"Berhenti...!"
Mandrawata terkejut mendengar bentakan yang keras. Seketika dia menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik sambil mengangkat dua kaki depannya, lalu berhenti. Mandrawata mengedarkan pandangannya.
Tak ada seorang pun terlihat di sekitar situ. Mandrawata yakin pasti orang yang membentak itu mempunyai kepandaian yang tinggi. Segera dia waspada.
"Siapa pun adanya, keluar! Jangan seperti tikus busuk bersembunyi dalam got!" Teriak Mandrawata dibarengi penyaluran tenaga dalam yang besar sehingga menggema ke seluruh bukit.
Begitu hebatnya tenaga dalam yang dimiliki Mandrawata, sehingga hembusan angin berhenti seketika. Matanya kembali beredar ke sekelilingnya.
"He he he..., ternyata Si Samber Nyawa hanya mengandalkan bacot!" terdengar suara ejekan menggema.
"Monyet buntung! Kalau punya nyali, keluar!" Mandrawata panas.
"Sejak tadi aku di sini, Mandrawata."
Rasa terkejut Mandrawata bagai disengat ribuan tawon.
"Tunggu!" sentak Empu Danuraga tiba-tiba. "Kau takut dengan Ajian Tapak Beracunku!" ejek Mandrawata. "Meski kau gunakan nama lain untuk ajianmu itu aku bisa kenali kalau ajian itu adalah gerakan 'Aji Racun Merah'! Ada hubungan apa kau dengan Setan Racun Merah?" "Apa pedulimu dengan tua bangka tolol itu?" Dengus Mandrawata. "Apa hubunganmu dengan Setan Racun Merah?" Desak Empu Danuraga. "Ha ha ha....'"Mandrawata hanya tertawa. Empu Danuraga mengkeretkan gerahamnya. Sinar matanya tajam menatap Mandrawata. Hampir sepuluh tahun dia tidak pernah mendengar kabar Setan Racun Merah. Dan sekarang, tiba-tiba saja jurus ampuh itu diperagakan Mandrawata. Walau dengan nama lain, tetapi Empu Danuraga masih bisa mengenali dengan baik. Lebih-lebih ketika melihat kedua telapak tangan Mandrawata memerah seperti terbakar. "Kau memiliki 'Aji Racun Merah', tentunya kau kenal baik dengan Setan Racun Merah. Katakan, di mana dia sekarang?" Dingin suar
"Simpan kalung itu, dan segera temui ayah!" Kata Sakawuni. Matanya masih menatap ke arah sudut ruangan."Di mana Gaja Ireng?" Tanya Mandrawata."Di penginapan Mawar Jingga."Mandrawata memakai kembali kalungnya kemudian melangkah keluar kedai.Penginapan Mawar Jingga berada di perbatasan antara dukuh Giring dengan dukuh Merang. Gaja Ireng selalu menggunakan penginapan itu jika keluar dari Lembah Hantu.Baru saja Mandrawata keluar, dia kembali la dan berdiri didepan pintu. Mukanya merah pada seperti menahan marah."Ada apa?" Tanya Sakawuni.Mandrawata tak menyahut. Dilemparkannya sebuah ruyung ke arah Sakawuni. Dengan tangkas gadis itu menangkapnya. Ruyung itu terbungkus selembar daun lontar yang diikat dengan pita merah.Sakawuni mendelik setelah mengetahui isinya Daun lontar itu bertuliskan sebaris kalimat, "Kalian anggota Panji Hantu, harus mampus di tangan kami!" Sakawuni segera menatap kelima orang yang masih acuh di sudut.
Sementara itu pertarungan lain masih terus berlangsung sengit. Pertarungan antara Mandrawata dengan Langlang Pari telah berlangsung di luar kedai. Disusul oleh Kanta Pari, Dadap Pari, dan Baga Pari yang bertarung melawan Tiga Serangkai Rantai Baja. "Jangan lari, Rahib Murtad!" seru Tatra Pari melihat Pradya Dagma melompat menembus atap kedai. Tatra Pari mengikutinya. Di atas atap kedai mereka kembali bertarung. Sakawuni yang kini sudah berada di luar kedai, mengawasi pertarungan tanpa mengedipkan mata. Hatinya agak khawatir melihat salah seorang dari Tiga Serangkai Rantai Baja terpojok melawan Baga Pari. Hingga tiba-tiba...."Crab!" Pedang Baga Pari menembus lawannya. Darah muncrat bersamaan dengan limbungnya salah satu dari Tiga Serangkai Rantai Baja. Tanpa bersuara sedikit pun, orang itu ambruk tidak bergerak lagi. Baga Pari berdiri tegang dengan pedang tergenggam erat di tangan kanannya. Ujung mata pedangnya berlumuran darah. Saat matanya melihat Tatra Pari bertempur melawan Rah
HATI Manggala merasa tidak tega melihat laki-laki tua dikeroyok lima orang bersenjata pedang. Dia tidak tahu kalau laki-laki tua itu adalah seorang tokoh dari golongan hitam. Hati Manggala yang masih polos belum bisa membedakan mana kawan dan mana lawan."Kenapa mereka sampai mengeroyok kakek?" Tanya Manggala dengan sopan dan lembut."Mereka ingin membunuhku!" Sahut Pradya Dagma. Sekejap saja dia mampu mengukur kepandaian anak muda ini. Otaknya yang dipenuhi akal licik, segera memanfaatkan kehadiran Manggala yang polos itu."Apa salah kakek?" Tanya Manggala tidak menyadari kalau dirinya diperalat."Mereka ingin mengambil putriku!"Pandangan Manggala segera terarah pada Sakawuni yang berdiri agak jauh. Hatinya tergetar ketika melihat gadis itu. Sakawuni yang mendengar pembicaraan itu hanya tersenyum dalam hati. Sudah dapat ditebak maksud Pradya Dagma. Tapi dirinya dan Pradya Dagma bingung, kenapa pemuda buta itu bisa menoleh tepat ke arah Sakawuni,
"Hey! Ada apa?" Pekik Sakawuni kaget."Teratai Putih...," Laki-laki itu tidak meneruskan kalimatnya. Dia telah ambruk tak bernyawa.Belum lagi hilang rasa terkejut, tiba-tiba dari pintu berrmunculan orang-orang berpakaian serba putih dengan sulaman bunga teratai di dada. Bahkan beberapa orang muncul dari atas atap ruangan ini. Jumlah mereka semua tak lebih dari dua puluh orang.Beberapa pengunjung segera berhamburan keluar menyelamatkan diri. Keadaan di kedai makan kian berubah panas dan tegang. Sakawuni segera berdiri diikuti yang lainnya."Kalian datang langsung membuat onar. Apa maksud kalian?" dingin suara Sakawuni. Matanya menatap tajam pada orang yang berdiri paling depan."Kami ingin menuntut balas atas kematian saudara-saudara kami!" Sahut laki-laki yang berdiri paling depan."Pragola, kenapa bukan Pasopati saja yang datang ke sini?!" Dengus Dewi Asmara Dara."Guruku terlalu suci berhadapan denganmu, perempuan liar!" Sahut Pra
"Mati aku!" dengus Pragola. Dia tahu kalau Asmara Dara mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'. Ilmu andalan yang sangat jarang digunakan Asmara Dara. Kemarahan yang memuncak karena selendang andalannya putus memancingnya untuk mengeluarkan ilmu 'Seribu Mata Dewi'."Jangan panik!" Terdengar lagi bisikan halus di telinga Pragola. "Hindari tatapan matanya. Gunakan ilmu peringan tubuh, putari tubuhnya. Pragola segera bangkit dan berlari-lari memutari tubuh Dewi Asmara Dara dengan menggunakan ilmu peringan tubuh. Tentu saja Dewi Asmara Dara jadi kelabakan. Sinar-sinar merah yang dilontarkan selalu mengenai tempat kosong. Beberapa orang yang masih berada di kedai itu segera menyingkir, menghindari sinar merah yang tidak mustahil nyasar ke tubuh mereka."Gunakan senjata kecil, arahkan ke kaki," bisikan halus kembali terdengar.Pragola kebingungan. Dia tidak memiliki senjata rahasia satu pun juga. Gurunya tak pernah membekali senjata rahasia. Menurut gurunya, senjata raha
Setelah berkata demikian Dewi Asmara Dara segera melompat menerjang dengan jurus andalannya. Manggala hanya berkelit sedikit dengan meliukkan tubuhnya. Serangan Dewi Asmara Dara hanya mengenai angin kosong.Mandrawata yang mengenali jurus-jurus Dewi Asmara Dara, terkesima melihat cara Manggala menghindari serangan. Merasa lawan hanya menghindar tanpa melangkah sedikit pun, Dewi Asmara Dara berang bercampur malu."Terima aji pamungkasku!" Teriak Dewi Asmara Dara.Seketika seluruh tangan Dewi Asmara Dara mengepulkan asap kekuningan, lalu secepat kilat menyerang Manggala. Semua mata yang memandang menahan napas menyaksikan Manggala hanya tenang-tenang saja."Hiyaaa...!" Dewi Asmara Dara melengking keras dengan kedua tangan menjulur ke depan.Saat jari-jari tangan Dewi Asmara Dara yang mengepulkan asap tepat di depan mata Manggala, anak muda itu hanya memiringkan kepalanya sedikit. Lalu;Plak!Sebuah tamparan dilepaskan oleh Manggala hing
Manggala berpikir sebentar."Eyang Guru Begawan Pasopati pasti gembira jika Tuan Pendekar berkenan mengunjunginya. Dari beliau nanti, Tuan Pendekar dapat mengetahui lebih banyak tentang Siluman Lembah Hantu," kata Pragola tengah membujuk."Benarkah?" Tanya Manggala dengan polos tanpa pernah curiga terhadap siapa pun. Dalam hati sebenarnya Manggala senang memenuhi undangan itu yang tentu segalanya terjamin."Eyang Begawan Pasopati seorang yang bijak. Beliau pasti senang jika penolong kami berkenan singgah barang sebentar.""Baiklah, aku pun senang mendapat sahabat."Betapa gembiranya Pragola karena pendekar yang dikaguminya berkenan menerima undangannya. Segera diperintahkan adik-adik seperguruannya menyiapkan kuda. Sebentar kemudian enam ekor kuda sudah dipacu meninggalkan kedai, menembus kegelapan malam. Manggala yang berpura-pura buta, terpaksa ikut disalah satu penunggang kuda dengan duduk dibelakangnya.Bibir Manggala tersenyum-senyum. P