“Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?” sahut Prabu Bratasena.
Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini membuat Mahapatih Guntur Selaksa tersudut, sehingga tidak bisa membantah lagi. Matanya saja yang berbinar gusar, namun hal itu tidak diperlihatkan pada Prabu Bratasena. Kewibawaan rajanya, membuat dia hanya bisa menyembunyikan kegusaran dalam hatinya.
“Hamba mohon diperbolehkan angkat bicara, Paduka,” selak Patih Ranggapati.
“Silakan, Patih,” sahut Prabu Bratasena.
“Hamba rasa, Paduka maupun Mahapatih Guntur Selaksa dalam hal ini sama-sama tidak salah. Di antara kami memang ada seorang pengkhianat. Itu pasti. Yang tak pasti, kami semua berkhianat. Mungkin Mah
“Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahku?” tanya Rhenata, cemas. “Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan Bajing Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena tanpa membuang-buang nyawa pasukannya,” jawab Manggala pasti. “Oh, Tuhan...,” desah Rhenata bergetar. Hati gadis itu langsung didera lecutan kekhawatiran terhadap keselamatan ayahnya. “Aku takut, ayahku akan terbunuh, Manggala,” desah gadis itu lirih, nyaris terisak. “Jangan cengeng. Apa kau lupa dengan julukan si Naga Wanita yang disegani?” bentak Manggala, tidak sungguh-sungguh. Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu. Manggala sendiri dapat maklum kalau Rhenata seperti itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus dan peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling dicintainya.
“Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan bicara” Manggala melotot, lalu membanting caping di tangannya keras-keras. “Baik, bicaralah Tapi, ingat. Kalau kau mengarang cerita yang bukan-bukan, aku tak segan-segan menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa menerima hukumanmu” ancam Manggala, sungguh-sungguh. Dalam hal menegakkan keadilan, Si Buta dari Sungai Ular tidak mau pandang bulu. Meski yang harus menerima hukuman adalah orang yang amat dicintai. Selama orang itu memang terbukti bersalah, Manggala tak peduli. Sebelum mulai bicara, Rhenata menarik napas beberapa kali. Seakan, dia hendak mempersiapkan sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya. “Sejak Bajing Ireng dan gerombolannya membantai perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas. Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan Bajing Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka menangkapku untuk dijadikan sandera, agar Aya
Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki mulut celah bukit. Dan... “Maju” perintah Bajing Ireng pada anak buahnya, penuh nafsu. Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyikan tubuh mereka, Bajing Ireng dan anak buahnya berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari Tiongkok, dia menghadang di depan. Sementara, empat anak buahnya yang lain menghadang di belakang. Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, tanpa dapat meloloskan diri lagi. Bagaimana mereka bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing terjal menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap merencah. Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput. Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding cadas. “Bratasena. Akhirnya kau akan pergi juga ke dasar neraka” seru Bajing Ireng keras, namun dingin. Tak ada perubahan sedikit pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung pakaiannya dipermainkan angin. Tak ada jawaban dari pihak kerajaan. “Bratasena. Apakah kau sud
“Rhenata Apa-apaan kau ini?” kata Patih Ranggapati, bergetar.“Paman Guntur Selaksa, periksalah bahu kiri Patih Ranggapati. Sewaktu pulang bersamaku dulu, dia mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat serangan orang-orang Bajing Ireng. Sesungguhnya, luka itu akibat sayatan Kipas Naga milikku...,” sambung Rhenata pada Mahapatih Guntur Selaksa, tanpa mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati.Rupanya, Rhenata sudah mulai mempercayai siasat yang diterapkan Manggala, untuk membuktikan keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar bencana di Kerajaan Madangsewu.Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur Selaksa menatap Patih Ranggapati dengan sinar mata tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang selama ini dikenal baik sebagai perwira kerajaan dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu berkhianat? Namun mengingat yang memerintah adalah putri raja, mau tak mau Mahapatih Guntur Selaksa mengabulkannya.“Kemarilah, Patih Rangg
Setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya menghindari jilatan cemeti.Ctar!Cemeti di tangan Bajing Ireng terlepas seketika. Sedangkan tubuh Si Buta dari Sungai Ular meluncur turun di belakang Bajing Ireng. Begitu mendarat, dengan satu gerakan sulit dihindari, tongkat pusakanya menyergap wajah Bajing Ireng saat masih di udara.“Aaakh!”Dalam keadaan begitu, mata Si Buta dari Sungai Ular melihat tubuh Rhenata melayang mengerikan. Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok berhasil menghempaskan tubuh gadis itu dengan pukulan jarak jauh.“Rhenata!” teriak Manggala terkejut. Pada saat itu, perhatiannya pada Bajing Ireng buyar.“Hiaaat”Berbareng satu gerakan berputar, Bajing Ireng yang berjuluk Siluman Pencabut Nyawa berhasil melepaskan diri.Setelah tubuhnya menghadap ke arah Si Buta dari Sungai Ular, tangannya bergerak bergantian secara beruntun.Des! Des! Des! Des!Empat puk
Gaja Ireng paham jika Mandrawata terpesona dengan kecantikan putrinya itu. Untuk tidak merusak suasana, Gaja Ireng tak menegur tamunya itu. Dan lagi, toh Sakawuni mengacuhkan pandangan Mandrawata."Kiranya yang mulia Gaja Ireng sudi menerima seluruh murid-murid saya bernaung di bawah Panji Hantu," lanjut Mandrawata."Bagus, bagus!" Gaja Ireng tersenyum senang."Dan saya sendiri siap mengabdi pada yang mulia," ujar Mandrawata lagi sambil melirik Sakawuni."Apakah pengabdianmu tidak ada maksud lain?" Pancing Gaja Ireng.Mandrawata terdongak. Gaja Ireng memang bermaksud menyindir. Mandrawata menangkap maksud itu. Dia pun menundukkan kepalanya. Kecantikan gadis itu telah membuatnya jadi dungu. Dia lupa kalau yang dihadapinya kini adalah Gaja Ireng."Ayah, beri dia ujian untuk pengabdiannya!" suara Sakawuni terdengar lembut dan halus, namun nadanya menyimpan kebengisan dan kekejaman."Kau dengar permintaan putriku, Mandrawata?" Gaja Ireng
"Saya mengaku kalah, dan berjanji akan mengabdi sepenuhnya demi Panji Hantu!"Sakawuni tertawa senang."Berikan penawar racunmu, Sakawuni." Kata Gaja Ireng sekali lagi.Sakawuni merogoh saku bajunya dan menyentil sebutir pil berwama merah. Dengan cepat Gaja Ireng menangkapnya dan menyodorkan kepada Mandrawata. Tanpa sungkan lagi, Mandrawata segera menelan pil merah itu.Seketika tubuhnya terasa terbakar. Keringat deras mengucur membasahi sekujur tubuhnya. Wajah tampan dan bengis itu berubah memerah tegang. Segera dirapatkan kedua telapak tangannya ke depan dada."Jangan berlaku bodoh!" bentak Sakawuni. "Hawa murni akan mempercepat kematianmu!"Mandrawata tersentak. Cepat-cepat dilepaskan kedua telapak tangannya. Dibiarkan hawa panas itu menjalari tubuhnya. Sungguh tak tertahankan. Ingin rasanya mengerahkan tenaga dalamnya, tapi peringatan tadi mengurungkan niat itu."Hoek!" Tiba-tiba saja cairan hitam meluncur dari mulut Mandrawata. K
"Berhenti...!"Mandrawata terkejut mendengar bentakan yang keras. Seketika dia menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua kaki depannya, lalu berhenti. Mandrawata mengedarkan pandangannya.Tak ada seorang pun terlihat di sekitar situ. Mandrawata yakin pasti orang yang membentak itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia waspada."Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus busuk bersembunyi dalam got!" Teriak Mandrawata dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar sehingga menggema ke seluruh bukit.Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Mandrawata, sehingga hembusan angin berhenti seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya."He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya mengandalkan bacot!" terdengar suara ejekan menggema."Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!" Mandrawata panas."Sejak tadi aku di sini, Mandrawata."Rasa terkejut Mandrawata bagai disengat ribuan tawon.