, dan orang-orang terdekatnya.Pesta yang tak terlalu besar, karena hanya dihadiri oleh keluarga, juga anak-anak panti dan dua pengasuh yang tak luput dari undangan istimewa bagi Andri.Anak-anak panti terlihat bahagia dengan acara mewah dan makanan yang aneka ragamnya. Mereka juga telah menyiapkan rencana kejutan untuk Andri.Andri turun dari tangga dengan mata yang ditutup oleh Ejaz. Gadis yang mengenakan gaun berwarna marun itu berjalan perlahan, matanya terlalu gelap.Andri tetap melangkah pelan, hingga tangannya dipegang Ejaz untuk berhenti. Andri tahu, mungkin keluarganya sedang memb

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   54. Kehilangan yang Sesungguhnya

    Andri bangun dengan mata yang sembab. Pagi ini, ia mencoba berhenti menangisi kisah cintanya untuk kedua kali. Namun, bukan berarti ia bisa bangkit secepat itu dari rasa terpuruknya. Gadis itu mencoba berpikir positif tentang hubungan Araska dan Milly. Namun, kebersamaan mereka semakin jauh dari harus berprasangka hanya teman, atau kebetulan.Pagi itu, Milly kembali keluar dengan gitar di punggung. “Gitar baru?” Andri bertanya penuh selidik. Karena yang ia tahu, gitar Milly sudah dirusak oleh papanya.Milly mengangguk. Senyumnya merekah sambil mengelus gitar baru yang ia miliki.“Mama beli?” Kembali Andri bertanya.“Bukan.”“Jadi?”“Araska.”Seolah ada beribu pisau yang menyayat hati Andri secara bersamaan, seiring dengan nama itu disebutkan. Araska membeli gitar untuk Milly, itu artinya lelaki itu sedang mengembalikan hal berharga dalam hidup gadis itu. Sialnya, ia tak bisa mengembalikan hal berharga dalam hidup Andri. Cinta. Rasa itu masih saja menekan hati Andri sendirian, tanpa b

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   53. Patah Kedua Kali

    Andri sedang membaca beberapa buku untuk melengkapi tugas-tugas kuliah yang semakin hari semakin banyak. Setelah selesai dengan mata kuliah magang, kini ia harus membuat laporan magang. Andri bahkan menolak beberapa tawaran pemotretan dan iklan, ia ingin fokus kuliah, karena hari libur pun terasa seperti Senin baginya kini.Gadis itu menatap layar laptop di depannya sambil mengetikkan sesuatu di sana. Di depannya ada secangkir teh dan camilan yang ia minta disiapkan oleh Mbok Nah.Matahari telah naik setengahnya, menyisakan warna jingga menghampar indah di bumi. Sebagian cahayanya masuk melalui jendela kaca di kamar Andri. Di bawah sana, ada tanaman hias dan kolam ikan koi yang juga ikut menikmati keindahan senja. Dalam fokusnya, Andri masih mendengar pintu diketuk seseorang. Tanpa menoleh, gadis itu menyuruh masuk, dari suaranya ia tahu siapa yang datang ke kamarnya.Pintu terbuka, terlihat wajah seseorang menyembul dari baliknya.Milly masuk dan mendekati Andri yang terlihat sibuk

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   52. Positif Vibes

    Andri melangkah ke kamar Naya dengan membawa satu nampan sarapan. Sejak beberapa hari, perempuan itu tidak turun dari kamarnya, setelah menghadapi proses pengadilan atas kasusnya yang menimpanya belasan tahun lalu.Aryan mengambil langkah tepat waktu, seperti telah memikirkan banyak hal dan konsekuensinya. Lelaki itu menyerahkan diri, sebelum genap dua belas tahun kejahatan yang ia lakukan pada Naya.Menurut hukum yang berlaku, kakus pemerkosaan akan kadaluwarsa selama dua belas tahun, jika menurut hukum, pelaku akan mendapatkan lebih dari tiga tahun penjara.Kasus Naya belasan tahun lalu, itu terjadi saat usianya masih dua puluh delapan waktu itu, sebentar lagi akan kadaluwarsa waktunya jika saja ia tak menuntut segera. Bahkan, jika ia menuntut dalam kurun waktu lebih dari dua belas tahun, maka ia bisa dituntut balik atas dasar pencemaran nama baik.Naya bahkan tak berani untuk pergi bekerja, ia tak bisa membayangkan bagaimana media akan merekam wajahnya. Orang-orang akan melihatnya

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   51. Keputusan

    Naya dan kedua putrinya berkumpul di meja makan. Pagi ini Naya memasak nasi uduk untuk sarapan. Ia menggantikan peran Mbok Nah yang izin pulang kampung karena anaknya sakit. Pun, sudah menjadi kebiasaan Naya saat sedang stres, ia akan melakukan aktivitas untuk mengalihkan perasaan itu. Sejak hari itu, Hadi dan Naya banyak berbincang tentang kehidupan mereka, juga dua anaknya yang akan diasuh. Hadi melepaskan Milly untuk diasuh dan tinggal bersama Naya, sedangkan Ejaz akan tetap tinggal bersama papanya. Dua anak itu tak lagi diperebutkan seperti dulu, atau tak lagi ada yang merasa tak rela karena sama sekali tak bisa merengkuhnya. Hadi dan Naya bisa kapan saja menjenguk buah hatinya, tanpa batasan. Itu perjanjian mereka.“Ma, apa nggak sebaiknya mama rujuk sama papa?” Di sela suapannya, Milly bertanya hati-hati. Sebagai seorang anak, ia pasti ingin orangtuanya bersatu dalam satu ikatan, dalam satu rumah.Naya yang sedang makan, menghela napas berat, sejenak menatap Milly dengan serius

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   50. Aryan

    “Finally, kita bertemu di sini, Tuan Aryan!” ucap Andri menyinggung ketenangan lelaki itu. Andri meletakkan satu dokumen yang harus ditandatangani founder perusahaan itu.Berkas dari atasan magang yang meminta pertolongannya untuk diantar ke ruang Aryan.Aryan sedang memeriksa beberapa berkas di mejanya, saat Andri masuk dan mengucapkan kalimat yang membuatnya mendongak. Lelaki itu melihat wajah yang terlalu lancang untuk masuk ke ruangannya. “Kau siapa?” Aryan bertanya. Lelaki itu tahu bahwa gadis di depannya merupakan salah satu karyawan baru, ia bisa melihat tanda pengenal yang tergantung di lehernya. Namun, kalimat tak sopan yang keluar dari mulut gadis itu barusan menyiratkan seolah mereka punya urusan sebelumnya.Seingat Aryan, ia masih punya sekretaris di ruang sebelum ruangannya. Ia bingung kenapa gadis itu lolos masuk tanpa pemberitahuan dari sang sekretaris. Ah, Aryan baru melihat gadis baru saja meletakkan sebuah map. Siapa saja bisa masuk untuk alasan tanda tangan.Aryan

  • Si Burik Jadi Cantik Saat Reuni   49. Kembali

    “Jaz, kita jemput Milly ya.” Pagi. Hadi dan Ejaz sedang menyantap sarapan. Lelaki itu menatap papanya, sedikit ragu untuk mengiyakan. Pun, semalam ia bertanya pada adiknya tentang keadaannya di sana. Milly tampak baik-baik saja di sana, membuat Ejaz merasa kasihan jika harus dipaksa pulang.Sejak Milly di rumah mama, Ejaz sering datang menemui. Ia rindu cerewetnya sang adik, juga merindukan mama yang telah lama tak tinggal di sisinya.Dengan berat hati, akhirnya Ejaz mengiyakan ajakan papanya. Meskipun tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi saat papa kembali bertemu dengan mama. *Hadi turun dari mobil bersama Ejaz setelah lelaki itu mematikan mesin mobilnya. Terlihat oleh mereka sebuah mobil berwarna silver diparkir di depannya. Hadi melangkah masuk ke halaman rumah yang lumayan luas itu. Berdiri di sana seorang satpam dan bebarapa asisiten rumah tangga, mereka tersenyum pada Hadi, tapi wajahnya terlihat tegang.Langkah itu berhenti sejenak. Hadi dan Ejaz berdiri tak jauh dari

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status