Share

6. Jangan Panggil Aku Silvi

Bab 6

.

Motor Araska menepi di depan sebuah restoran. Andri merapikan rambut panjangnya setelah beberapa saat diacak-acak oleh angin saat ia berboncengan di motor Araska.

Mereka baru saja menyelesaikan mata kuliah terakhir untuk hari itu. Araska mengajak Andri untuk pulang bersama, karena tadi pagi lelaki itu juga menjemputnya. Entahlah, Araska merasa takut jika terjadi sesuatu yang buruk lagi pada gadis itu.

Sejak kejadian hari itu, mereka sering berkomunikasi lewat telepon. Setidaknya baru hari ini, karena Araska meminta menjemput.

Awalnya mereka tak banyak berbicara saat bertemu, pun di dalam kelas. Namun, mereka bersikap seperti teman lama yang sudah cukup mengenal satu sama lain, tapi gengsi menyapa satu sama lain. Satu sisi, karena Araska masih mempertanyakan apa yang terjadi pada hidup gadis itu hingga ia bisa berubah sedemikian rupa. Bagi Araska, gadis itu tetap sama. Satu sisi, ia kuat, tapi sisi lain, Andri terlalu lemah, hingga membuat Araska ingin melindunginya.

Araska membuka pintu restoran, diikuti Andri dari belakangnya. Lelaki itu memilih meja paling sudut, agar bisa nyaman mengobrol banyak hal.

Ya, banyak hal yang bersarang di kepala Araska mengenai gadis di depannya.

“Makan apa?” Araska bertanya pada Andri yang telah duduk manis di depannya.

“Apa aja asal jangan ayam.” 

Andri memang bukan pemilih makanan. Karena gadis itu pernah berada di posisi tak bisa memilih untuk makan apa, karena ia memang tak punya makanan. 

Araska menyerahkan daftar menu pada pelayan, setelah memastikan apa yang akan dipesan. Araska memutuskan menyamakan pesanan, setelah mendapat persetujuan dari Andri.

Beberapa menit kemudian, dua porsi steak daging dibawakan pelayan untuk mereka, beserta jus jeruk. 

Sejenak mereka sibuk dengan hidangan masing-masing. Canggung menggantung diantara keduanya. Sunyi, tak ada yang memulai bicara, hanya suara denting pisau dan sendok yang beradu dengan piring.

Diam-diam Araska memerhatikan cara Andri makan. Gadis itu tampak lebih anggun dari yang dulu terlihat. Lelaki itu menyunggingkan senyuman, menyadari betapa uang dapat merubah seseorang.

*

“Aku punya sesuatu untukmu.”

Lama setelah mereka selesai makan, Araska memberanikan diri untuk berbicara. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Barang yang sudah beberapa tahun ia simpan sendirian, kadang barang itu berguna untuk memudarkan rasa rindu yang tak ia mengerti kenapa. Yang ia tahu, ia merasa kehilangan. Karena saat gadis itu tak sekolah, Araska sering menoleh ke belakang, hanya untuk memastikan gadis itu benar-benar tak datang. Kadang barang itu menambah penyesalan di hatinya, dan kembali menyalahkan diri sendiri dengan kalimat seandainya ....

“Ini, aku balikin ke kamu.” Araska menyodorkan beberapa barang yang ia pegang. Barang yang ia curi dari kejadian di sungai beberapa tahun lalu.

Andri menatap barang itu dengan bola mata membesar, tapi kemudian mata itu redup mengingat kembali kepedihan dan kenangan buruk dari barang itu.

Gadis itu mengulurkan tangan, mengambil barang yang disodorkan Araska. 

Tas sekolah yang terlihat sedikit usang, di dalamnya ada ikat rambut berwarna pink motif hello kitty. Manis. Tapi tak semanis kenangan yang Andri alami. Foto gadis itu dengan layar merah. Juga, diary yang dipermake dari buku tulis bekas. Lembarannya telah mengeriting dan kotak di beberapa bagian karena lama terendam air.

Andri membuka diary miliknya. Kadang senyum terlukis di wajah cantiknya, kadang pandangannya sendu, lalu matanya seolah berembun karena airnya ingin melesak keluar.

Gadis itu menatap Araska, menyadari ada yang berubah dari buku diarynya. Harusnya tinta pulpen itu memudar karena terendam air. Harusnya buku lusuh itu telah lenyap dan lembek.

Araska menjemurnya, setidaknya ada sisa tinta yang masih terbaca setelah buku itu kering. Ia juga menghitamkan ulang setiap huruf yang pernah Andri tulis di sana. Hingga kini tulisan itu masih bisa terbaca, meskipun tambilannya sudah sangat tak layak.

Araska membaca semuanya. Membaca semua kesulitan gadis itu. Juga membaca surat yang sempat menjadi bahan tertawaan teman-temannya di kelas. Entah mengapa, saat Araska kadang membacanya, kalimat itu terlihat manis. Tapi, kembali ia merasa tersayat, karena gadis itu telah pergi selama-lamanya. 

Andri menarik-narik ikat rambut baru yang ia miliki beberapa tahun lalu. Perlahan kenangan-kenangan itu seolah terbuka perlahan, hingga membuat dada Andri terasa sesak.

Hadiah terakhir dari ibu. Karena setelah itu perempuan itu membuang Andri.

Mata Andri perlahan memanas. Lalu, gadis itu memalingkan pandangan agar tangisan itu tak ketahuan Araska. Namun, lelaki itu bukan orang yang tak mengenal Andri.

Araska membelai tangan Andri dengan lembut, mencoba memberinya kekuatan untuk hal buruk apa pun yang pernah melukis sejarah hidupnya. Araska menatap gadis itu, seolah bisa melihat luka di sana, sialnya luka itu ikut membuatnya merasa pedih.

“Menangislah seberapa lama yang kamu mau, Vi!”

Melihat ekspresi Andri, meski tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, Araska yakin bahwa Andri memang Silvi. Silvi yang telah bertranformasi menjadi lebih indah. Ia merasa firasatnya benar. Bahwa Andri adalah gadis dari masa lalunya.

Gadis yang menjadi mainan para pembully memuaskan sisi hitam mereka. Silvi Andriani. Gadis itu masih hidup. Terlihat baik-baik saja, bahkan lebih baik. Namun, hatinya menyimpan seribu luka yang tak bisa ia bagi dengan orang lain.

“Jangan panggil aku Silvi! Silvi telah mati ditelan luka.”

Andri membenci nama itu. Nama yang diabaikan, nama yang ditinggalkan, nama yang menyempurnakan kepedihan dalam hidupnya. Sejak tinggal bersama Naya, gadis itu mengganti nama panggilannya. Ia tak ingin dipanggil dengan nama lemah itu, nama yang pernah putus asa.

Andri menunduk, membiarkan air matanya tumpah dilantai restoran. Agar tak ada yang melihat ia sedang menangis, agar tak ada yang tahu bahwa ada hadis yang begitu rapuh.

Andri membenci nama Silvi. Nyatanya mengubah nama panggilan menjadi Andri jga tak membuatnya cukup kuat.

Lucu. Ketika seseorang berpikir sudah cukup kuat untuk berdiri, tapi nyatanya ia terlalu rapuh jika sisi kenangannya terusik. Itu yang dirasakan Andri saat ini.

Gadis itu mengambil tas di kursi sebelah, lalu beranjak pergi hampir berlari sambil mengusap air matanya. Membuat ia menjadi pusat perhatian para pengunjung lain. 

Araska mengikuti langkah Andri setelah ia membayar. Bagi pengunjung lain, mereka tampak sepeti dua sejoli yang sedang bertengkar. Pandangan-pandangan menertawakan dari pengunjung, tak dihiraukan Araska, karena fokusnya saat ini hanyalah Andri.

Araska mengedarkan pandangan ke samping restoran, di mana ada sebuah taman kecil dengan beberapa bangku yang disediakan. 

Dari belakang, Araska melihat bahu seorang gadis. Bahu itu berguncang, semakin lama semakin kuat, seolah sedang meluruhkan semua kesedihan.

Araska mendekat. Ia duduk di samping gadis itu. Tak ada hal yang ia lakukan, hanya diam dan ingin menunjukkan bahwa ia siap jika dimintai pundak untuk menumpahkan rasa sedih itu.

Andri menyadari kehadiran Araska. Gadis itu mengusap pipinya dengan tangan. 

“Kalau gak bisa menjadi pendengar yang baik, biarkan aku jadi tukang tisu.”

Araska menyodorkan tissue untuk Andri. Gadis itu tersenyum, menyadari Araska kini tak sedingin dulu.

“Kenapa gak mau menyapaku?” Araska bertanya setelah Andri terlihat sedikit lebih tenang.

“Bukankah kamu menyuruhku menjauh?” Andri tersenyum hambar.

Lalu mengalirlah cerita. Cerita luka dari masa lalu.

*

TERIMA KASIH 🙏

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
sama² Thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status