Beranda / Romansa / Si Tampan yang Posesif / 3. Pertemanan Orang Tua

Share

3. Pertemanan Orang Tua

Penulis: Renata Respati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-29 02:34:24

“Oh, iya?”

“Iya. Namanya Sangkara, kamu kenal?”

Diandra spontan menginjak pedal rem begitu nama itu disebutkan dengan ringan oleh Miranda.

“Diandra, hati-hati dong bawa mobilnya.” Seru mommy-nya karena kaget.

“Sorry, mom. Kaget dikit tadi.”

“Hm?”

“Anak tante Miranda siapa tadi? Sangkara?” tanya Diandra memastikan.

“Iya. Sangkara Adhiyatsa. Kamu tahu dia?”

‘Bukan cuma tahu, tan,’ Diandra meringis dalam hati.

Bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini dalam hidupnya. Sangkara, cowok yang tiga tahun ini menjadi gebetannya, dan selalu menolaknya. Sekarang dia malah duduk satu mobil dengan ibu dari lelaki itu?

Tante Miranda bahkan adalah teman baik mommy-nya sejak jaman kuliah di Auckland.

‘Takdir macam apa ini?’ batinnya girang.

Voila!” serunya.

“Kenapa, Di?” tanya mommy-nya penasaran.

“Hehehe… nggak apa-apa,” Diandra tersenyum canggung saat kedua orang tua itu menangkap basah perilaku anehnya.

Setelah berhasil menguasai diri, Diandra kembali menjalankan mobilnya dan melaju untuk mengantar Tante Miranda lebih dulu.

“Tante, sorry. Kenapa aku baru tahu ya kalo mommy ini punya temen kayak tante? Maksud aku, kenapa baru ketemu sekarang gitu,” tanya Diandra di tengah perjalanan.

“Ya karena Miranda ini juga kan baru sebulan yang lalu balik tinggal di Indo, Di,” jawab mommy-nya.

“Oh, ya? Emang selama ini Tante Miranda tinggal di mana?” tanyanya lagi, sambil sesekali melihat ke arah spion.

“Dulu setelah lulus kuliah itu, tante langsung menikah dan ikut suami tante pindah ke Swiss. Dan tiga tahun yang lalu, kami sekeluarga balik ke Indo karena suami tante kebetulan ada kerjaan di sini. Eh, nggak sampai setahun ternyata kami harus balik lagi ke Swiss. Jadilah saat itu kita pindah dan ninggalin Kara sendirian di sini,” jelasnya panjang lebar.

“Kalau boleh tahu, kenapa Kara ditinggal sendirian di Indo, tante?”

“Itu karena Kara sendiri yang mau. Dia bilang capek karena seumur hidup selalu pindah-pindah tempat tinggal terus. Karena selama di Swiss, ada kali kita pindah sampai ke empat kota berbeda. Tiga tahun di Bern, lima tahun di Jenewa, dua tahun di Luzern, dan yang paling lama di Zurich sekitar tujuh tahun.”

“Wah, keren. Aku juga pengen tuh suatu saat bisa tinggal di Swiss,” ucap Diandra penuh semangat.

“Oh, ya? Diandra mau tinggal di kota mana memangnya?”

Diandra menggeleng.

“Belom tahu. Tante ada rekomendasi nggak?” gadis itu balik bertanya.

Miranda tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.

“Swiss punya banyak kota indah, dan dari semuanya, nggak ada yang tante nggak suka. Nanti deh kalau pas kamu ke sana, tante ajakin kamu keliling Swiss sepuasnya.”

“Asyik! Beneran ya, tante.”

“Iya.”

“Padahal kan asyik ya tinggal di Swiss, kenapa Kara malah nggak mau sih? Aneh banget,” Diandra bergumam bingung.

“Karena selama tinggal di sana, dia jadi kesulitan untuk cari temen. Dengan keadaan keluarga kita yang sering pindah-pindah kota itu, membuat Kara akhirnya harus beberapa kali pindah sekolah juga. Jadi disaat dia baru memulai pertemanan, eh besoknya udah pindah lagi aja. Makanya setelah ke Indo, Kara menolak balik ke Swiss. Dia kekeuh mau tinggal di sini aja. Sendirian nggak apa-apa katanya, yang penting dia nggak nomaden lagi,” Miranda tertawa mengingat kata-kata putranya.

Diandra mengangguk. Sekarang ia paham kenapa Kara kerap kali terlihat seperti seseorang yang kesepian.

“Jadi, sekarang tante pulang ke Indo untuk urusan bisnis atau—”

“Menetap. Om dan tante mau nemenin Kara di sini, seenggaknya sampai dia lulus kuliah. Kami ingin hadir sebagai orang tua yang lengkap di masa remajanya. Biar Kara nggak merasa kesepian dan berakhir salah pergaulan nantinya.”

Mereka sampai di kediaman Miranda—rumah Kara—, Miranda lalu meminta Diandra dan Helena untuk mampir sebentar sebagai bentuk terima kasih karena sudah mengantarnya pulang.

Diandra tentu saja tidak menolak, ia langsung setuju begitu Miranda menyuruhnya untuk masuk lebih dulu.

“Wah!”

Hal pertama yang dilihatnya saat keluar dari mobil adalah sebuah rumah besar bergaya Eropa modern, dengan detail fasad bergaya klasik yang diterapkan pada kusen jendela dan pintu. Bangunan itu tampak megah dengan dua pintu berukuran besar penuh ukiran di sekelilingnya. Dindingnya bercat putih, krem, dan abu-abu yang memberikan tampilan elegan, klasik, dan modern dalam waktu bersamaan.

So cool,’ Diandra tak dapat melepaskan matanya dari menikmati bangunan indah di hadapannya.

“Ayo masuk,” ucap Miranda mempersilakan.

Dan begitu pintu rumah itu dibuka, Diandra langsung disuguhkan dengan pemandangan ruang tamu yang luas dengan desain klasik yang tak kalah memanjakan mata. Rumah itu memiliki atap tinggi dan miring, jendela berukuran besar berbentuk persegi panjang dengan bagian atas yang melengkung dan sudut-sudut yang tegas.

Beberapa ruangan lainnya mengusung atap perisai dan pilar yang dibalut material batu alam, juga dinding-dinding yang memiliki detail garis yang identik dengan ciri khas Eropa.

“Rumah tante bagus banget,” puji Diandra spontan.

“Kamu suka?”

Diandra mengangguk penuh semangat.

“Kalo suka, kamu boleh loh sering-sering main ke sini,” kata-kata itu terdengar seperti angin yang super segar bagi Diandra.

“Oke, tante. Aku akan sering main ke sini nanti.”

“Hmm, kenapa rasanya kayak ada udang dibalik batu, ya,” mommy-nya berbisik, matanya menyipit seolah tahu gelagat putrinya yang seperti baru saja mendapatkan jackpot.

Mommy, ih.”

Helena tersenyum melihat Diandra yang merengut pura-pura kesal.

“Bik Rina, tolong buatkan minuman untuk tamu saya, ya.”

“Baik, bu.”

Diandra masih berdiri melihat-lihat ruangan demi ruangan di rumah itu. Hingga dirinya sampai pada dinding yang memajang sebuah foto keluarga yang terdiri dari empat orang, dua orang laki-laki, dan dua orang perempuan.

Diandra mengenali dua dari empat orang di foto. Perempuan cantik yang tampak elegan itu sudah pasti adalah Tante Miranda. Sedangkan lelaki muda dengan wajah tegas dan senyum tipis itu… Sangkara. Satu lagi pria yang lebih tua, Diandra menduga itu adalah suami Tante Miranda, papa Kara.

Dan satu gadis yang terlihat lebih muda itu… Diandra merasa asing. Tapi dilihat dari wajahnya, gadis itu memiliki senyum cerah dengan tatapan sendu.

“Ini…” Diandra menggantung kata-katanya.

“Itu Sandrina, adiknya Sangkara,” suara Tante Miranda terdengar di belakang kepalanya.

Seolah wanita itu tahu isi pikirannya.

“Oh,” Diandra mengangguk.

“Vince, tolong kamu kosongin jadwal Kara besok malem, ya,” ucap Miranda pada seorang lelaki agak muda di rumah itu, usianya mungkin masih sekitar 20-an.

“Baik, bu.”

Lelaki itu mengangguk paham.

“Diandra, ini Vincent… PA-nya Kara,” ujar Miranda memperkenalkan.

“Halo… Diandra.”

“Vincent.”

“PA…nya Kara, tante?” tanya Diandra bingung saat laki-laki bernama Vincent itu sudah pergi dari hadapannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Tampan yang Posesif   6. Pesta Kelulusan

    “Sorry, kenapa tiba-tiba banget, ya? Pertama, gue nggak gitu kenal sama lo. Kedua, udah pasti gue dateng sama temen-temen gue. Tapi makasih udah ngajakin,” Diandra berusaha menolak dengan sopan.“Bukan sama Kara?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada mencurigai.Kening Diandra mengerut, dia tidak suka ketika orang lain mencoba mengusik privasinya.“Kok jadi Kara?”“Ya… semua orang juga tau kalo selama ini lo ngejar dia banget, cuma akhir-akhir ini aja agak beda.”“Itu sama sekali bukan urusan lo.”“Ada yang mau gue omongin nanti malem.”“Yaudah tinggal ngomong aja sekarang, kenapa harus nunggu nanti malem?”“Nggak bisa, moment-nya nggak tepat kalo sekarang. Gue juga belom siap.”Diandra melihat ke sekeliling, tempat di mana teman-teman satu angkatannya masih sibuk merayakan kelulusan.“Yaudah, nanti malem aja. Tapi nggak harus berangkat bareng juga, kan? Ketemu di sana kan bisa.”“Oke. See you tonight.”Diandra mengangguk, dan membiarkan laki-laki bernama Alvaro itu pergi dari hadapann

  • Si Tampan yang Posesif   5. Patah Hati

    Mata mereka bertemu dan saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya Kara berpaling dan mengembuskan napas berat.“Gue nggak bisa,” tiga kata dari Kara itu sontak membuat napas Diandra tercekat.Jantungnya seperti berhenti berdetak sepersekian detik, dan udara di sekitarnya terasa menipis, membuat Diandra kesulitan bernapas.“But, thanks karena udah suka sama gue selama tiga tahun ini,” lanjutnya.Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan bagi Diandra. Rasa cinta yang dia simpan selama tiga tahun ini sia-sia. Perasaannya tak berbalas.“Apa ada sesuatu didiri gue yang bikin lo nggak suka? Atau belum? Gue bisa nunggu.”Diandra tahu kata-katanya itu terdengar konyol, tapi tubuhnya bergetar saat memikirkan kemungkinan itu.Kara tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, tatapannya dingin namun… ada sedikit kilatan yang sulit ditebak.“Enggak.”“Kenapa?”“Lo kelewat populer, kayaknya bakal ribet banget kalo menjalin hubungan sama tipe cewek kayak lo gitu. Selalu jadi spotlight dan

  • Si Tampan yang Posesif   4. Pendekatan Jalur Calon Mertua

    “Ya,” Miranda mengangguk.“Kara masih SMA kan, ya? Kok udah… punya PA?” tanyanya lagi.“Kara itu cover-nya aja yang anak SMA.”“Hah? Gimana, tante?”Miranda tersenyum, seperti tengah menggoda gadis itu.“Nanti juga kamu tahu.”“Len, Di, besok malam kalian bisa kan datang ke sini untuk makan malam?”“Ada acara apa nih?” tanya Helena.“Makan malam biasa aja. Sebagai perayaan karena hari ini akhirnya kita ketemu lagi setelah sekian lama, dan juga ucapan terima kasih karena Diandra udah mau nganterin aku pulang.”“Tante… aku ikhlas loh, serius.”“Iya, tante percaya.”Diandra tersenyum hingga kedua matanya menyipit.“Gimana? Kalian bisa, kan?”“Aku sih bisa aja, ya. Kebetulan lagi nggak ada acara juga. Kalo kamu gimana, Di? Biasanya kan kamu yang paling jarang ada di rumah?”“Hm? Aku bisa kok, mom. Bisa banget!” jawabnya cepat.“Oke kalo gitu, besok aku tunggu ya buat makan malam di rumah.”“Iya, Mir.”“Iya, tante.”Jawab ibu dan anak itu berbarengan.***Setelah selesai berkeliling dan me

  • Si Tampan yang Posesif   3. Pertemanan Orang Tua

    “Oh, iya?”“Iya. Namanya Sangkara, kamu kenal?”Diandra spontan menginjak pedal rem begitu nama itu disebutkan dengan ringan oleh Miranda.“Diandra, hati-hati dong bawa mobilnya.” Seru mommy-nya karena kaget.“Sorry, mom. Kaget dikit tadi.”“Hm?”“Anak tante Miranda siapa tadi? Sangkara?” tanya Diandra memastikan.“Iya. Sangkara Adhiyatsa. Kamu tahu dia?”‘Bukan cuma tahu, tan,’ Diandra meringis dalam hati.Bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini dalam hidupnya. Sangkara, cowok yang tiga tahun ini menjadi gebetannya, dan selalu menolaknya. Sekarang dia malah duduk satu mobil dengan ibu dari lelaki itu?Tante Miranda bahkan adalah teman baik mommy-nya sejak jaman kuliah di Auckland.‘Takdir macam apa ini?’ batinnya girang.“Voila!” serunya.“Kenapa, Di?” tanya mommy-nya penasaran.“Hehehe… nggak apa-apa,” Diandra tersenyum canggung saat kedua orang tua itu menangkap basah perilaku anehnya.Setelah berhasil menguasai diri, Diandra kembali menjalankan mobilnya dan melaju untuk mengantar

  • Si Tampan yang Posesif   2. Cemburu

    “Kak Kara, hari ini jadi nemenin gue keliling sekolah?” seorang gadis tiba-tiba menghampiri Kara, berbicara padanya dengan suara lembut dan cenderung manja.Senyum cantik di wajah Diandra memudar, alisnya berkerut, dan matanya menatap tajam pada dua orang yang tengah berbicara santai tak jauh darinya.Itu adalah Salsa, seorang siswi pertukaran pelajar dari sekolah lain. Yang entah bagaimana bisa menjadi tanggung jawab Kara selama Salsa berada di sekolah ini.“Sure,” jawab Kara singkat, namun… Diandra bersumpah ia melihat seulas senyum tipis di sudut bibir lelaki itu.Diandra kesal bukan main saat melihat Kara bisa setenang itu berbicara dengan gadis lain. Bahkan tersenyum. Tersenyum!Diandra merasa iri luar biasa. Merasakan panas perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat kedekatan mereka berdua, berjalan bersama keluar lapangan, meninggalkan Diandra sendiri di sana.Gadis itu mendesah menatap punggung Kara yang perlahan menjauh, lalu menghilang.“See?” Ujar Lavie yang berdiri

  • Si Tampan yang Posesif   1. Mimpi Ciuman

    “Kita emang nggak punya hubungan apa pun. Tapi… kamu milik aku,” setelah mengatakan kalimat itu, Kara—cowok yang tiga tahun ini menjadi crush Diandra—menyeringai sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke arah Diandra.Menciumnya.Pelan… dan dalam.Diandra yang awalnya melotot karena terkejut, berakhir memejamkan mata, menenangkan diri sendiri, dan perlahan menikmati ciuman lelaki itu di bibirnya.Diandra menggantungkan tangannya di leher Kara, menarik lelaki itu agar lebih mendekat padanya.‘Akhirnya… setelah tiga tahun… cinta gue nggak lagi bertepuk sebelah tangan,’ batin Diandra senang.‘Ini menyenangkan. Ciuman ini… aku menyukainya’.‘Rasanya… aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini.’Diandra seketika membuka mata di tengah ciuman mereka.Mimpi.Mimpi.“Arrrgh! Kenapa gue harus kebangun di saat-saat kayak gini sih? Padahal lagi hot banget mimpi gue barusan!” serunya saat kesadarannya sudah pulih sepenuhnya.Diandra melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya masih berada di kamarny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status