"Hah?" Tedy mengernyitkan dahi.
Tanpa b**a basi lagi, Ningsih langsung menendang selangkangan Tedy dengan lutut.
"Aaaakh ...! Wanita sialan!" Pria gendut itu melepaskan dekapannya. "Buat dia mengerti bagaimana cara melayani pria dengan benar!" perintah Tedy kepada seluruh anak buahnya.
Delapan pria maju mengeroyok Ningsih seorang diri. Wanita itu melangkah mundur, dia menyipitkan mata untuk memprediksi gerakan-gerakan mereka yang maju menyerang bergiliran.
Wuuuush!
Seseorang memukulkan kepalan tangannya ke arah Ningsih. Dia berhasil menghindar dengan sedikit berjongkok lalu membentuk posisi kuda-kuda. Ningsih menyadari seseorang pria melayangkan kaki di belakangnya.
Hap!
Ningsih menangkap kaki pria itu di bahunya, lalu mencengkeram kuat dengan kedua tangannya. Kemudian dia menghempaskan pria itu ke depan.
Bugh!
Wanita itu meraih kakinya lagi dan mengayunkan dengan gerakan memutar untuk memukul orang-orang di sek
"Aaaaaaaaargh." Tedy melepaskan cengkeraman kerah Tukijo."Jika kamu berhasil menjatuhkan seseorang, jangan beri dia kesempatan untuk menyerang balik!" ucapan Ningsih terngiang-ngiang di kepala Tukijo.Tukijo kembali mencambuk si gendut Tedy dengan sabuk sekolahnya tanpa henti sampai dia terjatuh.Soib berhasil keluar dari tumpukan kayu yang menindihnya. Dia diam-diam berjalan pelan di belakang Tukijo hendak memukulnya dengan sebatang kayu.Sayangnya Ningsih menyadari gerak gerik Soib. Dia mengambil sedal di kakinya lalu melemparkannya ke arah Soib.Pletak!Sedal mendarat di wajah Soib.Soib merasa ada sesuatu yang lembek menempel di hidungnya. Sesuatu itu berwarna coklat dan memiliki bau yang sangat menyengat."Apa ini?" ucap Soib sambil mengkembang kempiskan hidungnya.Kemudian dia mengambilnya dengan jari telunjuk. "Kok kayak taik ayam ya ...," ungkapnya sambil mencium sesuatu yang lembek itu."Uh, bener
Hap! Sayangnya sepatu itu berhasil di tangkap oleh Tedy. Tapi, itu memang yang diharapkan oleh Tukijo. Dia mengikatkan tali sepatunya di tangan Tedy, lalu berjalan ke belakang pria gendut itu sambil menarik tali sepatu yang telah diikatkan ke tangan kanannya. "Sial! Apa yang kau lakukan di sana?" Tedy berusaha meraih Tukijo di belakangnya dengan tangan kiri. Tukijo telah memperhitungkan rencananya. Kemudian anak itu meraih tangan kiri Tedy dan menumpuknya dengan tangan kanan lalu mengikat keduanya dengan tali sepatu. Setelah itu, Tukijo menutup kepala Tedy dengan baju seragamnya. "Woy! Sialan lo! Lepasin gue!" teriak Tedy. Tukijo mengambil sebuah kayu dengan ketebalan 3 cm lalu memukul Tedy dengan kayu tersebut sekuat-kuatnya sampai dia jatuh berdarah-darah. "Aaaaaaaaargh! Hentikan!" rintihnya. "Apa? Hentikan?" Tukijo terus memukuli Tedy tanpa henti. "Dulu, ketika kau memukulku, apa kau berhenti saat aku bilang be
___________"Mar, tolong belikan telur sama gula ya ... kita kehabisan stok," pinta Hartono menyuruh Markonah pergi ke toko langganannya."Ke toko biasa?" tanya Markonah."Iya," jawab Hartono."Oiya Yah, toko itu deket PMC kan. Aku sekalian mau jenguk teman boleh? Dia sudah dua hari nggak masuk sekolah, katanya dia dirawat di sana," papar Markonah."Boleh, tapi jangan kelamaan ya ... nanti Ayah kesorean bikin adonannya." Hartono memberikan uang sejumlah seratus ribu rupiah.Kemudian Markonah pergi dengan motor butut ayahnya. Setelah dia membeli telur dan gula, dia memarkirkan motornya di depan Pricilia Medical Center. Gadis itu berjalan menuju pintu masuk lalu menemui resepsionis."Saya ingin mengunjungi pasien yang bernama Tukijo. Di mana letak kamarnya?" tanya Markonah."Tunggu sebentar ya Mba, saya cek dulu," jawab seorang wanita yang berada di depan Markonah. Dia membolak balikkan buku di hadapannya berkali-kali."Pa
"Mbah ...! Mbah ...!" teriak Tukijo dan Ningsih mencari-cari keberadaan Muhiroh. Mereka memutari sekita Rumah Sakit Pricilia Medical Center selamat satu jam. Namun belum berhasil menemukannya. Tukijo melihat banyak orang berkerumun di dekat tanggul irigasi. Tiba-tiba muncul firasat buruk di hatinya. "Ada apa orang kumpul-kumpul di sana?" ujar Tukijo. "Di mana Jo?" tanya Ningsih. "Itu Kak, dekat irigasi." Tukijo mengacungkan jari telunjuknya. "Aku ada firasat nggak enak, Kak." "Ayo Jo! Kita coba lihat dulu, ada kejadian apa di sana," ajak Ningsih. Kemudian mereka mendekati tempat kerumunan tersebut. Alangkah terkejutnya Tukijo dan Ningsih, ketika mereka mendapati seorang nenek tua yang kulitnya sudah keriput dan rambutnya sudah memutih tergeletak di jalan dalam keadaan tubuhnya basah kuyup. Wajah nenek itu pucat, dan tidak ada tanda-tanda hembusan nafas di tubuhnya. "MBAAAH!" teriak Tukijo sembari memeluk erat jasad itu. Dia terisak, bibirnya bergetar, air matanya berlinang hingg
Tukijo terbangun dengan membelalakkan mata. Dia masih dalam posisi duduk dengan meletakan kepalanya di meja. Kemudian dia berdiri dan menoleh ke jendela. Di sana dia menjumpai seseorang berbicara dengan Tiyem, tiba-tiba Cecep datang. Plak! Cecep mengayunkan tangannya dan menghantam anak itu. "Diem BEGO!" teriaknya. Tukijo menatap tajam anak itu. "Dia kan ... anak IPS 1," gumamnya. Markonah yang baru saja kembali ke kelas setelah membeli buku LKS di koperasi, dia melihat Tukijo memasang wajah serius melihat luar dari jendela kaca. Padahal, sejak pagi anak itu terus berwajah murung tanpa senyum sedikitpun. Gadis itu ingin sekali menanyakan apa yang terjadi padanya. "Jo!" ucapnya, dia berbisik mendekat ke telinga Tukijo. Tukijo merasa, ada angin masuk ke telinganya. Dia menoleh dan mendapati Markonah berada di sampingnya. "Kamu memanggilku Mar?" tanya Tukijo. "Enggak, aku lagi panggil lalat," ketusnya. "Eh ...." Tu
"Dia adalah Kang Slamet, salah satu anggota Geng Bentor yang masyhur tidak kenal ampun dalam memalak siapapun," jelas Sugeng. "Ah andai saja kemaren aku merekam kejadian itu. Aku nggak kepikiran kalau dia bakal mengkambing hitamkan Si Cecep." "Walaupun Cecep orangnya kasar dan suka malak, tapi dia itu pemilih. Anak itu nggak pernah malak orang tua apalagi nenek-nenek," celetuk Tiyem. "Cih! Kamu bilang kayak gitu di depan Tukijo, sedangkan dia tiap hari jadiin Tukijo babu. Apa kamu nggak mikirin perasaannya?" sanggah Markonah. "Semoga aja setelah kejadian ini dia mendapat banyak pelajaran." "Apa rencanamu buat buktiin kalo Kang Slamet yang membunuh mbahku?" tanya Tukijo kepada Sugeng. "Tiyem yang akan menyusup ke markas Geng Bentor untuk menggali informasi dan merekam setiap perkataan mereka," timpalnya. "Apa? Kenapa harus aku?" elak Tiyem. "Karena Kang Bahar tertarik padamu. Kamu tau Kang Bahar kan?" ujar Sugeng. "Kamu me
"Eh, anu ..." Sutrisno terdiam. "Aduh, gimana nih." Dia merasa takut, jika salah berbicara bisa-bisa wanita di hadapannya ini akan membuatnya menjadi rempeyek. "Nona, semua sudah beres," ujar Marno melapor bahwa para sampah anggota Geng Bentor telah dibersihkan. Cecep sebagai praduga tidak bersalah sudah dibebaskan. "Baiklah, ayo pergi! Urusan kita sudah selesai," pinta Ningsih. Kemudian mereka pergi tanpa sepatah kata pun. "Huuuh." Sutrisno mengelus dada bernapas lega. "Tukijo! Bajumu?" seru Tiyem membuat ketiga orang itu berhenti melangkah. Tukijo menoleh. "Buat kamu aja, aku punya beberapa," jawab Tukijo. Keringat yang bercucuran keningnya menjadikan ekspresi dingin anak itu, terlihat keren membuat Tiyem terpana. "Astagaaaa ... sadar Tiyem, dia itu Tukijo," gumam Tiyem mengalihkan pandangan. Sejak saat itu, Sugeng, Trisno, Tiyem dan semua anggota Geng Becak memandang Tukijo sebagai sosok yang harus disegani karena memiliki hubungan dengan wanita misterius itu. Setelah kembal
"Kenapa Jo?" tanya Tiyem. "Oh, nggak papa Yem. Cuma, nanti aku ada ide bagus buat kesejahteraan geng kalian," tutur Tukijo. Akhirnya dia tetap mengambil mendoan yang berada di hadapannya. "Sebelum Cecep membayar, aku harus mendahuluinya," batin Tukijo. "Kesejahteraan geng? Ide apa?" tanya Tiyem memiringkan kepalanya. "Ada deh, nanti aku kasih tau," jawab Tukijo. Saat Tukijo sedang melihat-lihat karidor kelas XII, tanpa sengaja ia menjumpai dua bersaudara Jono dan Joni mengikuti Markonah di belakangnya. Tukijo bangkit menghampiri Bu Badrun. "Bu, total semua bayar berapa?" tanya Tukijo berbisik. "Tiga ratus tiga puluh tiga ribu, Mas ...," jawab Bu Badrun. Tukijo mengeluarkan uang sejumlah tiga ratus lima puluh ribu dan memberikannya kepada Bu Badrun. "Ini Bu, ambil saja kembaliannya." "Terima kasih banyak, Mas," ucap Bu Badrun tersenyum. "Sama-sama Bu," balas Tukijo. Kemudian anak itu beranjak pergi meninggalkan kantin. "Cep, aku ke kelas duluan ya ...." Tukijo menepuk punggung