Beranda / Romansa / Si Tampan yang Posesif / 4. Pendekatan Jalur Calon Mertua

Share

4. Pendekatan Jalur Calon Mertua

Penulis: Renata Respati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-29 02:35:42

“Ya,” Miranda mengangguk.

“Kara masih SMA kan, ya? Kok udah… punya PA?” tanyanya lagi.

“Kara itu cover-nya aja yang anak SMA.”

“Hah? Gimana, tante?”

Miranda tersenyum, seperti tengah menggoda gadis itu.

“Nanti juga kamu tahu.”

“Len, Di, besok malam kalian bisa kan datang ke sini untuk makan malam?”

“Ada acara apa nih?” tanya Helena.

“Makan malam biasa aja. Sebagai perayaan karena hari ini akhirnya kita ketemu lagi setelah sekian lama, dan juga ucapan terima kasih karena Diandra udah mau nganterin aku pulang.”

“Tante… aku ikhlas loh, serius.”

“Iya, tante percaya.”

Diandra tersenyum hingga kedua matanya menyipit.

“Gimana? Kalian bisa, kan?”

“Aku sih bisa aja, ya. Kebetulan lagi nggak ada acara juga. Kalo kamu gimana, Di? Biasanya kan kamu yang paling jarang ada di rumah?”

“Hm? Aku bisa kok, mom. Bisa banget!” jawabnya cepat.

“Oke kalo gitu, besok aku tunggu ya buat makan malam di rumah.”

“Iya, Mir.”

“Iya, tante.”

Jawab ibu dan anak itu berbarengan.

***

Setelah selesai berkeliling dan mengobrol sebentar. Diandra dan mommy-nya pamit pulang pada sore harinya. Membuat Miranda sedikit enggan, karena ia merasa masih banyak hal yang ingin dibicarakan dengan sahabat lamanya itu.

“Kamu kan masih lama di sini, Mir. Masih banyak waktu juga, kita masih bisa ketemu lagi nanti,” ucap Helena saat mereka sudah sampai di halaman rumah.

“Rasanya waktu tuh cepet banget kalo ngobrol sama kamu, Len.”

Helena mengelus lengan Miranda lembut.

“Tante, aku pamit pulang dulu, ya.”

“Jangan lupa besok dandan yang cantik buat acara makan malam.”

“Siap, tante.”

Setelah berpamitan, Diandra beserta mommy-nya masuk ke dalam mobil untuk pulang. Hari ini ia seperti baru saja mendapatkan harta karun yang besar. Tante Miranda, selain sahabat lama mommy-nya, ternyata ia juga adalah orang tuanya Sangkara. SANGKARA!

Diandra tidak pernah merasa seberuntung ini sebelumnya.

***

Malam berikutnya…

“Emangnya siapa sih tamu agung mama tuh? Sampai aku harus rapi begini dan ngosongin jadwal segala?” tanya Kara dengan sebelah alis terangkat.

“Ada… nanti juga kamu tau.”

“Papa tau?”

Papanya menggeleng.

Pasalnya malam ini pun dirinya juga hanya disuruh hadir dan bersiap-siap untuk menjamu tamu kehormatan istrinya itu.

Ting. Tong.

Suara bel rumah berbunyi. Miranda melarang Bik Rina membuka pintu. Ia ingin menyambut sendiri kedatangan sahabat lamanya sekeluarga.

“Kalian tunggu di sini, mama buka pintu dulu.”

“Tamu penting kayaknya,” ucap sang papa.

Sementara Kara hanya mengedikkan bahu acuh.

“Malam, Mir,” sapa Helena pertama kali.

“Malam, Helena. Makasi loh udah nyempetin buat dateng, paket lengkap lagi,” Miranda melihat ke samping dan mendapati Rasya—suaminya, lalu Diandra yang berdiri di belakang orang tuanya.

“Malam, tante.”

“Diandra, kamu cantik sekali malam ini.”

“Emang yang kemarin nggak cantik ya, tante?”

“Selalu cantik, cuma malem ini kayak ada yang beda gitu. Kayak ada aura-aura magisnya.”

“Tante nih bisa aja,” Diandra merasakan pipinya memanas karena malu.

“Yuk, masuk. Anak dan suami aku udah nunggu di dalem.”

“Elo?” Kara tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat mendapati Diandra—gadis yang tiga tahun ini selalu mengganggu ketenangan dan ketentramannya—ada di sini, di rumahnya.

“Malam, Kara.”

Diandra tersenyum lebar. Matanya mengamati penampilan Kara yang luar biasa tampan malam ini. Kara mengenakan pakaian semi formal, celana jeans biru yang dipadukan dengan kemeja putih polos dengan dua kancing teratas yang dibiarkan terbuka, menampakkan dadanya yang bidang dan kecokelatan.

‘Ini cowok bener-bener, ya. Gantengnya nggak ada obat. Ya kali gue disuruh move on dari dia. Mana bisa,’ cercanya dalam hati.

“Kok lo bisa ada di sini?” tanya Kara lagi, wajah bingungnya masih belum hilang.

“Diundang sama Tante Miranda,” Diandra tersenyum puas.

Merasa privilege-nya kali ini tidak main-main.

“Kok bisa?” alis lelaki itu mengerut.

“Iya, mama yang undang Diandra sekeluarga karena kemarin Diandra udah mau anter mama pulang,” sahut Miranda.

“Kok bisa?” Kara memalingkan pandangan ke arah mamanya.

“Ya, bisa. Siapa suruh kamu sibuk banget sampai telpon mama aja nggak diangkat kemarin.”

“Kan aku udah bilang kalau—”

“Iya, iya. Mama tahu. Makanya jangan banyak nanya,” potong mamanya cepat.

“Mam…”

Btw, kalian udah saling kenal? Kok kayaknya enak banget ngobrolnya?” Miranda melihat Diandra dan putranya bergantian.

“Iya, tante. Udah,” jawab Diandra pertama kali.

Sementara Kara hanya bergumam tak jelas.

“Kara… nggak boleh kayak gitu sama tamu. Apalagi sama cewek cantik begini, sayang banget kan dianggurin. Digandeng sana ke ruang makan,” Miranda menarik lengan Kara agar menurutinya.

Kara menarik napas dalam, lalu berjalan di samping Diandra menuju meja makan. Wajahnya setengah hati, namun Diandra tidak peduli. Baginya, begini saja sudah cukup. Ia hanya ingin dekat dengan Kara seperti ini.

“Kenapa, Di?” tanya Miranda saat melihat Diandra yang melirik ke kanan dan kiri.

“Itu… Sandrina di mana, tante? Dia nggak ikut makan malam?” tanya Diandra penasaran.

“Dia…” Miranda menggantung kata-katanya, wajahnya mendadak muram dan menunduk.

“Sandy masih di Swiss,” sahut Kara cepat saat menyadari air muka mamanya yang berubah.

“Oh,” Diandra tidak bertanya lagi, dan memilih menikmati makan malamnya dengan pemandangan paling indah di hadapannya—Sangkara.

***

Selesai makan malam, para orang tua berkumpul dan duduk di ruang tengah untuk ngobrol santai. Sementara Miranda menyuruh Kara untuk membawa Diandra ke taman agar mereka bisa menghabiskan waktu berdua dan ngobrol santai juga.

“Aku nggak nyangka deh, ternyata orang tua kita udah temenan dari jaman kuliah. Dan yang bikin lebih nggak nyangka lagi, ternyata anaknya Tante Miranda itu kamu,” Diandra memulai percakapan.

Ia duduk di kursi taman panjang berwarna putih, lalu menyandarkan punggungnya dengan santai di sana.

“Hm,” Kara hanya menanggapi dengan gumaman kecil.

“Kara…”

“Hm?”

“Kenapa kamu nolak aku?” Diandra melirik ke samping, bertanya dengan nada takut-takut.

Namun Kara masih diam, tanpa ekspresi. Seolah lelaki itu tidak mendengar apa pun.

“Dari sikap dan perilaku yang selalu aku tunjukin ke kamu selama ini, itu bukti kalo aku serius, dan tulus cinta sama kamu,” Diandra menarik napas dalam sebelum lanjut berbicara.

I love you, Sangkara. I love you so much,” Diandra dengan berani meletakkan kedua tangan di wajah Kara.

Memaksa lelaki itu menatap ke arahnya saat ia menyatakan cinta.

‘Ayo jawab I love you, too,’ batin Diandra penuh harap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Tampan yang Posesif   6. Pesta Kelulusan

    “Sorry, kenapa tiba-tiba banget, ya? Pertama, gue nggak gitu kenal sama lo. Kedua, udah pasti gue dateng sama temen-temen gue. Tapi makasih udah ngajakin,” Diandra berusaha menolak dengan sopan.“Bukan sama Kara?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada mencurigai.Kening Diandra mengerut, dia tidak suka ketika orang lain mencoba mengusik privasinya.“Kok jadi Kara?”“Ya… semua orang juga tau kalo selama ini lo ngejar dia banget, cuma akhir-akhir ini aja agak beda.”“Itu sama sekali bukan urusan lo.”“Ada yang mau gue omongin nanti malem.”“Yaudah tinggal ngomong aja sekarang, kenapa harus nunggu nanti malem?”“Nggak bisa, moment-nya nggak tepat kalo sekarang. Gue juga belom siap.”Diandra melihat ke sekeliling, tempat di mana teman-teman satu angkatannya masih sibuk merayakan kelulusan.“Yaudah, nanti malem aja. Tapi nggak harus berangkat bareng juga, kan? Ketemu di sana kan bisa.”“Oke. See you tonight.”Diandra mengangguk, dan membiarkan laki-laki bernama Alvaro itu pergi dari hadapann

  • Si Tampan yang Posesif   5. Patah Hati

    Mata mereka bertemu dan saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya Kara berpaling dan mengembuskan napas berat.“Gue nggak bisa,” tiga kata dari Kara itu sontak membuat napas Diandra tercekat.Jantungnya seperti berhenti berdetak sepersekian detik, dan udara di sekitarnya terasa menipis, membuat Diandra kesulitan bernapas.“But, thanks karena udah suka sama gue selama tiga tahun ini,” lanjutnya.Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan bagi Diandra. Rasa cinta yang dia simpan selama tiga tahun ini sia-sia. Perasaannya tak berbalas.“Apa ada sesuatu didiri gue yang bikin lo nggak suka? Atau belum? Gue bisa nunggu.”Diandra tahu kata-katanya itu terdengar konyol, tapi tubuhnya bergetar saat memikirkan kemungkinan itu.Kara tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, tatapannya dingin namun… ada sedikit kilatan yang sulit ditebak.“Enggak.”“Kenapa?”“Lo kelewat populer, kayaknya bakal ribet banget kalo menjalin hubungan sama tipe cewek kayak lo gitu. Selalu jadi spotlight dan

  • Si Tampan yang Posesif   4. Pendekatan Jalur Calon Mertua

    “Ya,” Miranda mengangguk.“Kara masih SMA kan, ya? Kok udah… punya PA?” tanyanya lagi.“Kara itu cover-nya aja yang anak SMA.”“Hah? Gimana, tante?”Miranda tersenyum, seperti tengah menggoda gadis itu.“Nanti juga kamu tahu.”“Len, Di, besok malam kalian bisa kan datang ke sini untuk makan malam?”“Ada acara apa nih?” tanya Helena.“Makan malam biasa aja. Sebagai perayaan karena hari ini akhirnya kita ketemu lagi setelah sekian lama, dan juga ucapan terima kasih karena Diandra udah mau nganterin aku pulang.”“Tante… aku ikhlas loh, serius.”“Iya, tante percaya.”Diandra tersenyum hingga kedua matanya menyipit.“Gimana? Kalian bisa, kan?”“Aku sih bisa aja, ya. Kebetulan lagi nggak ada acara juga. Kalo kamu gimana, Di? Biasanya kan kamu yang paling jarang ada di rumah?”“Hm? Aku bisa kok, mom. Bisa banget!” jawabnya cepat.“Oke kalo gitu, besok aku tunggu ya buat makan malam di rumah.”“Iya, Mir.”“Iya, tante.”Jawab ibu dan anak itu berbarengan.***Setelah selesai berkeliling dan me

  • Si Tampan yang Posesif   3. Pertemanan Orang Tua

    “Oh, iya?”“Iya. Namanya Sangkara, kamu kenal?”Diandra spontan menginjak pedal rem begitu nama itu disebutkan dengan ringan oleh Miranda.“Diandra, hati-hati dong bawa mobilnya.” Seru mommy-nya karena kaget.“Sorry, mom. Kaget dikit tadi.”“Hm?”“Anak tante Miranda siapa tadi? Sangkara?” tanya Diandra memastikan.“Iya. Sangkara Adhiyatsa. Kamu tahu dia?”‘Bukan cuma tahu, tan,’ Diandra meringis dalam hati.Bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini dalam hidupnya. Sangkara, cowok yang tiga tahun ini menjadi gebetannya, dan selalu menolaknya. Sekarang dia malah duduk satu mobil dengan ibu dari lelaki itu?Tante Miranda bahkan adalah teman baik mommy-nya sejak jaman kuliah di Auckland.‘Takdir macam apa ini?’ batinnya girang.“Voila!” serunya.“Kenapa, Di?” tanya mommy-nya penasaran.“Hehehe… nggak apa-apa,” Diandra tersenyum canggung saat kedua orang tua itu menangkap basah perilaku anehnya.Setelah berhasil menguasai diri, Diandra kembali menjalankan mobilnya dan melaju untuk mengantar

  • Si Tampan yang Posesif   2. Cemburu

    “Kak Kara, hari ini jadi nemenin gue keliling sekolah?” seorang gadis tiba-tiba menghampiri Kara, berbicara padanya dengan suara lembut dan cenderung manja.Senyum cantik di wajah Diandra memudar, alisnya berkerut, dan matanya menatap tajam pada dua orang yang tengah berbicara santai tak jauh darinya.Itu adalah Salsa, seorang siswi pertukaran pelajar dari sekolah lain. Yang entah bagaimana bisa menjadi tanggung jawab Kara selama Salsa berada di sekolah ini.“Sure,” jawab Kara singkat, namun… Diandra bersumpah ia melihat seulas senyum tipis di sudut bibir lelaki itu.Diandra kesal bukan main saat melihat Kara bisa setenang itu berbicara dengan gadis lain. Bahkan tersenyum. Tersenyum!Diandra merasa iri luar biasa. Merasakan panas perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat kedekatan mereka berdua, berjalan bersama keluar lapangan, meninggalkan Diandra sendiri di sana.Gadis itu mendesah menatap punggung Kara yang perlahan menjauh, lalu menghilang.“See?” Ujar Lavie yang berdiri

  • Si Tampan yang Posesif   1. Mimpi Ciuman

    “Kita emang nggak punya hubungan apa pun. Tapi… kamu milik aku,” setelah mengatakan kalimat itu, Kara—cowok yang tiga tahun ini menjadi crush Diandra—menyeringai sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke arah Diandra.Menciumnya.Pelan… dan dalam.Diandra yang awalnya melotot karena terkejut, berakhir memejamkan mata, menenangkan diri sendiri, dan perlahan menikmati ciuman lelaki itu di bibirnya.Diandra menggantungkan tangannya di leher Kara, menarik lelaki itu agar lebih mendekat padanya.‘Akhirnya… setelah tiga tahun… cinta gue nggak lagi bertepuk sebelah tangan,’ batin Diandra senang.‘Ini menyenangkan. Ciuman ini… aku menyukainya’.‘Rasanya… aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini.’Diandra seketika membuka mata di tengah ciuman mereka.Mimpi.Mimpi.“Arrrgh! Kenapa gue harus kebangun di saat-saat kayak gini sih? Padahal lagi hot banget mimpi gue barusan!” serunya saat kesadarannya sudah pulih sepenuhnya.Diandra melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya masih berada di kamarny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status